Mengenai Saya

Foto saya
Yogyakarta, DIY, Indonesia
Dr. Benediktus Hestu Cipto Handoyo, S.H.,M.Hum atau sering dipanggil Ben atau Hestu, lahir di Blora Jawa Tengah pada tanggal 3 Juli 1962. Suami dari Maria Bernadeth Maitimo, SH dan bapak dari dua anak Giovanni Battista Maheswara, S.H.,M.H dan Alexandro Kevin Maheswara, S.H. ini, menyelesaikan pendidikan di SD. Katolik Kridadharma Blora tahun 1974. Kemudian melanjutkan di SMP Negeri I Blora lulus tahun 1978, serta SMA Jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) di SMA Katolik Wijayakusuma Blora, lulus tahun 1981. Jenjang Pendidikan Tinggi ditempuh di Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta, dan Lulus Sarjana Hukum pada tahun 1988. Melanjutkan studi pada Program Pascasarjana (S2) Universitas Padjadjaran Bandung lulus dan memperoleh gelar Magister Humaniora (M.Hum) pada tahun 1995. Pada tanggal 20 Desember 1997 sampai dengan 4 Maret 1998 mendapatkan kesempatan mengikuti kursus di LEMHANNAS (Lembaga Pertahanan dan Keamanan Nasional) Jakarta. Kemudian pada tahun 2018 Lulus pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Katolik Parahyangan Bandung

Rabu, 10 Desember 2008

HARMONISASI RUU KY DAN RUU MA UNTUK

HARMONISASI RUU KY DAN RUU MA UNTUK
REFORMASI LEMBAGA PERADILAN

Oleh :
B. Hestu Cipto Handoyo*)


Sadar ataupun tidak, kontroversi batas usia pensiun Hakim Agung telah membelokkan issu semula dari sengketa kewenangan MA dan KY yang melatar belakangi perlunya perubahan UU MA dan KY. Memperdebatkan usia pensiun Hakim Agung dalam terminologi Jaya Suprana, adalah bentuk kelirumologi. Apakah dengan usia yang semakin usur dan relatif sudah beraroma tanah, seorang hakim agung semakin adil, bijaksana, dan kebal terhadap mafia peradilan dan judicial corruption? Jawabnya singkat, tidak ada jaminan seseorang yang semakin sepuh semakin adil, bijaksana dan tidak korup.
Terkait dengan pembahasan RUU MA yang kontroversial, Kompas (Sabtu, 4 Oktober 2008) mengemukakan bahwa RUU MA setidaknya harus disahkan bersamaan dengan RUU KY. Sebab, ada hal krusial yang harus disinkronkan dari kedua peraturan tersebut, yaitu tentang pengawasan hakim. Sinkronisasi tersebut memang penting, karena selama ini terdapat standart ganda pengawasan hakim yang dilakukan oleh MA maupun KY. MA memiliki perangkat pengawasan hakim yang dikawal oleh Badan Kehormatan Hakim MA yang diserbut code of etics, sedangkan KY memiliki standart pengawasan yang sering disebut code of conduct (aturan perilaku) hakim.

Tujuh Sinkronisasi.
Untuk mengoptimalkan pengawasan terhadap hakim sebagaimana diamanatkan Pasal 24B UUD 1945, paling tidak RUU MA dan RUU KY harus mengandung tujuh sinkronisasi. Pertama; kedua RUU harus sama-sama menempatkan KY sebagai satu-satunya lembaga negara yang diberi wewenang melakukan pengawasan terhadap hakim dengan sasaran Hakim Agung dan hakim pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung yaitu peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan khusus, serta hakim Mahkamah Konstitusi.
Satu pintu pengawasan hakim ini penting agar tidak terjadi duplikasi pengawasan yang dilakukan oleh masing-masing institusi peradilan serta berguna untuk menjaga independensi lembaga pengawas hakim. Sehingga pameo “maling teriak maling” tidak terjadi lagi dalam dunia pengawasan hakim.
Kedua; RUU MA dan RUU KY harus memerintahkan agar code of etics dan code of conduct bagi hakim disusun secara bersama-sama. Artinya sebagai parameter dalam menentukan ada atau tidaknya penyimpangan etika dan perilaku hakim, harus disusun code of etics dan Code of Conduct bagi kinerja Hakim oleh KY bersama-sama dengan MA.
Ketiga; kedua RUU sama-sama merumuskan bahwa wewenang KY adalah untuk mengawasi perilaku hakim dan bahkan melakukan upaya-upaya preventif untuk memastikan tegaknya kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim. Kedua RUU tersebut juga harus menegaskan bahwa wewenang KY dilakukan di dalam dan di luar sidang/kedinasan. Pengawasan perilaku tersebut dilakukan berdasarkan code of etics maupun Code of Conduct Hakim yang telah disusun secara bersama-sama dengan MA. Dengan demikian, Badan Kehormatan hakim yang terdapat di tubuh MA dilebur ke dalam KY. Konsekuensi lanjutan dari pengaturan seperti ini, maka KY juga harus memiliki perangkat pengawasan di setiap tingkatan peradilan di Indonesia.
Keempat; kedua RUU harus merumuskan secara tegas bahwa putusan hakim wajib dijadikan entry point untuk mendapatkan data dan informasi ada/tidaknya perilaku hakim yang menyimpang dari code of etics maupun code of Conduct. Lebih lebih lanjut dalam kedua RUU tersebut juga harus memberikan jaminan bahwa KY dapat melakukan investigasi untuk menemukan bukti-bukti tentang kesepakatan-kesepakatan di luar ruang sidang antara Hakim dengan para pihak. Selanjutnya fakta-fakta tersebut dipakai dasar untuk merekomendasikan sanksi atas pelanggaran code of etics maupun code of conduct.
Kelima; kedua RUU harus mengatur prosedur pengawasan dan pemeriksaan hakim yang meliputi kerahasiaan laporan/pemeriksaan, serta pengumuman kepada publik setelah pemeriksaan selesai dan dinyatakan terbukti melakukan pelanggaran. Substansi pengaturan ini harus memperhatikan prinsip-prinsip seperti (a) asas praduga tidak bersalah; (b) tetap menghargai martabat hakim; (c) tidak melanggar independensi hakim.
Keenam; kedua RUU harus memberikan wewenang yang kuat kepada KY untuk menyampaikan rekomendasi apabila terjadi pelanggaran Code of Etics atau Code of Conduct Hakim. Penyampaian rekomendasi kepada Presiden dengan tembusan kepada MA dan DPR yang disertai dengan menyebutkan pelanggaran yang telah dilakukan serta sanksi yang harus dilaksanakan. Dalam hal ini MA wajib menjatuhkan sanksi dengan merujuk rekomendasi KY.
Ketujuh; kedua RUU harus mengatur tentang hak pelapor, yang meliputi jaminan kerahasiaan identitas pelapor, jaminan pelapor tidak dapat digugat ke pengadilan atau dilaporkan ke kepolisian, hak Pelapor untuk mengetahui progress dari laporannya baik ditindaklanjuti ataupun tidak. Serta mengatur tentang akses publik dalam memperoleh informasi. Namun demikian, pengaturan hal ini juga perlu ada pembatasan, jangan sampai informasi yang seharusnya tertutup dibuka oleh KY sebagai satu-satunya lembaga yang memiliki wewenang untuk melakukan pemeriksaan terhadap hakim.
Dalam trias politika, satu-satunya lembaga negara yang didesain bebas dan tidak memihak adalah lembaga yudikatif (peradilan). Desain seperti ini bertujuan agar lembaga peradilan (yudikatif) benar-benar tidak dipengaruhi oleh kepentingan dari cabang kekuasaan lain dalam negara. Namun demikian, kebebasan atau independensi ini tidak kemudian diartikan bebas dari pengawasan. Demi tetap terjaganya supremasi hukum dalam arus demokratisasi, maka pengawasan terhadap lembaga peradilan yang dicerminkan dalam pengawasan terhadap hakim sangat dibutuhkan. Apalagi sampai sekarang ”mafia peradilan” dan judicial corruption masih mewarnai dunia peradilan Indonesia.

Penyempurnaan dan Harmonisasi RUU MA dan KY.
Ada bebera persoalan substansi yang perlu diatur oleh kedua RUU tersebut. Dalam expert meeting yang diselenggarakan oleh Bagian Hukum Tata Negara FH-UAJY dan Komisi Yudisial, saya menyampaikan 13 persoalan, yakni:
1. Apa yang perlu di ubah atau disempurnakan dari UU Komisi Yudisial yang berlaku sekarang ini?
a. Pengaturan tentang hubungan fungsional khususnya mekanisme kerja sama antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung harus dipertegas. Artinya antara UU KY dan UU MA harus ada harmonisasi pengaturan khususnya yang menyangkut peran dari kedua lembaga ini dalam menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim.
b. UU KY dan UU MA harus memerintahkan agar kedua lembaga yang sama-sama mandiri (merdeka) ini merumuskan code of ethics dan code of conduct yang akan dipergunakan sebagai pedoman untuk melaksanakan tugas menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim. Langkah ini perlu dilakukan, karena sampai sekarang baik KY maupun MA memiliki standart sendiri-sendiri yang kadang kala justru saling berbenturan antara satu dengan yang lain.
c. UU KY dan UU MA harus memuat ketentuan yang mengatur langkah-langkah sinergis antara fungsi pengawasan ekstern (yang dilakukan oleh KY) dengan pengawasan melekat/intern (yang dilakukan oleh MA) dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim di seluruh jajaran lembaga peradilan baik yang berada di MA maupun yang berada di bawah MA.

2. Apakah arti kewenangan Komisi Yudisial dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim?
Secara konseptual teoritis arti kewenangan Komisi Yudisial tersebut tidak lain adalah menegakkan code of ethics dan code of conduct secara bersama-sama. Oleh sebab itu, jika kewenangan tersebut diletakkan dalam satu frasa maka pengertian kewenangan tersebut harus mengacu pada prinsip-prinsip code of ethics dan code of conduct bagi hakim secara keseluruhan. Hal ini mengingat Hakim (termasuk Hakim Agung) disamping merupakan jabatan publik, juga merupakan profesi di bidang hukum.

3. Bagimanakah pelaksanaan wewenang Komisi Yudisial dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran mertabat, serta perilaku hakim?
Pelaksanaan wewenang Komisi Yudisial tersebut harus diatur secara sinergis dengan kewenangan MA. Hal ini mengingat di lingkungan hakim (termasuk Hakim Agung) juga dikenal adanya pengawasan intern yang dilakukan oleh Majelis (Badan) Kehormatan Hakim. Pasal 24A ayat (2) UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa Hakim Agung harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum. Ketentuan semacam ini secara tersirat menghendaki harus ada upaya untuk melakukan pengawasan terhadap hakim (termasuk Hakim Agung) agar sesuai dengan persyaratan etis sebagaimana ditentukan oleh UUD 1945 tersebut. Dengan demikian sinergitas wewenang Komisi Yudisial dengan MA menyangkut sinergitas pengawasan intern oleh MA melalui Majelis (Badan) Kehormatan Hakim dengan pengawasan ekstern yang dilakukan oleh Komisi Yudisial. Sehingga harapan untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim dapat dilakukan dalam dua dimensi yang saling berkait satu sama lain.

4. Siapa yang menetapkan kode etik dan perilaku hakim? Siapa yang menegakkan kode etik dan perilaku hakim? Bagaimana keterkaitannya dengan kewenangan Komisi Yudisial?
Baik yang menetapkan maupun yang menegakkan kode etik dan perilaku hakim adalah Badan (Majelis) Kehormatan Hakim yang ada di MA maupun Komisi Yudisial itu sendiri. Ini adalah konsekuensi dari kedudukan Lembaga Pemegang Kekuasaan Kehakiman yang merdeka (Pasal 24 UUD 1945) dan Kedudukan KY yang bersifat mandiri (Pasal 24B ayat 1 UUD 1945). Kecuali jikalau Badan (Majelis) Kehormatan Hakim dilebur dan disatukan dalam satu lembaga yang namanya KOMISI YUDISIAL. Namun demikian, jika hal ini menimbulkan kerancuan dalam implementasi, maka jika seluruh cabang kekuasaan yang ada di negeri ini dikembalikan kepada prinsip kedaulatan rakyat, tidak ada salahnya bila DPR sebagai lembaga representasi kedaulatan rakyat yang menetapkan kode etik dan perilaku hakim. Dengan catatan DPR harus benar-benar memahami etika profesi dan aturan perilaku hakim sebagai suatu profesi hukum. Di negara-negara yang sistem peradilan maupun pola rekrutmen hakim sudah relatif mapan, lembaga yang menetapkan kode etik dan perilaku hakim sudah jelas dan tidak terlalu menimbulkan persoalan. Hal ini mengingat organisasi profesi (Bar Association) di negara-negara ini (misal AS) sudah terbentuk dan tidak saling berebut pengaruh. Rekrutmen Hakim pada umumnya diambil dari lawyers yang berpengalaman. Sehingga kode etik dan pedoman perilaku hakim relatif baku dan lembaga yang menegakkan kode etik maupun perilaku hakim juga sudah jelas. Sebaliknya di Indonesia, untuk mempersatukan organisasi profesi advokat saja susahnya luar biasa. Oleh sebab itu, saya sarankan agar Baleg DPR-RI juga melakukan studi banding ke negara-negara tersebut. Studi banding yang saya maksud tidak harus berbondong-bondong pergi ”tamasya” ke negara-negara tersebut dan menghambur-hamburkan anggaran negara melainkan cukup dilakukan dengan ”berselancar” di Internet.

5. Apa saja ruang lingkup pengawasan terhadap hakim?
Ruang lingkup pengawasan terhadap hakim meliputi etika dan perilaku hakim baik di dalam kedinasan maupun di luar kedinasan. Pengawaan terhadap etika hakim berkaitan dengan profesi, sedangkan pengawasan terhadap perilaku hakim berkaitan dengan kedudukannya sebagai pejabat publik.

6. Bagaimana pelaksanaan pengawasan terhadap hakim yang tidak bertentangan dengan prinsip independensi hakim?
Independensi hakim harus dimaknai kebebasan hakim dalam memutuskan perkara sesuai dengan kewenangannya. Oleh sebab itu pengawasan hakim tidak termasuk pengawasan terhadap putusan-putusan yang telah keluarkan oleh hakim terhadap suatu kasus yang sedang diperiksa. Karena dalam sistem peradilan di Indonesia sudah ada mekanismenya. Dengan demikian lingkup pengawasan terhadap hakim dilakukan jika ada dugaan pelanggaran terhadap code of ethics maupun code of conduct. Memang ada kemungkinan putusan hakim bisa saja terjadi karena dipengaruhi oleh adanya pelanggaran code of ethics maupun code of conduct, namun hal ini harus dibedakan secara tegas dalam rangka melakukan pelaksanaan pengawasan terhadap hakim. Oleh sebab itulah code of ethics maupun code of conduct harus secara rinci dirumuskan di dalam aturan pelaksana dari RUU KY.

7. Bagaimana pelaksanaan prinsip akuntabilitas dan transparansi dalam pengawasan Hakim?
Pengawasan terhadap hakim harus dapat dipertanggung jawabkan mengenai kesalahan dan penyimpangan yang nyata-nyata dilakukan. Artinya bukti-bukti
atas terjadinya kesalahan dan/atau penyimpangan yang dilakukan hakim harus dapat dipertanggungjawabkan. Proses pemeriksaan yang dilakukan harus dapat diakses oleh masyarakat secara luas, termasuk rehabilitas bagi hakim yang ternyata dugaan telah melakukan kesalahan dan penyimpangan terhadap code of ethics dan code of conduct tidak terbukti juga harus dapat diakses oleh masyarakat secara luas.

8. Apa pengertian dan ruang lingkup ”perilaku hakim”? Apakah perilaku tersebut mencakup baik di dalam kedinasan maupun di luar kedinasan?
Perilaku hakim adalah segala tindakan dan sikap hakim dalam melaksanakan wewenang dan fungsinya sebagai pejabat publik. Ruang lingkup perilaku tersebut meliputi : [1]
a. Selflessness: Hakim hanya melayani kepentingan publik khususnya para pencari keadilan dan tidak diperbolehkan memberikan keuntungan atau kerugian pada seseorang atau kelompok secara tidak layak (improperly).
b. Honesty and Integrity: hakim tidak diperbolehkan menempatkan dirinya pada situasi dimana kejujuran dan integritasnya dipertanyakan, berperilaku tidak layak serta harus menghindari segala perilaku tersebut dalam semua kegiatan/acara baik di dalam kedinasan maupun di luar kedinasan
c. Objectivity: hakim harus mengambil keputusan berdasarkan fakta, maupun alat-alat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
d. Accountability: Hakim harus mempunyai akuntabilitas dihadapan publik terhadap seluruh tindakannya, dan harus sepenuhnya mempertanggung jawabkan seluruh tindakannya serta jujur dengan penuh kehati-hatian.
e. Openness: Hakim harus selalu terbuka dalam segala tindakan yang mencakup kewenangannya serta harus mempunyai penjelasan terhadap putusan-putusannya.
f. Respect for Others: hakim harus mengedepankan kesetaraan dengan tidak melakukan diskriminasi hukum terhadap semua orang, dan dengan memperlakukan orang dengan kehormatannya tanpa memperhatikan ras, umur, agama gender, orientasi seksual atau ketidakmampuan.
g. Duty to Uphold the Law: Hakim harus menegakkan hukum, dalam segala kondisi, berlaku dalam keserasian dan kepercayaan yang diberikan publik kepadanya.
h. Stewardship: hakim harus melakukan apa pun yang dapat mereka lakukan, untuk meyakinkan bahwa otoritas mereka menggunakan sumber-sumber yang prudent dan dalam lingkup hukum.
i. Leadership: hakim harus mendepankan dan mendukung prinsip-prinsip ini dengan jiwa kepemimpinan dan selalu bertindak dalam jalur yang menjaga keyakinan publik
Kesembilan prinsip ”perilaku hakim” tersebut di atas mencakup baik di dalam kedinasan maupun di luar kedinasan.

9. Apa yang dijadikan pedoman dalam melakukan pengawasan atas perilaku hakim ?
Pedoman untuk melakukan pengawasan atas perilaku hakim tidak lain adalah code of conduct sebagaimana telah diuraikan di dalam jawaban no 8. Pedoman tersebut dipergunakan untuk melakukan pengawasan atas perilaku hakim sebagai pejabat publik. Sedangkan pengawasan hakim dalam melaksanakan profesinya mempergunakan pedoman code of ethics. Dengan demikian dalam melakukan pengawasan terhadap hakim harus diletakkan dalam lingkup dua dimensi, yakni dimensi hakim sebagai pejabat publik dan dimensi hakim yang sedang menjalankan profesinya.

10. Apakah pengawasan terhadap perilaku hakim dapat dilakukan dengan cara mengkaji putusan pengadilan?
Mengkaji putusan hakim tidak serta merta dapat dipergunakan sebagai tolok ukur dalam melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim. Putusan hakim dan perilaku hakim adalah dua bidang yang berbeda serta memiliki mekanisme yang berbeda pula. Mekanisme dan parameter pengkajian terhadap putusan hakim dilakukan melalui proses peradilan yang bertingkat-tingkat dengan puncaknya di Mahkamah Agung. Sedangkan mekanisme dan parameter untuk melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim harus ditentukan terlebih dahulu prinsip-prinsipnya. Memang ada kemungkinan perilaku hakim yang menyimpang dari 9 (sembilan) prinsip code of conduct dapat mempengaruhi putusan pengadilan yang diambil oleh seorang hakim. Tetapi jika hal ini terjadi, parameter dan mekanisme untuk menegakkan code of conduct harus jelas.

11. Apakah kewenangan melakukan pengawasan terhadap hakim, baik oleh MA maupun oleh KY, berarti kewenangan untuk menjatuhkan sanksi? Jika ya, bagaimana pelaksanaan sanksi tersebut?
Kewenangan tersebut jelas berimplikasi terhadap kewenangan menjatuhkan sanksi. Oleh sebab itu baik MA maupun KY harus sama-sama membicarakan bagaimanakah mekanisme penjatuhan sanksi tersebut dilaksanakan. Apakah dilakukan oleh MA ataukah dilakukan oleh KY. Hal ini mengingat KY dan MA sama-sama lembaga yang independent (merdeka/mandiri). Menurut hemat saya, pelaksanaan penjatuhan sanksi dilaksanakan oleh Mahkamah Agung atas rekomendasi dari Komisi Yudisial setelah terbukti ada pelanggaran terhadap code of ethics atau code of conduct. Sanksi dapat berwujud administratif, penonaktifan sebagai hakim dan diberi tugas administratif sampai dengan penghentian dengan tidak hormat (pemecatan) sebagai hakim.

12. Bagimana seharusnya hubungan Mahkamah Agung dengan Komisi Yudisial?
Hubungan antara MA dengan KY seharusnya dapat dapat disinergikan secara harmonis. Ada tiga kemungkinan yang dapat ditawarkan, yaitu :
a. KY diletakkan sebagai satu-satunya lembaga yang berwenang melakukan pengawasan dan penegakkan code of ethics maupun code of conduct. Dengan demikian Badan (Majelis) Kehormatan Hakim yang dulunya mengawal penegakkan code of ethics dilebur dan dimasukkan dalam area kewenangan dan tugas KY.
b. Area kewenangan dan tugas KY dan MA dibedakan ke dalam dua kategori, yakni KY melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim sebagai pejabat publik dengan mempergunakan 9 (sembilan) prinsip code of conduct. Sedangkan MA melakukan penawasan terhadap etika hakim yang menjalankan profesinya dengan mempergunakan code of ethics.
c. MA diletakkan sebagai satu-satunya lembaga yang berwenang melakukan pengawaan dan penegakkan code of ethics maupun code of conduct, sedangkan KY diletakkan sebagai suatu lembaga yang mirip dengan ombudsman yang hanya memiliki kewenangan untuk menyampaikan rekomendasi atas dugaan adanya pelanggaran code of ethics maupun code of conduct yang dilakukan oleh hakim. Kemudian atas rekomendasi dari KY tersebut, MA melakukan pemeriksaan terhadap hakim yang diduga melakukan pelanggaran tersebut, serta memberikan sanksi.

13. Siapa lembaga yang melakukan pengawasan terhadap (perilaku anggota) Komisi Yudisial?
Sesuai dengan paradigma yang dikembangkan oleh UUD 1945 bahwa ” “tidak ada satupun kekuasaan di negeri ini yang tak tersentuh oleh pertanggung jawaban”, maka alangkah baiknya jikalau pengawasan terhadap (perilaku anggota) Komisi Yudisial – walaupun sebagai lembaga yang bersifat mandiri – dilakukan oleh DPR-RI sebagai wujud representasi kedaulatan rakyat. Setiap tahunnya Komisi Yudisial wajib menyampaikan laporan kinerja yang telah dilakukan kepada DPR-RI. Dengan cara semacam ini, maka paradigma tersebut di atas benar-benar diimplementasikan dalam sistem penyelenggaraan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Demikianlah beberapa masukan yang dapat saya sampaikan semoga bermanfaat bagi tegaknya Supremasi Hukum di bumi nusantara dan berkurangnya praktek-praktek ”mafia peradilan” di bumi pertiwi ini. Selamat berjuang sukses selalu dan salam Demokrasi.

*) Dekan Fakultas Hukum Univ. Atma Jaya Yogyakarta dan Direktur Eksekutif Parliament Watch Yogyakarta.
[1] Hasil modifikasi dari 10 (sepuluh) prinsip code of conduct Pemerintah Lokal di Inggris yang diperuntukkan bagi pejabat publik. Hanya 9 (sembilan) dari 10 (sepuluh) prinsip yang dapat diterapkan untuk dijadikan pedoman dalam melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim sebagai pejabat publik. Lebih lanjut dapat dilihat di dalam www.adkasi.or.id.

Selasa, 25 November 2008

PLURALISME DAN NETRALITAS HUKUM


PLURALISME DAN NETRALITAS HUKUM

Oleh:
B. Hestu Cipto Handoyo*)

Ketika UU Pornografi dibahas dan disetujui oleh DPR pro-kontra keberadaannya menjadi demikian tajam. Di beberapa daerah muncul penolakan yang juga “dimotori” oleh DPRD dan Kepala Daerah. Provinsi Bali merupakan salah satu daerah yang paling keras menentang keberadaan UU ini. Dengan alasan pluralisme budaya, UU ini dipandang tidak mungkin diterapkan dan bisa memicu tindakan anarkhisme. Ada apa dengan UU tersebut dalam khasanah hukum Indonesia, hingga dipandang sedemikian gawat?
Tulisan ini tidak bermaksud menambah perdebatan substansi UU Pornografi, melainkan hanya sekedar memberi sedikit pemahaman tentang bagaimanakah sebaiknya pembangunan sistem hukum nasional dilakukan, jika diletakkan dalam konteks pluralisme masyarakat Indonesia.

Living Law.
Eugen Ehrlich mengatakan bahwa hukum positif yang baik (dan karenanya efektif) adalah hukum yang sesuai dengan living law yang sebagai inner order dari masyarakat mencerminkan nilai-nilai yang hidup di dalamnya (Mochtar Kusumaatmadja; 2006). Penegasan ini menunjukkan bahwa pembentuk hukum (termasuk di dalamnya adalah UU) diwajibkan untuk senantiasa memandang hukum yang hidup di dalam masyarakat sebagai referensi utama.
Hukum yang hidup dalam masyarakat tersebut, bersumber pada apa yang dikemukakan oleh Von Savignij filsuf aliran hukum historis dengan sebutan volksgeist (jiwa bangsa) yang dimanifestasikan dalam nilai-nilai yang berlaku dan dianut oleh masyarakat bangsa itu sendiri. Jika pandangan seperti ini diterapkan dalam konteks pluralisme Indonesia, maka volksgeist itu jelas berbeda antara kelompok masyarakat yang satu dengan lainnya.
Pencerminan volksgeist ini, nampak jelas dalam hukum adat sebagai perwujudan kristalisasi nilai-nilai kebudayaan (asli) penduduk Indonesia. Dengan demikian, seharusnya pembentukan sistem hukum Indonesia tentu bersumber dari “roh” seperti ini. Pertanyaannya adalah apakah mungkin melakukan unifikasi dan kodifikasi hukum terhadap nilai-nilai volksgeist yang secara kodrati memang sudah berbeda?

Netralitas Politik Hukum.
Politik hukum yang juga bisa dimaknai sebagai sebuah pilihan hukum (choice of law) memainkan peranan yang sangat penting dalam pembentukan hukum di masyarakat plural. Jika hukum akan dipergunakan sebagai sarana untuk melakukan perubahan masyarakat (R. Pound) yang berifat plural, maka kesulitan yang paling mendasar yang dihadapi oleh para pembentuk hukum (baca UU) adalah, persoalan-persoalan apakah yang perlu diprioritaskan terlebih dahulu?
Pembangunan sistem hukum nasional, jika dikaitkan dengan struktur masyarakat plural, secara garis besar akan menghadapi dua kategori masalah hukum. Pertama; masalah yang secara langsung mengenai kehidupan pribadi seseorang dan erat hubungannya dengan kehidupan budaya dan spiritual. Kedua; masalah-masalah yang secara umum bersifat “netral” dilihat dari sudut kebudayaan, adat maupun spiritualitas (Mochtar Kusumaatmadja; 2006). Bertolak dari dua kategori masalah inilah, maka pembangunan sistem hukum nasional relatif lebih mudah dilakukan jika diprioritaskan pada masalah-masalah yang “netral”. Mudah disini dalam arti pembentukan maupun penerapannya, karena resistensi (penolakan) di lingkungan masyarakat relatif kecil.
Lain daripada itu dengan memprioritaskan masalah-masalah “netral” dalam pembangunan sistem hukum nasional, akan mendapatkan keuntungan. Pertama; mempercepat proses unifikasi dan kodifikasi. Artinya penolakan terhadap produk hukum, karena pertentangan wacana yang disebabkan adanya perbedaan pandangan yang ditinjau dari aspek spiritualitas, adat dan budaya menjadi semakin minim.
Kedua; memperkuat penegakan hukum. Artinya penegakan hukum dapat dilaksanaka secara konsisten. Hal ini mengingat persoalan-persoalan yang berkaitan dengan budaya hukum, sarana dan prasarana serta instrumen hukum sudah tidak menimbulkan persoalan di masyarakat mengingat sifat netralitas persoalan hukum itu lebih banyak ditonjolkan.
Ketiga; membangun budaya hukum masyarakat. Artinya budaya hukum masyarakat plural menimbulkan konsekuensi bahwa cara pandang, perilaku serta cipta dan karsa masyarakat terhadap hukum akan berbeda antara kelompok masyarakat yang satu dengan lainnya. Hal ini jelas kontra produktif jika membangun budaya hukum masyarakat di tingkat nasional akan diupayakan. Oleh sebab itulah pilihan untuk lebih mendahulukan persoalan-persoalan hukum yang ”netral” (tidak secara langsung menyentuh persoalan yang berdimensi adat istiadat dan budaya masyarakat) dalam rangka pembentukan hukum menjadi tidak terelakkan.
Keempat; Memperkecil terjadinya multitafsir terhadap hukum (UU). Artinya pengaruh atau latar belakang budaya, adat istiadat bahkan pandangan spiritualitas dalam melakukan penafsiran hukum diperkecil seminim mungkin. Interpretasi hukum dikembalikan kepada interpretasi yang sejatinya, yakni dijauhkan dari aspek-aspek yang sifatnya subyektif dan dipengaruhi oleh kepentingan individu maupun kelompok.
Kelima; memperkuat integrasi bagi negara yang struktur masyarakatnya plural. Artinya pembentukan hukum justru dipergunakan sebagai sarana untuk memperkuat integrasi. Dapat dibayangkan bagaimana wujud integrasi bangsa jika pembentuk hukum terus menerus menghasilkan produk hukum yang penuh muatan diskriminasi baik dalam hal adat, budaya maupun spiritualitas masyarakat.
Inilah arti pentingnya netralitas pembangunan sistem hukum nasional dalam pluralisme masyarakat Indonesia. Hukum itu dibentuk untuk menciptakan ketertiban dan keamanan. Bukan malah untuk menciptakan keonaran.
*) Dekan Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta, dan Direktur Eksekuif Parliament Watch Yogyakarta.

PERDEBATAN BUDAYA DI DALAM HAM


PERDEBATAN BUDAYA DI DALAM
FASE-FASE PEMIKIRAN HAK ASASI MANUSIA

Oleh :
B. Hestu Cipto Handoyo



A. Pendahuluan
Pada hakikatnya sejarah Pemikiran Hak Asasi Manusia (HAM) dapat dikategorikan dalam empat (empat) fase pemikiran yaitu :
1. Fase Pemikiran domestik;
2. Fase pemikiran Universal;
3. fase pemikiran dikotomi budaya (Barat dan Timur); dan
4. Fase Pemikiran Uiniversalitas dan Kontekstualitas HAM.
Keempat fase tersebut di atas pada hakikatnya saling berkaitan antara satu dengan yang lain, karena saling menunjang dan melengkapi konsepsi HAM secara lebih komprehensif.
Budaya merupakan suatu ungkapan yang bermakna ganda. Di satu sisi bisa diartikan sebagai perilaku manusia dalam menanggapi suatu fenomena kehidupan sosial kemasyarakatan. Sedang disis lain dapat diartikan sebagai hasil cipta, karsa dan karya manusia guna mengekspresikan dirinya dalam ikatan kehidupan masyarakat (komunitas), bangsa maupun negara. Kedua arti tersebut pada hakikatnya tetap bermuara pada keberadaan manusia itu sendiri sebagai mahluk individu maupun mahluk sosial.[1] Terkait dengan argumentasi semacam inilah, maka hasil-hasil atau buah pemikiran dalam rangka merumuskan suatu konsep teori dan menggambarkan realitas sosial juga dapat dikatakan sebagai Budaya. Untuk itulah dalam tulisan ini persoalan yang melingkupi munculnya pemikiran HAM akan ditinjau bagaimanakah perdebatan budaya itu terjadi.

B. Fase Pemikiran Domestik.
Fase pemikiran domestik adalah fase pemikiran HAM yang hanya muncul di beberapa negara sebelum terjadinya Perang Dunia II. Dalam kaitannya dengan hal ini Scott Davidson mengemukakan :
“Meskipun beberapa pakar menyatakan dapat merunut konsep hak asasi manusia yang sederhana sampai kepada filsafat Stoika di zaman kuno lewat yurisprudensi hukum kodrati (natural law) Grotius dan ius naturale dari Undang-Undang Romawi, tampak jelas bahwa asal-usul konsep hak asasi manusia modern dapat dijumpai dalam revolusi Inggris, Amerika Serikat dan Prancis pada abad ke 17 dan ke 18”.[2]

Lebih lanjut Davidson mengatakan bahwa upaya domestik untuk menjamin perlindungan hukum bagi undividu terhadap ekses sewenang-wenang dari penguasa negara, mendahului perlindungan internasional terhadap hak asasi manusia. Upaya domestik itu mempunyai sejarah panjang dan terhormat, dan berkaitan erat dengan kegiatan revolusioner yang bertujuan menegakkan sistem konstitusional yang berdasarkan pada legitimasi demokrasi dan rule of law. [3]
Dengan demikian dapat ditarik sebuah asumsi bahwa fase ini disebut fase pemikiran domestik tentang HAM karena ruang lingkup dan implementasinya masih berkisar pada upaya-upaya perlindungan HAM di negara-negara tertentu saja dan belum meluas melintasi batas-batas negara. Lain daripada itu pemikiran-pemikiran yang muncul tersebut bertujuan untuk melakukan proses konsolidasi sistem demokrasi dan rule of law. Contoh dokumen-dokumen HAM dalam fase pemikiran domestik antara lain; Magna Charta 1215 (di Inggris), Bill of Rights 1689 (di Inggris), Declaration des droits de I’homme et du citoyen (di Perancis); dan Bill of Rights 1789 ( Di AS).
Rumusan-rumusan yang terkandung di dalam naskah-naskah atau dokumen yang berkaitan dengan HAM tersebut di atas dalam analisis kaum Marxis sering dianggap bahwa yang melembagakan adalah kaum borjuis yang hanya menegaskan naiknya kelas bangsawan dan kaum Kapitalis di atas monarkhi. Sementara rakyat kebanyakan dan kaum pekerja (proletar) tetap saja tertindas.[4] Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam tataran pemikiran HAM, walaupun di dalam fase domestik ini isu-isu perlindungan HAM sudah mulai dilembagakan – melalui dokumen-dokumen tersebut di atas – namun dalam dataran empiris isu tersebut masih menimbulkan pro dan kontra.
Oleh sebab itulah dapat ditarik pemahaman bawa dunia Barat yang dianggap lebih diwarnai dengan budaya individualistis-pun juga terjadi perdebatan yang cukup tajam dalam mengimplementasikan konsep-konsep HAM. Khususnya antara kaum liberal kapitalis dengan kamu Marxis yang memiliki konsepsi masyarakat kelas. Memang sungguh kontroversial pemahaman mengenai HAM itu.

C. Fase Pemikiran Universal.
Fase pemikiran ini muncul setelah Perang Dunia II usai yakni setelah Pernyataan Sedunia tentang Hak-hak Asasi Manusia (Declaration Universal of Human Rights) dikumandangkan oleh PBB pada tanggal 10 Desember 1948. Dalam bagian prawacana buku yang berjudul Instrumen Internasional Pokok Hak-hak Asasi Manusia, dikemukakan bahwa pada tahun 1948 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa telah menyetujui Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia, sebagai “suatu standar prestasi bersama bagi semua orang dan semua bangsa”.[5] Inilah salah satu parameter yang dapat digunakan untuk menyebut bahwa Deklarasi HAM sedunia yang dilakukan oleh PBB merupakan hasil-hasil pemikiran HAM dalam fase universal.
Pasal 1 Deklarasi Universal HAM dinyatakan bahwa semua manusia dilahirkan bebas dan sama dalam martabat dan hak. Mereka dikarunia akal dan budi nurani serta harus bertindak terhadap sesama manusia dalam semangat persaudaraan. Berdasarkan ketentuan semacam ini, Adnan Buyung Nasution mengatakan :[6]
“Deklarasi HAM sedunia itu mengandung makna ganda, baik ke luar (antar negara-bangsa) maupun ke dalam (intra negara-bangsa), berlaku di semua bangsa dan pemerintahan di negaranya masing-masing.
Makna keluar adalah berupa komitmen untuk saling menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan antar negara-bangsa, agar terhindar dan tidak terjerumus lagi dalam malapetaka peperangan yang dapat menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan.
Sedangkan makna ke dalam, mengandung pengertian bahwa Deklarasi HAM sedunia itu harus senantiasa mmenjadi kriteria obyektif oleh rakyat dari masing-masing negara dalam menilai setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahnya”.

Memperhatikan pandangan Adnan Buyung Nasution inilah, kita bisa semakin memahami bahwa sifat universalitas dari pemikiran HAM yang terkandung di dalam Deklarasi tersebut. Universalitas tersebut nampak dari adanya dua dimensi makna yang terkandung di dalam Pasal 1 tersebut di atas. Kendatipun demikian dalam implementasinya masih banyak negara-negara di kawasan Asia Tenggara (termasuk Indonesia) – yang pada waktu itu dan sampai dengan dekade tahun 1980-an - belum meratifikasi Deklarasi HAM tersebut untuk diterapkan dalam sistem hukum nasional. Alasan yang dikemukakan adalah bahwa Deklarasi HAM yang lahir di masyarakat Barat jelas membawa budaya individualistis. Oleh sebab itu tidak akan cocok bila diterapkan di negara-negara timur yang berbudaya komunalistis.
Perdebatan mengenai konsepsi HAM dalam perspektif Budaya semacam inilah yang selalu mewarnai langkah penegakkan HAM di negara-negara kawasan Asia. Oleh sebab itulah di bawah ini akan disampaikan mengenai fase dikotomi Budaya dalam pemikiran HAM.

D. Fase Dikotomi Budaya (Barat dan Timur).
Perdebatan mengenai penerapan konsep HAM sebagaimana tertuang di dalam Deklarasi Universal HAM pada umumnya terjadi di negara-negara berkembang, khususnya di kawasan Asia. Nurcholish Majid (Cak Nur) dalam salah satu tulisannya, mengemukakan :[7]
“Di negara-negara berkembang, usaha meluaskan penerimaan akan ide-ide tentang hak asasi manusia sering mengalami hambatan. Salah satu hambatan itu datang dari argumentasi bahwa konsep hak asasi manusia itu adalah buatan barat, dengan konotasi sebagai sumber kejahatan kolonialisme dan imperialisme. Dalam retorika yang menyangkut masalah pandangan hidup, hak asasi manusia yang merupakan konsep barat itu adalah sama dengan sekularisme, jika bukan atheisme sekalian”.

Lebih lanjut Cak Nur mengemukakan beberapa contoh, misalnya argumentasi yang dikemukakan oleh Lee Kuan Yew, Menteri Senior Singapura yang kemana-mana mengkhotbahkan bahwa demokrasi dan ide hak asasi manusia adalah tidak urgen untuk bangsa-bangsa Asia, jika bukan malah tidak diperlukan. Demikian pula Mahatir dan tokoh-tokoh dari RRC, termasuk Suharto Mantan Presiden RI tidak terkecuali.
Perdebatan mengenai perumusan dan penerapan ide-ide Hak asasi manusia dalam perspektif budaya di Indonesia sebenarnya sudah sejak lama berkembang dalam khasanah kehidupan ketatanegaraan. Contoh yang dapat dipergunakan untuk menggambarkan perdebatan tersebut adalah ketika Soepomo menyampaikan pidati tanggal 31 Mei 1945 dihadapan sidang BPUPKI.
Soepomo mengemukakan bahwa dalam konsep negara integralistik , prinsip-prinsip mendasar hak asasi manusia itu tidak cocok untuk diterapkan, karena mengambil nilai-nilai budaya barat yang individualistis. Lebih lanjut dikemukakan bahwa dengan adanya jaminan terhadap Hak Asasi Manusia justru mencerminkan sikap keraguan, ketidak percayaan dan curiga terhadap kekuasaan. Di dalam negara kekeluargaan yang integralistik, sikap curiga apalagi oposisi, adalah tabu.[8] Pandangan semacam ini didukung oleh Sukarno dengan argumentasi yang nyaris serupa. Pandangan semacam ini ditolak oleh Moh. Hatta. Beliau mengemukakan antara lain:[9]
“Memang kita menentang individualisme dan saya sendiri boleh dikatakan lebih dari 20 tahun berjuang untuk menentang individualisme. Kita mendirikan negara baru atas gotong royong dan hasil usaha bersama. Tetapi suatu hal yang saya khawatirkan, kalau tidak ada suatyu keyakinan atau suatu pertanggungan kepada rakyat dalam Undang-Undang dasar yang kita susun sekarang ini, mungkin terjadi suatu bentukan negara yang tidak kita setujui………….
Sebab itu ada baiknya dalam salah satu fasal, misalnya fasal mengenai warga negara, disebutkan juga disebelah hak yang sudah diberikan kepada misalnya tiap-tiap warga negara rakyat Indonesia, setiap warga negara jangan takut mengeluarkan suaranya. Yang perlu disebut disini hak untuk berkumpul dan bersidang atau menyurat dan lainlain”.

Dari perdebatan yang terjadi di tubuh BPUPKI kalai itu, nampak jelas bahwa persoalan penerapan ide-ide HAM – yang katanya universal itu – justru sering berbenturan atau mungkin dibenturkan dengan persoalan-persoalan budaya. Khususnya budaya Barat dan Timur. Kalau kita cermati lebih lanjut perdebatan yang terjadi diatas, maka kita bisa menarik sedikit pemahaman bahwa latar belakang pendidikan diantara tokoh-tokoh BPUPKI memang melatar belakangi munculnya gagasan dan argumentasi yang berbeda. Khususnya Sukarno dan Moh. Hatta.
Kedua tokoh dwi Tunggal tersebut memiliki latar belakang pendidikan yang sangat berbeda. Sukarno sejak kecil menempuh pendidikan di Hindia Belanda yang sarat dengan nilai-nilai feodalisme. Sementara itu Moh. Hatta sejak menyelesaikan pendirikan di MULO melanjutkan pendidikan di Negeri Belanda yang penuh dengan kebebasan dan pencerahan dalam memahami demokrasi dan hak asasi manusia.[10]
Kendatipun dalam sejarah perumusan dan penerapan ide-ide Hak asasi manusia di Indonesia mengalami perdebatan bila ditinjau dari aspek budaya, namun dewasa ini kita tidak mungkin lagi melakukan dikotomi Hak Asasi Manusia dalam perspektif budaya. Oleh sebab itulah dalam wacana berikutnya akan disampaikan mengenai persoalan Ham dalam wacana Universalitas dan Kontekstualitas.

E. Fase Pemikiran Universalitas dan Kontekstualitas HAM.
Menurut Magnis Soeseno, tuduhan bahwa Hak Asasi Manusia itu adalah individualistis, berdasarkan pertimbangan. Pertama, mengatakan bahwa paham Hak Asasi manusia memfokuskan perhatian orang pada hak-hak sendiri. Masyarakat lalu sekedar sebagai sarana pemenuhan kebutuhan individual saja. Kedua, menganggap bahwa paham hak-hak asasi manusia dilihat sebagai menempatkan individu, kelompok dan golongan masyarakat berhadapan dengan negara dan bukan dalam kesatuan dengannya. Warga mesyarakat bukannya menyatu dengan negara, melainkan diandaikan perlu dilindungi terhadapnya.[11]
Pendapat semacam ini memamng terasa pas jika diterapkan dalam konteks budaya timur. Dan ini merupakan salah satu bentuk dari kelemahan dari budaya timur itu sendiri, khususnya dalam menanggapi persoalan-persoalan hubunngan antara rakyat dan negara (kekuasaan). Dalam konteks budaya jawa, hubungan antara raja dan kaula dapat diletakkan dalam konsep manunggaling kawula lan Gusti. Konsep semacam ini memang bagus dan sangat ideal, khususnya bila diterapkan oleh raja yang bijaksana. Namun raja ataupun penguasa yang semacam ini jelas sulit diketemukan. Hal ini mengingat yang namanya kekuasaan akan selalu mengandung paradigma – sebagaimana dikemukakan oleh Lord Acton, yakni kekuasaan itu cendrung selalu di salah gunakan, dan kekuasaan yang absolut pasti akan disalahgunakan.
Di era sekarang pandangan-pandangan yang mencoba untuk mendikotomikan ide-ide Hak asasi Manusia dalam perspektif budaya nampaknya sudah tidak lagi memperoleh tempat. Khususnya, ketika masyarakat tradisionil sudah mulai kehilangan eksistensi setelah munculnya masyarakat modern. Berkaitan dengan hal ini Magnis Soeseno mengemukakan :[12]
“Hak-hak asasi manusia barat dapat disadari sesudah struktur-struktur sosial tradisional yang melindungi individu dan kelompok-kelompok masyarakat tidak lagi berdaya serta memberikan tempat terjaminnya kepada masing-masing kelompok dan golongan telah ambruk.
Selama keutuhan manusia masih terjamin oleh adat dan struktur-struktur ssosial lainnya, tidak ada kebutuhan untuk merumuskan paham hak asasi manusia. Tetapi dalam situasi perubahan sosial dimana individu, kelompok orang, golongan minoritas maupun suku terancam oleh kekuasaan negara maupun kekuatan-kekuatan sosial lainnya, hak-hak asasi manusia semakin menjadi sarana untuk menjamin keutuhan individu, kelompok, golongan dan suku itu”.

Dari argumentasi semacam ini,maka dapat disimpulkan bahwa ide-ide hak asasi manusia dan penerapannya itu sangat tergantung dari kontekstualitas masyarakat. Artinya secara kontekstual ide-ide hak asasi manusia itu sangat dibutuhkan dan perlu diterapkan tidak lain adalah dalam rangka tetap terjaminnya harkat dan martabat kemanusiaan.
Dengan demikian dapatlah ditarik kesimpulan bahwa ide-ide hak asasi manusia itu berdimensi ganda, yakni :[13]
1. Dimensi universalitas, yakni dimensi yang menyangkut substansi dari ide-ide hak asasi manusia yang sifatnya lintas budaya maupun lintas bangsa. Ide-ide tersebut sangat dibutuhkan oleh setiap orang, bangsa dan tidak peduli apakah dalam lingkungan budaya barat maupun timur. Pendek kata substansi dari ide-ide Hak asasi manusia itu sifatnya universal.
2. Dimensi Kontekstualitas, yakni menyangkut penerapan dari ide-ide hak asasi manusia bila ditinjau dari tempat berlakunya. Maksudnya adalah ide-ide hak asasi manusia dapat diterapkan secara efektif, sepanjang tempat penerapannya itu memberikan suasana kondusif. Artinya ide-ide Hak asasi manusia itu dapat diterapkan secara efektif man menjadi landasan etik dalam pergaulan manusia, jikalau struktur kehidupan masyarakat – entah itu di barat ataupun timur – sudah tidak memberikan tempat bagi terjaminnya hak-hak asasi.
Dalam kondisi sekarang, dimana masyarakat tradisional semakin terpojok oleh arus modernisasi, maka kedua dimensi ini terasa logis jika dipergunakan sebaga landasan normatif untuk menerapkan ide-ide hak asasi manusia. Kita tidak perlu lagi memperdebatkan persoalan hak asasi manusia bila ditinjau dari aspek budaya. Hal ini mengingat budaya yang sekarang ini berkembang semakin diwarnai oleh budaya yang menglobal yakni budaya demokratisasi.

F. Penutup.
Demikianlah beberapa gambaran mengenai fase-fase pemikiran Hak asasi manusia dalam perdebatan budaya. Tulisan ini semata-mata merupakan bentuk refleksi tentang pemikiran hak-hak asasi manusia, khususnya di Indonesia. Oleh sebab itu kesalahan atau kekurang lengkapan tulisan ini patut memperoleh kritik dan saran. Penulis sangat berharap kritik dan saran tersebut guna menyempurnakan tulisan ini.

G. Kepustakaan.
B. Hestu Cipto Handoyo, Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan & Hak Asasi Manusia, Univ. Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2003.

Kotan Y. Stefanus, Kajian Kritis Terhadap Teori Integralistik Indonesia, Univ. Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, 1998.

Komnas HAM, Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Budaya, Gramedia Pustaka Utama, jakarta, 1997.

Peter Baehr, Instrumen Internasional Pokok Hak-Hak Asasi Manusia,Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1997.

Scott Davidson, Hak Asasi Manusia, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1994.

Wawan Tunggul Alam, Demi Bangsaku Pertentangan Sukarno Vs Hatta, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003.

[1] B. Hestu Cipto Handoyo, Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan & Hak Asasi Manusia, Univ. Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2003, hlm. 268.
[2] Scott Davidson, Hak Asasi Manusia, Grafiti, Jakarta, 1994, hlm. 2.
[3] Ibid, hlm. 1
[4] Scott Davidson, Ibid, hlm. 3.
[5] Peter Baehr, et.al, Instrumen Internasional Pokok Hak-hak Asasi Manusia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1997, hlm. xv
[6] Adnan Buyung Nasution, dalam Peter Baehr, et.al, ibid, hlm. xx.
[7] Nurcholish Majid, dalam Komnas HAM, Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Budaya Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, jakarta, 1997, hlm. 41.
[8] Adnan Buyung Nasution, dalam Ibid, hlm. xxii-xxiii.
[9] Moh. Yamin, dalam Kotan Y. Stefanus, Kajian Kritis terhadap Teori Integralistik Indonesia, Univ. Atma jaya Yogyakarta, Yogyakarta, 1998, hlm. 35.
[10] Untuk lebih tuntas memahami perdebatan ini bisa melihat referensi Wawan Tunggul Alam, Demi bangsaku Pertentangan Sukarno Vs Hatta, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003.
[11] Franz Magnis Soeseno, dalam B. Hestu Cipto Handoyo, Op.cit, hlm. 269.
[12] Ibid, hlm. 270.
[13] Ibid, hlm. 271.

Minggu, 23 November 2008

PUSAT KAJIAN HUKUM PUSAT - DAERAH


PEMBENTUKAN PUSAT KAJIAN DAN INFORMASI
HUKUM PUSAT - DAERAH*)

Oleh:
B. Hestu Cipto Handoyo**)

A. Independensi DPD dan Pusat kajian dan informasi Hukum Pusat – Daerah.
Tujuan kehadiran DPD dalam sistem keparlemenan Indonesia secara filosofis lebih didorong oleh kepentingan mewarnai kebijakan pemerintah nasional dengan memberikan ruang baru bagi kepentingan daerah. Pengertian daerah di sini tentu bukanlah daerah per daerah, melainkan wilayah geokultural dalam bingkai yang majemuk.
Dengan posisi yang demikian ini, DPD jelas membutuhkan kekuatan penyangga untuk memperkuat posisi tawar dalam pengambilan kebijakan nasional yang berdimensi kepentingan daerah. Apalagi dengan posisi yang demikian itu DPD relatif lebih egaliter dan bebas (independen) untuk masuk ke stakeholder manapun termasuk perguruan tinggi. Kondisi yang demikian ini jelas berbeda bila dibandingkan dengan posisi DPR yang lebih condong memperjuangkan kepentingan politik. Dengan posisi yang demikian ini, DPR jelas sudah memiliki kekuatan penyangga yakni Induk Organisasi Parpol. Oleh sebab itulah bagi DPR keberadaan Pusat Kajian relatif kurang dibutuhkan, karena bagi DPR yang anggotanya terdiri dari wakil-wakil Parpol secara struktural lebih dekat dengan induk Parpol yang diwadahi oleh Fraksi-fraksi yang ada di DPR. Sehingga ketika beradu argumentasi atau memperkuat posisi tawarnya dalam pengambilan keputusan politik nasional, DPR (baca anggota-anggotanya) sudah di backup oleh “lembaga kajian” yang penuh nuansa kepentingan politik dan terdapat di dalam tubuh Parpol itu sendiri.
Kondisi sosiologis dari DPD seperti itu mengakibatkan model atau cara penjaringan aspirasi masyarakat yang selama ini dilakukan oleh DPD lebih mirip dengan yang dilakukan oleh LSM. Artinya dengan sifat yang egaliter dan relatif independen itu, para anggota DPD mampu “masuk” di seluruh lapisan masyarakat tanpa merasa “dicurigai’ akan membawa jargon-jargon atau kepentingan-kepentingan politik tertentu seperti halnya yang dilakukan oleh anggota DPR yang sering “dicurigai” membawa pesan-pesan politik kepentingan kelompok. Bahkan tidak jarang DPD melakukan penjaringan aspirasi di lingkungan Perguruan Tinggi yang sampai saat ini terkesan “alergi” terhadap Parpol. Dengan demikian sebenarnya, secara sosiologis keberadaan DPD justru sangat diuntungkan, karena ia dapat diterima oleh lapisan masyarakat manapun tanpa memandang golongan ataupun kelompok politik tertentu. Bagi DPD dan masyarakat Daerah yang penting aspirasi daerah dapat tertampung dan mampu dijadikan referensi utama dalam pengambilan kebijakan nasional.
Namun demikian, penjaringan aspirasi tentunya tidak hanya sekedar melakukan dialog ataupun tatap muka dengan stakeholder. Penjaringan aspirasi haruslah menghasilkan sebuah kajian yang mendalam sebelum dipergunakan sebagai dasar untuk pengambilan keputusan di tingkat nasional. Oleh sebab itulah keberadaan Pusat Kajian dan Informasi Hukum Pusat – Daerah memiliki peran yang sangat strategis terutama dalam mem-backup kerja-kerja konsitusional DPD.

B. Pusat Kajian dan Informasi Hukum Pusat – Daerah Sebagai Jaringan Penguatan DPD.
Dalam Pengantar Buku Kaukus Parlemen Bersih, antara lain disebutkan bahwa Kaukus memiliki dua jenis manfaat. Pertama; manfaat bagi kinerja kelembagaan parlemen. Kedua; berkembangnya saluran input aspirasi masyarakat. Kaukus secara kelembagaan telah menjadi perantara bagi anggota parlemen untuk dekat dengan resources informasi di masyarakat. Dengan dekatnya anggota parlemen pada titik-titik informasi, maka kompetensinya sebagai wakil rakyat akan dapat benar-benar teruji. Sedangkan bagi akifis di masyarakat, LSM, Perguruan Tinggi, kaukus menjadi ruang baru untuk menyalurkan aspirasinya.
Dengan mempergunakan ide perlunya Kaukus Parlemen Bersih tersebut di atas, maka sebenarnya keberadaan Pusat Kajian dan Informasi Hukum Pusat – Daerah dapat dibentuk dan diupayakan untuk melakukan berbagai aktifitas yang mampu mendukung penguatan DPD walaupun secara yuridis konstitusional penguatan tersebut memang belum terjamin. Artinya ide keberadaan Kaukus Parlemen Bersih itu dapat dipergunakan sebagai referensi bagi keberadaan Pusat Kajian dan Informasi Hukum Pusat – Daerah. Oleh sebab itu sambil menunggu penguatan DPD melalui Amandemen UUD 1945 (kalau memang mungkin dilakukan), keberadaan Pusat Kajian dan Informasi Hukum Pusat – Daerah menduduki posisi yang strategis untuk meningkatkan kapasitas dan kapabilitas DPD.
DPD yang anggotanya terdiri dari wakil-wakil Daerah (masing-masing Daerah Provinsi berjumlah 4 orang) jelas memiliki latar belakang sosio-kultural yang berbeda-beda. Kondisi yang demikian ini, sadar ataupun tidak akan mempengaruhi kinerja kelembagaan yang mengharuskan mereka untuk tidak terjebak pada kepentingan masing-masing daerah yang mereka wakili. Anggota DPD sejatinya mewakili kepentingan daerah, bukan kepentingan masing-masing daerah. Oleh sebab itu, perjuangan ”kolektif daerah” dalam rangka pengambilan kebijakan nasional harus menjadi kerangka dasar bagi setiap anggota DPD. Misalnya pembentukan UU yang terkait dengan otonomi daerah tidak bisa dipandang hanya untuk kepentingan masing-masing daerah, melainkan harus dipandang oleh masing-masing anggota DPD sebagai kepentingan kolektif daerah. Anggota DPD yang mewakili masing-masing Daerah tidak boleh terjebak melakukan aktifitas layaknya anggota DPR yang ”terbelenggu” oleh hegemoni Parpol lewat fraksi-fraksi di DPR.
Dengan konstruksi yang seperti inilah, maka Pusat Kajian dan Informasi Hukum Pusat – Daerah dapat dijadikan sebagai sarana bagi DPD dalam merumuskan dan memformulasikan keputusan-keputusan dengan pendekatan akademis untuk kemudian diperjuangkan di tingkat pengambilan kebijakan nasional yang berdimensi kepentingan lintas daerah.

C. Harmonisasi Hukum Pusat – Daerah : Sebuah Kerangka Dasar Politik Hukum.
Kemandirian dalam berotomi tidak berarti daerah dapat membuat hukum atau keputusan yang terlepas dari sistem hukum secara nasional. Pembuatan hukum tingkat daerah bukan sekedar melihat batas kompetensi formal atau kepentingan daerah yang bersangkutan tetapi harus dilihat pula kemungkinan dampaknya terhadap daerah lain atau kepentingan nasional secara keseluruhan. Peraturan perundang-undangan tingkat daerah atau penyelenggaraan pemerintahan daerah pada umumnya merupakan sambungan yang menentukan keberhasilan berbagai kebijakan secara nasional.
Dari pemahaman tersebut di atas, maka sinkronisasi dan harmonisasi hukum antara pusat dan daerah menjadi titik krusial dalam pembangunan sistem hukum nasional yang terintegrasi. Lain daripada itu, hukum di tingkat pusat pun seharusnya juga memperhatikan kepentingan-kepentingan daerah sebagai pilar dari sistem hukum nasional. Dengan semikian, hubungan Hukum Pusat – Daerah adalah hubungan yang timbal balik, saling mengisi dan saling menguatkan.
Harus diakui bahwa pada umumnya pembentukan hukum di tingkat Pusat masih menunjukkan hegemoni Jakarta (Pusat). Substansi hukum (baca perundang-undangan) sering masing mempergunakan ”kacamata” Jakarta yang tidak selaras dengan ”kacamata” Daerah. Hanya karena Hukum di tingkat Daerah merupakan sub-sistem dari hukum di Tingkat Pusat, maka hukum daerah hanya menjabarkan apa yang dikehendaki oleh Hukum di tingkat Pusat. Padahal hukum-hukum daerah seharusnya tetap memperhatikan kearifan lokal.
Sebaliknya dengan mengatasnamakan kearifan lokal, hukum di Tingkat Daerah sering ”bernafaskan” arogansi daerah yang justru mengakibatkan terjadinya inkonsistensi dan disharmoni dengan hukum di tingkat pusat. Alih-alih dari keadaan semacam ini ancaman disintegrasi bangsa semakin menguat. Jika demikian keadaanya, bagaimanakah seharusnya sinkronisasi dan harmonisasi hukum Pusat – Daerah itu dapat dibentuk secara ideal?
Eugen Ehrlich mengatakan bahwa hukum positif yang baik (dan karenanya efektif) adalah hukum yang sesuai dengan living law yang sebagai inner order dari masyarakat mencerminkan nilai-nilai yang hidup di dalamnya. Penegasan ini menunjukkan bahwa pembentuk hukum (termasuk di dalamnya adalah UU) diwajibkan untuk senantiasa memandang hukum yang hidup di dalam masyarakat sebagai referensi utama.
Hukum yang hidup dalam masyarakat tersebut, bersumber pada apa yang dikemukakan oleh Von Savignij filsuf aliran hukum historis dengan sebutan volksgeist (jiwa bangsa) yang dimanifestasikan dalam nilai-nilai yang berlaku dan dianut oleh masyarakat bangsa itu sendiri. Jika pandangan seperti ini diterapkan dalam konteks pluralisme Indonesia, maka volksgeist itu jelas berbeda antara kelompok masyarakat yang satu dengan lainnya.
Pencerminan volksgeist ini, nampak jelas dalam hukum adat sebagai perwujudan kristalisasi nilai-nilai kebudayaan (asli) penduduk Indonesia. Dengan demikian, seharusnya pembentukan sistem hukum Indonesia tentu bersumber dari “roh” seperti ini. Pertanyaannya adalah apakah mungkin melakukan unifikasi dan kodifikasi hukum terhadap nilai-nilai volksgeist yang secara kodrati memang sudah berbeda?
Politik hukum yang juga bisa dimaknai sebagai sebuah pilihan hukum (choice of law) memainkan peranan yang sangat penting dalam pembentukan hukum di masyarakat plural. Jika hukum akan dipergunakan sebagai sarana untuk melakukan perubahan masyarakat (R. Pound) yang berifat plural, maka kesulitan yang paling mendasar yang dihadapi oleh para pembentuk hukum (baca UU), adalah persoalan-persoalan apakah yang perlu diprioritaskan terlebih dahulu?
Pembangunan sistem hukum nasional, jika dikaitkan dengan struktur masyarakat plural, secara garis besar akan menghadapi dua kategori masalah hukum. Pertama; masalah yang secara langsung mengenai kehidupan pribadi seseorang dan erat hubungannya dengan kehidupan budaya dan spiritual. Kedua; masalah-masalah yang secara umum bersifat “netral” dilihat dari sudut kebudayaan, adat maupun spiritualitas. Bertolak dari dua kategori masalah inilah, maka pembangunan sistem hukum nasional relatif lebih mudah dilakukan jika diprioritaskan pada masalah-masalah yang “netral”. Mudah disini dalam arti pembentukan maupun penerapannya, karena resistensi (penolakan) di lingkungan masyarakat relatif kecil.
Lain daripada itu dengan memprioritaskan masalah-masalah “netral” dalam pembangunan sistem hukum nasional, akan mendapatkan keuntungan. Pertama; mempercepat proses unifikasi dan kodifikasi. Artinya penolakan terhadap produk hukum, karena pertentangan wacana yang disebabkan adanya perbedaan pandangan yang ditinjau dari aspek spiritualitas, adat dan budaya menjadi semakin minim.
Kedua; memperkuat penegakan hukum. Artinya penegakan hukum dapat dilaksanaka secara konsisten. Hal ini mengingat persoalan-persoalan yang berkaitan dengan budaya hukum, sarana dan prasarana serta instrumen hukum sudah tidak menimbulkan persoalan di masyarakat mengingat sifat netralitas persoalan hukum itu lebih banyak ditonjolkan.
Ketiga; membangun budaya hukum masyarakat. Artinya budaya hukum masyarakat plural menimbulkan konsekuensi bahwa cara pandang, perilaku serta cipta dan karsa masyarakat terhadap hukum akan berbeda antara kelompok masyarakat yang satu dengan lainnya. Hal ini jelas kontra produktif jika membangun budaya hukum masyarakat di tingkat nasional akan diupayakan. Oleh sebab itulah pilihan untuk lebih mendahulukan persoalan-persoalan hukum yang ”netral” (tidak secara langsung menyentuh persoalan yang berdimensi adat istiadat dan budaya masyarakat) dalam rangka pembentukan hukum menjadi tidak terelakkan.
Keempat; Memperkecil terjadinya multitafsir terhadap hukum (UU). Artinya pengaruh atau latar belakang budaya, adat istiadat bahkan pandangan spiritualitas dalam melakukan penafsiran hukum diperkecil seminim mungkin. Interpretasi hukum dikembalikan kepada interpretasi yang sejatinya, yakni dijauhkan dari aspek-aspek yang sifatnya subyektif dan dipengaruhi oleh kepentingan individu maupun kelompok.
Kelima; memperkuat integrasi bagi negara yang struktur masyarakatnya plural. Artinya pembentukan hukum justru dipergunakan sebagai sarana untuk memperkuat integrasi. Dapat dibayangkan bagaimana wujud integrasi bangsa jika pembentuk hukum terus menerus menghasilkan produk hukum yang penuh muatan diskriminasi baik dalam hal adat, budaya maupun spiritualitas masyarakat.

D. Kerangka Kerja Pusat Kajian Hukum Pusat – Daerah.
DPD sebagai lembaga Perwakilan Daerah, menduduki posisi yang sangat strategis untuk melakukan sinkronisasi dan harmonisasi Hukum Pusat – Daerah. Namun demikian, karena karakteristik anggota DPD sifatnya lintas daerah serta pada umumnya bersifat generalis, maka perlu mendapat dukungan para pihak yang memiliki kemampuan (expert) di berbagai bidang. Perguruan Tinggi tentunya dapat berperan lebih optimal untuk membantu kinerja-kinerja DPD dalam melakukan kajian dan informasi demi terwujudnya sinkronisasi dan harmonisasi Hukum Pusat – Daerah.
Bertitik tolak dari pandangan tersebut di atas, penulis menyampaikan beberapa gagasan tentang kerangka kerja Pusat Kajian Hukum Pusat – Daerah yang akan membackup kerja-kerja DPD dalam melakukan sinkronisasi dan harmonisasi Hukum Pusat – Daerah. Karangka kerja tersebut, antara lain :
1. Inventarisasi dan Dokumentasi Hukum Pusat – Daerah yang Berlaku;
2. Pengkajian Perkembangan Hukum Nasional;
3. Penelitian dan pengkajian hukum-hukum yang hidup dalam masyarakat;
4. Penelitian dan pengkajian kearifan lokal yang dapat dipergunakan sebagai basis politik hukum nasional;
5. Penyusunan dan perumusan naskah akademik Rancangan Peraturan Perundang-Undangan baik di tingkat Pusat maupun Daerah;
6. Advokasi Kebijakan Publik;
7. Pembentukan Jaringan Informasi Hukum melalui Teknologi Informasi;
8. Kerjasama Institusional antara Pusat Kajian dan Informasi Hukum Pusat – Daerah dengan DPD;
9. Pelatihan Legal Drafting, Penyusunan Anggaran Berbasis kepantingan Daerah, dan Pengawasan untuk anggota DPD;
10. Penjaringan aspirasi dan pengkajian aspirasi masyarakat yang dikehendaki oleh DPD;
11. Pemantauan kinerja DPD.

D. Penutup.
Pada hakikatnya pembentukan Pusat Kajian Hukum Pusat – Daerah bukan hanya milik disiplin ilmu hukum (Fakultas Hukum/Perguruan Tinggi di Bidang Hukum). Hukum sebagai hasil integrasi dari sub-sub sistem yang ada di dalam masyarakat tentunya sangat terkait dengan sub-sub sistem yang bekerja di dalam masyarakat. Dalam konteks ilmu pengetahuan, maka kajian dan informasi hukum akan terkait dengan disiplin ilmu lain. Oleh sebab itu, tidaklah cukup jikalau pembentukan Pusat Kajian dan Informasi Hukum Pusat – Daerah, hanya melulu berada di Fakultas Hukum.
Fakultas Hukum bisa saja menjadi koordinator, sedang experties yang ada di dalamnya bersifat interdisipliner. Hal ini mengingat pembentukan hukum (Peraturan Perundang-undangan), pada hakikatnya merupakan langkah abstraksi yang dilakukan oleh ahli hukum untuk mempositifkan gejala sosial yang ada di masyarakat ke dalam rumusan yuridis yang berlaku dan bersifat mengikat umum. Untuk melakukan langkah abstraksi tersebut seorang Sarjana Hukum tidak mungkin mampu untuk melaksanakan kerja-kerja besar tersebut secara mandiri. Kerja sama dengan ilmuwan bidang ilmu lain yang berkaitan dengan materi muatan yang akan diabstraksikan ke dalam materi hukum positif sangat dibutuhkan.
Semoga tulisan ini sedikit bermanfaat sebagai sumbangan pemikiran dalam Pembentukan Pusat Kajian dan Informasi Hukum Pusat – Daerah. Selamat bekerja sukses selalu.

E. Daftar Pustaka
Abdur Rozaki, et.all, 2006, Kaukus Parlemen Bersih: Media Pembelajaran Parlemen Lokal, Konsorsium Kaukus Parlemen Bersih DIY, Yogyakarta,

B. Hestu Cipto Handoyo, 2008, Prinsip-Prinsip Legal Drafting dan Desain Naskah Akademik, Univ Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta.

Bagir Manan, 1995, Sistem dan Teknik Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan Tingkat Daerah, Univ Islam Bandung, Bandung.

DPD, 2006, Untuk Apa DPD RI, Kelompok DPD di MPR RI, cet II, Jakarta.

Mochtar Kusumaatmadja, 2006, Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan Hukum Nasional, Alumni, Bandung.



Kotagede; 27 Nopember 2008



B. Hestu Cipto Handoyo

Sabtu, 04 Oktober 2008

SINKRONISASI MENGAWASI HAKIM


SINKRONISASI MENGAWASI HAKIM

Oleh :
B. Hestu Cipto Handoyo*)


Terkait dengan pembahasan RUU MA yang kontroversial, Kompas (Sabtu, 4 Oktober 2008) mengemukakan bahwa RUU MA setidaknya harus disahkan bersamaan dengan RUU KY. Sebab, ada hal krusial yang harus disinkronkan dari kedua peraturan tersebut, yaitu tentang pengawasan hakim. Sinkronisasi tersebut memang penting, karena selama ini terdapat standart ganda pengawasan hakim yang dilakukan oleh MA maupun KY. MA memiliki perangkat pengawasan hakim yang dikawal oleh Badan Kehormatan Hakim MA yang diserbut code of etics, sedangkan KY memiliki standart pengawasan yang sering disebut code of conduct (aturan perilaku) hakim.

Tujuh Sinkronisasi.
Untuk mengoptimalkan pengawasan terhadap hakim sebagaimana diamanatkan Pasal 24B UUD 1945, paling tidak RUU MA dan RUU KY harus mengandung tujuh sinkronisasi. Pertama; kedua RUU harus sama-sama menempatkan KY sebagai satu-satunya lembaga negara yang diberi wewenang melakukan pengawasan terhadap hakim dengan sasaran Hakim Agung dan hakim pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung yaitu peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan khusus, serta hakim Mahkamah Konstitusi.
Satu pintu pengawasan hakim ini penting agar tidak terjadi duplikasi pengawasan yang dilakukan oleh masing-masing institusi peradilan serta berguna untuk menjaga independensi lembaga pengawas hakim. Sehingga pameo “maling teriak maling” tidak terjadi lagi dalam dunia pengawasan hakim.
Kedua; RUU MA dan RUU KY harus memerintahkan agar code of etics dan code of conduct bagi hakim disusun secara bersama-sama. Artinya sebagai parameter dalam menentukan ada atau tidaknya penyimpangan etika dan perilaku hakim, harus disusun code of etics dan Code of Conduct bagi kinerja Hakim oleh KY bersama-sama dengan MA.
Ketiga; kedua RUU sama-sama merumuskan bahwa wewenang KY adalah untuk mengawasi perilaku hakim dan bahkan melakukan upaya-upaya preventif untuk memastikan tegaknya kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim. Kedua RUU tersebut juga harus menegaskan bahwa wewenang KY dilakukan di dalam dan di luar sidang/kedinasan. Pengawasan perilaku tersebut dilakukan berdasarkan code of etics maupun Code of Conduct Hakim yang telah disusun secara bersama-sama dengan MA. Dengan demikian, Badan Kehormatan hakim yang terdapat di tubuh MA dilebur ke dalam KY. Konsekuensi lanjutan dari pengaturan seperti ini, maka KY juga harus memiliki perangkat pengawasan di setiap tingkatan peradilan di Indonesia.
Keempat; kedua RUU harus merumuskan secara tegas bahwa putusan hakim wajib dijadikan entry point untuk mendapatkan data dan informasi ada/tidaknya perilaku hakim yang menyimpang dari code of etics maupun code of Conduct. Lebih lebih lanjut dalam kedua RUU tersebut juga harus memberikan jaminan bahwa KY dapat melakukan investigasi untuk menemukan bukti-bukti tentang kesepakatan-kesepakatan di luar ruang sidang antara Hakim dengan para pihak. Selanjutnya fakta-fakta tersebut dipakai dasar untuk merekomendasikan sanksi atas pelanggaran code of etics maupun code of conduct.
Kelima; kedua RUU harus mengatur prosedur pengawasan dan pemeriksaan hakim yang meliputi kerahasiaan laporan/pemeriksaan, serta pengumuman kepada publik setelah pemeriksaan selesai dan dinyatakan terbukti melakukan pelanggaran. Substansi pengaturan ini harus memperhatikan prinsip-prinsip seperti (a) asas praduga tidak bersalah; (b) tetap menghargai martabat hakim; (c) tidak melanggar independensi hakim.
Keenam; kedua RUU harus memberikan wewenang yang kuat kepada KY untuk menyampaikan rekomendasi apabila terjadi pelanggaran Code of Etics atau Code of Conduct Hakim. Penyampaian rekomendasi kepada Presiden dengan tembusan kepada MA dan DPR yang disertai dengan menyebutkan pelanggaran yang telah dilakukan serta sanksi yang harus dilaksanakan. Dalam hal ini MA wajib menjatuhkan sanksi dengan merujuk rekomendasi KY.
Ketujuh; kedua RUU harus mengatur tentang hak pelapor, yang meliputi jaminan kerahasiaan identitas pelapor, jaminan pelapor tidak dapat digugat ke pengadilan atau dilaporkan ke kepolisian, hak Pelapor untuk mengetahui progress dari laporannya baik ditindaklanjuti ataupun tidak. Serta mengatur tentang akses publik dalam memperoleh informasi. Namun demikian, pengaturan hal ini juga perlu ada pembatasan, jangan sampai informasi yang seharusnya tertutup dibuka oleh KY sebagai satu-satunya lembaga yang memiliki wewenang untuk melakukan pemeriksaan terhadap hakim.
Dalam trias politika, satu-satunya lembaga negara yang didesain bebas dan tidak memihak adalah lembaga yudikatif (peradilan). Desain seperti ini bertujuan agar lembaga peradilan (yudikatif) benar-benar tidak dipengaruhi oleh kepentingan dari cabang kekuasaan lain dalam negara. Namun demikian, kebebasan atau independensi ini tidak kemudian diartikan bebas dari pengawasan. Demi tetap terjaganya supremasi hukum dalam arus demokratisasi, maka pengawasan terhadap lembaga peradilan yang dicerminkan dalam pengawasan terhadap hakim sangat dibutuhkan. Apalagi sampai sekarang ”mafia peradilan” dan judicial corruption masih mewarnai dunia peradilan Indonesia.



*) Dekan Fakultas Hukum Univ. Atma Jaya Yogyakarta dan Direktur Eksekutif Parliament Watch Yogyakarta.

Rabu, 01 Oktober 2008

PROBLEMATIKA DAN AGENDA PENGUATAN



PROBLEMATIKA DAN AGENDA PENGUATAN
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT*)

Oleh :
B. Hestu Cipto Handoyo**)


A. Kedudukan DPRD dalam Sistem Desentralisasi dan Demokrasi.
Desentralisasi sebagai suatu asas penyelenggaraan pemerintahan lokal merupakan salah satu pilar yang dipergunakan dalam penyelenggaraan pemerintahan di Negara kesatuan yang mempergunakan prinsip Negara hukum dan demokrasi. Penggunaan asas desentralisasi di samping bertujuan untuk menyelenggarakan system pemerintahan yang efektif dan efisien juga dilandasi oleh beberapa latar belakang prinsipiil.
Pertama; Prinsip Negara hukum. Di dalam prinsip Negara hukum di samping dikenal adanya pemisahan kekuasaan (pemisahan atau pembagian kekuasaan secara horizontal atara tiga cabang kekuasaan di dalam Negara (eksekutif, legislatif dan yudikatif), juga dikenal adanya pemencaran kekuasaan (pendistribusian kekuasaan dalam garis vertikal). Dari prinsip seperti inilah, desentralisasi merupakan sarana yang tepat untuk melaksanakan pemencaran kekuasaan tersebut. Selaras dengan pemahaman ini, maka kedudukan DPRD menjadi sarana untuk melakukan pemencaran kekuasaan, khususnya di bidang legislasi, pengawasan dan budgeting. Fungsi-fungsi ini memang sudah berjalan, namun optimalisasi fungsi-fungsi tersebut masih kurang, karena sifat keanggotaan DPRD yang masih generalis. Oleh sebab itu dalam kerangka desentralisasi, kelembagaan DPRD harus diperkuat dengan adanya tim asistensi ahli yang memiliki kemampuan di bidang legislasi, pengawasan (berbagai sektor penyelenggaraan pemerintahan daerah), dan sistem penganggaran.
Kedua; Prinsip demokrasi. Dalam Negara demokrasi kebutuhan akan partisipasi masyarakat dalam berbagai aspek penyelenggaraan pemerintahan merupakan suatu keharusan. Berdasarkan prinsip semacam inilah maka desentralisasi merupakan sarana yang tepat untuk melaksanakan demokrasi pemerintahan di tingkat lokal. DPRD sebagai lembaga yang merepresentasikan partisipasi masyarakat daerah harus ditempatkan sebagai sarana untuk mengartikulasikan kehendak masyarakat daerah bukan justru mengartikulasikan kehendak masing-masing partai politik. Wacana bahwa anggota DPRD hanya mementingkan kepentingan Parpol saat ini justru telah memperoleh pembenaran dan kepastian hukum melalui UU No. 2 Tahun 2008 tentang Parpol.
Menurut Pasal 1 angka 1 UU No. 2 Tahun 2008 tentang Parpol ditegaskan bahwa Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Mencermati pengertian tersebut menunjukkan bahwa organisasi Parpol dibentuk untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota terlebih dahulu, baru kemudian memperjuangkan kepentingan politik masyarakat, baru disusul memperjuangkan kepentingan politik bangsa dan negara. Rumusan seperti ini memberikan penguatan secara yuridis bahwa Partai Politik memang hanya mementingkan kelompok dan anggota-anggotanya.
Ketiga; Prinsip welfare state. Dalam Negara kesejahteraan, fungsi Negara yang diwujudkan dalam aktifitas pemerintahan adalah sebagai pelayan masyarakat (public services) untuk mewujudkan kesejahteraan umum warganya. Fungsi seperti ini tentunya tidak dapat berjalan dengan baik jikalau dalam pelaksanaannya dilakukan secara sentralistik. Hal ini mengingat kebutuhan-kebutuhan masyarakat di masing-masinh bagian Negara jelas berbeda sesuai dengan karakteristiknya masing-masing. Dengan demikian dalam prinsip welfare state, asas desentralisasi merupakan sarana yang tepat untuk menyelenggarakan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan karekteristik kebutuhan di tingkat lokal. Desentralisasi dalam prinsip welfre state berguna untuk lebih mendekatkan pelayanan masyarakat yang dilakukan oleh Negara. DPRD sebagai wadah untuk mengartikulasikan kebutuhan-kebutuhan masyarakat seharusnya, tidak lagi bertindak seperti layaknya broker-broker parpol untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Kerja-kerja anggota DPRD seharusnya bersifat kolektif untuk melayani masyarakat dalam mengartikulasikan kebutuhan-kebutuhan riil masyarakat daerah. Sehingga keberadaan fraksi, yang merupakan perpanjangan tangan Parpol justru menghambat kerja-kerja kolektif anggota DPRD. Padahal fraksi bukan salah satu alat kelengkapan DPRD, namun dalam berbagai hal ternyata fraksi lebih mendominasi dalam setiap pengambilan keputusan politik yang terkait dengan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan riil masyarakat daerah. Dengan demikian, secara nyata keberadaan fraksi justru kontra produktif, karena dengan adanya keberadaan fraksi inilah DPRD bukan lagi merupakan perwakilan rakyat, melainkan perwakilan parpol. Parpol memang merupakan pranata penting dalam kehidupan demokrasi. Namun jikalau parpol justru terlalu mendominasi dan memonopoli sepak terjang DPRD, maka hal ini justru mengakibatkan penyelenggaraan prinsip-prinsip demokrasi akan mengalami penurunan yang cukup signifikan.
Keempat; Prinsip kebhinekaan. Dalam Negara yang komposisi masyarakatnya demikian beragam, tidaklah mungkin untuk melakukan penyeragaman (uniformitas) kebijaksanaan dan keputusan-keputusan politik. Karakteristik dan kehendak masing-masing daerah yag berbeda-beda haruslah menjadi pertimbangan utama. Dengan demikian, karena adanya prinsip kebhinekaan inilah, funsgi desentralisasi dipergunakan sebagai sarana untuk menampung keanekaragaman.
Pasal 1 angka 4 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menegaskan bahwa DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Kemudian dalam Pasal 60 dan Pasal 76 UU No. 22 Tahun 2003 tentang Susduk MPR, DPR, DPD, dan DPRD ditergaskan bahwa DPRD (Provinsi/Kabupaten/Kota) merupaan lembaga perwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga pemerintahan daerah (Provinsi/Kabupaten/Kota). Ketentuan yuridis semacam ini jelas menimbulkan penafsiran yang beragam, khususnya menyangkut frase “unsur penyelenggara pemerintahan daerah (UU No. 32 tahun 2004) dan lembaga pemerintahan daerah (UU Susduk)”.
Pemerintahan (daerah) dalam pengertian Hukum Tata Negara dapat ditafsirkan dalam pengertian luas dan sempit. Pertama; pemerintahan dalam konteks pengertian yang luas menyangkut segala aktifitas untuk mengimplementasikan fungsi, tugas, wewenang, dan tanggungjawab yang dilakukan oleh Negara. Penafsiran ini meliputi satu kesatuan fungsi yang menyangkut mengatur (legislasi), memerintah (eksekutif), dan mengadili (judikatif).
Kedua; pemerintahan dalam pengertian yang luas menyangkut aktifitas yang dilakukan Negara atau daerah dalam fungsinya untuk memerintah (eksekutif). Penafsiran ini hanya ditekankan pada pelaksanaan fungsi yang dilakukan oleh pemerintah yakni pemegang kekuasaan eksekutif dalam Negara atau dalam konteks pemerintahan daerah, adalah Kepala daerah dan jajaran eksekutif lainnya.
Dari kedua penafsiran seperti ini, maka problematika kedudukan dan kewenangan DPRD sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah terletak pada posisi yang ambigu, yakni apakah yang dimaksud dengan unsur pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud dalam UU No. 32 Tahun 2004 dan UU Susduk dalam perspektif yang luas ataukah sempit? Kedua UU tersebut tidak memberikan kepastian hukum dalam menentukan posisi DPRD dalam kacamata penafsiran tersebut di atas.
Jikalau pengertian Pemerintahan daerah itu diletakkan dalam aspek penafsiran yang luas, maka kedudukan dan kewenangan DPRD masih bisa dipisahkan dengan kedudukan dan kewenangan eksekutif daerah (Kepala daerah dan jajaran eksekutif lainnya). Namun menjadi bermasalah, jikalau pengertian Pemerintahan daerah itu diletakkan dalam aspek penafsiran yang sempit. Penafsiran yang demikian ini jelas akan meletakkan kedudukan dan kewenangan DPRD yang tidak selaras dengan hakikat DPRD sebagai lembaga perwakilan atau parlemen daerah, karena DPRD diletakkan sebagai unsur pemerintahan yang sempit. Posisi yang seperti ini hampir sama dengan ketika pengaturan tentang Pemerintahan Daerah mempergunakan UU No. 5 Tahun 1974. Pada saat mempergunakan UU ini, pengertian Pemerintahan daerah adalah Kepala Daerah dan DPRD.
Menurut Hans Kelsen, desentralisasi berkaitan dengan pengertian Negara. Kelsen mengemukakan bahwa Negara itu merupakan tatanan hukum (legal order). Oleh sebab itu pengertian desentralisasi menyangkut berlakunya sistem tatanan hukum dalam suatu Negara. Di dalam Negara ada kaidah-kaidah hukum yang berlaku sah untuk seluruh wilayah Negara yang disebut kaidah sentral (central norm) dan ada pula kaidah-kaidah hukum yang berlaku sah dalam bagian-bagian wilayah Negara yang disebut desentral atau kaidah lokal (decentral norm).[1]
Konsep teoritis seperti ini, jika diletakkan dalam perspektif DPRD sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah (UU No. 32 tahun 2004) dan lembaga pemerintahan daerah (UU Susduk), maka lebih tepat jikalau yang dimaksud disini tidak lain adalah pemegang kekuasaan legislatif di tingkat daerah. Oleh sebab itu, jika pemahaman seperti ini akan diterapkan dalam rangka revisi UU No. 32 Tahun 2004, sudah sepatutnya jikalau kedudukan DPRD dipertegas menjadi lembaga perwakilan rakyat di tingkat daerah yang memiliki fungsi legislasi, pengawasan dan penganggaran. Oleh sebab itu, guna mengarahkan pada kepstian hukum rumusan untuk revisi UU no. 32 tahun 2004 tidak lagi mempergunakan frase “unsur penyelenggara pemerintahan daerah” yang menimbulkan dua kemungkinan penafsiran seperti yang telah penulis kemukakan.

B. Kapasitas dan Kemampuan Anggota DPRD dalam Menjalankan Kewenangannya.
Secara umum kapasitas dan kemampuan Anggota DPRD dalam menjalankan kewenangannya sangat dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu :
1. kemampuan dan kapasitas personal anggota DPRD. Dalam kerangka welfare state keberadaan Pemerintahan Lokal merupakan sarana untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat guna mewujudkan kesejahteraan umum. Kebutuhan dan kehendak masyarakat daerah jelas makin beragam dan multi sektoral. DPRD sebagai lembaga Perwakilan Rakyat secara paradigmatik harus mampu menampung dan merumuskan kebijakan-kebijakan politik melalui produk hukum yang dihasilkan. Oleh sebab itu, kemampuan dan kapasitas personal anggota DPRD dalam menyerap aspirasi masyarakat menjadi syarat mutlak. Kemampuan dan kapasitas anggota DPRD yang pas-pasan, atau minimalis jelas akan menghambat pelaksanaan kewenangan yang diberikan kepadanya. Dengan demikian salah satu syarat untuk menjadi anggota DPRD hendaknya mencantumkan uji kelayakan yang dapat dipergunakan untuk menilai kemampuan dan kapasitas anggota DPRD tersebut. Materi uji kelayakan itu harus terkait dengan fungsi dan wewenang yang akan dijalankan oleh anggota DPRD seperti visi dan misi, kemampuan legal drafting, pengawasan, dan budgeting.
2. Sistem rekrutmen kader Parpol. Pemilu yang masih tetap mempergunakan sistem proporsional terbuka[2] pada hakikatnya tetap memposisikan Parpol yang sangat dominan dalam proses rekrutmen anggota DPRD. Dengan demikian peran Parpol dalam mempersiapkan kader-kader untuk menjadi anggota DPRD sangat berpengaruh dalam menunjang kemampuan dan kapasitas anggota DPRD. Untuk itu pola pencalonan anggota DPRD yang dilakukan oleh Parpol harus diubah. Uji kelayakan sebagaimana penulis kemukakan dalam point 1 harus menjadi dasar bagi Parpol untuk menentukan kader-kadernya dalam daftar calon anggota DPRD tersebut. Jadi pencantuman daftar calon tidak lagi mempergunakan paradigma kemampuan finansial kader yang sampa sekarang masih menggejala di lingkungan Parpol.
3. Mekanisme pertanggungjawaban anggota DPRD terhadap konstituen. Selama ini setelah kader parpol menjadi anggota DPRD hubungan dengan rakyat pemilih (konstituen) masih tetap “terputus”. Anggota DPRD masih tetap “mesra” berhubungan dengan organisasi Induk Parpol. Apalagi di lingkungan DPRD peran fraksi sebagai perpanjangan parpol di DPRD dalam menggendalikan anggota DPRD masih sangat dominan. Akuntabilitas anggota DPRD kepada rakyat tidak pernah dilakukan, dan mekanismenya sampai sekarang juga belum ada perangkat hukum yang mengatur. Akibatnya sepak terjang anggota DPRD tetap tidak dapat dikontrol secara langsung oleh konstituen. Pergantian antar waktu juga sangat tergantung dari kebijakan Parpol melalui fraksi-fraksi yang ada di DPRD. Oleh sebab itu tidaklah mengherankan jikalau antara anggota DPRD dengan rakyat pemilih tidak ada ikatan keterwakilan yang memadai.
4. Mekanisme kerja fraksi-fraksi dalam menampung dan menyalurkan kehendak atau aspirasi masyarakat daerah dalam perumusan dan pembentukan kebijakan publik melalui pembentukan Perda. Sampai saat ini kedudukan fraksi – walaupun bukan alat perlengkapan DPRD – sangatlah dominan. Tidak sedikit Raperda yang sudah disepakati oleh komisi, gabungan komisi ataupun Pansus gagal disetujui oleh DPRD, hanya gara-gara fraksi tidak menyetujui dalam rapat paripurna. Dengan demikian secara empiris posisi fraksi dalam pembentukan Perda sangat menentukan. Jika Fraksi masih tetap diposisikan seperti ini, maka jalan satu-satunya adalah memberikan penguatan kepada fraksi-fraksi dalam menampung dan merumuskan aspirasi masyarakat daerah untuk dituangkan dalam produk hukum (perda). Caranya adalah dengan melengkapi fraksi-fraksi tersebut dengan staff ahli lintas sektoral. Bukan staf ahli yang disediakan oleh masing-masing Parpol.
5. Mekanisme dan sistem pengawasan internal anggota DPRD dalam melaksanakan fungsi dan kewenangannya. Kode etik (code of conduct) bagi anggota DPRD sampai saat ini dirumuskan secara internal oleh DPRD. Padahal secara teoritis anggota DPRD adalah wakil-wakil rakyat. Oleh sebab itu code of conduct sebaiknya dirumuskan oleh DPRD bekerja sama dengan stakeholder (pemangku kepentingan) yang ada di masyarakat. Substansi Code of conduct itu harus dimuat dalam satu kesatuan dengan Peraturan Tata tertib anggota DPRD atau lebih tepat dimuat dalam revisi UU No. 32 Tahun 2004 atau dimuat dalam UU Susduk. Sehingga masyarakat mengetahui dan ikut melakukan pengawasan terhadap perilaku anggota DPRD. Substansi code of conduct ini secara umum dan berlaku untuk seluruh DPRD di Indonesia. Substansi code of conduct[3] dan perilaku keseharian yang menyimpang dari anggota DPRD, dapat digambarkan dalam bagan di bawah ini.

PRINSIP CODE OF CONDUCT
PERILAKU KESEHARIAN YANG MENYIMPANG DARI ANGGOTA DPRD
Selflessness: Anggota hanya melayani kepentingan publik dan tidak diperbolehkan memberikan keuntungan atau kerugian pada seseorang atau kelompok secara tidak layak (improperly).

1. merekomendasikan kepada kroninya (keluarga) dan anggota Parpol untuk mendapatkan proyek di pemerintah;
2. melayani kepentingan publik tetapi sebenarnya kepentngan pribadi dan Parpol ikut andil di dalamnya;
3. mendahulukan kepentingan sendiri dan kroninya. (Lowongan jabatan : mendahulukan saudara dan kroni)
4. Memakai mobil dinas untuk kepentingan kelompok atau partainya (keluarga) diganti Platnya.
5. merekomendasikan fasilitas publik yang berdekatan dengan tanah milik atau kelompoknya.
6. pelanggaran standart operasional pelayanan publik.
Honesty and Integrity: Anggota tidak diperbolehkan me-nempatkan dirinya pada situasi dimana kejujuran dan integritasnya dipertanyakan, berperilaku tidak layak serta harus menghindari segala perilaku tersebut dalam semua kegiatan/acara.

1. mengambil keputusan yang tidak konsisten (gampang berubah), hal ini disebabkan karena kepentingan pribadi, kelompok, golongan (kepentingan terselubung).
2. meminta amplop (pelicin) seolah-olah anggota telah melakukan jasa tertentu.
3. melakukan penipuan di masyarakat (bisnis dll) : terlibat di dalam suatu propaganda yang tingkat kualitasnya belum terbukti;
4. membuat laporan pertanggung jawaban kegiatan yang dianggarkan dari lembaga namun kegiatan tersebut tidak dilaksanakan (reses fiktif).
5. ingin mendapat pelayanan lebih dahulu dalam pelayanan publik. Contoh dalam hal mengurus perijinan.
Objectivity: Anggota harus mengambil keputusan berdasarkan fakta, termasuk saat membuat perjanjian, kontrak atau merekomendasikan seseorang untuk mendapatkan penghargaan (rewards or benefit).

Like and dislike contohnya : memberikan sebuah rekomendasi atau keputusan yang dilandasi oleh suka/tidak suka kepada seseorang. Baik bersifat positif/negatif. Contoh kalau terhadap kelompoknya dianggap baik, sebaliknya terhadap lawan politik dianggap tidak baik.
mengambil sebuah keputusan yang tidak berdasarkan aturan, tetapi berdasar pada kebijakan politik. Contohnya mengusulkan PAW.
mengambil keputusan berdasarkan data yang tidak jelas. Contoh : mark up anggaran, kegiatan-kegiatan fiktif, memberikan bantuan yang tidak tepat sasaran/ tidak sesuai program

Accountability: Anggota harus mempunyai akuntabilitas dihadapan publik terhadap seluruh tindakannya, dan harus sepenuhnya dapat bekerjasama serta jujur dengan penuh kehati-hatian.

menganggarkan barang (laptop) yang tidak sesuai dengan porsinya (mark up anggaran)
membuat peraturan yang justru membuat kacau ditengah-tengah masyarakat. (Perda)
mark up anggaran.

Openness: Anggota harus selalu terbuka dalam segala tin-dakan yang mencakup kewenangannya serta harus mempunyai penjelasan terhadap tindakan-tindakannya tersebut.

tidak melakukan kontrol terhadap regulasi yang benar-benar merugikan masyarakat. (Lingkungan hidup – pembuangan limbah pabrik)
mendirikan lembaga yang tdk ada dasar legalitasnya. Contohnya Panitia Legislasi (seharusnya kalau di daerah ad hoc, tetapi dipermanenkan supaya ada uang tunjangan)
Personal Judgement: Anggota harus memperhatikan pandangan anggota lain, termasuk kelompok politik mereka, namun harus mempunyai kesimpulan sendiri terhadap isu yang dibicarakan, dan bertindak dalam lingkup kesimpulan-kesimpulan tersebut.

mengatasnamakan lembaga pdhal untuk kepentingan pribadi, kelompoknya
membangun opini publik dengan cara membunuh karakter anggota DPRD yang lain yang tidak sependapat.


Respect for Others: Anggota harus mengedepankan kesetaraan dengan tidak melakukan diskriminasi hukum terhadap semua orang, dan dengan memperlakukan orang dengan kehormatannya tanpa memperhatikan ras, umur, agama, gender, orientasi seksual atau ketidakmampuan.


Duty to Uphold the Law: Anggota harus menegakkan hukum, dalam segala kondisi, berlaku dalam keserasian dan keper-cayaan yang diberikan publik kepadanya.


Stewardship: Anggota harus melakukan apa pun yang dapat mereka lakukan, untuk meyakinkan bahwa otoritas mereka menggunakan sumber-sumber yang prudent dan dalam lingkup hukum.


Leadership: Anggota harus mendepankan dan mendukung prinsip-prinsip ini dengan jiwa kepemimpinan dan selalu bertindak dalam jalur yang menjaga keyakinan publik.



Penegakan Code of conduct bagi anggota DPRD tidak dapat berjalan dengan baik jikalau Badan Kehormatan tidak berfungsi secara optimal. Problematika yang dihadapi oleh BK-DPRD dalam penanganan kasus pelanggaran code of conduct, yaitu :
a. Keanggotaan BK-DPRD yang sifatnya tetap justru menghambat penanganan secara fair jika pelanggaran justru dilakukan oleh anggota BK-DPRD sendiri;
b. Kedekatan hubungan antara pelanggar (anggota DPRD) dengan Parpol induk via fraksi mengakibatkan punishment tidak berjalan;
c. Acara pemeriksaan pada umumnya tertutup;
d. Tuduhan pelanggaran code of conduct sering penuh dengan muatan kepentingan politik, artinya terbuka untuk dipergunakan sebagai sarana untuk menjatuhlan lawan politik (caracter assasination);
e. Pada umumnya DPRD belum memiliki peraturan “acara” pemeriksaan pelanggaran code of conduct;
f. Berat ringannya pelanggaran code of conduct dan berat ringannya sanksi, pada umumnya berdasarkan persepsi orang per orang. Belum ada kepastian ukuran; dan
g. Mekanisme BK-DPRD belum proaktif. Hanya menunggu laporan. BK DPRD belum memiliki standard baku investigasi.
Terkait dengan problematik yang dihadapi oleh BK-DPRD tersebut di atas, maka untuk menunjang kapasitas dan kemampuan anggota DPRD dalam menjalankan kewenangannya BK-DPRD di masa mendatang harus :
1. Membangun kerja sama dengan Parpol. Misalnya Parpol harus melaporkan ke BK-DPRD dan publik mengenai sumbangan periodik yang diberikan wakilnya di DPRD, termasuk yang langsung disalurkan ke parpol;
2. Bersama dengan pimpinan DPRD menertibkan pihak-pihak di internal DPRD yang selama ini disinyalir sering menjadi “bandar” pembagian amplop kepada anggota DPRD terkait dengan pembahasan Raperda atau pelaksana fungsi-fungsi lainnya;
3. Bersama dengan pimpinan DPRD bekerja sama dengan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dalam hal merumuskan definisi gratifikasi dan prosedur standard pemrosesan kasusnya baik di tingkat BK DPRD, Pimpinan DPRD, Parpol, maupun institusi penegak hukum;
4. Memperbaiki mekanisme pemrosesan kasus yang ditangani BK DPRD agar lebih mandiri dan terlepas dari hambatan prosedural maupun politik;
5. Ke depan BK DPRD harus mengambil inisiatif jika issu publik mulai muncul berkaitan dengan adanya pelanggaran code of conduct. Perlu dikatahui bahwa di dalam Tatib DPRD, tidak ada larangan untuk melakukan hal itu;
6. Pengaturan bahwa rapat-rapat BK DPRD bersifat tertutup seharusnya tidak diartikan bahwa BK DPRD tidak memiliki wewenang untuk menjelaskan kepada publik hasil proses penelusuran dan persidangan yang dilakukan termasuk pertimbangan-pertimbangan yang dikemukakan;
7. Tata Cara pemeriksaan atas pelanggaran code of conduct harus segera disusun oleh BK DPRD dan berpedoman pada UU Susduk atau UU Pemerintahan Daerah. Tata cara ini harus disebar luaskan kepada publik agar publik memahami prosedur dan mekanisme pelaporan;
8. BK DPRD menciptakan mekanisme pertanggungjawaban publik atas laporan hasil pemeriksaan yang dilakukan agar tidak menimbulkan interpretasi di masyarakat yang justru akan mengurangi nilai keabsahan keputusan BK DPRD di mata publik;
9. BK DPRD harus memiliki tim investigasi Pelanggaran code of conduct yang dalam aktifitasnya bekerja sama dengan pihak-pihak terkait, seperti kepolisian. LSM, Perguruan Tinggi dan Parpol.

C. Arah Agenda Penguatan Kelembagaan dan Supporting System DPRD.
Berpijak dari problematik dan argumentasi tersebut di atas, maka arah agenda penguatan kelembagaan dan supporting system DPRD meliputi :
1. Revitalisasi fraksi-fraksi yang ada di DPRD yang diarahkan kepada prinsip keberpihakan masyarakat daerah secara umum. Bukan lagi keberpihakan kepada masing-masing parpol;
2. Sistem dan mekanisme rekriutmen kader masing-masing Parpol yang lebih transparan dan berbasis pada kapasitas dan performance guna menunjang kualitas anggota DPRD;
3. Penegasan mekanisme akuntabilitas publik anggota DPRD;
4. Standarisasi code of conduct yang sama untuk semua DPRD harus tersusun dan dituangkan dalam UU Susduk atau UU Pemerintahan Daerah;
5. Komposisi keanggotaan BK-DPRD yang mencerminkan kompisisi keterwakilan rakyat. Artinya anggota BK-DPRD tidak hanya diambil dari internal DPRD melainkan melibatkan komponen masyarakat daerah yang konsens terhadap pemberdayaan parlemen daerah. Anggota BK-DPRD juga tidak bersifat tetap, melainkan ad hoc.
6. Mekanisme hubungan DPRD dengan Lembaga Perwakilan lain (DPR dan DPD) perlu dirumuskan. Hal ini dimaksud agar ada sinergitas keterwakilan rakyat dalam sistem keparlemenan Indonesia, karena selama ini hubungan antara DPRD dengan lembaga perwakilan rakyat di tingkat Pusat terputus. Sinergitas hubungan ini juga dapat dipergunakan untuk mengeleminir terjadinya Perda-perda yang bermasalah; dan
7. Penguatan Sekretariat DPRD yang tidak hanya menjalankan fungsi-fungsi administratif dan protokoler, melainkan juga menjalankan fungsi Penelitian dan Pengembangan termasuk penyediaan staf ahli bagi anggota DPRD.

D. Penutup.
Demikian sumbangan pemikiran yang dapat penulis sampaikan dalam acara Panel Ahli ”Problematika dan Agenda Penguatan DPRD. Semoga tulisan ini bermanfaat.

Kotagede; 23 Juni 2008
Penulis;



B. Hestu Cipto Handoyo



*) Makalah disampaikan dalam Panel Ahli ”Problematika dan Agenda Penguatan DPRD”, diselenggarakan oleh Program Pascasarjana S2 PLOD-UGM bekerja sama dengan DRSP, Yogyakarta, 23-24 Juni 2008
**) Dekan FH-UAJY, Direktur Eksekutif Parliament Watch Yogyakarta
[1] Hans Kelsen, dalam Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Sinar Harapan, Jakarta, 1994, hlm. 24.
[2] Pasal 5 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD.
[3] Belajar dari Pemerintah Lokal Inggris dalam www.adkasi.or.id

Minggu, 28 September 2008

KETIADAAN SINKRONISASI


KETIADAAN SINKRONISASI
NORMA DOMISILI DAN NON PARTAI POLITIK
BAKAL CALON ANGGOTA DPD DALAM
PERSPEKTIF KONSTITUSI


Oleh :
B. Hestu Cipto Handoyo*


Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD (UU Pemilu) ternyata masih menyisakan persoalan substansiil. Ini terbukti karena begitu muncul UU tersebut langsung dimintakan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi. Persoalan substansiil yang disengketakan tersebut menyangkut belum tegasnya norma domisili dan non Parpol dicantumkan dalam Pasal 12 dan Pasal 67 sebagai persyaratan dan tata cara pendaftaran bakal calon anggota DPD.
Pasal 22 C ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa anggota DPD dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum. Ketentuan normatif seperti ini jelas masih menimbulkan dua penafsiran. Pertama, setiap provinsi seperti yang dimaksud pasal ini dapat ditafsirkan sebagai sebuah struktur organisasi pemerintah daerah, dan kedua, setiap propinsi dapat juga ditafsirkan sebagai daerah pemilihan sebagaimana diatur dalam UU Pemilu. Munculnya dua penafsiran ini disebabkan, karena UUD 1945 hasil amandemen sudah tidak menyertakan lagi Penjelasan sebagaimana UUD 1945 sebelum amandemen.
Pada hakikatnya, sifat UUD 1945 setelah amandemen adalah konstitusi tertulis. Artinya norma-norma hukum yang menjadi substansi konstitusi telah secara tersurat (tidak tersirat) dicantumkan dalam ketentuan pasal-pasal konstitusi. Hal ini berbeda dengan UUD 1945 sebelum amandemen yang mengakui adanya convention of constitutions (kebiasaan ketatanegaraan) sebagaimana tertuang di dalam Penjelasan Umum. Dalam kondisi yang seperti inilah keberadaan Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi sangat penting dalam kerangka penafsiran konstitusi tertulis.
Norma yang tercantum dalam Pasal 22 C ayat (1) UUD 1945 tersebut pada hakikatnya tidaklah berdiri sendiri. Norma ini terkait dengan norma yang tercantum dalam Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 yang menegaskan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan Undang-Undang. Dengan demikian, jelas kiranya bahwa yang dimaksud dengan “anggota DPD dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum” seharusnya ditafsirkan oleh MK yakni provinsi sebagai struktur pemerintahan daerah sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan normatif Pasal 18 ayat (1) UUD 1945.
Oleh sebab itu norma domisili yang belum dicantumkan dalam persyaratan Pasal 12 dan Pasal 67 UU Pemilu jelas melanggar norma konstitusi dan MK harus berani memberikan putusan judicial review yakni persyaratan calon anggota DPD diubah karena melanggar norma konstitusi.
Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Ketentuan normatif ini dalam pelaksanaannya jelas menyisakan sebuah pertanyaan, yakni dalam bentuk apakah kedaulatan rakyat tersebut akan diimplementasikan.
Sejak pemilu tahun 2004 implementasi kedaulatan rakyat telah diterjemahkan dalam 3 (tiga) model Pemilu, yakni :
1. Implementasi Kedaulatan Rakyat di bidang Politik dilakukan melalui Pemilu anggota DPR yang berasal dari Partai Politik.
2. Implementasi Kedaulatan rakyat di bidang kepentingan yang berdimensi kedaerahan dilakukan melalui Pemilu anggota DPD yang berasal dari perseorangan dan mewakili masing-masing daerah (Provinsi).
3. Implementasi kedaulatan rakyat di bidang pemerintahan dilakukan melalui Pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden yang dicalonkan oleh Partai Politik atau gabungan Partai politik.
Jika diperhatikan lebih seksama, maka nampak jelas bahwa 2 (dua) model Pemilu, yakni Pemilu anggota DPR dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden telah mengakomodasi kepentingan politik rakyat yang diartikulasikan oleh Partai Politik dengan mengajukan calon-calonnya. Sementara 1 (satu) model pemilu, yakni Pemilu anggota DPD mengakomodasi kepentingan yang berdimensi kedaerahan dalam konteks kebijakan nasional. Oleh sebab itulah, dalam Pemilu anggota DPD norma domisili (bukan norma partai politik) menjadi penting untuk dimasukkan sebagai salah satu ketentuan persyaratan pencalonan anggota DPD dalam UU Pemilu
Pasal 22 E ayat (4) UUD 1945 menegaskan bahwa Peserta Pemilu untuk memilih anggota DPD adalah perseorangan. Kata ”perseorangan” sebagaimana dimaksud pada ketentuan ini secara terminologis harus dimaknai sebagai individu yang mandiri dan tidak terikat oleh kepentingan golongan maupun afiliasi politik tertentu. Hal ini berarti secara konstitusional, persyaratan pemilu anggota DPD seharusnya juga memuat norma perseorangan yang non partai politik.
Salah satu persyaratan bagi Peserta Pemilu untuk memilih anggota DPD yang sifatnya perseorangan adalah bersedia untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokat/pengacara, notaris, pejabat pembuat akta tanah (PPAT), dan tidak melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPD sesuai peraturan perundang-undangan.
Kalimat kunci dalam persyaratan tersebut adalah ”serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPD sesuai peraturan perundang-undangan”. Persoalannya yang terkandung dalam kalimat kunci tersebut adalah apa yang dimaksud dengan konflik kepentingan itu? Penjelasan ketentuan ini menyatakan ”Cukup Jelas”.
Pasal 1 angka 1 UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik menyatakan bahwa Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warganegara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Mencermati pengertian tersebut menunjukkan bahwa organisasi Parpol dibentuk memperjuangkan dan membela terlebih dahulu kepentingan politik anggota, disusul memperjuangkan kepentingan politik masyarakat, baru kemudian memperjuangkan kepentingan politik bangsa dan negara. rumusan seperti ini memberikan penguatan secara yuridis bahwa Partai Politik memang hanya mementingkan kelompok dan anggota-anggotanya.
Ditinjau dari aspek legal drafting, tidak dicantumkannya norma domisili dan non Partai Politik dalam persyaratan Peserta Pemilu serta tatacara pendaftaran bakal calon anggota DPD merupakan tindakan yang melanggar konstitusi dan asas-asas peraturan perundang-undangan yang baik. Dikatakan melanggar konstitusi karena tidak sinkron dengan Pasal 22C UUD 1945 yang menegaskan bahwa anggota DPD dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum, Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 22E UUD 1945 yang menyatakan bahwa Peserta Pemilu untuk memilih anggota DPD adalah perseorangan.
Sedangkan dikatakan melanggar asas-asas perundang-undangan yang baik, karena dengan tidak dicantumkannya secara tegas persyaratan tersebut menunjukkan bahwa asas kenusantaraan, bhinneka tunggal ika, keadilan dan kepastian hukum belum terpenuhi.

* Dekan Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Dosen Hukum Tata Negara dan Legal Drafting FH-UAJY, Direktur Eksekutif Parliament Watch Yogyakarta.

KETERANGAN AHLI UJI MATERI UU KOPERASI

KONSEKUENSI MAKNA KETENTUAN UMUM PASAL 1 ANGKA 1 UU NO. 17 TAHUN 2012 TERHADAP PRINSIP DAN ASAS KOPERASI Oleh: Dr. Benediktus H...