Mengenai Saya

Foto saya
Yogyakarta, DIY, Indonesia
Dr. Benediktus Hestu Cipto Handoyo, S.H.,M.Hum atau sering dipanggil Ben atau Hestu, lahir di Blora Jawa Tengah pada tanggal 3 Juli 1962. Suami dari Maria Bernadeth Maitimo, SH dan bapak dari dua anak Giovanni Battista Maheswara, S.H.,M.H dan Alexandro Kevin Maheswara, S.H. ini, menyelesaikan pendidikan di SD. Katolik Kridadharma Blora tahun 1974. Kemudian melanjutkan di SMP Negeri I Blora lulus tahun 1978, serta SMA Jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) di SMA Katolik Wijayakusuma Blora, lulus tahun 1981. Jenjang Pendidikan Tinggi ditempuh di Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta, dan Lulus Sarjana Hukum pada tahun 1988. Melanjutkan studi pada Program Pascasarjana (S2) Universitas Padjadjaran Bandung lulus dan memperoleh gelar Magister Humaniora (M.Hum) pada tahun 1995. Pada tanggal 20 Desember 1997 sampai dengan 4 Maret 1998 mendapatkan kesempatan mengikuti kursus di LEMHANNAS (Lembaga Pertahanan dan Keamanan Nasional) Jakarta. Kemudian pada tahun 2018 Lulus pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Katolik Parahyangan Bandung

Sabtu, 04 Oktober 2008

SINKRONISASI MENGAWASI HAKIM


SINKRONISASI MENGAWASI HAKIM

Oleh :
B. Hestu Cipto Handoyo*)


Terkait dengan pembahasan RUU MA yang kontroversial, Kompas (Sabtu, 4 Oktober 2008) mengemukakan bahwa RUU MA setidaknya harus disahkan bersamaan dengan RUU KY. Sebab, ada hal krusial yang harus disinkronkan dari kedua peraturan tersebut, yaitu tentang pengawasan hakim. Sinkronisasi tersebut memang penting, karena selama ini terdapat standart ganda pengawasan hakim yang dilakukan oleh MA maupun KY. MA memiliki perangkat pengawasan hakim yang dikawal oleh Badan Kehormatan Hakim MA yang diserbut code of etics, sedangkan KY memiliki standart pengawasan yang sering disebut code of conduct (aturan perilaku) hakim.

Tujuh Sinkronisasi.
Untuk mengoptimalkan pengawasan terhadap hakim sebagaimana diamanatkan Pasal 24B UUD 1945, paling tidak RUU MA dan RUU KY harus mengandung tujuh sinkronisasi. Pertama; kedua RUU harus sama-sama menempatkan KY sebagai satu-satunya lembaga negara yang diberi wewenang melakukan pengawasan terhadap hakim dengan sasaran Hakim Agung dan hakim pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung yaitu peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan khusus, serta hakim Mahkamah Konstitusi.
Satu pintu pengawasan hakim ini penting agar tidak terjadi duplikasi pengawasan yang dilakukan oleh masing-masing institusi peradilan serta berguna untuk menjaga independensi lembaga pengawas hakim. Sehingga pameo “maling teriak maling” tidak terjadi lagi dalam dunia pengawasan hakim.
Kedua; RUU MA dan RUU KY harus memerintahkan agar code of etics dan code of conduct bagi hakim disusun secara bersama-sama. Artinya sebagai parameter dalam menentukan ada atau tidaknya penyimpangan etika dan perilaku hakim, harus disusun code of etics dan Code of Conduct bagi kinerja Hakim oleh KY bersama-sama dengan MA.
Ketiga; kedua RUU sama-sama merumuskan bahwa wewenang KY adalah untuk mengawasi perilaku hakim dan bahkan melakukan upaya-upaya preventif untuk memastikan tegaknya kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim. Kedua RUU tersebut juga harus menegaskan bahwa wewenang KY dilakukan di dalam dan di luar sidang/kedinasan. Pengawasan perilaku tersebut dilakukan berdasarkan code of etics maupun Code of Conduct Hakim yang telah disusun secara bersama-sama dengan MA. Dengan demikian, Badan Kehormatan hakim yang terdapat di tubuh MA dilebur ke dalam KY. Konsekuensi lanjutan dari pengaturan seperti ini, maka KY juga harus memiliki perangkat pengawasan di setiap tingkatan peradilan di Indonesia.
Keempat; kedua RUU harus merumuskan secara tegas bahwa putusan hakim wajib dijadikan entry point untuk mendapatkan data dan informasi ada/tidaknya perilaku hakim yang menyimpang dari code of etics maupun code of Conduct. Lebih lebih lanjut dalam kedua RUU tersebut juga harus memberikan jaminan bahwa KY dapat melakukan investigasi untuk menemukan bukti-bukti tentang kesepakatan-kesepakatan di luar ruang sidang antara Hakim dengan para pihak. Selanjutnya fakta-fakta tersebut dipakai dasar untuk merekomendasikan sanksi atas pelanggaran code of etics maupun code of conduct.
Kelima; kedua RUU harus mengatur prosedur pengawasan dan pemeriksaan hakim yang meliputi kerahasiaan laporan/pemeriksaan, serta pengumuman kepada publik setelah pemeriksaan selesai dan dinyatakan terbukti melakukan pelanggaran. Substansi pengaturan ini harus memperhatikan prinsip-prinsip seperti (a) asas praduga tidak bersalah; (b) tetap menghargai martabat hakim; (c) tidak melanggar independensi hakim.
Keenam; kedua RUU harus memberikan wewenang yang kuat kepada KY untuk menyampaikan rekomendasi apabila terjadi pelanggaran Code of Etics atau Code of Conduct Hakim. Penyampaian rekomendasi kepada Presiden dengan tembusan kepada MA dan DPR yang disertai dengan menyebutkan pelanggaran yang telah dilakukan serta sanksi yang harus dilaksanakan. Dalam hal ini MA wajib menjatuhkan sanksi dengan merujuk rekomendasi KY.
Ketujuh; kedua RUU harus mengatur tentang hak pelapor, yang meliputi jaminan kerahasiaan identitas pelapor, jaminan pelapor tidak dapat digugat ke pengadilan atau dilaporkan ke kepolisian, hak Pelapor untuk mengetahui progress dari laporannya baik ditindaklanjuti ataupun tidak. Serta mengatur tentang akses publik dalam memperoleh informasi. Namun demikian, pengaturan hal ini juga perlu ada pembatasan, jangan sampai informasi yang seharusnya tertutup dibuka oleh KY sebagai satu-satunya lembaga yang memiliki wewenang untuk melakukan pemeriksaan terhadap hakim.
Dalam trias politika, satu-satunya lembaga negara yang didesain bebas dan tidak memihak adalah lembaga yudikatif (peradilan). Desain seperti ini bertujuan agar lembaga peradilan (yudikatif) benar-benar tidak dipengaruhi oleh kepentingan dari cabang kekuasaan lain dalam negara. Namun demikian, kebebasan atau independensi ini tidak kemudian diartikan bebas dari pengawasan. Demi tetap terjaganya supremasi hukum dalam arus demokratisasi, maka pengawasan terhadap lembaga peradilan yang dicerminkan dalam pengawasan terhadap hakim sangat dibutuhkan. Apalagi sampai sekarang ”mafia peradilan” dan judicial corruption masih mewarnai dunia peradilan Indonesia.



*) Dekan Fakultas Hukum Univ. Atma Jaya Yogyakarta dan Direktur Eksekutif Parliament Watch Yogyakarta.

Rabu, 01 Oktober 2008

PROBLEMATIKA DAN AGENDA PENGUATAN



PROBLEMATIKA DAN AGENDA PENGUATAN
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT*)

Oleh :
B. Hestu Cipto Handoyo**)


A. Kedudukan DPRD dalam Sistem Desentralisasi dan Demokrasi.
Desentralisasi sebagai suatu asas penyelenggaraan pemerintahan lokal merupakan salah satu pilar yang dipergunakan dalam penyelenggaraan pemerintahan di Negara kesatuan yang mempergunakan prinsip Negara hukum dan demokrasi. Penggunaan asas desentralisasi di samping bertujuan untuk menyelenggarakan system pemerintahan yang efektif dan efisien juga dilandasi oleh beberapa latar belakang prinsipiil.
Pertama; Prinsip Negara hukum. Di dalam prinsip Negara hukum di samping dikenal adanya pemisahan kekuasaan (pemisahan atau pembagian kekuasaan secara horizontal atara tiga cabang kekuasaan di dalam Negara (eksekutif, legislatif dan yudikatif), juga dikenal adanya pemencaran kekuasaan (pendistribusian kekuasaan dalam garis vertikal). Dari prinsip seperti inilah, desentralisasi merupakan sarana yang tepat untuk melaksanakan pemencaran kekuasaan tersebut. Selaras dengan pemahaman ini, maka kedudukan DPRD menjadi sarana untuk melakukan pemencaran kekuasaan, khususnya di bidang legislasi, pengawasan dan budgeting. Fungsi-fungsi ini memang sudah berjalan, namun optimalisasi fungsi-fungsi tersebut masih kurang, karena sifat keanggotaan DPRD yang masih generalis. Oleh sebab itu dalam kerangka desentralisasi, kelembagaan DPRD harus diperkuat dengan adanya tim asistensi ahli yang memiliki kemampuan di bidang legislasi, pengawasan (berbagai sektor penyelenggaraan pemerintahan daerah), dan sistem penganggaran.
Kedua; Prinsip demokrasi. Dalam Negara demokrasi kebutuhan akan partisipasi masyarakat dalam berbagai aspek penyelenggaraan pemerintahan merupakan suatu keharusan. Berdasarkan prinsip semacam inilah maka desentralisasi merupakan sarana yang tepat untuk melaksanakan demokrasi pemerintahan di tingkat lokal. DPRD sebagai lembaga yang merepresentasikan partisipasi masyarakat daerah harus ditempatkan sebagai sarana untuk mengartikulasikan kehendak masyarakat daerah bukan justru mengartikulasikan kehendak masing-masing partai politik. Wacana bahwa anggota DPRD hanya mementingkan kepentingan Parpol saat ini justru telah memperoleh pembenaran dan kepastian hukum melalui UU No. 2 Tahun 2008 tentang Parpol.
Menurut Pasal 1 angka 1 UU No. 2 Tahun 2008 tentang Parpol ditegaskan bahwa Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Mencermati pengertian tersebut menunjukkan bahwa organisasi Parpol dibentuk untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota terlebih dahulu, baru kemudian memperjuangkan kepentingan politik masyarakat, baru disusul memperjuangkan kepentingan politik bangsa dan negara. Rumusan seperti ini memberikan penguatan secara yuridis bahwa Partai Politik memang hanya mementingkan kelompok dan anggota-anggotanya.
Ketiga; Prinsip welfare state. Dalam Negara kesejahteraan, fungsi Negara yang diwujudkan dalam aktifitas pemerintahan adalah sebagai pelayan masyarakat (public services) untuk mewujudkan kesejahteraan umum warganya. Fungsi seperti ini tentunya tidak dapat berjalan dengan baik jikalau dalam pelaksanaannya dilakukan secara sentralistik. Hal ini mengingat kebutuhan-kebutuhan masyarakat di masing-masinh bagian Negara jelas berbeda sesuai dengan karakteristiknya masing-masing. Dengan demikian dalam prinsip welfare state, asas desentralisasi merupakan sarana yang tepat untuk menyelenggarakan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan karekteristik kebutuhan di tingkat lokal. Desentralisasi dalam prinsip welfre state berguna untuk lebih mendekatkan pelayanan masyarakat yang dilakukan oleh Negara. DPRD sebagai wadah untuk mengartikulasikan kebutuhan-kebutuhan masyarakat seharusnya, tidak lagi bertindak seperti layaknya broker-broker parpol untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Kerja-kerja anggota DPRD seharusnya bersifat kolektif untuk melayani masyarakat dalam mengartikulasikan kebutuhan-kebutuhan riil masyarakat daerah. Sehingga keberadaan fraksi, yang merupakan perpanjangan tangan Parpol justru menghambat kerja-kerja kolektif anggota DPRD. Padahal fraksi bukan salah satu alat kelengkapan DPRD, namun dalam berbagai hal ternyata fraksi lebih mendominasi dalam setiap pengambilan keputusan politik yang terkait dengan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan riil masyarakat daerah. Dengan demikian, secara nyata keberadaan fraksi justru kontra produktif, karena dengan adanya keberadaan fraksi inilah DPRD bukan lagi merupakan perwakilan rakyat, melainkan perwakilan parpol. Parpol memang merupakan pranata penting dalam kehidupan demokrasi. Namun jikalau parpol justru terlalu mendominasi dan memonopoli sepak terjang DPRD, maka hal ini justru mengakibatkan penyelenggaraan prinsip-prinsip demokrasi akan mengalami penurunan yang cukup signifikan.
Keempat; Prinsip kebhinekaan. Dalam Negara yang komposisi masyarakatnya demikian beragam, tidaklah mungkin untuk melakukan penyeragaman (uniformitas) kebijaksanaan dan keputusan-keputusan politik. Karakteristik dan kehendak masing-masing daerah yag berbeda-beda haruslah menjadi pertimbangan utama. Dengan demikian, karena adanya prinsip kebhinekaan inilah, funsgi desentralisasi dipergunakan sebagai sarana untuk menampung keanekaragaman.
Pasal 1 angka 4 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menegaskan bahwa DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Kemudian dalam Pasal 60 dan Pasal 76 UU No. 22 Tahun 2003 tentang Susduk MPR, DPR, DPD, dan DPRD ditergaskan bahwa DPRD (Provinsi/Kabupaten/Kota) merupaan lembaga perwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga pemerintahan daerah (Provinsi/Kabupaten/Kota). Ketentuan yuridis semacam ini jelas menimbulkan penafsiran yang beragam, khususnya menyangkut frase “unsur penyelenggara pemerintahan daerah (UU No. 32 tahun 2004) dan lembaga pemerintahan daerah (UU Susduk)”.
Pemerintahan (daerah) dalam pengertian Hukum Tata Negara dapat ditafsirkan dalam pengertian luas dan sempit. Pertama; pemerintahan dalam konteks pengertian yang luas menyangkut segala aktifitas untuk mengimplementasikan fungsi, tugas, wewenang, dan tanggungjawab yang dilakukan oleh Negara. Penafsiran ini meliputi satu kesatuan fungsi yang menyangkut mengatur (legislasi), memerintah (eksekutif), dan mengadili (judikatif).
Kedua; pemerintahan dalam pengertian yang luas menyangkut aktifitas yang dilakukan Negara atau daerah dalam fungsinya untuk memerintah (eksekutif). Penafsiran ini hanya ditekankan pada pelaksanaan fungsi yang dilakukan oleh pemerintah yakni pemegang kekuasaan eksekutif dalam Negara atau dalam konteks pemerintahan daerah, adalah Kepala daerah dan jajaran eksekutif lainnya.
Dari kedua penafsiran seperti ini, maka problematika kedudukan dan kewenangan DPRD sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah terletak pada posisi yang ambigu, yakni apakah yang dimaksud dengan unsur pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud dalam UU No. 32 Tahun 2004 dan UU Susduk dalam perspektif yang luas ataukah sempit? Kedua UU tersebut tidak memberikan kepastian hukum dalam menentukan posisi DPRD dalam kacamata penafsiran tersebut di atas.
Jikalau pengertian Pemerintahan daerah itu diletakkan dalam aspek penafsiran yang luas, maka kedudukan dan kewenangan DPRD masih bisa dipisahkan dengan kedudukan dan kewenangan eksekutif daerah (Kepala daerah dan jajaran eksekutif lainnya). Namun menjadi bermasalah, jikalau pengertian Pemerintahan daerah itu diletakkan dalam aspek penafsiran yang sempit. Penafsiran yang demikian ini jelas akan meletakkan kedudukan dan kewenangan DPRD yang tidak selaras dengan hakikat DPRD sebagai lembaga perwakilan atau parlemen daerah, karena DPRD diletakkan sebagai unsur pemerintahan yang sempit. Posisi yang seperti ini hampir sama dengan ketika pengaturan tentang Pemerintahan Daerah mempergunakan UU No. 5 Tahun 1974. Pada saat mempergunakan UU ini, pengertian Pemerintahan daerah adalah Kepala Daerah dan DPRD.
Menurut Hans Kelsen, desentralisasi berkaitan dengan pengertian Negara. Kelsen mengemukakan bahwa Negara itu merupakan tatanan hukum (legal order). Oleh sebab itu pengertian desentralisasi menyangkut berlakunya sistem tatanan hukum dalam suatu Negara. Di dalam Negara ada kaidah-kaidah hukum yang berlaku sah untuk seluruh wilayah Negara yang disebut kaidah sentral (central norm) dan ada pula kaidah-kaidah hukum yang berlaku sah dalam bagian-bagian wilayah Negara yang disebut desentral atau kaidah lokal (decentral norm).[1]
Konsep teoritis seperti ini, jika diletakkan dalam perspektif DPRD sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah (UU No. 32 tahun 2004) dan lembaga pemerintahan daerah (UU Susduk), maka lebih tepat jikalau yang dimaksud disini tidak lain adalah pemegang kekuasaan legislatif di tingkat daerah. Oleh sebab itu, jika pemahaman seperti ini akan diterapkan dalam rangka revisi UU No. 32 Tahun 2004, sudah sepatutnya jikalau kedudukan DPRD dipertegas menjadi lembaga perwakilan rakyat di tingkat daerah yang memiliki fungsi legislasi, pengawasan dan penganggaran. Oleh sebab itu, guna mengarahkan pada kepstian hukum rumusan untuk revisi UU no. 32 tahun 2004 tidak lagi mempergunakan frase “unsur penyelenggara pemerintahan daerah” yang menimbulkan dua kemungkinan penafsiran seperti yang telah penulis kemukakan.

B. Kapasitas dan Kemampuan Anggota DPRD dalam Menjalankan Kewenangannya.
Secara umum kapasitas dan kemampuan Anggota DPRD dalam menjalankan kewenangannya sangat dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu :
1. kemampuan dan kapasitas personal anggota DPRD. Dalam kerangka welfare state keberadaan Pemerintahan Lokal merupakan sarana untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat guna mewujudkan kesejahteraan umum. Kebutuhan dan kehendak masyarakat daerah jelas makin beragam dan multi sektoral. DPRD sebagai lembaga Perwakilan Rakyat secara paradigmatik harus mampu menampung dan merumuskan kebijakan-kebijakan politik melalui produk hukum yang dihasilkan. Oleh sebab itu, kemampuan dan kapasitas personal anggota DPRD dalam menyerap aspirasi masyarakat menjadi syarat mutlak. Kemampuan dan kapasitas anggota DPRD yang pas-pasan, atau minimalis jelas akan menghambat pelaksanaan kewenangan yang diberikan kepadanya. Dengan demikian salah satu syarat untuk menjadi anggota DPRD hendaknya mencantumkan uji kelayakan yang dapat dipergunakan untuk menilai kemampuan dan kapasitas anggota DPRD tersebut. Materi uji kelayakan itu harus terkait dengan fungsi dan wewenang yang akan dijalankan oleh anggota DPRD seperti visi dan misi, kemampuan legal drafting, pengawasan, dan budgeting.
2. Sistem rekrutmen kader Parpol. Pemilu yang masih tetap mempergunakan sistem proporsional terbuka[2] pada hakikatnya tetap memposisikan Parpol yang sangat dominan dalam proses rekrutmen anggota DPRD. Dengan demikian peran Parpol dalam mempersiapkan kader-kader untuk menjadi anggota DPRD sangat berpengaruh dalam menunjang kemampuan dan kapasitas anggota DPRD. Untuk itu pola pencalonan anggota DPRD yang dilakukan oleh Parpol harus diubah. Uji kelayakan sebagaimana penulis kemukakan dalam point 1 harus menjadi dasar bagi Parpol untuk menentukan kader-kadernya dalam daftar calon anggota DPRD tersebut. Jadi pencantuman daftar calon tidak lagi mempergunakan paradigma kemampuan finansial kader yang sampa sekarang masih menggejala di lingkungan Parpol.
3. Mekanisme pertanggungjawaban anggota DPRD terhadap konstituen. Selama ini setelah kader parpol menjadi anggota DPRD hubungan dengan rakyat pemilih (konstituen) masih tetap “terputus”. Anggota DPRD masih tetap “mesra” berhubungan dengan organisasi Induk Parpol. Apalagi di lingkungan DPRD peran fraksi sebagai perpanjangan parpol di DPRD dalam menggendalikan anggota DPRD masih sangat dominan. Akuntabilitas anggota DPRD kepada rakyat tidak pernah dilakukan, dan mekanismenya sampai sekarang juga belum ada perangkat hukum yang mengatur. Akibatnya sepak terjang anggota DPRD tetap tidak dapat dikontrol secara langsung oleh konstituen. Pergantian antar waktu juga sangat tergantung dari kebijakan Parpol melalui fraksi-fraksi yang ada di DPRD. Oleh sebab itu tidaklah mengherankan jikalau antara anggota DPRD dengan rakyat pemilih tidak ada ikatan keterwakilan yang memadai.
4. Mekanisme kerja fraksi-fraksi dalam menampung dan menyalurkan kehendak atau aspirasi masyarakat daerah dalam perumusan dan pembentukan kebijakan publik melalui pembentukan Perda. Sampai saat ini kedudukan fraksi – walaupun bukan alat perlengkapan DPRD – sangatlah dominan. Tidak sedikit Raperda yang sudah disepakati oleh komisi, gabungan komisi ataupun Pansus gagal disetujui oleh DPRD, hanya gara-gara fraksi tidak menyetujui dalam rapat paripurna. Dengan demikian secara empiris posisi fraksi dalam pembentukan Perda sangat menentukan. Jika Fraksi masih tetap diposisikan seperti ini, maka jalan satu-satunya adalah memberikan penguatan kepada fraksi-fraksi dalam menampung dan merumuskan aspirasi masyarakat daerah untuk dituangkan dalam produk hukum (perda). Caranya adalah dengan melengkapi fraksi-fraksi tersebut dengan staff ahli lintas sektoral. Bukan staf ahli yang disediakan oleh masing-masing Parpol.
5. Mekanisme dan sistem pengawasan internal anggota DPRD dalam melaksanakan fungsi dan kewenangannya. Kode etik (code of conduct) bagi anggota DPRD sampai saat ini dirumuskan secara internal oleh DPRD. Padahal secara teoritis anggota DPRD adalah wakil-wakil rakyat. Oleh sebab itu code of conduct sebaiknya dirumuskan oleh DPRD bekerja sama dengan stakeholder (pemangku kepentingan) yang ada di masyarakat. Substansi Code of conduct itu harus dimuat dalam satu kesatuan dengan Peraturan Tata tertib anggota DPRD atau lebih tepat dimuat dalam revisi UU No. 32 Tahun 2004 atau dimuat dalam UU Susduk. Sehingga masyarakat mengetahui dan ikut melakukan pengawasan terhadap perilaku anggota DPRD. Substansi code of conduct ini secara umum dan berlaku untuk seluruh DPRD di Indonesia. Substansi code of conduct[3] dan perilaku keseharian yang menyimpang dari anggota DPRD, dapat digambarkan dalam bagan di bawah ini.

PRINSIP CODE OF CONDUCT
PERILAKU KESEHARIAN YANG MENYIMPANG DARI ANGGOTA DPRD
Selflessness: Anggota hanya melayani kepentingan publik dan tidak diperbolehkan memberikan keuntungan atau kerugian pada seseorang atau kelompok secara tidak layak (improperly).

1. merekomendasikan kepada kroninya (keluarga) dan anggota Parpol untuk mendapatkan proyek di pemerintah;
2. melayani kepentingan publik tetapi sebenarnya kepentngan pribadi dan Parpol ikut andil di dalamnya;
3. mendahulukan kepentingan sendiri dan kroninya. (Lowongan jabatan : mendahulukan saudara dan kroni)
4. Memakai mobil dinas untuk kepentingan kelompok atau partainya (keluarga) diganti Platnya.
5. merekomendasikan fasilitas publik yang berdekatan dengan tanah milik atau kelompoknya.
6. pelanggaran standart operasional pelayanan publik.
Honesty and Integrity: Anggota tidak diperbolehkan me-nempatkan dirinya pada situasi dimana kejujuran dan integritasnya dipertanyakan, berperilaku tidak layak serta harus menghindari segala perilaku tersebut dalam semua kegiatan/acara.

1. mengambil keputusan yang tidak konsisten (gampang berubah), hal ini disebabkan karena kepentingan pribadi, kelompok, golongan (kepentingan terselubung).
2. meminta amplop (pelicin) seolah-olah anggota telah melakukan jasa tertentu.
3. melakukan penipuan di masyarakat (bisnis dll) : terlibat di dalam suatu propaganda yang tingkat kualitasnya belum terbukti;
4. membuat laporan pertanggung jawaban kegiatan yang dianggarkan dari lembaga namun kegiatan tersebut tidak dilaksanakan (reses fiktif).
5. ingin mendapat pelayanan lebih dahulu dalam pelayanan publik. Contoh dalam hal mengurus perijinan.
Objectivity: Anggota harus mengambil keputusan berdasarkan fakta, termasuk saat membuat perjanjian, kontrak atau merekomendasikan seseorang untuk mendapatkan penghargaan (rewards or benefit).

Like and dislike contohnya : memberikan sebuah rekomendasi atau keputusan yang dilandasi oleh suka/tidak suka kepada seseorang. Baik bersifat positif/negatif. Contoh kalau terhadap kelompoknya dianggap baik, sebaliknya terhadap lawan politik dianggap tidak baik.
mengambil sebuah keputusan yang tidak berdasarkan aturan, tetapi berdasar pada kebijakan politik. Contohnya mengusulkan PAW.
mengambil keputusan berdasarkan data yang tidak jelas. Contoh : mark up anggaran, kegiatan-kegiatan fiktif, memberikan bantuan yang tidak tepat sasaran/ tidak sesuai program

Accountability: Anggota harus mempunyai akuntabilitas dihadapan publik terhadap seluruh tindakannya, dan harus sepenuhnya dapat bekerjasama serta jujur dengan penuh kehati-hatian.

menganggarkan barang (laptop) yang tidak sesuai dengan porsinya (mark up anggaran)
membuat peraturan yang justru membuat kacau ditengah-tengah masyarakat. (Perda)
mark up anggaran.

Openness: Anggota harus selalu terbuka dalam segala tin-dakan yang mencakup kewenangannya serta harus mempunyai penjelasan terhadap tindakan-tindakannya tersebut.

tidak melakukan kontrol terhadap regulasi yang benar-benar merugikan masyarakat. (Lingkungan hidup – pembuangan limbah pabrik)
mendirikan lembaga yang tdk ada dasar legalitasnya. Contohnya Panitia Legislasi (seharusnya kalau di daerah ad hoc, tetapi dipermanenkan supaya ada uang tunjangan)
Personal Judgement: Anggota harus memperhatikan pandangan anggota lain, termasuk kelompok politik mereka, namun harus mempunyai kesimpulan sendiri terhadap isu yang dibicarakan, dan bertindak dalam lingkup kesimpulan-kesimpulan tersebut.

mengatasnamakan lembaga pdhal untuk kepentingan pribadi, kelompoknya
membangun opini publik dengan cara membunuh karakter anggota DPRD yang lain yang tidak sependapat.


Respect for Others: Anggota harus mengedepankan kesetaraan dengan tidak melakukan diskriminasi hukum terhadap semua orang, dan dengan memperlakukan orang dengan kehormatannya tanpa memperhatikan ras, umur, agama, gender, orientasi seksual atau ketidakmampuan.


Duty to Uphold the Law: Anggota harus menegakkan hukum, dalam segala kondisi, berlaku dalam keserasian dan keper-cayaan yang diberikan publik kepadanya.


Stewardship: Anggota harus melakukan apa pun yang dapat mereka lakukan, untuk meyakinkan bahwa otoritas mereka menggunakan sumber-sumber yang prudent dan dalam lingkup hukum.


Leadership: Anggota harus mendepankan dan mendukung prinsip-prinsip ini dengan jiwa kepemimpinan dan selalu bertindak dalam jalur yang menjaga keyakinan publik.



Penegakan Code of conduct bagi anggota DPRD tidak dapat berjalan dengan baik jikalau Badan Kehormatan tidak berfungsi secara optimal. Problematika yang dihadapi oleh BK-DPRD dalam penanganan kasus pelanggaran code of conduct, yaitu :
a. Keanggotaan BK-DPRD yang sifatnya tetap justru menghambat penanganan secara fair jika pelanggaran justru dilakukan oleh anggota BK-DPRD sendiri;
b. Kedekatan hubungan antara pelanggar (anggota DPRD) dengan Parpol induk via fraksi mengakibatkan punishment tidak berjalan;
c. Acara pemeriksaan pada umumnya tertutup;
d. Tuduhan pelanggaran code of conduct sering penuh dengan muatan kepentingan politik, artinya terbuka untuk dipergunakan sebagai sarana untuk menjatuhlan lawan politik (caracter assasination);
e. Pada umumnya DPRD belum memiliki peraturan “acara” pemeriksaan pelanggaran code of conduct;
f. Berat ringannya pelanggaran code of conduct dan berat ringannya sanksi, pada umumnya berdasarkan persepsi orang per orang. Belum ada kepastian ukuran; dan
g. Mekanisme BK-DPRD belum proaktif. Hanya menunggu laporan. BK DPRD belum memiliki standard baku investigasi.
Terkait dengan problematik yang dihadapi oleh BK-DPRD tersebut di atas, maka untuk menunjang kapasitas dan kemampuan anggota DPRD dalam menjalankan kewenangannya BK-DPRD di masa mendatang harus :
1. Membangun kerja sama dengan Parpol. Misalnya Parpol harus melaporkan ke BK-DPRD dan publik mengenai sumbangan periodik yang diberikan wakilnya di DPRD, termasuk yang langsung disalurkan ke parpol;
2. Bersama dengan pimpinan DPRD menertibkan pihak-pihak di internal DPRD yang selama ini disinyalir sering menjadi “bandar” pembagian amplop kepada anggota DPRD terkait dengan pembahasan Raperda atau pelaksana fungsi-fungsi lainnya;
3. Bersama dengan pimpinan DPRD bekerja sama dengan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dalam hal merumuskan definisi gratifikasi dan prosedur standard pemrosesan kasusnya baik di tingkat BK DPRD, Pimpinan DPRD, Parpol, maupun institusi penegak hukum;
4. Memperbaiki mekanisme pemrosesan kasus yang ditangani BK DPRD agar lebih mandiri dan terlepas dari hambatan prosedural maupun politik;
5. Ke depan BK DPRD harus mengambil inisiatif jika issu publik mulai muncul berkaitan dengan adanya pelanggaran code of conduct. Perlu dikatahui bahwa di dalam Tatib DPRD, tidak ada larangan untuk melakukan hal itu;
6. Pengaturan bahwa rapat-rapat BK DPRD bersifat tertutup seharusnya tidak diartikan bahwa BK DPRD tidak memiliki wewenang untuk menjelaskan kepada publik hasil proses penelusuran dan persidangan yang dilakukan termasuk pertimbangan-pertimbangan yang dikemukakan;
7. Tata Cara pemeriksaan atas pelanggaran code of conduct harus segera disusun oleh BK DPRD dan berpedoman pada UU Susduk atau UU Pemerintahan Daerah. Tata cara ini harus disebar luaskan kepada publik agar publik memahami prosedur dan mekanisme pelaporan;
8. BK DPRD menciptakan mekanisme pertanggungjawaban publik atas laporan hasil pemeriksaan yang dilakukan agar tidak menimbulkan interpretasi di masyarakat yang justru akan mengurangi nilai keabsahan keputusan BK DPRD di mata publik;
9. BK DPRD harus memiliki tim investigasi Pelanggaran code of conduct yang dalam aktifitasnya bekerja sama dengan pihak-pihak terkait, seperti kepolisian. LSM, Perguruan Tinggi dan Parpol.

C. Arah Agenda Penguatan Kelembagaan dan Supporting System DPRD.
Berpijak dari problematik dan argumentasi tersebut di atas, maka arah agenda penguatan kelembagaan dan supporting system DPRD meliputi :
1. Revitalisasi fraksi-fraksi yang ada di DPRD yang diarahkan kepada prinsip keberpihakan masyarakat daerah secara umum. Bukan lagi keberpihakan kepada masing-masing parpol;
2. Sistem dan mekanisme rekriutmen kader masing-masing Parpol yang lebih transparan dan berbasis pada kapasitas dan performance guna menunjang kualitas anggota DPRD;
3. Penegasan mekanisme akuntabilitas publik anggota DPRD;
4. Standarisasi code of conduct yang sama untuk semua DPRD harus tersusun dan dituangkan dalam UU Susduk atau UU Pemerintahan Daerah;
5. Komposisi keanggotaan BK-DPRD yang mencerminkan kompisisi keterwakilan rakyat. Artinya anggota BK-DPRD tidak hanya diambil dari internal DPRD melainkan melibatkan komponen masyarakat daerah yang konsens terhadap pemberdayaan parlemen daerah. Anggota BK-DPRD juga tidak bersifat tetap, melainkan ad hoc.
6. Mekanisme hubungan DPRD dengan Lembaga Perwakilan lain (DPR dan DPD) perlu dirumuskan. Hal ini dimaksud agar ada sinergitas keterwakilan rakyat dalam sistem keparlemenan Indonesia, karena selama ini hubungan antara DPRD dengan lembaga perwakilan rakyat di tingkat Pusat terputus. Sinergitas hubungan ini juga dapat dipergunakan untuk mengeleminir terjadinya Perda-perda yang bermasalah; dan
7. Penguatan Sekretariat DPRD yang tidak hanya menjalankan fungsi-fungsi administratif dan protokoler, melainkan juga menjalankan fungsi Penelitian dan Pengembangan termasuk penyediaan staf ahli bagi anggota DPRD.

D. Penutup.
Demikian sumbangan pemikiran yang dapat penulis sampaikan dalam acara Panel Ahli ”Problematika dan Agenda Penguatan DPRD. Semoga tulisan ini bermanfaat.

Kotagede; 23 Juni 2008
Penulis;



B. Hestu Cipto Handoyo



*) Makalah disampaikan dalam Panel Ahli ”Problematika dan Agenda Penguatan DPRD”, diselenggarakan oleh Program Pascasarjana S2 PLOD-UGM bekerja sama dengan DRSP, Yogyakarta, 23-24 Juni 2008
**) Dekan FH-UAJY, Direktur Eksekutif Parliament Watch Yogyakarta
[1] Hans Kelsen, dalam Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Sinar Harapan, Jakarta, 1994, hlm. 24.
[2] Pasal 5 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD.
[3] Belajar dari Pemerintah Lokal Inggris dalam www.adkasi.or.id

KETERANGAN AHLI UJI MATERI UU KOPERASI

KONSEKUENSI MAKNA KETENTUAN UMUM PASAL 1 ANGKA 1 UU NO. 17 TAHUN 2012 TERHADAP PRINSIP DAN ASAS KOPERASI Oleh: Dr. Benediktus H...