Mengenai Saya

Foto saya
Yogyakarta, DIY, Indonesia
Dr. Benediktus Hestu Cipto Handoyo, S.H.,M.Hum atau sering dipanggil Ben atau Hestu, lahir di Blora Jawa Tengah pada tanggal 3 Juli 1962. Suami dari Maria Bernadeth Maitimo, SH dan bapak dari dua anak Giovanni Battista Maheswara, S.H.,M.H dan Alexandro Kevin Maheswara, S.H. ini, menyelesaikan pendidikan di SD. Katolik Kridadharma Blora tahun 1974. Kemudian melanjutkan di SMP Negeri I Blora lulus tahun 1978, serta SMA Jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) di SMA Katolik Wijayakusuma Blora, lulus tahun 1981. Jenjang Pendidikan Tinggi ditempuh di Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta, dan Lulus Sarjana Hukum pada tahun 1988. Melanjutkan studi pada Program Pascasarjana (S2) Universitas Padjadjaran Bandung lulus dan memperoleh gelar Magister Humaniora (M.Hum) pada tahun 1995. Pada tanggal 20 Desember 1997 sampai dengan 4 Maret 1998 mendapatkan kesempatan mengikuti kursus di LEMHANNAS (Lembaga Pertahanan dan Keamanan Nasional) Jakarta. Kemudian pada tahun 2018 Lulus pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Katolik Parahyangan Bandung

Minggu, 28 September 2008

KETIADAAN SINKRONISASI


KETIADAAN SINKRONISASI
NORMA DOMISILI DAN NON PARTAI POLITIK
BAKAL CALON ANGGOTA DPD DALAM
PERSPEKTIF KONSTITUSI


Oleh :
B. Hestu Cipto Handoyo*


Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD (UU Pemilu) ternyata masih menyisakan persoalan substansiil. Ini terbukti karena begitu muncul UU tersebut langsung dimintakan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi. Persoalan substansiil yang disengketakan tersebut menyangkut belum tegasnya norma domisili dan non Parpol dicantumkan dalam Pasal 12 dan Pasal 67 sebagai persyaratan dan tata cara pendaftaran bakal calon anggota DPD.
Pasal 22 C ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa anggota DPD dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum. Ketentuan normatif seperti ini jelas masih menimbulkan dua penafsiran. Pertama, setiap provinsi seperti yang dimaksud pasal ini dapat ditafsirkan sebagai sebuah struktur organisasi pemerintah daerah, dan kedua, setiap propinsi dapat juga ditafsirkan sebagai daerah pemilihan sebagaimana diatur dalam UU Pemilu. Munculnya dua penafsiran ini disebabkan, karena UUD 1945 hasil amandemen sudah tidak menyertakan lagi Penjelasan sebagaimana UUD 1945 sebelum amandemen.
Pada hakikatnya, sifat UUD 1945 setelah amandemen adalah konstitusi tertulis. Artinya norma-norma hukum yang menjadi substansi konstitusi telah secara tersurat (tidak tersirat) dicantumkan dalam ketentuan pasal-pasal konstitusi. Hal ini berbeda dengan UUD 1945 sebelum amandemen yang mengakui adanya convention of constitutions (kebiasaan ketatanegaraan) sebagaimana tertuang di dalam Penjelasan Umum. Dalam kondisi yang seperti inilah keberadaan Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi sangat penting dalam kerangka penafsiran konstitusi tertulis.
Norma yang tercantum dalam Pasal 22 C ayat (1) UUD 1945 tersebut pada hakikatnya tidaklah berdiri sendiri. Norma ini terkait dengan norma yang tercantum dalam Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 yang menegaskan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan Undang-Undang. Dengan demikian, jelas kiranya bahwa yang dimaksud dengan “anggota DPD dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum” seharusnya ditafsirkan oleh MK yakni provinsi sebagai struktur pemerintahan daerah sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan normatif Pasal 18 ayat (1) UUD 1945.
Oleh sebab itu norma domisili yang belum dicantumkan dalam persyaratan Pasal 12 dan Pasal 67 UU Pemilu jelas melanggar norma konstitusi dan MK harus berani memberikan putusan judicial review yakni persyaratan calon anggota DPD diubah karena melanggar norma konstitusi.
Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Ketentuan normatif ini dalam pelaksanaannya jelas menyisakan sebuah pertanyaan, yakni dalam bentuk apakah kedaulatan rakyat tersebut akan diimplementasikan.
Sejak pemilu tahun 2004 implementasi kedaulatan rakyat telah diterjemahkan dalam 3 (tiga) model Pemilu, yakni :
1. Implementasi Kedaulatan Rakyat di bidang Politik dilakukan melalui Pemilu anggota DPR yang berasal dari Partai Politik.
2. Implementasi Kedaulatan rakyat di bidang kepentingan yang berdimensi kedaerahan dilakukan melalui Pemilu anggota DPD yang berasal dari perseorangan dan mewakili masing-masing daerah (Provinsi).
3. Implementasi kedaulatan rakyat di bidang pemerintahan dilakukan melalui Pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden yang dicalonkan oleh Partai Politik atau gabungan Partai politik.
Jika diperhatikan lebih seksama, maka nampak jelas bahwa 2 (dua) model Pemilu, yakni Pemilu anggota DPR dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden telah mengakomodasi kepentingan politik rakyat yang diartikulasikan oleh Partai Politik dengan mengajukan calon-calonnya. Sementara 1 (satu) model pemilu, yakni Pemilu anggota DPD mengakomodasi kepentingan yang berdimensi kedaerahan dalam konteks kebijakan nasional. Oleh sebab itulah, dalam Pemilu anggota DPD norma domisili (bukan norma partai politik) menjadi penting untuk dimasukkan sebagai salah satu ketentuan persyaratan pencalonan anggota DPD dalam UU Pemilu
Pasal 22 E ayat (4) UUD 1945 menegaskan bahwa Peserta Pemilu untuk memilih anggota DPD adalah perseorangan. Kata ”perseorangan” sebagaimana dimaksud pada ketentuan ini secara terminologis harus dimaknai sebagai individu yang mandiri dan tidak terikat oleh kepentingan golongan maupun afiliasi politik tertentu. Hal ini berarti secara konstitusional, persyaratan pemilu anggota DPD seharusnya juga memuat norma perseorangan yang non partai politik.
Salah satu persyaratan bagi Peserta Pemilu untuk memilih anggota DPD yang sifatnya perseorangan adalah bersedia untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokat/pengacara, notaris, pejabat pembuat akta tanah (PPAT), dan tidak melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPD sesuai peraturan perundang-undangan.
Kalimat kunci dalam persyaratan tersebut adalah ”serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPD sesuai peraturan perundang-undangan”. Persoalannya yang terkandung dalam kalimat kunci tersebut adalah apa yang dimaksud dengan konflik kepentingan itu? Penjelasan ketentuan ini menyatakan ”Cukup Jelas”.
Pasal 1 angka 1 UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik menyatakan bahwa Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warganegara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Mencermati pengertian tersebut menunjukkan bahwa organisasi Parpol dibentuk memperjuangkan dan membela terlebih dahulu kepentingan politik anggota, disusul memperjuangkan kepentingan politik masyarakat, baru kemudian memperjuangkan kepentingan politik bangsa dan negara. rumusan seperti ini memberikan penguatan secara yuridis bahwa Partai Politik memang hanya mementingkan kelompok dan anggota-anggotanya.
Ditinjau dari aspek legal drafting, tidak dicantumkannya norma domisili dan non Partai Politik dalam persyaratan Peserta Pemilu serta tatacara pendaftaran bakal calon anggota DPD merupakan tindakan yang melanggar konstitusi dan asas-asas peraturan perundang-undangan yang baik. Dikatakan melanggar konstitusi karena tidak sinkron dengan Pasal 22C UUD 1945 yang menegaskan bahwa anggota DPD dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum, Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 22E UUD 1945 yang menyatakan bahwa Peserta Pemilu untuk memilih anggota DPD adalah perseorangan.
Sedangkan dikatakan melanggar asas-asas perundang-undangan yang baik, karena dengan tidak dicantumkannya secara tegas persyaratan tersebut menunjukkan bahwa asas kenusantaraan, bhinneka tunggal ika, keadilan dan kepastian hukum belum terpenuhi.

* Dekan Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Dosen Hukum Tata Negara dan Legal Drafting FH-UAJY, Direktur Eksekutif Parliament Watch Yogyakarta.

Rabu, 24 September 2008

MENCONTRENG SURAT SUARA


MENCONTRENG (v) SURAT SUARA :
Memperkuat wakil rakyat atau
Meneguhkan Hegemoni Parpol

Oleh :
B. Hestu Cipto Handoyo*)

Pasal 5 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu menegaskan bahwa Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka. Dengan sistem seperti ini, logikanya Caleg di masing-masing Parpol Peserta Pemilu tidak perlu berebutan untuk mencari nomor urut paling kecil, karena dengan mempergunakan sistem proporsional terbuka, posisi strategis caleg tidak lagi ditentukan oleh nomor urut, melainkan ditentukan oleh popularitas dari caleg itu sendiri. Artinya dapat/tidaknya caleg Parpol terpilih menjadi anggota parlemen baik di pusat maupun di daerah sangat ditentukan oleh perolehan suara dari yang bersangkutan.
Namun demikian, logika seperti ini menjadi dilematis karena menurut Pasal 153 ayat (1) UU Pemilu menyebutkan bahwa pemberian suara untuk pemilu anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/kota dilakukan dengan memberikan tanda satu kali pada surat suara. Pemberian tanda satu kali pada surat suara bisa dilakukan oleh pemilih dengan mencontreng (V) tanda gambar Parpol Peserta Pemilu atau mencontreng nama caleg yang diajukan oleh masing-masing Parpol.
Logika yuridisnya adalah jika pemilih memberikan tanda pada lambang Parpol sekaligus juga memberikan tanda pada nama caleg di masing-masing Parpol tentu hal ini dianggap tidak sah, karena pemilih telah memberikan tanda 2 (dua) kali pada surat suara. Persoalannya adalah cara yang bagaimanakah yang akan dipilih oleh KPU? Mengingat penentuan tata cara tersebut sangat tergantung dari bagaimanakah KPU membuat peraturan pelaksanaan (Pasal 153 ayat 3 UU Pemilu). Terlepas dari peraturan pelaksana yang akan dikeluarkan oleh KPU, Pasal 153 ayat (1) sebenarnya mengandung konsekuensi tersendiri bagi Parpol Peserta Pemilu dan karakter Parlemen atau wakil rakyat yang dihasilkan.
Pertama; jika pemberian tanda sebagaimana dimaksud pasal tersebut adalah dengan membubuhkan tanda pada gambar Parpol, maka Parpol masih tetap menduduki posisi yang sangat kuat dan hegemonis dalam menentukan wakil-wakil rakyat yang duduk di parlemen. Hal ini tentu tidak ubahnya seperti sistem proporsional tertutup.
Konsekuensinya, nomor urut menjadi ajang perebutan dalam pencalegan dan ini membuka kemungkinan terjadinya politik uang (money politic) di masing-masing Parpol. serta konflik internal Parpol. Semakin kecil nomor urut pencalegan semakin tinggi pula “harga jual” yang ditawarkan oleh Parpol kepada kader-kader yang akan di-caleg-kan. Semakin kecil nomor urut pencalegan semakin besar “hembusan nafas” KKN yang terjadi di tubuh Parpol. Kita bisa melihat bagaimana perilaku sementara Parpol yang mencantumkan nama tokoh politik “karbitan” dan mempunyai kedekatan keluarga dengan elit Parpol ke dalam daftar nomor urut kecil.
Kedua; dengan mencontreng (V) tanda gambar Parpol peserta pemilu, maka karakter dari anggota parlemen sulit untuk dikategorikan sebagai wakil rakyat, karena mereka lebih condong sebagai wakil Parpol. Sepak terjang anggota parlemen dalam melaksanakan fungsinya sangat dipengaruhi dan dikendalikan oleh induk Parpol. Pendek kata, “jasa” Parpol dalam menghantarkan caleg-calegnya untuk menjadi anggota Parlemen definitif sangat besar dan oleh sebab itu anggota parlemen berkewajiban untuk ”membalas jasa” tersebut. Gaji merekapun harus dipotong sekian persen untuk Parpol. Padahal yang namanya anggota parlemen semestinya bukan wakil Parpol melainkan wakil rakyat,. Apalagi hal ini dipertegas oleh UUD 1945 dan UU No. 10 tahun 2008 Tentang Pemilu yang tidak mengenal tokoh independen peserta pemilu.
Ketiga; jika pemberian suara yang dilakukan pemilih dengan cara mencontreng nama caleg di masing-masing Parpol peserta pemilu dan caleg yang terpilih adalah 30% dari Bilangan Pembagi Pemilih (Pasal 214 huruf a), maka posisi caleg bisa dikatakan lebih kuat daripada Parpolnya. Hal ini mengingat perolehan suara dari masing-masing Parpol setelah ditentukan oleh BPP, tidak terlepas dari kekuatan figur dari caleg yang diajukan oleh Parpol yang bersangutan.
Popularitas caleg menjadi penentu bagi kemenangan Parpol dalam pemilu 2009. Dengan demikian, sadar atau tidak pembentukan UU No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu sebenarnya mengandung spirit ideal, yakni mengeleminir hegemoni Parpol dalam sistem keparlemenen di Indonesia, yang pada akhirnya meletakkan posisi anggota Parlemen benar-benar merupakan wakil rakyat, bukan wakil Parpol.
Keempat; jika posisi ideal anggota parlemen memang dikehendaki seperti itu, lambat laun Parpol hanya bersifat sebagai patronage party (partai politik lindungan), artinya Parpol hanya dipergunakan sebagai “batu loncatan” dari tokoh-tokoh di masyarakat untuk meniti karier politik di parlemen. Akibat lanjutannya adalah peran Parpol dalam setiap pengambilan keputusan politik di Parlemen misalnya membentuk Undang-Undang menjadi tidak signifikan lagi. Fraksi-fraksi yang merupakan kepanjangan Parpol di Parlemen benar-benar “tidak mampu unjuk gigi” dalam mengatur dan mengendalikan sepak terjang anggota Parlemen. Lebih lanjut, sistem seperti ini secara ideal merupakan jembatan untuk menuju sistem pemilu distrik.
Namun demikian, kondisi ideal tersebut ternyata masih belum dapat dilaksanakan secara konsisten. Bahkan melalui UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu, karakter anggota parlemen sifatnya “gado-gado”. Hal ini nampak jelas dari ketentuan Pasal 214 yang menetapkan bahwa calon terpilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota sebagai berikut: pertama; calon terpilih anggota Parlemen ditetapkan berdasarkan calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) dari BPP. Kedua; Jika calon yang memperoleh suara 30% dari BPP jumlahnya lebih banyak daripada jumlah kursi yang diperoleh Parpol, kursi diberikan kepada calon yang memiliki nomor urut lebih kecil diantara calon yang memenuhi sekurang-kurangnya 30% dari BPP
Ketiga; Jika terdapat dua calon atau lebih yang memperoleh suara sama, yakni 30% dari BPP, penentuan calon terpilih diberikan kepada calon yang memiliki nomor urut lebih kecil, kecuali bagi calon yang memperoleh suara 100% dari BPP. Keempat; Jika calon yang memperoleh suarau 30% dari BPP jumlahnya kurang dari jumlah kursi yang diperoleh Parpol, kursi yang belum terbagi diberikan kepada calon berdasarkan nomor urut, dan kelima; Jika tidak ada calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30% dari BPP, maka calon terpilih ditetapkan berdasarkan nomor urut.
Penetapan seperti itu, menunjukkan sekali lagi bahwa pembentuk UU No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu yakni DPR-RI yang terdiri dari wakil-wakil Parpol, masih tidak rela jika posisinya dalam mempengaruhi dan mengendalikan sepak terjang anggota Parlemen hasil Pemilu 2009 mengalami degradasi. Parpol belum rela melepaskan hegemoninya dalam sistem keparlemenan di Indonesia. Parpol masih tetap ingin dianggap “berjasa” dalam menghantar anggota-anggotanya duduk menjadi anggota parlemen melalui penentuan nomor urut pen-caleg-an dan jasa itu wajib dibalas setimpal oleh anggota-anggotanya setelah “duduk manis” menjadi anggota parlemen. Akhirnya setelah Pemilu 2009 usai, rakyat kembali “kehilangan” wakil-wakilnya di parlemen.
*) Dosen Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta, dan Direktur Eksekutif Parliament Watch Yogyakarta.

RUU Keistimewaan Yogya


RUU KEISTIMEWAAN YOGYAKARTA DAN
PERTARUHAN LEGITIMASI SOSIO HISTORIS

Oleh :
B. Hestu Cipto Handoyo*)

Presiden SBY menegaskan bahwa masyarakat suatu daerah tidak bisa memaksakan kehendak untuk menentukan sendiri kepala daerahnya melalui cara penunjukan. Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 telah menegaskan bahwa gubernur, bupati, dan walikota masing-masing sebagai kepala daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Dengan demikian, masyarakat suatu daerah tidak dapat memaksakan kehendaknya untuk memilih kepala daerah dengan cara penunjukan karena bertentangan dengan konstitusi. (Seputar Indonesia, Selasa 23 September 2008). Penegasan ini nampaknya ditujukan untuk menjawab persoalan pengisian jabatan Kepala Daerah di DIY yang sampai sekarang masih belum memiliki ”payung Hukum”.
Penegasan tersebut nampaknya hanya melihat sisi demokrasi dalam penentuan kepala daerah dari aspek prosedural. Belum melihat dari aspek substansial. Oleh sebab itu, jika Presiden SBY berkenan untuk mengkaji lebih jauh permasalahan yang terkandung dalam konteks DIY, maka penegasan tersebut tentunya juga harus melihat dari sisi yang lebih jauh lagi yakni menyangkut persoalan LEGITIMASI.
Kalimat dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan “dipilih secara demokratis” tidak lain mengandung makna bahwa legitimasi kepala daerah hanya bersumber pada prosedur pemilihan, entah itu langsung atau tidak langsung. Sehingga jikalau Kepala Daerah itu ditentukan melalui cara penunjukan maka logikanya dianggap tidak legitimate bahkan menurut Presiden tidak konstitusional.
Seyogyanya seluruh komponen bangsa tidak boleh melupakan bahwa sumber legitimasi untuk memerintah termasuk dalam penentuan kepala daerah, tidak hanya sebatas pada prosedur yang demokratis belaka. Kenyataan sosio historis dari suatu bangsa ataupun masyarakat juga menjadi sumber dari legitimasi. Oleh sebab itu, jika alasannya hanya karena tuntutan demokrasi, kemudian menegaskan bahwa kepala daerah tetap dipilih rakyat dan penegasan ini ditujukan untuk kasus DIY, maka tanda-tanda melupakan kenyataan sosio historis suatu bangsa mulai merebak dikalangan elit politik bangsa Indonesia. Apakah akan separah ini perjalanan bangsa kita dalam menata kehidupan ketatanegaraan? Tentunya tidak.
Memang sampai saat ini, sumber legitimasi keberadaan DIY dalam sistem pemerintahan daerah di Indonesia hanya terletak pada kenyataan sosio historis belaka. Sejak Piagam Kedudukan yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 19 September 1945, Sultan HB IX dan Paku Alam VIII menjadi Kepala Daerah dan Wk. Kepala Daerah Di DIY. Bahkan politik perundang-undangan Indonesia yang mengatur tentang Pemerintahan daerah, selalu mengulang terminologi sosio historis tersebut. Ini artinya sejarah perundang-undangan tentang Pemerintahan daerah, meletakkan keistimewaan DIY ada pada Kepala daerah dan Wakil Kepala daerah.
Legitimasi Keistimewaan Yogyakarta yang bersumber dari kenyataan sosio historis seperti itu digugat ketika demokrasi mulai dipergunakan sebagai paradigma dalam menata sistem ketatanegaraan dan pemerintahan di Indonesia. Gugatan itu semakin menguat tatkala sistem rekrutmen kepala daerah harus mempergunakan mekanisme demokrasi prosedural yang menghendaki dilakukan dengan pemilihan langsung oleh rakyat.
Legitimasi sosio historis semakin dipertaruhkan ketika Ngarsa Dalem HB X sendiri menyampaikan orasi budaya pada tanggal 7 April 2007 yang menegaskan bahwa beliua tidak bersedia lagi untuk menjabat sebagai gubernur/kepala daerah pada purna masa jabatan tahun 2003-2008. Penegasan kembali di ungkapkan beliau bahwa tidak bersedia menjadi gubernur/kepala daerah seumur hidup. Dan yang terakhir beliau tidak setuju jabatannya diperpanjang 5 tahun. (Media Indonesia, Selasa 23 September 2008).
Ketidak sediaan Ngarsa Dalem HB X tersebut sejatinya harus dimaknai ketidak sediaan beliau jika ”payung hukum”nya tidak jelas, lugas, dan pasti. Dengan demikian, apa yang disampaikan oleh Ngarsa Dalem HB X pada hakikatnya mengandung tiga makna yang mendalam, yakni pertama; ingin meminta ketegasan kepada Pemerintah Pusat, yakni mau dikemanakan DIY ini dalam ranah sistem ketatanegaraan Indonesia. Kedua; Ngarsa Dalem ingin menanyakan pada pemerintah pusat (Presiden) masih ingatkah perjuangan bangsa Indonesia di awal-awal kemerdekaan dan bagaimanakah peran kasultanan dan Puro Pakualaman dalam mempertahankan integritas negara bangsa Indonesia ini. Ketiga; apakah pemerintah pusat masih konsisten menerapkan ketentuan Pasal 18B ayat (1) UUD 1945. Karena jika ditinjau dari aspek penafsiran historis keberadaan pasal 18B ayat (1) UUD 1945, maka sejatinya daerah yang bersifat istimewa memang diakui dan tetap ingin dipertahankan oleh para foundings fathers.
Terlepas dari ketiga hal tersebut, dengan menyatakan bahwa Gubernur DIY dipilih langsung oleh rakyat atas nama demokrasi, maka jelas sudah bahwa kenyataan sosio historis sudah tidak dijadikan lagi sebagai sumber legitimasi pemerintahan yang mendampingi prinsip demokrasi prosedural. Jika demikian adanya, maka pertanyaan yang paling mendasar dan perlu kita renungkan bersama adalah, apakah dengan demokrasi prosedural yang digagas oleh para elit politik di Jakarta sana, sudah mampu menyelesaikan persoalan-persoalan nyata Republik Ini. Bagaimanakah dengan konsep ke-bhinneka-an yang menjadi dasar bagi integrasi Indonesia itu diwadahi.
Salah satu latar belakang perlunya pemerintahan lokal tidak lain adalah untuk mewadahi keaneka-ragaman. Masyarakat dan bangsa Indonesia sejak semula memang sudah multi-kultur. Penyeragaman terhadap kehidupan dan struktur masyarakat yang sejak semula berbeda jelas akan memunculkan rasa ketidakadilan. Dalam konteks Yogyakarta, keistimewaannya terletak pada Kesejarahan eksistensi dan perkembangan organisasi pemerintahan, Organisasi pemerintahan dan wewenang yang dimiliki, Kemampuan Organisasi pemerintahan dalam menyesuaikan diri terhadap perkembangan sistem politik ketatanegaraan, Kontribusi organisasi pemerintahan terhadap kesejahteraan masyarakat, keberadaan bangsa dan negara; dan Kemampuan dalam menampung tuntutan demokratisasi dan pluralisme.
Keistimewaan-keistimewaan tersebut di atas, jelas melekat dalam sejarah perjalanan Ngayogjokarto Hadiningrat yang inheren dengan sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Oleh sebab itu, kebijaksanaan dalam menentukan isi keistimewaan dalam RUUK tentu tidak hanya secara parsial hanya melihat dipilih atau tidaknya sang gubernur tersebut. Melainkan pilihan harus diletakkan dalam kontek mempertanyakan ”mengapa bangsa ini memilih untuk keistimewaan Yogyakarta seperti itu?” dan apakah pilihan keistimewaan seperti itu (entah bagaimanapun rumusannya) sudah setimpal dengan peran Yogyakarta dan masyarakatnya dalam sejarah bangsa Indonesia?
Oleh sebab itulah, sambil kita menanti dengan harap-harap cemas terbitnya UU Keistimewaan DIY, kita perlu menanyakan pada diri kita masing-masing dan menjawabnya secara jujur. Masih Perlukah Keistimewaan Yogyakarta dipertahankan? Kalau masih perlu bagaimana formulasinya? Kalau tidak perlu apa gunanya Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 Amandemen yang menegaskan Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa yang diatur dengan undang-undang. Dan yang terpenting apa makna kenyataan sosio historis itu bagi pembangunan bangsa dan pembentukan sistem ketatanegaraan? Apakah hanya dimanfaatkan untuk pelajaran sejarah bagi anak-anak sekolah semata, ataukah untuk membangun jati diri bangsa?

*) Dekan FH-UAJY dan Direktur Eksekutif Parliament Watch Yogyakarta.

Minggu, 21 September 2008

PERANJ DPD


PERAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM
PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH

Oleh
B. Hestu CH**)


A. Otonomi Daerah Dalam Kerangka NKRI.
Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa selama penyelenggaraan pemerintahan mengarah ke sentralistik, maka mulai saat itulah tanda-tanda disintegrasi, ketidak adilan antar daerah atau antara daerah dan pusat (Jakarta) dan pembusukan pemerataan pembangunan mulai menggejala. Oleh sebab itu prinsip desentralisasi, baik dalam aspek kelembagaan (institusional), maupun aspek substansiil yang menyangkut penyerahan wewenang ataupun urusan pemerintahan harus mulai dikembangkan dan selalu diupayakan untuk diisi dengan model-model yang selaras dengan konsep Negara Kesatuan.
Desentralisasi pemerintahan di negara kesatuan – yang dalam dataran praktis menimbulkan otonomi daerah - secara konseptual dilatar belakangi oleh beberapa alasan yang bersifat prinsipiil, yaitu :[1]
1. Prinsip negara hukum. Di dalam prinsip negara hukum di samping dikenal adanya pemisahan kekuasaan, juga dikenal adanya pemencaran kekuasaan, yaitu pendelegasian atau pendistribusian kekuasaan secara vertikal. Dengan demikian desentralisasi yang menimbulkan otonomi daerah pada hakikatnya merupakan sarana yang tepat untuk melaksanakan pemencaran kekuasaan tersebut.
2. Prinsip demokrasi. Dalam negara demokrasi kebutuhan akan partisipasi masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan, berbangsa dan bernegara merupakan suatu keniscayaan. Bahkan kalau boleh mengatakan partisipasi merupakan prinsip utama dalam sendi-sendi demokrasi. Berdasarkan prinsip semacam inilah, maka desentralisasi yang menimbulkan otonomi daerah merupakan sarana yang tepat untuk mengimplementasikan prinsip demokrasi pemerintahan di tingkat lokal. Dengan bersumber pada prinsip demokrasi inilah, maka rakyat di daerah memiliki kesempatan yang seluas-luasnya untuk menentukan sendiri arah dan kebijaksanaan dalam memajukan dan mengembangkan daerahnya sesuai dengan potensi yang ada.
3. Prinsip welfare state. Dalam negara kesejahteraan, fungsi negara adalah sebagai pelayan masyarakat (public services) dalam rangka meningkatkan kesejahteraan umum warganya. Oleh sebab itulah, untuk mendekatkan pelayanan tersebut dibutuhkan satuan-satuan pemerintahan di tingkat lokal. Dengan demikian desentralisasi dan otonomi daerah merupakan prinsip yang paling efektif dipergunakan untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat tersebut. Sekaligus mensinkronisasi pelayanan tersebut sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan masing-masing Daerah.
4. Prinsip ke-bhineka-an. Dalam negara yang komposisi kehidupan kemasyarakatannya demikian beragam, tidaklah mungkin melakukan penyeragaman di berbagai aspek kehidupan tersebut. Setiap bentuk penyeragaman di lingkungan masyarakat yang plural justru akan menimbulkan rasa ketidak adilan. Dengan demikian desentralisasi dan otonomi daerah dapat dipergunakan sebagai sarana untuk menampung keaneka ragaman masyarakat Indonesia.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka sejatinya ada tiga tujuan diselenggarakannya otonomi daerah, yaitu; pertama, dari perspektif administratif untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan. Kedua; dari perspektif politis untuk meningkatkan akuntabilitas dan demokratisasi pemerintahan. Ketiga; dari perspektif ekonomi untuk lebih mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah pelaksanaan otonomi daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip:[2]
1. Otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan wewenang mengatur dan mengurus semua urusan pemerintahan diluar yang menjadi urusan Pemerintah.
2. Otonomi yang nyata, artinya untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban yang seyatanya telah ada dan berpotensi tumbuh, hidup, dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah.
3. Otonomi yang bertanggung jawab, artinya dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat sebagai bagian utama dari tujuan nasional.
4. Penyelenggaraan Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek-aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman daerah
Berdasarkan pada keempat prinsip pelaksanaan otonomi daerah tersebut, maka pada hakikatnya otonomi daerah yang bersumber dari asas desentralisasi pemerintahan bukan merupakan bentuk “kedaulatan” jenis baru yang dimiliki oleh masing-masing daerah, melainkan merupakan bentuk kemandirian daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan sebagai urusan rumah tangga sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan RI. Hal ini berarti kebaradaan otonomi daerah bukan dimaksudkan untuk membentuk negara dalam negara, melainkan dipergunakan untuk mengimplementasikan prinsip pemencaran kekuasaan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan serta mengimplementasikan prinsip welfare state dalam rangka mendekatkan pelayanan kepada masyarakat.

B. Eksistensi DPD-RI dalam Sistem Keparlemenan Indonesia.
Keberadaan DPD-RI dalam sistem keparlemenan Indonesia secara konseptual merupakan langkah penyempurnaan sistem keparlemenan indonesia dalam rangka memberikan wadah bagi aspirasi kepentingan daerah (lokal) dalam konteks kebijakan nasional. Secara politis, kebaradaan DPD-RI berawal dari tuntutan demokratisasi terhadap sistem keparlemanan yang dulu sebelum UUD 1945 di amandemen tidak dipilih memalui pemilu.
Menurut Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 ditegaskan bahwa MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur terlebih dahulu dengan undang-undang. Ketentuan seperti ini mengindikasikan bahwa sistem keparlemenan Indonesia pasca amandemen UUD 1945 adalah mempergunakan bicameral system. Namun demikian, jika ditelaah lebih lanjut ketentuan UUD, maka ternyata sistem bicameral ini ternyata tidak mendudukkan posisi DPR dan DPD yang seimbang. Bahkan nampak jelas jikalau posisi DPD dalam hal kewenangan yang dimiliki sangat sangat minim bila dibandingkan dengan kewenangan DPR. Hal ini menandakan bahwa sistem bicameral yang dikembangkan di Indonesia tidak sama dengn sistem bicameral yang dikembangkan di negara lain seperti AS.
Bahkan jikalau kita mengkaji lebih lanjut Susunan dan kedudukan MPR, DPR dan DPD, maka nampak jelas jikalau sistem keparlemenan Indonesia bukan bicameral (dua kamar), melainkan tree cameral (3 kamar). Hal ini mengingat menurut susunan dan kedudukan dari ketiga lembaga tersebut menunjukkan adanya struktur dan kewenangan yang berbeda-beda. Baik MPR, DPR maupun DPD memiliki pimpinan dan wewenang yang berbeda. Jadi MPR sebenarnya bukan merupakan joint session seperti congres di AS yang terdiri dari House of Representative dan Senat.
Terlepas dari kerancuan tersebut, keberadaan DPD-RI dalam system keparlemenan di Indonesia merupakan langkah maju guna penyempurnaan implementasi paham kedaulatan rakyat dan demokrasi. Dengan adanya DPD inilah kedaulatan rakyat di bidang kepentingan lokal direpresentasikan dalam rangka pengambilan kebijakan politik nasional. Artinya kepentingan lokal yang dibawa oleh DPD menjadi referensi untuk pengambilan keputusan di tingkat nasional. Di samping itu dengan adanya DPD maka sarana untuk mempertahankan integrasi NKRI menjadi lebih nyata dan terangkum dalam system keparlemenan Indonesia. Artinya dengan DPD-lah proses penyatuan NKRI menjadi semakin kuat, dan integrasi nasional menjadi semakin nyata dalam system ketatanegaraan Indonesia.

C. Peran DPD-RI dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah.
Dengan diberlakunyanya prinsip desentralisasi dan otonomi luas, maka keberadaan Pemerintah Daerah tidak lagi hanya sebatas sebagai alat perpanjangan tangan dari Pemerintah Pusat, melainkan menjadi struktur pemerintahan yang memiliki kemandirian dalam mengatur dan mengurus urusan-ursan pemerintahan sebagai urusan rumah tangga sendiri.
Dalam kondisi yang demikian ini, maka otonomi daerah menjadi pilar utama dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Namun otonomi ini harus tetap dalam koridor NKRI, sehingga dalam implementasinya harus tetap ada penguhubung yang sinergis antara Pemerintah Daerah (Otonom) dengan Pemerintah Pusat. Oleh sebab itu, dalam konteks kelembagaan, maka peran DPD menjadi sangat strategis dalam rangka menghubungkan daerah otonom dengan pemerintah pusat, khususnya mewujudkan cita-cita nasional, yakni mensejahterakan kehidupan bangsa.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka UUD 1945 telah menegaskan tentang peran DPD dalam pelaksanaan otonomi daerah sebagai berikut:[3]
1. mengajukan RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pemngelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta ruu yang berkaitan dengan perimbanngan keuangan pusat dan daerah;
2. ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU APBN dan RUU yang berkaitan dengan paqjak, pendidikan, dan agama;
3. melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan SDA dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan pengawasannbya itu kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindak lanjuti.
Memperhatikan peran konstitusional dari DPD tersebut di atas, maka secara konseptual dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam pelaksanaan otonomi daerah, pada hakikatnya berfungsi sebagai lembaga yang bertugas mensinergikan kepentingan-kepentingan lokal dalam ranah kebijakan nasional. Fungsi strategis konstitusional ini memang dirasa belum terlalu optimal, karena rumusan ketentuan UUD 1945 yang berkaitan dengan DPD tersebut terkesan komplementer (pelengkap) dari wewenang yang dimiliki oleh DPR. Oleh sebab itu untuk lebih memperkuat peran dan kedudukan DPD dalam rangka yang pada akhirnya berdampak pada terciptanya sinergi daerah otonom, maka melakukan amandemen terhadap UUD yang secara khusus memberikan penguatan peran dan wewenang DPD merupakan sebuah keniscayaan.

D. Penutup.
Berdasarkan pada paparan tersebut di atas, maka untuk lebih memperkuat peran DPD dalam pelaksanaan otonomi daerah dapat ditarik kesimpulan:
1. Otonomi daerah yang dilaksanakan secara luas harus diselaraskan dengan kepentingan nasional. Artinya sinergi antar daerah otonom dalam rangka mewujudkan cita-cita nasional harus terbentuk, sehingga kesenjangan antar daerah otonom dapat dieleminir. Dalam konsepsi seperti inilah, DPD harus mulai ditempatkan sebagai lembaga yang berfungsi sebagai sarana untuk mensinergikan kepentingan antar daerah maupun sinergi kepentingan antara daerah dan pusat.
2. Wewenang DPD tidak cukup hanya sekedar ”dapat mengajukan kepada DPR RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah”, melainkan harus diperkuat dengan rumusan ”DPD memiliki wewenang untuk mengajukan RUU dan sekaligus ikut memutuskan RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah”.
3. Posisi DPD yang sekarang ini bertindak laksana ”majelis rendah” harus mulai diredifinisi sebagai ”majelis tinggi” khususnya jika berkaitan dengan kebijakan nasional yang berdimensi kepentingan daerah.
4. harus dirumuskan mengenai hubungan fungsional antara pemerintah daerah (khususnya provinsi) dengan DPD termasuk hubungan fungsional dengan DPRD Provoinsi/kabupaten/kota. Menurut hemat penulis DPD tidak hanya sekedar sebagai forum konsultatif pemerintah daerah dalam konteks kebijakan nasional, melainkan harus diberi tempat sebagai lembaga pengambil keputusan bersama-sama dengan pemerintah daerah dan DPRD, jika keputusan tersebut terkait dengan hubungan antara pusat dan daerah.
5. Fungsi pengawasan yang dilakukan oleh DPD sebagaimana dimaksud dalam pasal 22D ayat (3) UUD 1945 tidak hanya sekedar menyampaikan hasilnya kepada DPR, malainkan harus diperkuat dengan langkah tindak lanjut yang dapat dilakukan oleh DPD sendiri dalam pengambilan keputusan di tingkat nasional.
Lemahnya kedudukan dan wewenang DPD menurut konstitusi memang dilatar belakngi oleh konstelasi politik kontemporer Indonesia. Keberadaan DPD yang pada awal mulanya hanya untuk menampung utusan daerah (Komposisi MPR sebelum amandemen UUD 1945) untuk masa yang akan datang harus diubah dan disejajarkan dengan keberadaan DPR yang sampai saat ini hanya merepresentasikan kepentingan politik dari parpol peserta pemilu.
Hal tersebut mengingat wacana bahwa DPR hanya merepresentasikan kepentingan politik parpol semakin menunjukkan penguatan yuridis sejak diberlakukannya UU No 2 Tahun 2008 tentang Parpol. Menurut Pasal 1 angka 1 UU Parpol disebutkan bahwa Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia.
Mencermati pengertian tersebut menunjukkan bahwa organisasi Parpol dibentuk untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota terlebih dahulu, baru kemudian memperjuangkan kepentingan politik masyarakat serta baru disusul memperjuangkan kepentingan politik bangsa dan negara. Hal ini menandakan bahwa rumusan UU dalam mengartikan parpol ternyata lebih mendahulukan kepentingan anggota. Sungguh rumusan yang sangat eksklusif dan tidak berpihak kepada kepentingan bangsa dan negara. Ini sangat memprihatinkan. Pertanyaannya mau dikemanakan negeri ini jikalau rumusan pengertian parpol sudah seperti itu? Jika rumusannya seperti itu, tidak mengherankan jikalau parpol hanya mementingkan kelompok atau anggotanya sendiri daripada kepentingan bangsa dan negara. Pada akhirnya ketika DPR hanya merepresentasikan kepantingan Parpol, maka lambat laun kepentingan masyarakat dan daerah-daerah otonom akan dikesampingkan. Oleh sebab itu penguatan terhadap peran DPD menjadi sangat penting untuk menetralisir kepentingan politik (parpol) dengan kepentingan lokal dalam rangka merumuskan kebijakan-kebijakan nasional lewat proses legislasi. Demikianlah beberapa gambaran tentang peran DPD dalam Pelaksanaan Otonopmi daerah. Semoga bermanfaat.
**) Dosen FH-UAJY dan Direktur Eksekutif Parliament Watch Yogyakarta..
[1] Bagir Manan, dalam B. Hestu Cipto Handoyo, Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan & Hak Asasi Manusia, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2003, hlm. 139-140.
[2] Penjalasan Umum UU No. 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
[3] Pasal 22D ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945.

Kamis, 18 September 2008

PERDA BAL-BALAN


KEDUDUKAN PERDA TENTANG PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN
OLAHRAGA (SEPAKBOLA) DALAM BAGIAN OTONOMI DAERAH
(Perspektif Hukum Tata Negara)*)

Oleh:
B. Hestu Cipto Handoyo**)

A. Pendahuluan.
Dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat. Demikian kata pepatah yang sering didengar dalam setiap kesempatan atau event Olahraga. Pepatah ini memang benar adanya. Paling tidak dengan berolah raga, di samping badan menjadi sehat, juga menjadi ajang latihan untuk bersikap sportif. Dalam paradigma kehidupan demokrasi, sportifitas merupakan persyaratan yang sangat mendukung untuk mengimplementasikan prinsip-prinsip demokrasi.
Henry B. Mayo mengemukakan bahwa demokrasi di samping sebagai suatu sistem pemerintahan, juga dapat dikatakan sebagai suatu “gaya hidup” serta tata masyarakat tertentu. Oleh sebab itu di dalam demokrasi mengandung unsur-unsur moril yang bernilai :
1. Menyelesaikan perselisihan secara damai dan secara melembaga;
2. Menjamn terselenggaranya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat yang sedang berubah;
3. Menyelesaikan pergantian kepemimpinan secara teratur;
4. Membatasi pemakaian kekerasan sampai minimum;
5. Mengakui serta menganggap wajar adanya keanekaragaman; dan
6. Menjamin tegaknya keadilan.[1]
Jika diperhatikan nilai-nilai tersebut, nampak jelas bahwa untuk menjadikan ”gaya hidup” demokrasi dalam berbagai aspek, termasuk dalam sistem ketatanegaraan, sikap sportifitas menjadi persyaratan bagi setiap individu untuk mengimplementasikan nilai-nilai demokrasi tersebut. Nah disinilah sumbangan dunia olah raga (termasuk sepakbola) untuk meningkatkan sportifitas dalam kehidupan demokrasi.
Bertitik tolak dari gambaran tersebut, tidak mengherankan jikalau pada umumnya negara-negara yang kehidupan masyakakat dan ketatanegaraannya sudah menerapkan nilai-nilai demokrasi memiliki prestasi yang cukup tinggi di bidang Olah Raga tingkat dunia. Kalupun ada negara-negara yang masih berlanggam non demokratik (otoritarian, totalitarian) juga memiliki prestasi tingkat dunia di bidang olahraga itu disebabkan oleh pola pembinaan dan pengembangan Olah Raga yang sifatnya sentralistik dan ditangani oleh rezim kekuasaan.

B. Eksistensi Pembinaan dan Pengembangan Olah Raga Dalam Konteks Otonomi Daerah.
Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.[2] Mencermati pengertian seperti ini, maka otonomi daerah bukan merupakan kedaulatan, melainkan kemandirian untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan. Dalam dataran normatif yuridis, ada/tidaknya otonomi daerah sangat tergantung dari ada/tidaknya penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah (pusat) kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan. Prinsip penyerahan wewenang pemerintahan inilah yang disebut sebagai asas desentralisasi.[3]
Terkait dengan pemahaman tersebut Pasal 12 ayat (1) UU No. 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah telah ditegaskan ditegaskan bahwa urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah disertai dengan sumber pendanaan, pengalihan sarana dan prasarana, serta pengawasan sesuai dengan urusan yang didesentralisasikan. Ketentuan ini jelas-jelas menegaskan bahwa setiap urusan pemerintahan yang diserahkan dalam rangka otonomi daerah harus disertai dengan sumber pendanaan, pengalihan sarana dan prasarana serta mekanisme pengawasannya. Pemahaman ini mirip dengan argumentasi Anthony Giddens yang mengatakan :
“Pemerintah kadang-kadang perlu masuk sampai jauh ke dalam arena masyarakat, kandang-kadang mundur dari arena itu, tergantung konteksnya. Ketika pemerintah menarik diri dari keterlibatan langsung, sumber-sumber dayanya mungkin masih perlu untuk mendukung aktivitas-aktivitas yang diambil alih atau diperkenalkan oleh kelompok-kelompok lokal – terutama di wilayah-wilayah miskin. Namun khususnya dalam komunitas miskinlah upaya untuk mendorong prakarsa dan keterlibatan lokal dapat membuahkan hasil terbaik”.[4]

Di dalam UU No. 32 tahun 2004 urusan pemerintahan yang terkait dengan bidang keolahragaan baik di daerah Provinsi maupun Daerah Kabupaten/Kota tidak secara eksplisit (tersurat) di dalam ketentuan Pasal-pasalnya. Dengan keadaan yang demikian ini, apakah berarti bidang keolahragaan secara yuridis tidak menjadi hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan tersebut? Untuk menjawab pertanyaan ini, tentunya harus dikaji terlebih dahulu eksistensi UU No. 32 Tahun 2004 dalam sistem perundang-undangan Indonesia.
Pada hakikatnya, materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi hal-hal yang :
a. Mengatur lebih lanjut ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang meliputi :
1. hak-hak asasi manusia;
2. hak dan kewajiban warga negara;
3. pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian kekuasaan negara;
4. wilayah negara dan pembagian daerah;
5. kewarganegaraan dan kependudukan;
6. keuangan negara.
b. diperintahkan oleh suatu undang-undang untuk diatur dengan undang-undang.[5]
Memperhatikan materi muatan tersebut, maka eksistensi UU No. 32 Tahun 2004 pada hakikatnya hanya mengatur secara umum tentang pembagian daerah berikut kewenangan-kewenangan yang diberikan kepada daerah. Hal ini berarti untuk mengefekifkan pelaksanaan UU tersebut masih membutuhkan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya. Sehubungan dengan hal ini Pasal 14 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004 menegaskan bahwa pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 dan pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.[6]
Dengan demikian, untuk mengetahui apakah urusan pemerintahan bidang keolahragaan itu masuk dalam kewenangan otonomi atau tidak pengkajian harus diarahkan pada Peraturan Pemerintah yang memuat tentang pembagian urusan pemerintahan sebagai produk hukum untuk melaksanakan ketentuan yang ada di dalam UU No. 32 Tahun 2004.
Menurut Pasal 7 ayat (2) PP No. 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, salah satu urusan wajib bagi Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota adalah bidang kepemudaan dan olahraga. Hal ini berarti secara yuridis formal urusan pemerintahan bidang olahraga jelas merupakan salah satu dari sekian banyak kewenangan otonomi daerah.[7]





C. Perda tentang Pembinaan dan Pengembangan Olahraga dalam Bingkai Urusan Pemerintahan Daerah.
Menurut Pasal 12 UU No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, materi muatan Peraturan Daerah (Perda) adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus serta penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Berdasarkan pada konstruksi yuridis seperti ini, keberadaan Perda tentang Pembinaan dan Pengembangan Olahraga disamping dipergunakan sebagai dasar hukum untuk mengatur penyelenggaraan otonomi daerah di bidang olah raga (sebagai urusan wajib), juga dipergunakan sebagai penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya, yakni :
1. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;
2. UU No. 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional; dan
3. PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah kabupaten/Kota.
Dengan demikian, hakikat keberadaan Perda tentang Pembinaan dan Pengembangan Olahraga tidak hanya dipergunakan untuk mengatur materi penyelenggaraan otonomi daerah khususnya yang berkaitan dengan urusan pemerintahan, melainkan juga untuk menjabarkan lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan bersifat sektoral. Oleh sebab itu, ketika Pemerintah Daerah (Provinsi atau Kabupaten/Kota) akan menerbitkan Perda tentang Pembinaan dan Pengembangan Olahraga, maka wajib melakukan sinkronisasi dengan peraturan perundang-undangan sektoral. Artinya dasar hukum untuk pembentukan Perda tidak hanya berpijak dari peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur pembagian urusan pemerintahan saja, seperti UU No. 32 Tahun 2004 dan Peraturan Pelaksananya. Hal ini berarti asas Lex Specialis dari dasar hukum keberadaan Perda yang dimaksud harus tetap diindahkan.
Terlepas dari teknis pembentukan Perda sebagaimana penulis kemukakan tersebut, keberadaan Perda tentang Pembinaan dan Pengembangan Olahraga jelas akan menimbulkan konsekuensi terhadap keberadaan organisasi dan tata kerja parangkat daerah. Konseksuensi ini juga berlanjut pada aspek penganggaran (pendanaan) yang dituangkan dalam Anggaran Pendapatan an Belanja Daerah (APBD).
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tanpa adanya Perda tentang Pembinaan dan Pengembangan Olahraga (termasuk Sepakbola) maka secara teknis penganggaran urusan pemerintahan bidang olahraga tidak mungkin dimasukkan dalam daftar rekening anggaran dalam APBD. Dengan demikian, peluang untuk pendanaan olahraga (termasuk dana untuk klub sepakbola profesional di daerah) masih terbuka kemungkinan untuk dianggarkan dalam APBD.

D. Substansi Perda tentang Pembinaan dan Pengembangan Olahraga.
Jika diperhatikan secara seksama Lampiran PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, maka ada beberapa substansi penting secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan masalah pendanaan. Substansi tersebut antara lain :
1. Penyelenggaraan Pekan dan kejuaraan olahraga;
2. Pembangunan dan peningkatan prasarana dan sarana olahraga;
3. Pendidikan dan Pelatihan keolahragaan;
4. Pendanaan Keolahragaan;
5. Pengembangan IPTEK keolahragaan;
6. Kemitraan Industri dan kewirausahaan olahraga;
7. Pengaturan sistem penganugerahan, penghargaan dan kesejahteraan pelaku olahraga;
8. Fasilitas dan dukungan aktivitas keolahragaan;
9. Pembangunan sentra pembinaan prestasi olahraga;
10. Pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran/dana.
Berpijak dari substansi tersebut di atas, maka langkah yang perlu dilakukan oleh Pemerintah Daerah tidak lain adalah membentuk Perda tentang Pembinaan dan Pengembangan Olahraga terlebih dahulu. Baru kemudian berdasarkan Perda inilah pengangaran melalui APBD dapat dilakukan dan sah menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

E. Kesimpulan.
Pembinaan dan pengembangan olahraga bukan merupakan suatu kegiatan yang bersifat suka rela alias gratisan. Perkembangan dunia olahraga dimanapun juga tempatnya sudah mengarah pada industri dan profesional. Di negara-negara yang memiliki prestasi olahraga di tingkat dunia sudah banyak meninggalkan pola-pola pembinaan yang bersifat amatir. Lain daripada itu, disadari ataupun tidak melalui olahraga martabat dan kehormatan bangsa dan negara dapat meningkat sejalan dengan prestasi atlet-atlet di kancah internasional. Melalui olahraga persahabatan antar bangsa dan sportifitas dapat digalang dan ditingkatkan.
Oleh sebab itu kepedulian pemerintah terhadap pemerintah baik Pusat maupun daerah terhadap olahraga harus terus diupayakan. Kepedulian itu harus diwujudkan di dalam kebijakan-kebjakan yang memberikan peluang terhadap pembinaan dan pengembangan olahraga. Berpijak dari hal inilah, maka political will pemerintah yang dituangkan dalam Perda untuk mengakomodasi tuntutan finansial pembinaan olahraga harus segera diwujudkan.
Demikianlah beberapa gambaran yang dapat penulis kemukakan dalam kesempatan kali ini. Semoga bermanfaat. Mens sana in Corpore Sano.

Kotagede; 25 Juni 2008.
Penulis;


B. Hestu Cipto Handoyo.

*) Makalah disampaikan dalam Seminar dan Lokakarya Nasional “Legalitas Penggunaan APBD Untuk Pembinaan dan Pengembangan Sepakbola Olahraga Masyarakat”, diselenggarakan oleh CLDS Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 25 Juni 2008.
**) Dekan Fakultas Hukum Univ. Atma Jaya Yogyakarta, Staf Ahli Anggota DPD-RI, Direktur Eksekutif Parliament Watch Yogyakarta, Mantan Pelatih Kiper PSS Sleman pada Putaran Kompetisi Liga Bank Mandiri IX.
[1] Henry B. Mayo, dalam B. Hestu Cipto Handoyo, Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan dan Hak Asasi Manusia, Penerbit UAJY, Yogyakarta, 2003, hlm. 104-105.
[2] Pasal 1 angka 5 UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
[3] Pasal 1 angka 7 UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
[4] Anthony Giddens, The Third Way Jalan Ketiga Pembaruan Demokrasi, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1999, hlm. 91-92.
[5] Pasal 8 UU No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Lihat juga B. Hestu Cipto Handoyo, Prinsip-prinsip Legal Drafting & Desain Naskah Akademik, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2008, hlm. 79.
[6] Pasal-pasal yang disebut dalam Ketentuan Pasal 14 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004 adalah pasal-pasal yang mengatur tentang Pembagian Urusan Pemerintahan.
[7] Menurut Pasal 7 ayat (2) PP No. 38 tahun 2007 Urusan Wajib bagi Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota meliputi 26 Urusan Pemerintahan.

EKSISTENSI PARPOL


EKSISTENSI DAN KEPASTIAN HUKUM
KEHIDUPAN PARTAI POLITIK DI INDONESIA DALAM
PERSPEKTIF HUKUM TATA NEGARA

Oleh :
B. Hestu Cipto handoyo*)


A. Eksistensi Parpol Dalam Perpektif Hukum Tata Negara.
Keberadaan Parpol dalam kehidupan ketatanegaraan pertama kali dijumpai di Eropa Barat, yakni sejak gagasan bahwa rakyat merupakan faktor yang patut diperhitungkan serta ikut serta dalam proses politik. Dengan adanya gagasan untuk melibatkan rakyat dalam proses politik (kehidupan dan aktifitas ketatanegaraan) maka secara spontan Parpol berkembang menjadi penghubung antara rakyat disatu pihak dan pemerintah di pihak lain.[1]
Bersumber dari berbagai definisi yang dikemukakan oleh pakar ilmu politik bahwa Parpol tidak lain adalah suatu kelompok manusia yang terorganisir secara teratur baik dalam hal pandangan, tujuan maupun tatacara rekrutmen keanggotaan, dengan tujuan pokok yakni menguasai, merebut ataupun mempertahankan kekuasaannya dalam pemerintahan secara konstitusional.[2]
Menurut Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Partai adalah pihak, segolongan orang, perkumpulan yang seasas, sehaluan, setujuan dan sebagainya dalam ketatanegaraan. Sedangkan arti politik menurut Kamus Lengkap bahasa Indonesia adalah pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan; segala urusan dan tindakan kebijaksanaan, siasat dan sebagainya mengenai pemerintahan sesuatu negara atau terhadap negara lain.[3] Dari pemahaman secara terminologis seperti ini dapat ditarik pemahaman bahwa Partai Politik tidak lain adalah segolongan orang yang berkumpul atas dasar kesamaan asas, haluan dan tujuan yang aktifitasnya berkaitan dengan urusan dan tindakan kebijaksanaan termasuk siasat mengenai pemerintahan suatu negara. Dengan demikian tidak dapat dipungkiri bahwa yang namanya Parpol akan selalu erat kaitannya dengan kesamaan asas, haluan, tujuan, kebijaksanaan pemerintah dan siasat.
Jika diperhatikan dari aktifitas yang dilakukan oleh Parpol, maka pada umumnya Parpol memiliki tujuan :
1. berpartisipasi dalam sektor pemerintahan dalam arti mendudukkan orang-orangnya menjadi pejabat pemerintahan sehingga dapat turut serta mengambil atau menentukan keputusan politik atau output pada umumnya;
2. berusaha melakukan pengawasan, bahkan oposisi bila perlu terhadap kelakuan, tindakan, kebijaksanaan para pemegang otoritas (terutama dalam keadaan mayoritas pemerintahan tidak berada dalam tangan Parpol yang bersangkutan);
3. berperan untuk dapat memadukan tuntutan-tuntutan yang masih mentah, sehingga Parpol bertindak sebagai penafsir kepentingan dengan mencanangkan isu-isu politik yang dapat dicerna dan diterima oleh masyarakat secara luas.[4]
Secara pragmatis, tujuan parpol tersebut di atas tidak lain adalah berorientasi pada kekuasaan dalam pemerintahan. Tujuan semacam ini tentu memiliki maksud apabila parpol menguasai kekuasaan dalam pemerintahan maka ideologi, visi dan misi, program parpol dapat dipergunakan sebagai landasan untuk menjalankan kekuasaan pemerintahan yang pada akhirnya parpol akan memperoleh manfaat baik materiil maupun spirituil. Oleh sebab itu menjadi anggota Parpol menjadi dambaan setiap orang yang “suka” dengan kekuasaan.
Dalam perspektif Hukum Tata Negara, teori tentang Parpol pada umumnya tidak menjadi bahan kajian yang spesifik dan mendalam. Hal ini disebabkan dalam konteks hukum tata negara yang dipelajari tidak lain adalah menyangkut struktur atau anatomi mengenai negara sebagai organisasi kekuasaan. Sedangkan Parpol lebih banyak dikaji dan dibahas oleh ilmu politik yang pada hakikatnya mempelajari tentang perilaku dari organisasi kekuasaan.
Namun demikian dalam konteks hukum tata negara keberadaan parpol jelas tidak mungkin untuk dinafikan, mengingat struktur atau anatomi organisasi kekuasaan tentu membutuhkan perangkat atau piranti untuk melengkapi anatomi tersebut. Nah Parpol merupakan salah satu dari sekian piranti yang dibutuhkan dalam membangun atau membentuk anatomi organisasi kekuasaan yang disebut negara itu.

B. Konstitusi Parpol di Indonesia.
Parpol sebagai salah satu dari piranti untuk membangun anatomi organisasi kekuasaan (negara) muncul karena adanya paham demokrasi dan kedaulatan rakyat. Oleh sebab itu tidak dapat terelakkan, jikalau katup demokrasi dan kedaulatan rakyat telah dibuka dan menjadi warna dalam penyelenggaraan sistem ketatanegaraan, maka sejak saat itulah kemunculan Parpol laksana “jamur dimusin hujan”. Berbagai jenis Parpol dengan berbagai jenis ideologi, visi dan misi tumbuh dalam kehidupan politik ketatanegaraan. Sehingga secara normatif melakukan pembatasan terhadap tumbuh dan berkembangnya Parpol dianggap merupakan sebuah tindakan yang anti demokrasi dan anti kedaulatan rakyat.
Namun demikian dalam kerangka negara hukum, tumbuh dan berkembangnya berbagai Parpol seharusnya juga dibarengi dengan tata aturan yang berlaku dan harus diindahkan oleh Parpol. Hal ini mengingat Parpol dalam aktifitasnya berfungsi untuk merepresentasikan kepentingan publik ke sektor yang lebih tinggi, yakni negara atau pemerintah. Oleh sebab itulah persyaratan dan tata cara pendirian Parpol harus diatur dalam instrumen hukum, yakni Undang-Undang.
Secara umum ada berbagai persyaratan yang harus dipenuhi untuk mendirikan sebuah Parpol di Indonesia. Salah satu persyaratan itu tidak lain adalah harus memiliki Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) yang disahkan melalui akta notaris. Kemudian didaftarkan ke Departemen Hukum dan HAM (DEPKUMHAM). Dengan adanya persyaratan semacam ini, maka sejatinya Parpol tidak lain adalah sebuah badan hukum yang merupakan subyek hak.
Secara internal posisi AD/ART yang sudah disahkan melalui akta notaris pada hakikatnya berkedudukan sebagai konstitusi Parpol. Oleh sebab itu untuk melakukan perubahan terhadap AD/ART tersebut harus dilakukan oleh organ tertinggi Parpol tersebut yang pada umumnya diwujudkan dalam bentuk Kongres atau Muktamar dari Parpol yang bersangkutan.

C. Pranata Hukum Kepartaian di Indonesia.
Menurut UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik disebutkan bahwa Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia.[5]
Mencermati pengertian tersebut menunjukkan bahwa organisasi Parpol dibentuk untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota terlebih dahulu, baru kemudian memperjuangkan kepentingan politik masyarakat serta baru disusul memperjuangkan kepentingan politik bangsa dan negara. Hal ini menandakan bahwa rumusan UU dalam mengartikan parpol ternyata lebih mendahulukan kepentingan anggota. Sungguh rumusan yang sangat individualis dan tidak berpihak kepada kepentingan bangsa dan negara. Ini sangat memprihatinkan. Pertanyaannya mau dikemanakan negeri ini jikalau rumusan pengertian parpol sudah seperti itu? Jika rumusannya seperti itu, tidak mengherankan jikalau parpol hanya mementingkan kelompok atau anggotanya sendiri daripada kepentingan bangsa dan negara.
Menurut Pasal 2 ayat (1) UU No. 2 tahun 2008 tentang Partai Politik ditentukan bahwa parpol didirikan dan dibentuk oleh paling sedikit 50 (lima puluh) orang warganegara Indonesia yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun dengan akta notaris. Kemudian menurut ayat (3) pasal ini menegaskan bahwa akta notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat AD dan ART serta kepengurusan Parpol Tingkat Pusat.
Memperhatikan persyaratan seperti itu menunjukkan bahwa untuk membentuk sebuah Parpol sungguh merupakan suatu pekerjaan yang sangat mudah. Cukup dengan mengumpulkan 50 orang warganegara Indonesia yang telah berusia 21 tahun dengan menyertakan komposisi 30% keterwakilan perempuan[6], kemudian diaktakan melalui Notaris, jadilah parpol. Dengan kemudahan seperti inilah, tidak mengherankan jika parpol di Indonesia begitu banyak dan beragam.
Disatu sisi kemudahan mendirikan parpol ini dapat dianggap merupakan langkah positif karena sangat mendukung proses demokratisasi dan penguatan politik masyarakat serta dalam rangka pemenuhan hak-hak politik warganegara. Namun demikian disi lain dengan kemudahan yang seperti itu, mengakibatkan parpol-parpol yang dibentuk tidak mengakar dalam hal pemahaman asas, haluan maupun tujuan parpol yang bersangkutan. Pendek kata dengan kemudahan itu justru sikap pragmatisme politik diantara anggota sangat mendominasi. Hal ini membuktikan bahwa Pranata Hukum kepartaian di Indonesia yang konstruksinya seperti itulah mengakibatkan pengorganisasian Parpol sangat rentan konflik. Apalagi jikalau mendekati pelaksanaan Pemilu.

D. AD/ART Sebagai Batu Uji Utama Untuk Mencari Solusi Konflik Internal Parpol.
Sejarah kepartaian di Indonesia setelah katup demokrasi terbuka lebar sejak reformasi 1998 selalu diwarnai dengan terjadinya konflik internal. Hal ini sangat berbeda ketika rezim Orde Baru masih berkuasa di negeri ini. Pada saat itu intervensi dan pengendalian kehidupan Parpol di Indonesia sungguh sangat represif dan terbukti mampu memandulkan dinamika kehidupan Parpol. Restu pemerintah dalam hal ini Presiden menjadi dasar bagi kehidupan dan keberlangsungan Parpol. Tanpa restu itu jangan harap Parpol dapat berkembang dan memainkan peranannya dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia.
Untuk saat ini kondisi semacam itu memang sudah tidak lagi dijumpai. Namun celakanya kebebasan untuk mendirikan Parpol tidak diikuti dengan kesadaran para elit Parpol untuk secara kolektif mendewasakan kehidupan organisasi. Hal ini merupakan dampak dari mudahnya mendirikan Parpol di Indonesia. Konflik internal Parpol selalu muncul bersamaan dengan kepentingan elit Parpol itu sendiri yang semakin beragam. Pada umumnya konflik internal Parpol disebabkan oleh adanya perebutan kekuasaan di tubuh Parpol itu sendiri. Sehingga aturan main yang sudah tertuang di dalam AD/ART sering diabaikan. Lagi-lagi kepentingan elit mengalahkan dasar konstitusional Parpol.[7]
Berpijak dari realitas semacam itu, maka jika Parpol itu menyadari akan arti pentingnya AD/ART yang diibaratkan sebagai konstitusi Parpol, konflik internal yang terjadi haruslah dikembalikan kepada ketentuan yang tercantum di dalam AD/ART tersebut. Oleh sebab itu solusi yang terbaik untuk menyelesaikan konflik internal Parpol tidak lain harus dikembalikan kepada dasar kontitusi parpol itu sendiri. Terkait dengan konsep normatif seperti inilah, maka solusi yang dapat ditawarkan adalah :
1. solusi konflik dilakukan oleh internal Parpol dengan membentuk semacam komisi penegak konstitusi (AD/ART) yang posisinya berada di luar kepentingan pihak yang berkonflik.
2. Jika komisi yang dimaksud tidak ada dalam struktur organisasi Parpol, solusi dilakukan melalui jalur hukum (peradilan). Hal ini mengingat AD/ART Parpol disahkan melalui akta notaris dan berfungsi sebagai alat bukti yang kuat.
3. solusi juga bisa dilakukan melalui perantaraan lembaga mediasi dengan bersumber pada AD/ART Parpol.
4. diadakan kongres (Muktamar) Luar biasa Parpol yang bersangkutan. Karena Kongres/muktamar ini merupakan organ tertinggi Parpol.
5. jika konflik sudah mengarah pada perpecahan Parpol, solusi dapat juga dilakukan melalui konvensi internal Parpol untuk menguji keabsahan masing-masing pihak yang berkonflik. Konvensi ini dilakukan dengan melibatkan konstituen secara menyeluruh dengan memberikan kebebasan untuk melakukan pilihan.
Masih terkait dengan penyelesaian konflik tersebut di atas, UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik memberikan rambu-rambu sebagai berikut :[8]
1. Perselisihan Parpol diselesaikan dengan cara musyawarah mufakat.
2. Jika musyawarah mufakat tidak tercapai, penyelesaian perselisihan ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan.
3. Penyelesaian di luar pengadilan dapat dilakukan melalui rekonsiliasi, mediasi, atau arbitrase Parpol yang mekanismenya diatur dalam AD dan ART.
Tidak dapat dipungkiri bahwa yang namanya Parpol adalah organisasi yang sarat dengan kepentingan. Penyelesaian konflik yang terjadi di tubuh parpol jelas didominasi oleh kepentingan tersebut. Jika para pihak tetap bersikukuh dengan kepentingannya masing-masing, maka jalan yang terbaik adalah menyerahkan sepenuhnya pada penyelesaian melalui jalur hukum.[9] Namun sayang, sampai saat ini jalur-jalur hukum (peradilan) di Indonesia juga sarat dengan kepentingan dan tingkat independensinya masih juga diragukan.

E. Ilegalitas Intervensi Pemerintah Terhadap Kehidupan Kepartaian.
Secara prinsipiil keberadaan Parpol dalam sistem ketatanegaraan disamping untuk memenuhi tuntutan demokrasi, juga merupakan manifestasi dari hak politik warganegara yang dijamin oleh konstitusi. Intervensi terhadap kehidupan kepartaian yang dilakukan oleh pemerintah, secara normatif jelas merupakan pelanggaran terhadap demokrasi dan hak politik warga negara.
Bertitik tolak dari konsep dasar seperti inilah, maka jika terjadi konflik internal di tubuh Parpol, seharusnya pemerintah tidak perlu ikut campur tangan. Pemberian legalitas atau verifikasi sebagai badan hukum yang dilakukan oleh Pemerintah lewat DEPKUMHAM terhadap parpol yang sedang berkonflik merupakan bentuk intervensi terhadap kehidupan Kepartaian. Oleh sebab itu jika ada salah satu Parpol sedang mengalami konflik, pemerintah tidak perlu memberikan legalitas atau menolak verifikasi parpol tersebut, sebelum konflik internal dapat diselesaikan oleh Parpol yang bersangkutan.
Jika langkah tersebut dilakukan, maka hal ini akan menimbulkan manfaat ganda bagi kehidupan kepartaian itu sendiri. Pertama; proses pendewasaan parpol akan terjadi dengan ditandai adanya kemampuan parpol dalam memanage konflik. Kedua; merupakan seleksi alamiah bagi Parpol itu sendiri. Artinya jikalau ternyata Parpol memang tidak mampu untuk meredam atau menyelesaikan konflik internal, maka kemungkinan untuk ditinggalkan oleh konstituen akan semakin besar. Hal ini penyederhanaan Parpol justru akan terjadi tanpa adanya intervensi Pemerintah. Pendek kata, biarkan aja berkonflik toh yang rugi adalah parpol itu sendiri.

F. Peran KPU Dalam Mencari Solusi atas Konflik Kepartaian.
Standart Internasional menyatakan bahwa lembaga penyelenggara pemilu harus melakukan semua kegiatan pemilu secara independen, transparan, dan tidak berpihak.[10] Terkait dengan hal ini IDEA (Institute for Democracy and Electoral Assistance) merumuskan beberapa prinsip yang harus dilakukan oleh lembaga penyelenggara pemilu demi mencapai pemilu yang bebas dan adil:[11]
1. Independen dan ketidak berpihakan: Lembaga penyelenggara pemilu tidak boleh tunduk pada arahan dari pihak lain manapun, baik pihak berwenang atau pihak partai politik. Lembaga ini harus bekerja tanpa pemihakan atau praduga politik. Harus mampu menjalankan kegiatan yang bebas dari campur tangan, karena setiap dugaan manipulasi, persepsi bias atau dugaan campur tangan, akan memiliki dampak langsung, tidak hanya terhadap kredibilitas lembaga, tetapi juga terhadap keseluruhan proses dan hasil pemilu.
2. Efisiensi dan Keefektifan: Efisiensi dan keefektifan merupakan komponen terpadu dari keseluruhan kredibilitas pemilu. Efisiensi dan keefektifan tergantung beberapa faktor, termasuk profesionalisme para staf, sumber daya, dan yang paling penting waktu yang memadai untuk menyelenggarakan pemilu, serta melatih orang-orang yang bertanggung jawab atas pelaksanaan teknis pemilu.
3. Profesionalisme: Pemilu harus dikelola oleh orang-orang yang terlatih dan memiliki komitmen tinggi. Mereka adalah karyawan tetap lembaga yang mengelola dan mempermudah proses pelaksanaan pemilu.
4. Keputusan yang tidak berpihak dan cepat: Undang-Undang membuat ketentuan mekanisme untuk menangani, memproses dan memutuskan keluhan-keluhan pemilu dalam kerangka waktu tertentu. Hal ini mengharuskan para pengelola pemilu harus mampu berpikir dan bertindak cepat dan tidak memihak.
5. Transparansi: Kredibilitas menyeluruh dari seluruh proses pemilu tergantung pada semua kelompok yang terlibat di dalamnya, seperti parpol, pemerintah, masyarakat madani dan media. Mereka secara sadar ikut serta dalam perdebatan yang mewarnai pembentukan struktur, proses dan hasil pemilu. Lembaga harus bersifat terbuka terhadap kelompok-kelompok tersebut, komunikasi dan kerja sama perlu dilakukan guna menambah bobot transparansi proses penyelenggaraan pemilu.
Menurut Pasal 8 ayat (1) huruf g UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu salah satu tugas dan wewenang KPU dalam penyelenggaraan Pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD adalah menetapkan peserta Pemilu. Dalam konteks pemilu untuk anggota DPR dan DPRD, maka peserta pemilu tidak lain adalah Parpol.
Tugas dan wewenang tersebut di atas dapat berjalan tanpa kendala, manakala parpol peserta pemilu tidak sedang mengalami konflik internal. Persoalannya bagaimanakah jika ada suatu parpol yang sedang berkonflik? Apakah KPU tetap akan menetapkan parpol tersebut sebagai peserta pemilu, bahkan kalau terjadi perpecahan dari parpol akan menetapkan kedua-duanya sebagai peserta pemilu?
Untuk menjawab persoalan ini, maka berdasarkan kelima prinsip tersebut KPU harus mengambil langkah sebagai berikut:
1. Independen dan ketidak berpihakan: KPU harus tetap menjaga netralitas dalam menentukan Parpol sebagai peserta Pemilu. Jika Parpol yang berkonflik dan masing-masing mendaftar sebagai peserta pemilu, maka KPU harus bertindak tegas agar persoalan internal diselesaikan terlebih dahulu. Jika KPU tetap menerima pendaftaran, maka hal ini menunjukkan bahwa KPU berpersepsi bias yang pada akhirnya akan menurunkan kredibilitas lembaga maupun keseluruhan proses dan hasil pemilu.
2. Efisiensi dan keefektifan: KPU harus mengambil langkah-langkah yang efisien dan efektif dalam mensikapi persoalan yang terjadi dalam tubuh parpol yang sedang mengalami konflik. Cara yang tepat untuk mendukung ini adalah dengan melandaskan pada kepastian hukum tentang posisi dari masing-masing pihak yang ada di dalam parpol yang berkonflik tersebut. Kepastian hukum dapat tercapai jikalau persoalan internal partai telah diputus melalui mekanisme putusan hakim yang memiliki kekuatan hukum tetap.
3. KPU melakukan klarifikasi terhadap Parpol yang sedang berkonflik dengan cara mengkaji AD/ART dari parpol yang bersangkutan. Dasar pijakan untuk klarifikasi ini adalah AD/ART awal pembentukan Parpol yang bersangkutan. Bukan AD/ART sebaga akibat adanya konflik. Dokumen yang terkait dengan AD/ART ini tentu sudah ada di arsip KPU ketika menyelenggarakan Pemilu masa sebelumnya. Sehingga jika Parpol yang berkonflik telah pecah dan memunculkan dua AD/ART, maka jalan satu-satunya adalah dengan memberikan pilihan kepada Parpol tersebut untuk berganti nama dan simbol. Hal ini perlu dilakukan agar masyarakat pemilih tidak mengalami kebingungan ketika proses pemilihan berlangsung. Terkait dengan hal ini jika ada Perubahan AD dan ART sebagai akibat adanya konflik (perselisihan Partai Politik), maka menurut Pasal 8 UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik ditegaskan bahwa Menteri tidak dapat mengesahkan perubahan tersebut.
4. KPU harus menentukan syarat-syarat Pendaftaran Pemilu bagi parpol. Di dalam persyaratan tersebut harus ada ketentuan mengenai pernyataan bahwa Parpol yang bersangkutan bebas dari persoalan internal. Hal ini mengingat kedudukan KPU sebagai “wasit” Pemilu harus bersikat tegas dan tidak memihak.

G. Penutup
Parpol sebagai instrumen demokrasi sudah sepantasnya menjadi contoh bagi proses pembelajaran demokrasi yang penuh kedamaian, dan bukan anarkhi. Konflik di tubuh Parpol sejatinya menunjukkan ketidak dewasaan dalam berdemokrasi. Jika demokrasi hanya dimaknai sebagai sebuah kelumrahan dalam perbedaan pendapat, maka perbedaan pendapat tersebut tentunya harus dapat diselesaikan secara elegan. Munculnya partai-partai kecil sebagai akibat adanya konflik internal di tubuh partai sejatinya merupakan dampak dari sistem pemilu yang proporsional.
Dalam sistem pemilu proporsional, parpol-parpol (besar maupun kecil) memang dimungkinkan akan memperoleh suara dalam pemilu. Namun demikian, jika hal ini terus menerus dilakukan justru akan mengakibatkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap parpol akan semakin terpuruk. Masyarakat akan berpandangan: “mengurus parpol saja tidak mampu, apalagi mengurus negara”. Oleh sebab itulah sudah seharusnya elit parpol jangan terlalu percaya diri dan selalu mengklaim bahwa dirinya-lah yang paling legitimate.
Tingkat legitimasi parpol di mata masyarakat bukan terletak pada elit politik atau toloh-tokoh yang ada di dalamnya, melainkan seturut dengan kecerdasan masyarakat dalam berpolitik, sangat ditentukan dari kemampuan parpol dalam mengelola konflik yang ada di dalam tubuh parpol itu sendiri.
Demikianlah beberapa gambaran sederhana yang dapat penulis sampaikan dalam kesempatan ini. Semoga bermanfaat.

H. Kepustakaan.
B. Hestu Cipto Handoyo, Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan dan Hak Asasi Manusia, Penerbit Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2003.

Didik Supriyanto, Menjaga Independensi Penyelenggara Pemilu, USAID, drsp, Perludem, Jakarta, 2007.

Dessy Anwar, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Karya Abditama, Surabaya, 2001.

Undang-Undang No. 22 tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu.

Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.



Kotagede, 5 Mei 2008
Penulis



B. Hestu Cipto Handoyo.
*) Dekan Fakultas Hukum UAJY, Direktur Eksekutif Parliament Watch Yogyakarta dan Staff Ahli Anggota DPD-RI.
[1] Miriam Budiardjo dalam B. Hestu Cipto Handoyo, Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan dan Hak Asasi Manusia, Penerbit Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2003, hlm. 224.
[2] Ibid, hlm. 225-226.
[3] Dessy Anwar, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Karya Abditama, Surabaya, 2001, hlm. 312 dan 328.
[4] Rusadi kantaprawira dalam B. Hestu Cipto Handoyo, Ibid, hlm. 226.
[5] Pasal 1 angka 1 UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.
[6] Pasal 2 ayat (2) UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.
[7] Istilah Konflik internal Parpol tidak dikenal dalam UU No. 2 tahun 2008 tentang Partai Politik. UU ini memberikan istilah Perselisihan Partai Politik. Menurut Penjelasan Pasal 32 ayat (1) yang dimaksud dengan “Perselisihan Partai Politik” meliputi antara lain : (1) Perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan; (2) pelanggaran terhadap hak anggota Partai Politik; (3) pemecatan tanpa alasan yang jelas; (4) penyalahgunaan kewenangan; (5) pertanggungjawaban keuangan; dan/atau (6) keberatan terhadap keputusan Partai Politik.
[8] Pasal 32 UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.
[9] Lihat Pasal 33 UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.
[10] Didik Supriyanto, Menjaga Independensi Penyelenggara Pemilu, USAID, drsp, Perludem, Jakarta, 2007, hlm. Iv.
[11] Ibid, hlm. 28.

KORUPSI DI PARLEMEN


MODUS OPERANDI KORUPSI
ANGGOTA PARLEMEN

Oleh:
B. Hestu Cipto Handoyo*)

Parlemen Indonesia (DPR/DPRD) merupakan lembaga negara yang basah dan sangat mempesona dipergunakan sebagai sarana untuk memupuk kekayaan anggotanya. Bayangkan betapa besarnya gaji anggota parlemen yang ditunjang dengan berbagai fasilitas yang tidak sebanding dengan kinerjanya. Saat ini sejalan dengan makin kuatnya kedudukan parlemen, modus operandi tindak korupsi yang dilakukan anggota parlemen tentunya semakin canggih. Modus operandi itu sering dilakukan melalui pelaksanaan fungsi yang dijalankan parlemen, yakni legislasi, pengawasan, dan penganggaran.
Secara konstitusional fungsi legislasi,parlemen dan anggotanya sangat kuat bila berhadapan dengan eksekutif. Kekuatan ini bagi anggota parlemen dapat dipergunakan sebagai media untuk “berpolitik dagang sapi”. Lancar tidaknya RUU yang diajukan oleh eksekutif sangat tergantung dari tawar-menawar antara pengusul dengan parlemen. Wacana bahwa setiap RUU yang diusulkan oleh eksekutif selalu disertai dengan amplop-amplop “pelicin” semakin menunjukkan kebenaran, sejak salah satu fraksi mengembalikan sejumlah uang yang menyertai pembahasan suatu RUU.
Melalui fungsi pengawasan Parlemen dan anggotanya menduduki posisi yang superior. Anggota parlemen layaknya penyidik yang dengan gagah beraninya mengobok-obok perangkat eksekutif yang diawasi. Sementara parameter yang digunakan untuk melakukan pengawasan tidak jelas dan multitafsir. Untuk melaksanakan fungsi ini, parlemen dapat mempergunakan hak-haknya seperti hak angket atau interpelasi. Hak-hak inipun bisa dipergunakan sebagai modus operandi tindak korupsi dengan cara menakut-nakuti perangkat eksekutif yang dianggap tidak ”tahu diri” terhadap maksud tersembunyi (anggota) parlemen. Bagi perangkat eksekutif yang cukup tanggap akan maksud tersembunyi (hidden agenda) parlemen, menyuap anggota parlemen merupakan sarana efektif untuk menggagalkan pelaksanaan hak angket atau interpelasi.
Sementara itu bagi anggota parlemen sarana efektif untuk melancarkan ”operasi” tindak korupsi adalah dengan menyampaikan kepada pihak eksekutif jika hasil pengawasan yang dilakukan tidak akan disebarluaskan kepada masyarakat asal eksekutif menyediakan sejumlah ”uang diam”. Padahal sebagai salah satu implementasi prinsip good government, secara normatif hasil pengawasan wajib diketahui oleh publik.
Lebih parah lagi adalah fungsi parlemen di bidang penganggaran. Parlemen jelas dapat memuluskan tindak korupsi justru melalui penyusunan anggaran belanja. Program-program fiktif dan mark up anggaran bisa saja dilakukan disaat parlemen membahas rancangan anggaran. Contoh konkrit adalah Dana Purna Tugas (DPT) bagi anggota Parlemen. Dana ini memang tidak pernah ada dalam nomor rekening anggaran APBD/APBN, namun dana siluman ini bisa diadakan dengan cara me-mark up anggaran untuk tunjangan anggota Dewan dalam melaksanakan aktifitasnya selama 1 (satu) tahun anggaran. Modus operandi korupsi anggota parlemen dikemas melalui produk hukum UU APBN atau Perda APBD, sehingga secara yuridis sulit diungkap dan dideteksi oleh aparat penegak hukum tak terkecuali KPK.
Memperjuangkan anggaran untuk dimasukkan di dalam APBN/APBD dengan harapan memperoleh keuntungan dari lembaga yang bersangkutan atau lebih tepatnya menjadi broker/calo anggaran, merupakan cara yang paling ideal untuk memuluskan tindak korupsi. Ini adalah modus operandi tindak korupsi yang paling canggih dan dapat dilakukan oleh anggota dewan secara berjamaah.
Tindak korupsi di parlemen tidak melulu disebabkan oleh mentalitas rendah dari anggota parlemen. Partai politik-pun juga dapat memberikan sumbangan yang cukup signifikan ”menjamurnya” korupsi di parlemen. Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warganegara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Pasal 1 angka 1 UU No. 2 Tahun 2008 tentang Parpol). Definisi seperti ini memberikan penguatan secara yuridis bahwa Partai Politik memang lebih mengedepankan memperjuangkan kepentingan kelompok dan anggota-anggotanya. Memperjuangkan kepentingan anggota tentu tidak akan dilakukan oleh Parpol secara cuma-cuma. Dalam masyarakat yang semakin pragmatis ini, berjuang secara cuma-cuma tanpa pamrih adalah kalimat langka.
Pasal 35 ayat (1) UU Parpol menyatakan bahwa sumbangan bagi Parpol dapat berasal dari anggota, perseorangan bukan anggota (paling banyak senilai 1 milyar rupiah), serta perusahaan dan/atau badan usaha (paling banyak senilai 4 milyar rupiah). Ketentuan ini jelas memberikan penguatan bahwa Parpol tetap membutuhkan dana, dan itu diperoleh dari sumbangan. Pertanyaannya adalah, apakah sumbangan-sumbangan tersebut sifatnya tanpa pamrih. Hanya yang menyumbang dan yang disumbang-lah yang paling mengetahui. Darimanakah uang-uang sumbangan tersebut diperoleh para penyumbang? Sampai sekarang juga tidak jelas asal-usulnya.
Secara umum maksud parpol memperjuangkan kepentingan anggota tidak lain adalah, pertama; kepentingan anggota juga merupakan kepentingan kolektif parpol. Jika kepentingan anggota berhasil diperjuangkan berarti sama dan sebangun dengan keberhasilan memperjuangkan parpol. Kedua; dengan keberhasilan tersebut maka visi, misi dan program parpol dapat dipergunakan oleh pemerintah dalam melaksanakan aktifitasnya. Ketiga; setelah visi, misi dan program parpol dipergunakan oleh pemerintah, maka keuntungan finansial bagi parpol, akan mengalir deras ke organisasi parpol dan elit-elitnya.
Setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan gemilang ”mengobok-obok” dan berhasil menemukan tikus-tikus pengerat uang rakyat di parlemen, beranikah KPK ”mengobok-obok” parpol yang secara langsung maupun tidak langsung juga mendapat keuntungan atas korupsi yang dilakukan oleh anggotanya di parlemen? Kita tunggu tanggal mainnya.

*) Dosen Fakultas Hukum Univ. Atma Jaya Yogyakarta, Direktur Eksekutif Parliament Watch Yogyakarta.

Selasa, 16 September 2008

PENGUATAN DPR




PROBLEMATIKA DAN AGENDA PENGUATAN
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT*)

Oleh :
B. Hestu Cipto Handoyo**)


A. Kedudukan DPRD dalam Sistem Desentralisasi dan Demokrasi.
Desentralisasi sebagai suatu asas penyelenggaraan pemerintahan lokal merupakan salah satu pilar yang dipergunakan dalam penyelenggaraan pemerintahan di Negara kesatuan yang mempergunakan prinsip Negara hukum dan demokrasi. Penggunaan asas desentralisasi di samping bertujuan untuk menyelenggarakan system pemerintahan yang efektif dan efisien juga dilandasi oleh beberapa latar belakang prinsipiil.
Pertama; Prinsip Negara hukum. Di dalam prinsip Negara hukum di samping dikenal adanya pemisahan kekuasaan (pemisahan atau pembagian kekuasaan secara horizontal atara tiga cabang kekuasaan di dalam Negara (eksekutif, legislatif dan yudikatif), juga dikenal adanya pemencaran kekuasaan (pendistribusian kekuasaan dalam garis vertikal). Dari prinsip seperti inilah, desentralisasi merupakan sarana yang tepat untuk melaksanakan pemencaran kekuasaan tersebut. Selaras dengan pemahaman ini, maka kedudukan DPRD menjadi sarana untuk melakukan pemencaran kekuasaan, khususnya di bidang legislasi, pengawasan dan budgeting. Fungsi-fungsi ini memang sudah berjalan, namun optimalisasi fungsi-fungsi tersebut masih kurang, karena sifat keanggotaan DPRD yang masih generalis. Oleh sebab itu dalam kerangka desentralisasi, kelembagaan DPRD harus diperkuat dengan adanya tim asistensi ahli yang memiliki kemampuan di bidang legislasi, pengawasan (berbagai sektor penyelenggaraan pemerintahan daerah), dan sistem penganggaran.
Kedua; Prinsip demokrasi. Dalam Negara demokrasi kebutuhan akan partisipasi masyarakat dalam berbagai aspek penyelenggaraan pemerintahan merupakan suatu keharusan. Berdasarkan prinsip semacam inilah maka desentralisasi merupakan sarana yang tepat untuk melaksanakan demokrasi pemerintahan di tingkat lokal. DPRD sebagai lembaga yang merepresentasikan partisipasi masyarakat daerah harus ditempatkan sebagai sarana untuk mengartikulasikan kehendak masyarakat daerah bukan justru mengartikulasikan kehendak masing-masing partai politik. Wacana bahwa anggota DPRD hanya mementingkan kepentingan Parpol saat ini justru telah memperoleh pembenaran dan kepastian hukum melalui UU No. 2 Tahun 2008 tentang Parpol.
Menurut Pasal 1 angka 1 UU No. 2 Tahun 2008 tentang Parpol ditegaskan bahwa Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Mencermati pengertian tersebut menunjukkan bahwa organisasi Parpol dibentuk untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota terlebih dahulu, baru kemudian memperjuangkan kepentingan politik masyarakat, baru disusul memperjuangkan kepentingan politik bangsa dan negara. Rumusan seperti ini memberikan penguatan secara yuridis bahwa Partai Politik memang hanya mementingkan kelompok dan anggota-anggotanya.
Ketiga; Prinsip welfare state. Dalam Negara kesejahteraan, fungsi Negara yang diwujudkan dalam aktifitas pemerintahan adalah sebagai pelayan masyarakat (public services) untuk mewujudkan kesejahteraan umum warganya. Fungsi seperti ini tentunya tidak dapat berjalan dengan baik jikalau dalam pelaksanaannya dilakukan secara sentralistik. Hal ini mengingat kebutuhan-kebutuhan masyarakat di masing-masinh bagian Negara jelas berbeda sesuai dengan karakteristiknya masing-masing. Dengan demikian dalam prinsip welfare state, asas desentralisasi merupakan sarana yang tepat untuk menyelenggarakan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan karekteristik kebutuhan di tingkat lokal. Desentralisasi dalam prinsip welfre state berguna untuk lebih mendekatkan pelayanan masyarakat yang dilakukan oleh Negara. DPRD sebagai wadah untuk mengartikulasikan kebutuhan-kebutuhan masyarakat seharusnya, tidak lagi bertindak seperti layaknya broker-broker parpol untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Kerja-kerja anggota DPRD seharusnya bersifat kolektif untuk melayani masyarakat dalam mengartikulasikan kebutuhan-kebutuhan riil masyarakat daerah. Sehingga keberadaan fraksi, yang merupakan perpanjangan tangan Parpol justru menghambat kerja-kerja kolektif anggota DPRD. Padahal fraksi bukan salah satu alat kelengkapan DPRD, namun dalam berbagai hal ternyata fraksi lebih mendominasi dalam setiap pengambilan keputusan politik yang terkait dengan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan riil masyarakat daerah. Dengan demikian, secara nyata keberadaan fraksi justru kontra produktif, karena dengan adanya keberadaan fraksi inilah DPRD bukan lagi merupakan perwakilan rakyat, melainkan perwakilan parpol. Parpol memang merupakan pranata penting dalam kehidupan demokrasi. Namun jikalau parpol justru terlalu mendominasi dan memonopoli sepak terjang DPRD, maka hal ini justru mengakibatkan penyelenggaraan prinsip-prinsip demokrasi akan mengalami penurunan yang cukup signifikan.
Keempat; Prinsip kebhinekaan. Dalam Negara yang komposisi masyarakatnya demikian beragam, tidaklah mungkin untuk melakukan penyeragaman (uniformitas) kebijaksanaan dan keputusan-keputusan politik. Karakteristik dan kehendak masing-masing daerah yag berbeda-beda haruslah menjadi pertimbangan utama. Dengan demikian, karena adanya prinsip kebhinekaan inilah, funsgi desentralisasi dipergunakan sebagai sarana untuk menampung keanekaragaman.
Pasal 1 angka 4 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menegaskan bahwa DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Kemudian dalam Pasal 60 dan Pasal 76 UU No. 22 Tahun 2003 tentang Susduk MPR, DPR, DPD, dan DPRD ditergaskan bahwa DPRD (Provinsi/Kabupaten/Kota) merupaan lembaga perwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga pemerintahan daerah (Provinsi/Kabupaten/Kota). Ketentuan yuridis semacam ini jelas menimbulkan penafsiran yang beragam, khususnya menyangkut frase “unsur penyelenggara pemerintahan daerah (UU No. 32 tahun 2004) dan lembaga pemerintahan daerah (UU Susduk)”.
Pemerintahan (daerah) dalam pengertian Hukum Tata Negara dapat ditafsirkan dalam pengertian luas dan sempit. Pertama; pemerintahan dalam konteks pengertian yang luas menyangkut segala aktifitas untuk mengimplementasikan fungsi, tugas, wewenang, dan tanggungjawab yang dilakukan oleh Negara. Penafsiran ini meliputi satu kesatuan fungsi yang menyangkut mengatur (legislasi), memerintah (eksekutif), dan mengadili (judikatif).
Kedua; pemerintahan dalam pengertian yang luas menyangkut aktifitas yang dilakukan Negara atau daerah dalam fungsinya untuk memerintah (eksekutif). Penafsiran ini hanya ditekankan pada pelaksanaan fungsi yang dilakukan oleh pemerintah yakni pemegang kekuasaan eksekutif dalam Negara atau dalam konteks pemerintahan daerah, adalah Kepala daerah dan jajaran eksekutif lainnya.
Dari kedua penafsiran seperti ini, maka problematika kedudukan dan kewenangan DPRD sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah terletak pada posisi yang ambigu, yakni apakah yang dimaksud dengan unsur pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud dalam UU No. 32 Tahun 2004 dan UU Susduk dalam perspektif yang luas ataukah sempit? Kedua UU tersebut tidak memberikan kepastian hukum dalam menentukan posisi DPRD dalam kacamata penafsiran tersebut di atas.
Jikalau pengertian Pemerintahan daerah itu diletakkan dalam aspek penafsiran yang luas, maka kedudukan dan kewenangan DPRD masih bisa dipisahkan dengan kedudukan dan kewenangan eksekutif daerah (Kepala daerah dan jajaran eksekutif lainnya). Namun menjadi bermasalah, jikalau pengertian Pemerintahan daerah itu diletakkan dalam aspek penafsiran yang sempit. Penafsiran yang demikian ini jelas akan meletakkan kedudukan dan kewenangan DPRD yang tidak selaras dengan hakikat DPRD sebagai lembaga perwakilan atau parlemen daerah, karena DPRD diletakkan sebagai unsur pemerintahan yang sempit. Posisi yang seperti ini hampir sama dengan ketika pengaturan tentang Pemerintahan Daerah mempergunakan UU No. 5 Tahun 1974. Pada saat mempergunakan UU ini, pengertian Pemerintahan daerah adalah Kepala Daerah dan DPRD.
Menurut Hans Kelsen, desentralisasi berkaitan dengan pengertian Negara. Kelsen mengemukakan bahwa Negara itu merupakan tatanan hukum (legal order). Oleh sebab itu pengertian desentralisasi menyangkut berlakunya sistem tatanan hukum dalam suatu Negara. Di dalam Negara ada kaidah-kaidah hukum yang berlaku sah untuk seluruh wilayah Negara yang disebut kaidah sentral (central norm) dan ada pula kaidah-kaidah hukum yang berlaku sah dalam bagian-bagian wilayah Negara yang disebut desentral atau kaidah lokal (decentral norm).[1]
Konsep teoritis seperti ini, jika diletakkan dalam perspektif DPRD sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah (UU No. 32 tahun 2004) dan lembaga pemerintahan daerah (UU Susduk), maka lebih tepat jikalau yang dimaksud disini tidak lain adalah pemegang kekuasaan legislatif di tingkat daerah. Oleh sebab itu, jika pemahaman seperti ini akan diterapkan dalam rangka revisi UU No. 32 Tahun 2004, sudah sepatutnya jikalau kedudukan DPRD dipertegas menjadi lembaga perwakilan rakyat di tingkat daerah yang memiliki fungsi legislasi, pengawasan dan penganggaran. Oleh sebab itu, guna mengarahkan pada kepstian hukum rumusan untuk revisi UU no. 32 tahun 2004 tidak lagi mempergunakan frase “unsur penyelenggara pemerintahan daerah” yang menimbulkan dua kemungkinan penafsiran seperti yang telah penulis kemukakan.

B. Kapasitas dan Kemampuan Anggota DPRD dalam Menjalankan Kewenangannya.
Secara umum kapasitas dan kemampuan Anggota DPRD dalam menjalankan kewenangannya sangat dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu :
1. kemampuan dan kapasitas personal anggota DPRD. Dalam kerangka welfare state keberadaan Pemerintahan Lokal merupakan sarana untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat guna mewujudkan kesejahteraan umum. Kebutuhan dan kehendak masyarakat daerah jelas makin beragam dan multi sektoral. DPRD sebagai lembaga Perwakilan Rakyat secara paradigmatik harus mampu menampung dan merumuskan kebijakan-kebijakan politik melalui produk hukum yang dihasilkan. Oleh sebab itu, kemampuan dan kapasitas personal anggota DPRD dalam menyerap aspirasi masyarakat menjadi syarat mutlak. Kemampuan dan kapasitas anggota DPRD yang pas-pasan, atau minimalis jelas akan menghambat pelaksanaan kewenangan yang diberikan kepadanya. Dengan demikian salah satu syarat untuk menjadi anggota DPRD hendaknya mencantumkan uji kelayakan yang dapat dipergunakan untuk menilai kemampuan dan kapasitas anggota DPRD tersebut. Materi uji kelayakan itu harus terkait dengan fungsi dan wewenang yang akan dijalankan oleh anggota DPRD seperti visi dan misi, kemampuan legal drafting, pengawasan, dan budgeting.
2. Sistem rekrutmen kader Parpol. Pemilu yang masih tetap mempergunakan sistem proporsional terbuka[2] pada hakikatnya tetap memposisikan Parpol yang sangat dominan dalam proses rekrutmen anggota DPRD. Dengan demikian peran Parpol dalam mempersiapkan kader-kader untuk menjadi anggota DPRD sangat berpengaruh dalam menunjang kemampuan dan kapasitas anggota DPRD. Untuk itu pola pencalonan anggota DPRD yang dilakukan oleh Parpol harus diubah. Uji kelayakan sebagaimana penulis kemukakan dalam point 1 harus menjadi dasar bagi Parpol untuk menentukan kader-kadernya dalam daftar calon anggota DPRD tersebut. Jadi pencantuman daftar calon tidak lagi mempergunakan paradigma kemampuan finansial kader yang sampa sekarang masih menggejala di lingkungan Parpol.
3. Mekanisme pertanggungjawaban anggota DPRD terhadap konstituen. Selama ini setelah kader parpol menjadi anggota DPRD hubungan dengan rakyat pemilih (konstituen) masih tetap “terputus”. Anggota DPRD masih tetap “mesra” berhubungan dengan organisasi Induk Parpol. Apalagi di lingkungan DPRD peran fraksi sebagai perpanjangan parpol di DPRD dalam menggendalikan anggota DPRD masih sangat dominan. Akuntabilitas anggota DPRD kepada rakyat tidak pernah dilakukan, dan mekanismenya sampai sekarang juga belum ada perangkat hukum yang mengatur. Akibatnya sepak terjang anggota DPRD tetap tidak dapat dikontrol secara langsung oleh konstituen. Pergantian antar waktu juga sangat tergantung dari kebijakan Parpol melalui fraksi-fraksi yang ada di DPRD. Oleh sebab itu tidaklah mengherankan jikalau antara anggota DPRD dengan rakyat pemilih tidak ada ikatan keterwakilan yang memadai.
4. Mekanisme kerja fraksi-fraksi dalam menampung dan menyalurkan kehendak atau aspirasi masyarakat daerah dalam perumusan dan pembentukan kebijakan publik melalui pembentukan Perda. Sampai saat ini kedudukan fraksi – walaupun bukan alat perlengkapan DPRD – sangatlah dominan. Tidak sedikit Raperda yang sudah disepakati oleh komisi, gabungan komisi ataupun Pansus gagal disetujui oleh DPRD, hanya gara-gara fraksi tidak menyetujui dalam rapat paripurna. Dengan demikian secara empiris posisi fraksi dalam pembentukan Perda sangat menentukan. Jika Fraksi masih tetap diposisikan seperti ini, maka jalan satu-satunya adalah memberikan penguatan kepada fraksi-fraksi dalam menampung dan merumuskan aspirasi masyarakat daerah untuk dituangkan dalam produk hukum (perda). Caranya adalah dengan melengkapi fraksi-fraksi tersebut dengan staff ahli lintas sektoral. Bukan staf ahli yang disediakan oleh masing-masing Parpol.
5. Mekanisme dan sistem pengawasan internal anggota DPRD dalam melaksanakan fungsi dan kewenangannya. Kode etik (code of conduct) bagi anggota DPRD sampai saat ini dirumuskan secara internal oleh DPRD. Padahal secara teoritis anggota DPRD adalah wakil-wakil rakyat. Oleh sebab itu code of conduct sebaiknya dirumuskan oleh DPRD bekerja sama dengan stakeholder (pemangku kepentingan) yang ada di masyarakat. Substansi Code of conduct itu harus dimuat dalam satu kesatuan dengan Peraturan Tata tertib anggota DPRD atau lebih tepat dimuat dalam revisi UU No. 32 Tahun 2004 atau dimuat dalam UU Susduk. Sehingga masyarakat mengetahui dan ikut melakukan pengawasan terhadap perilaku anggota DPRD. Substansi code of conduct ini secara umum dan berlaku untuk seluruh DPRD di Indonesia. Substansi code of conduct[3] dan perilaku keseharian yang menyimpang dari anggota DPRD, dapat digambarkan dalam bagan di bawah ini.

PRINSIP CODE OF CONDUCT
PERILAKU KESEHARIAN YANG MENYIMPANG DARI ANGGOTA DPRD
Selflessness: Anggota hanya melayani kepentingan publik dan tidak diperbolehkan memberikan keuntungan atau kerugian pada seseorang atau kelompok secara tidak layak (improperly).

1. merekomendasikan kepada kroninya (keluarga) dan anggota Parpol untuk mendapatkan proyek di pemerintah;
2. melayani kepentingan publik tetapi sebenarnya kepentngan pribadi dan Parpol ikut andil di dalamnya;
3. mendahulukan kepentingan sendiri dan kroninya. (Lowongan jabatan : mendahulukan saudara dan kroni)
4. Memakai mobil dinas untuk kepentingan kelompok atau partainya (keluarga) diganti Platnya.
5. merekomendasikan fasilitas publik yang berdekatan dengan tanah milik atau kelompoknya.
6. pelanggaran standart operasional pelayanan publik.
Honesty and Integrity: Anggota tidak diperbolehkan me-nempatkan dirinya pada situasi dimana kejujuran dan integritasnya dipertanyakan, berperilaku tidak layak serta harus menghindari segala perilaku tersebut dalam semua kegiatan/acara.

1. mengambil keputusan yang tidak konsisten (gampang berubah), hal ini disebabkan karena kepentingan pribadi, kelompok, golongan (kepentingan terselubung).
2. meminta amplop (pelicin) seolah-olah anggota telah melakukan jasa tertentu.
3. melakukan penipuan di masyarakat (bisnis dll) : terlibat di dalam suatu propaganda yang tingkat kualitasnya belum terbukti;
4. membuat laporan pertanggung jawaban kegiatan yang dianggarkan dari lembaga namun kegiatan tersebut tidak dilaksanakan (reses fiktif).
5. ingin mendapat pelayanan lebih dahulu dalam pelayanan publik. Contoh dalam hal mengurus perijinan.
Objectivity: Anggota harus mengambil keputusan berdasarkan fakta, termasuk saat membuat perjanjian, kontrak atau merekomendasikan seseorang untuk mendapatkan penghargaan (rewards or benefit).

Like and dislike contohnya : memberikan sebuah rekomendasi atau keputusan yang dilandasi oleh suka/tidak suka kepada seseorang. Baik bersifat positif/negatif. Contoh kalau terhadap kelompoknya dianggap baik, sebaliknya terhadap lawan politik dianggap tidak baik.
mengambil sebuah keputusan yang tidak berdasarkan aturan, tetapi berdasar pada kebijakan politik. Contohnya mengusulkan PAW.
mengambil keputusan berdasarkan data yang tidak jelas. Contoh : mark up anggaran, kegiatan-kegiatan fiktif, memberikan bantuan yang tidak tepat sasaran/ tidak sesuai program

Accountability: Anggota harus mempunyai akuntabilitas dihadapan publik terhadap seluruh tindakannya, dan harus sepenuhnya dapat bekerjasama serta jujur dengan penuh kehati-hatian.

menganggarkan barang (laptop) yang tidak sesuai dengan porsinya (mark up anggaran)
membuat peraturan yang justru membuat kacau ditengah-tengah masyarakat. (Perda)
mark up anggaran.

Openness: Anggota harus selalu terbuka dalam segala tin-dakan yang mencakup kewenangannya serta harus mempunyai penjelasan terhadap tindakan-tindakannya tersebut.

tidak melakukan kontrol terhadap regulasi yang benar-benar merugikan masyarakat. (Lingkungan hidup – pembuangan limbah pabrik)
mendirikan lembaga yang tdk ada dasar legalitasnya. Contohnya Panitia Legislasi (seharusnya kalau di daerah ad hoc, tetapi dipermanenkan supaya ada uang tunjangan)
Personal Judgement: Anggota harus memperhatikan pandangan anggota lain, termasuk kelompok politik mereka, namun harus mempunyai kesimpulan sendiri terhadap isu yang dibicarakan, dan bertindak dalam lingkup kesimpulan-kesimpulan tersebut.

mengatasnamakan lembaga pdhal untuk kepentingan pribadi, kelompoknya
membangun opini publik dengan cara membunuh karakter anggota DPRD yang lain yang tidak sependapat.


Respect for Others: Anggota harus mengedepankan kesetaraan dengan tidak melakukan diskriminasi hukum terhadap semua orang, dan dengan memperlakukan orang dengan kehormatannya tanpa memperhatikan ras, umur, agama, gender, orientasi seksual atau ketidakmampuan.


Duty to Uphold the Law: Anggota harus menegakkan hukum, dalam segala kondisi, berlaku dalam keserasian dan keper-cayaan yang diberikan publik kepadanya.


Stewardship: Anggota harus melakukan apa pun yang dapat mereka lakukan, untuk meyakinkan bahwa otoritas mereka menggunakan sumber-sumber yang prudent dan dalam lingkup hukum.


Leadership: Anggota harus mendepankan dan mendukung prinsip-prinsip ini dengan jiwa kepemimpinan dan selalu bertindak dalam jalur yang menjaga keyakinan publik.



Penegakan Code of conduct bagi anggota DPRD tidak dapat berjalan dengan baik jikalau Badan Kehormatan tidak berfungsi secara optimal. Problematika yang dihadapi oleh BK-DPRD dalam penanganan kasus pelanggaran code of conduct, yaitu :
a. Keanggotaan BK-DPRD yang sifatnya tetap justru menghambat penanganan secara fair jika pelanggaran justru dilakukan oleh anggota BK-DPRD sendiri;
b. Kedekatan hubungan antara pelanggar (anggota DPRD) dengan Parpol induk via fraksi mengakibatkan punishment tidak berjalan;
c. Acara pemeriksaan pada umumnya tertutup;
d. Tuduhan pelanggaran code of conduct sering penuh dengan muatan kepentingan politik, artinya terbuka untuk dipergunakan sebagai sarana untuk menjatuhlan lawan politik (caracter assasination);
e. Pada umumnya DPRD belum memiliki peraturan “acara” pemeriksaan pelanggaran code of conduct;
f. Berat ringannya pelanggaran code of conduct dan berat ringannya sanksi, pada umumnya berdasarkan persepsi orang per orang. Belum ada kepastian ukuran; dan
g. Mekanisme BK-DPRD belum proaktif. Hanya menunggu laporan. BK DPRD belum memiliki standard baku investigasi.
Terkait dengan problematik yang dihadapi oleh BK-DPRD tersebut di atas, maka untuk menunjang kapasitas dan kemampuan anggota DPRD dalam menjalankan kewenangannya BK-DPRD di masa mendatang harus :
1. Membangun kerja sama dengan Parpol. Misalnya Parpol harus melaporkan ke BK-DPRD dan publik mengenai sumbangan periodik yang diberikan wakilnya di DPRD, termasuk yang langsung disalurkan ke parpol;
2. Bersama dengan pimpinan DPRD menertibkan pihak-pihak di internal DPRD yang selama ini disinyalir sering menjadi “bandar” pembagian amplop kepada anggota DPRD terkait dengan pembahasan Raperda atau pelaksana fungsi-fungsi lainnya;
3. Bersama dengan pimpinan DPRD bekerja sama dengan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dalam hal merumuskan definisi gratifikasi dan prosedur standard pemrosesan kasusnya baik di tingkat BK DPRD, Pimpinan DPRD, Parpol, maupun institusi penegak hukum;
4. Memperbaiki mekanisme pemrosesan kasus yang ditangani BK DPRD agar lebih mandiri dan terlepas dari hambatan prosedural maupun politik;
5. Ke depan BK DPRD harus mengambil inisiatif jika issu publik mulai muncul berkaitan dengan adanya pelanggaran code of conduct. Perlu dikatahui bahwa di dalam Tatib DPRD, tidak ada larangan untuk melakukan hal itu;
6. Pengaturan bahwa rapat-rapat BK DPRD bersifat tertutup seharusnya tidak diartikan bahwa BK DPRD tidak memiliki wewenang untuk menjelaskan kepada publik hasil proses penelusuran dan persidangan yang dilakukan termasuk pertimbangan-pertimbangan yang dikemukakan;
7. Tata Cara pemeriksaan atas pelanggaran code of conduct harus segera disusun oleh BK DPRD dan berpedoman pada UU Susduk atau UU Pemerintahan Daerah. Tata cara ini harus disebar luaskan kepada publik agar publik memahami prosedur dan mekanisme pelaporan;
8. BK DPRD menciptakan mekanisme pertanggungjawaban publik atas laporan hasil pemeriksaan yang dilakukan agar tidak menimbulkan interpretasi di masyarakat yang justru akan mengurangi nilai keabsahan keputusan BK DPRD di mata publik;
9. BK DPRD harus memiliki tim investigasi Pelanggaran code of conduct yang dalam aktifitasnya bekerja sama dengan pihak-pihak terkait, seperti kepolisian. LSM, Perguruan Tinggi dan Parpol.

C. Arah Agenda Penguatan Kelembagaan dan Supporting System DPRD.
Berpijak dari problematik dan argumentasi tersebut di atas, maka arah agenda penguatan kelembagaan dan supporting system DPRD meliputi :
1. Revitalisasi fraksi-fraksi yang ada di DPRD yang diarahkan kepada prinsip keberpihakan masyarakat daerah secara umum. Bukan lagi keberpihakan kepada masing-masing parpol;
2. Sistem dan mekanisme rekriutmen kader masing-masing Parpol yang lebih transparan dan berbasis pada kapasitas dan performance guna menunjang kualitas anggota DPRD;
3. Penegasan mekanisme akuntabilitas publik anggota DPRD;
4. Standarisasi code of conduct yang sama untuk semua DPRD harus tersusun dan dituangkan dalam UU Susduk atau UU Pemerintahan Daerah;
5. Komposisi keanggotaan BK-DPRD yang mencerminkan kompisisi keterwakilan rakyat. Artinya anggota BK-DPRD tidak hanya diambil dari internal DPRD melainkan melibatkan komponen masyarakat daerah yang konsens terhadap pemberdayaan parlemen daerah. Anggota BK-DPRD juga tidak bersifat tetap, melainkan ad hoc.
6. Mekanisme hubungan DPRD dengan Lembaga Perwakilan lain (DPR dan DPD) perlu dirumuskan. Hal ini dimaksud agar ada sinergitas keterwakilan rakyat dalam sistem keparlemenan Indonesia, karena selama ini hubungan antara DPRD dengan lembaga perwakilan rakyat di tingkat Pusat terputus. Sinergitas hubungan ini juga dapat dipergunakan untuk mengeleminir terjadinya Perda-perda yang bermasalah; dan
7. Penguatan Sekretariat DPRD yang tidak hanya menjalankan fungsi-fungsi administratif dan protokoler, melainkan juga menjalankan fungsi Penelitian dan Pengembangan termasuk penyediaan staf ahli bagi anggota DPRD.

D. Penutup.
Demikian sumbangan pemikiran yang dapat penulis sampaikan dalam acara Panel Ahli ”Problematika dan Agenda Penguatan DPRD. Semoga tulisan ini bermanfaat.

Kotagede; 23 Juni 2008
Penulis;



B. Hestu Cipto Handoyo



*) Makalah disampaikan dalam Panel Ahli ”Problematika dan Agenda Penguatan DPRD”, diselenggarakan oleh Program Pascasarjana S2 PLOD-UGM bekerja sama dengan DRSP, Yogyakarta, 23-24 Juni 2008
**) Dekan FH-UAJY, Direktur Eksekutif Parliament Watch Yogyakarta
[1] Hans Kelsen, dalam Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Sinar Harapan, Jakarta, 1994, hlm. 24.
[2] Pasal 5 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD.
[3] Belajar dari Pemerintah Lokal Inggris dalam www.adkasi.or.id

KETERANGAN AHLI UJI MATERI UU KOPERASI

KONSEKUENSI MAKNA KETENTUAN UMUM PASAL 1 ANGKA 1 UU NO. 17 TAHUN 2012 TERHADAP PRINSIP DAN ASAS KOPERASI Oleh: Dr. Benediktus H...