Mengenai Saya

Foto saya
Yogyakarta, DIY, Indonesia
Dr. Benediktus Hestu Cipto Handoyo, S.H.,M.Hum atau sering dipanggil Ben atau Hestu, lahir di Blora Jawa Tengah pada tanggal 3 Juli 1962. Suami dari Maria Bernadeth Maitimo, SH dan bapak dari dua anak Giovanni Battista Maheswara, S.H.,M.H dan Alexandro Kevin Maheswara, S.H. ini, menyelesaikan pendidikan di SD. Katolik Kridadharma Blora tahun 1974. Kemudian melanjutkan di SMP Negeri I Blora lulus tahun 1978, serta SMA Jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) di SMA Katolik Wijayakusuma Blora, lulus tahun 1981. Jenjang Pendidikan Tinggi ditempuh di Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta, dan Lulus Sarjana Hukum pada tahun 1988. Melanjutkan studi pada Program Pascasarjana (S2) Universitas Padjadjaran Bandung lulus dan memperoleh gelar Magister Humaniora (M.Hum) pada tahun 1995. Pada tanggal 20 Desember 1997 sampai dengan 4 Maret 1998 mendapatkan kesempatan mengikuti kursus di LEMHANNAS (Lembaga Pertahanan dan Keamanan Nasional) Jakarta. Kemudian pada tahun 2018 Lulus pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Katolik Parahyangan Bandung

Sabtu, 28 November 2009

MACAN OMPONG ITU NAMANYA BK DPR


MACAN OMPONG ITU NAMANYA BK DPR
Oleh:
B. Hestu Cipto Handoyo.*)

Kritik masyarakat terhadap perilaku anggota DPR yang berulang kali mangkir tidak mengikuti rapat-rapat di DPR menunjukkan betapa parahnya moralitas dan kedisiplinan anggota DPR sebagai wakil rakyat. Padahal berbagai fasilitas yang diperoleh, dari gaji sampai dengan tunjangan-tunjangan lain jumlahnya sungguh fantastis. Paling tidak setiap bulannya pendapatan anggota DPR bisa mencapai kisaran diatas 35 jutaan rupiah. Sungguh ironis. Ini berati pendapatan atau gaji tidak ada korelasinya dengan perilaku anggota DPR. Jika keadaan seperti ini terus dilakukan oleh anggota DPR, maka niscaya tingkat legitimasi (kepercayaan) masyarakat terhadap institusi demokrasi akan mengalami penurunan yang sangat drastis. Kalau sudah seperti ini, apa yang diharapkan oleh rakyat terhadap anggota DPR? Apa manfaatnya Pemilu 2009 bagi rakyat Indonesia, walau sekarang caranya telah diubah dengan mencontreng nama caleg?
Kritik terhadap perilaku anggota DPR yang seperti itu bukan merupakan hal baru. Kritik telah berulang kali disampaikan dan saat ini ekskalasinya memang semakin tinggi karena ditengerai anggota-anggota DPR yang mangkir dari rapat-rapat yang diselenggarakan oleh DPR itu juga sedang mencalonkan diri dalam Pemilu 2009. Mereka ini mangkir karena disinyalir demi kepentingan pencalegan dan kampanye Pemilu 2009. Celakanya kondisi rusaknya mentalitas anggota DPR tersebut justru dipergunakan oleh fraksi-fraksi untuk menaikkan nilai jual Parpol dalam menghadapi Pemilu 2009.
Fraksi-fraksi di DPR mulai pasang badan dengan cara membuat kontrak kerja dengan semua anggotanya seperti yang dilakukan oleh F-KB, sementara itu Fraksi Partai Demokrat berjanji akan memperketat pemberian izin anggotanya untuk tidak mengikuti persidangan (Kompas, 22/1/2009). Langkah reaksioner dari fraksi-fraksi ini jelas sangat terlambat dan tidak memiliki dampak psikologi politik apapun. Rakyat sudah terlanjur muak dan bosan dengan berbagai retorika politik kaum elit di DPR. Langkah-langkah fraksi tersebut juga memberikan penegasan bahwa mekanisme internal di DPR melalui alat kelengkapannya tidak berjalan efektif, karena Fraksi sebenarnya bukan alat kelengkapan DPR.

Macan Ompong BK DPR
Salah satu alat kelengkapan DPR yang berfungsi menjaga martabat dan kehormatan anggota DPR adalah Badan Kehormatan (BK) DPR. Sampai saat ini, BK DPR juga belum memberikan sinyal positif melalui langkah-langkah konkrit dalam mengatasi merosotnya mentalitas dan kedisiplinan anggota DPR. Harapan rakyat terhadap BK DPR yang demikian besar pada saat kelahirannya, ternyata hanya harapan kosong seperti pepatah Jawa “ngenteni endogke blorok” (menunggu ayam mandul bertelur). Badan ini tetap tidak ubahnya seperti macan ompong. Ada beberapa problem yang dihadapi oleh BK DPR dalam mengemban tugas tersebut.
Pertama, problem struktural susunan keanggotaan BK yang diambil dari dan oleh anggota DPR merupakan sebuah konsep yang keliru. BK DPR sebagai sarana untuk menegakkan kode etik jelas berbeda dengan Majelis Kehormatan Kode etik dalam organisasi profesi, karena anggota DPR itu tidak menjalankan profesi tertentu. Anggota DPR adalah kaum politisi dan berasal dari berbagai kalangan yang berbeda, tidak seperti kaum professional seperti dokter, advokat, notaris. Problem struktural seperti ini dapat teratasi jikalau susunan keanggotaan BK DPR diambil dari unsur stakeholder, seperti unsur pimpinan DPR, Parpol, LSM, dan akademisi. Unsur yang beragam ini sangat logis karena DPR sendiri merupakan wakil rakyat, sehingga representasi rakyat dari berbagai kalangan inilah yang patut menilai kinerja dan perilaku anggota DPR.
Keanggotaan ini sifatnya tidak tetap melainkan ad hoc, agar prinsip-prinsip fairmess benar-benar ditegakkan. Di samping itu, dengan sifat yang ad hoc ini juga bermanfaat untuk menghemat anggaran, karena anggota BK DPR ini hanya memperoleh kompensasi honorarium jika mereka melaksanakan tugas untuk memeriksa dan memutus perkara atau kasus pelanggaran kode etik DPR.
Kedua, problem prosedural, hambatan utama yang dihadapi BK DPR adalah pada keaktifan BK dalam menyikapi isu-isu etis DPR. Ketika kedisiplinan anggota DPR dalam menghadiri rapat-rapat yang diselenggarakan DPR sudah menjadi isu publik, tidak ada inisiatif secara aktif dari BK DPR untuk mengambil langkah meminta klarifikasi dari anggota yang sedang disoroti berkaitan dengan kasus tersebut. Hal ini kemudian memunculkan pendapat miring tentang kinerja BK DPR. Ke depan inisiatif ini harus diambil oleh BK DPR karena di dalam tata tertib DPR, tidak ada larangan untuk melakukan hal itu (Pasal 60) tapi sebaliknya kewenangan untuk melakukan klarifikasi cukup jelas (pasal 59). Lain daripada itu, sanksi yang dijatuhkan serta proses penjatuhan sanksi pun sampai saat ini masih tidak transparan. Kesan tebang pilih masih kental mewarnai kinerja BK DPR.
Oleh sebab itu untuk mengembalikan legitimasi DPR, maka langkah-langkah yang harus ditempuh adalah pertama; restrukturisasi keanggotaan BK DPR, kedua; menciptakan mekanisme pertanggungjawaban publik atas kinerja BK DPR, ketiga; lebih pro aktif dalam menyikapi isu-isu pelanggaran kode etik, dan keempat; menciptakan mekanisme penjatuhan sanksi dari tingkatan yang paling ringan sampai yang paling berat.
Peribahasa mengatakan “keledai tidak akan terjerumus pada lubang yang sama”, seharusnya anggota DPR bisa mengambil teladan dari hal itu, agar demokrasi yang sekarang ini sedang dibangun oleh bangsa Indonesia tidak dicederai oleh perilaku wakil-wakil rakyat.

KOALISI VS OPOSISI


KOALISI VS OPOSISI

B. Hestu Cipto Handoyo

Sejak SBY memilih Boediono untuk mendampingi sebagai Wakil Presiden dalam Pemilu bulan Juli yang akan datang, peta koalisi yang dibangun oleh Partai Demokrat menjadi tidak menentu. Saling silang pendapat muncul, dan persoalan yang dianggap paling mengemuka adalah ketiadaan komunikasi politik yang dilakukan oleh SBY dengan partai-partai yang diajak untuk berkoalisi. Reaksi keras muncul di pihak PKS dan PAN yang sejak semula memang ada indikasi kuat untuk mencalonkan kadernya sebagai pasangan SBY. Namun apa hendak dikata SBY punya pilihan lain.

Menurut kacamata kenegarawanan, pilihan SBY jatuh pada Boediono adalah pilihan tepat dan sekaligus merupakan bentuk eksperimentasi yang cukup berani untuk mengubah paradigma lama yang menghendaki komposisi pasangan Presiden dan Wapres berasal Jawa – Luar Jawa dan Nasionalis – Agamis (Islam). Dalam konsepsi kenegarawanan pilihan kepada Boediono merupakan langkah untuk lebih mengarah kepada penguatan sistem presidensiil, dimana calon presiden memiliki hak prerogatif untuk menentukan calon-calon pendampingnya. Sedangkan Calon pasangan yang ditawarkan tersebut berada di luar Partai Politik berarti memberikan kesempatan pada kaum teknokrat untuk secara aktif berkiprah dalam percaturan politik kekuasaan dalam rangka penguatan demokrasi presidensiil.

Sementara itu dalam eksperimentasi untuk mengubah paradigma pasangan Jawa – Luar Jawa dan Nasionalis – Agamis (Islam) dalam perspektif kenegarawanan jelas merupakan sebuah langkah untuk mencoba membuka kompetisi secara fair play sebagai prasyarat terciptanya kultur demokrasi yang lebih sehat. Konsep pasangan yang hanya terdiri dari unsur Jawa dan bukan kombinasi antara nasionalis agamis sejatinya bukan dimaksud untuk mengembangkan politik hegemoni kesukuan dan menafikan hegemoni politik agama mayoritas melainkan justru sebaliknya merupakan langkah untuk memperkuat sesanti Bhinneka Tunggal Ika. Hal ini artinya, jika pasangan yang hanya berasal dari Jawa, serta berasal dari kaum nasionalis mampu mengakomodasi pluralitas dan multikultural serta dapat diterima oleh semua kalangan manapun tentu eksperimentasi tersebut berhasil dan Integrasi Nasinal Indonesia semakin mantap.

Namun demikian, jika dilihat dari perspektif politik semata, maka pasangan SBY-Boediono jelas memungkinkan munculnya opisisi yang semakin menguat di lingkungan parlemen. Kekuatan politik SBY-Boediono hanya ditopang oleh Partai Demokrat jelas akan menghadapi komposisi koalisi Partai-partai yang ada di parlemen. Kondisi yang demikian ini jelas akan menggerogoti sistem presidensiil yang hendak dibangun dengan mantap. Koalisi di Parlemen minus Partai Demokrat justru akan bertindak sebagai oposan-oposan yang selalu menentang kebijaksanaan pemerintah (eksekutif). Alih-alih dari kondisi seperti ini, sistem pemerintahan dan ketatanegaraan Indonesia akan diwarnai dengan konflik kepentingan (politik) antara Eksekutif dan Parlemen. Interpelasi dan angket akan terus mewarnai setiap kebijakan politik yang diambil eksekutif. Bahkan tidak menutup kemungkinan impeachment akan dimunculkan oleh Parlemen.

Pilihan SBY dengan berbagai konsekuensinya telah diambil, sekarang tinggal menunggu apakah elit politik memiliki kepekaan sebagai negarawan ataukah hanya sekedar homo politicus. Jika kepekaan elit politik lebih dominan sebagai negarawan yang bersikap demi kemajuan bangsa dan negara, maka keberadaan Boediono akan dimaknai sebagai figur yang mampu untuk mengemban tugas kenegaraan dan didukung oleh semua pihak tanpa. Namun jika elit politik tetap memperteguh mainstream sebagai homo politicus, maka keberadaan Boediono jelas hanya dianggap sebagai duri atau perintang bagi kepentingan-kepentingan politik sektarian.

Masyarakat akar rumput sebenarnya sudah tidak ambil peduli terhadap sepak terjang elit politik yang hanya mencerminkan homo politicus. Mereka hanya memikirkan bagaimana kesejahteraan umum dapat tercipta dalam suasana kehidupan yang damai sejahtera. Ribut-ribut tentang koalisi justru menjadi bahan tertawaan masyarakat, dan tmembuktikan bahwa penilaian masyarakat selama ini ada benarnya jika politik hanya suka bagi-bagi kue kekuasaan tanpa memikirkan kepentingan masyarakat itu sendiri.

Dari hiruk pikuk koalisi yang digagas partai politik tersebut mencerminkan bahwa pasca 2014 peta kekuatan politik akan mengalami perubahan yang sangat drastis. Tokoh-tokoh sepuh yang sekarang bermain dalam kancah perpolitikan nasional jelas akan digeser oleh tokoh-tokoh muda. Nah kondisi yang demikian ini tentu membutuhkan persiapan yang cukup matang untuk melanjutkan estafet kepemimpinan nasional. Oleh sebab itu, sebenarnya langkah strategis yang perlu dilakukan oleh partai-partai yang sekarang ini kecewa terhadap pilihan SBY adalah mempersiapkan calon-calon pemimpin masa depan tersebut. Tidak ada gunanya berkutat pada kepentingan sesaat.

KONSOLIDASI VS EKSPERIMENTASI DEMOKRASI


KONSOLIDASI VS EKSPERIMENTASI
DEMOKRASI

B. Hestu Cipto Handoyo*)


Samuel P. Huntington mencatat dalam negara demokrasi, perubahan dramatis jarang terjadi dalam satu malam. Perubahan itu selalu bersifat moderat dan sedikit demi sedikit. Sistem demokrasi jauh lebih kebal terhadap pergolakan besar revolusioner ketimbang sistem otoriter. Proses yang relatif lambat itu karena perubahan sistem otoritarian menuju sistem demokrasi pada umumnya melalui tiga tahapan. Pertama; pengakhiran rezim non-demokratis. Kedua; pengukuhan rezim demokratis, dan ketiga; pengkonsolidasian sistem demokrasi. (Huntington, 1997).
Konsolidasi demokrasi yang berarti suatu langkah untuk memperteguh atau memperkuat demokrasi dalam sistem ketatanegaraan tentu tidak dengan serta merta dapat dihitung dalam jangka waktu tertentu. Bahkan dengan memberikan patokan setelah tahun 2009, seperti yang diungkapkan oleh Akbar Tanjung atau Daniel Sparringga yang menganggap sebagai masa transisi dengan ukuran progresif berlangsung 2 tahun, dan ukuran konvensional sekitar 10 tahun. (Kompas, 16/2/2009).
Sebagai sebuah langkah pemantapan atau penguatan sistem demokrasi, maka bagi negara yang belum akrab dengan sistem demokrasi seperti Indonesia, konsolidasi demokrasi tentu akan melewati beberapa langkah eksperimentasi atau uji coba. Seperti uji coba infra struktur demokrasi, perumusan perangkat hukum untuk mengawal jalannya sistem demokrasi, serta uji coba penerapan sistem demokrasi. Eksperimentasi itu diarahkan untuk membangun budaya demokrasi dalam konsolidasi demokrasi.
Dengan demikian, sebenarnya prasyarat penguatan atau peneguhan demokrasi melalui konsolidasi memang tidak hanya berpijak pada sistem demokrasi prosedural belaka, melainkan yang lebih utama adalah menyangkut substansi demokrasi yakni kultur demokrasi itu sendiri. Henry B. Mayo mengemukakan bahwa demokrasi di samping sebagai suatu sistem pemerintahan dapat juga dikatakan sebagai suatu life style yang mengandung unsur-unsur moril, seperti penyelesaian secara damai dan melembaga, terjadinya perubahan secara damai, menyelesaikan pergantian kepemimpinan secara teratur, membatasi pemakaian kekerasan, menganggap wajar adanya keanekaragaman, dan menjamin tegaknya keadilan. Unsur-unsur moril seperti ini jelas belum semuanya diterapkan dalam budaya demokrasi di Indonesia.
Banyak contoh yang dapat dikemukakan di sini. Maraknya demonstrasi yang dibarengi dengan aksi kekerasan dan memakan korban, hilangnya kesantunan dalam berpendapat atau berargumentasi, black campaign para elit politik, menunjukkan bahwa budaya demokrasi di Indonesia masih jauh dari nilai-nilai yang dikemukakan oleh Henry B. Mayo tersebut. Dengan demikian sejak tahun 1998 ketika reformasi dikumandangkan sampai dengan amandemen UUD 1945, semuanya tidak termasuk kategori konsolidasi demokrasi, melainkan eksperimentasi demokrasi.

Kelinci Percobaan.
Penataan sistem demokrasi prosedural yang mulai dilakukan pasca reformasi 1998 termasuk melakukan amandemen UUD 1945 pada hakikatnya hanya merupakan langkah eksperimentasi demokrasi. Tidak ada satupun yang sifatnya definitif dan subtantif melalui pendekaan kultur demokrasi. Akibatnya sistem demokrasi yang dikembangkan hampir semuanya bersifat coba-coba. Belum ada yang menunjukkan kemantapan dan penguatan kultur demokrasi. Dari tingkatan infra sruktur politik sampai dengan tingkatan supra struktur politik masih tetap menyisakan berbagai persoalan.
Di tingkatan infra struktur politik, terutama pembenahan kehidupan kepartaian jauh dari idealisme budaya demokrasi. Pembatasan jumlah Parpol melalui electoral threshold dan parliamentary threshold sebagai prasyarat dari sistem presidensiil tetap belum final. Uji coba seperti ini malah memunculkan tuntutan Partai-partai kecil melalui yudicial review MK yang nuansa uji cobanya juga sangat kental. Artinya disetujui oleh MK atau tidak yang penting nuntut dulu di MK.
Demikian pula dengan sistem pemilu dengan mencontreng nama caleg menunjukkan bahwa budaya demokrasi di tubuh internal Parpol melalui penguatan sistem pencalegan juga belum berjalan. Mekanisme mencontreng nama caleng di masing-masing Parpol dalam pemilu, sebenarnya dapat dilakukan melalui mekanisme internal Parpol melalui konvensi. Ternyata mekanisme yang seharusnya seperti ini, ditempuh melalui pemungutan suara dalam Pemilu 2009. Akibatnya kemungkinan terjadi konflik antar caleg di masing-masing parpol terbuka lebar. Hal ini berarti konflik antara caleg dengan Parpolnya seperti yang terjadi menjelang Pemilu 2004 karena perebutan nomor urut, di ubah melalui eksperimentasi dengan cara menyerahkan pilihan mentah caleg kepada rakyat lewat mencontreng dalam pemilu legislatif.
Eksperimentasi demokrasi memang selalu mengandung fenomena coba-coba. Hal ini mengakibatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan justru dijadikan sebagai kelinci percobaan. Sebagai kelinci percobaan dari elit-elit politik dalam menterjemahkan sistem demokrasi prosedural, maka rakyat hanya sekedar menerima produk-produk hukum yang mengikat mereka untuk dilaksanakan. Penerimaan rakyat ini tidak dapat dikatakan sebagai sebuah penguatan atau peneguhan demokrasi, karena penerimaan mereka tidak didasarkan pada kehendak dan aspirasi mereka sendiri, melainkan atas dasar paksaan melalui instrument atau preparat eksperimen elit politik. Partisipasi sebagai salah satu nilai terpenting dari budaya demokrasi direduksi menjadi prosedur demokrasi. Besar kecilnya suara di parlemen jusru mendominasi pengambilan keputusan politik. Rakyat kembali menjadi ajang uji coba atau kelinci percobaan kaum elit.

MEMORI JABATAN


MEMORI JABATAN DEKAN FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS ATMA JAYA YOGYAKARTA

PERIODE 2006-2010

(MASA PELAKSANAAN TUGAS 2006-2009)


“NINGGAL GLANGGANG COLONG PLAYU”

Oleh:

B. Hestu Cipto Handoyo, SH.,M.Hum.


Barang siapa muncul di atas masyarakatnya,

dia akan selalu menerima tuntutan dari masyarakat-masyarakat yang

menaikkannya atau membiarkan naik. Pohon tinggi selalu akan mendapatkan

banyak angin, kalau tuan segan menerima banyak angin jangan jadi pohon tinggi

(Pramoedya Ananta Toer : Anak Semua Bangsa)

A. Pendahuluan.

Dalam sejarah organisasi Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta mungkin baru kali ini seorang Dekan tidak dapat menuntaskan masa jabatannya sampai akhir, karena mendapat tugas dari Rektor untuk memangku jabatan di tingkat Universitas. Dengan adanya peristiwa ini pasti dikalangan sivitas akademika FH-UAJY muncul pandangan yang pro dan kontra. Bagi pihak yang pro memiliki argumentasi bahwa Dekan tersebut memperoleh tugas dan tanggung jawab yang lebih besar dan dapat menjadi sarana representasi dari FH-UAJY di tingkat Universitas. Jika Dekan tersebut tidak bersedia mengemban tugas dan tanggung jawab tersebut, dengan alasan masih tetap ingin meneruskan masa jabatannya yang tinggal 1 (satu) tahun, maka akan diragukan loyalitasnya pada Universitas karena menolak dan tidak menghormati hak prerogatif Rektor, serta berbagai argumentasi-argumentasi lainnya.

Sedangkan bagi pihak yang kontra berpendapat bahwa Dekan tersebut hanya berorientasi kepada jabatan yang lebih tinggi, tidak bertanggung jawab, tidak konsisten dengan visi dan misi yang dulu pernah disampaikan di awal pencalonan, ninggal glanggang colong playu (istilah dalam budaya Jawa) dan argumentasi-argumentasi lain.

Bagi pribadi Dekan yang bersangkutan kedua pandangan tersebut sama-sama memiliki argumentasi yang masuk akal dan dapat dibenarkan. Tergantung darimana sang pemberi argumentasi itu melihat. Dilema posisi yang demikian ini menimbulkan beban yang cukup berat, karena bagaimanapun juga posisi jabatan apapun, baik di tingkat Fakultas maupun di tingkat Universitas, sama-sama penting demi tugas dan tanggung jawab untuk mengembangkan kemajuan Universitas dan Fakultas. Namun demikian pilihan tetap harus dilakukan oleh sang Dekan. Dan ternyata Dekan tersebut tidak mampu untuk melakukan pilihan karena tidak diberi kesempatan untuk memilih, harus tunduk kepada loyalitas dan menghormati hak prerogatif Rektor yang memutuskan agar Dekan tersebut memangku jabatan di tingkat Universitas.

Bagi sang Dekan, sebagai karyawan maupun pribadi yang dibesarkan oleh Universitas Atma Jaya Yogyakarta, loyalitas, tanggung jawab dan komitmen untuk mengemban tugas dimanapun tempatnya merupakan prinsip dasar yang harus dilakukan. Sedangkan sebagai pribadi, mengemban tugas dan tanggung jawab dimanapun tempatnya di lingkungan Universitas Atma Jaya Yogyakarta merupakan bentuk konkrit kecintaan kepada Universitas sebagai almamater (ibu kandung). Kendati alasan semacam ini memang bisa dinilai bernada klise, euphimisme, hanya mencari alasan pembenar dan tidak berdasar, namun apapun resiko dari pilihan atau tidak diberi kesempatan untuk memilih, keputusan sudah dijatuhkan, dan Dekan harus tunduk kepada keputusan tersebut. “Terjadilah padaku menurut kehendakMu”.

Bertitik tolak dari gambaran tersebut di atas, maka memori jabatan ini sengaja diberi judul “Ninggal Glanggang Colong Playu”. Pemberian judul tersebut mengandung maksud:

1. Memori jabatan ini bukan memori akhir masa jabatan Dekan FH-UAJY, karena disusun dan disampaikan dipenghujung akhir masa jabatan yang masih tinggal 1 (satu) tahun ke depan, sehingga jelas masih menyisakan berbagai persoalan yang belum sempat diselesaikan oleh Dekan.

2. Ninggal glanggang colong playu, merupakan ajaran moralitas dalam budaya Jawa yang mengandung arti bahwa seorang pejabat yang mengemban amanah haruslah menyelesaikan amanah tersebut sampai tuntas, tidak terputus di tengah jalan serta wajib untuk bertanggungjawab jika ada permasalahan yang dihadapi. Pendek kata, pejabat tersebut tidak pantas untuk meninggalkan pekerjaan rumah yang masih tersisa dan memerlukan penyelesaian.

3. Terlepas dari pro dan kontra penggunaan judul tersebut di dalam memori jabatan ini, ninggal glanggang colong playu memang terminologi yang dirasa tepat untuk dipergunakan sebagai tema memori jabatan ini, karena subtansi yang ada di dalamnya masih tetap menyisakan berbagai program yang belum dapat terselesaikan, karena Dekan tidak dapat melanjutkan jabatannya sampai selesai.

4. Memori jabatan ini berisi catatan-catatan yang dapat dipergunakan oleh Dekan baru hasil pilihan Senat Akademik Fakultas yang akan melanjutkan program kerja yang belum dapat dilaksanakan, karena Dekan lama telah menanggalkan jabatannya untuk mengemban tugas baru di tingkat Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Resiko telah dipikirkan secara mendalam, pertanggungjawaban tetap harus disampaikan, dan keberlanjutan kinerja serta program-program kerja tetap harus diupayakan seopimal mungkin. Oleh sebab itu, walaupun saya sudah tidak dapat mengkoordinir dan memanage secara langsung program-program di Fakultas, namun secara pribadi dan sebagai anggota sivitas akademika Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta saya tetap bertanggung jawab secara moral untuk membantu sekuat tenaga, berpartisipasi aktif menyelesaikan dan terlibat dalam setiap langkah yang akan dilakukan oleh Dekan baru beserta jajarannya demi kemajuan Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta yang kita cintai.

B. Tahun Pertama Masa Jabatan: Pencanangan Kebersamaan Komunitas.

Tema besar yang menjadi titik tolak saya ketika bersedia dicalonkan dan terpilih menjadi Dekan adalah “Membangun Kebersamaan dan Kekompakan Seluruh Anggota Komunitas Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta demi Tercapainya Kemajuan Fakultas Hukum yang Berdaya Saing Tinggi”. Tema besar seperti ini dilandasi oleh beberapa alasan, yaitu:

1. Dosen dan karyawan FH-UAJY pada hakikatnya terdiri dari sumber daya manusia yang sangat berkualitas dan memiliki kemampuan yang tinggi dalam mengelola proses belajar dan mengajar di FH-UAJY. Namun karena kebersamaan dan kekompakan belum optimal diupayakan, maka potensi yang dimiliki tersebut belum mampu untuk mengejar ketertinggalan baik secara internal di lingkungan Universitas Atma Jaya Yogyakarta maupun secara eksternal di lingkungan Fakultas Hukum yang ada di tingkat daerah, regional maupun nasional.

2. Konflik yang terjadi di lingkungan Dosen FH-UAJY maupun Karyawan Administrasi karena terhambatnya komunikasi, dan “politisasi” mengakibatkan keharmonisan hubungan antar personal di lingkungan komunitas FH-UAJY menjadi relatif terganggu. Kecurigaan dan kasak-kusuk selalu mewarnai hubungan personal anggota komunitas FH-UAJY. Muncul kelompok-kelompok sempalan yang saling mendelegitimasi eksistensi kelompok yang satu dengan lainnya. Akibat lanjutan dari kondisi semacam ini, suasana kerja dan kultur organisasi tidak berjalan dengan normal dan baik, sehingga potensi yang dimiliki oleh FH-UAJY justru terpecah dan belum mampu menciptakan sinergi untuk membangun kemajuan FH-UAJY yang dicita-citakan bersama.

3. Krisis kebersamaan dan kekompakan tersebut memang belum sampai dalam taraf mengkhawatirkan seperti yang terjadi di lingkungan Fakultas lain. Sungguh sangat disyukuri bahwa konflik yang terjadi di lingkungan komunitas FH-UAJY selalu dapat diatasi dengan kearifan, kesantunan dan semangat sportifitas yang tinggi. Inilah modal yang sangat besar dan memberikan harapan serta keyakinan bahwa konflik yang terjadi pasti dapat terselesaikan dan kebersamaan pasti dapat terwujud.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka langkah awal yang saya lakukan pada waktu terpilih dan diangkat menjadi Dekan FH-UAJY, adalah:

1. Membangun kebersamaan dan kekompakan komunitas dengan mengisi struktur organisasi Fakultas khususnya di tingkat Wakil Dekan, Ka Prodi sampai dengan Kepala Bagian, Ka.Lab. Hukum, dan Kepala PBKH dengan personil-personil yang dinilai memiliki komitmen untuk berjuang bersama-sama serta mampu mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang terpecah belah.

2. Di tingkat karyawan administrasi dilakukan komunikasi intensif dan mengurai persoalan komunikasi yang terjadi agar sinergi dan kinerja antar subbagian dapat berjalan secara normal. Cara yang ditempuh adalah dengan membenahi Sistem Informasi Akademik yang sudah lama terbengkelai karena terjadinya miskomunikasi antar personal. Pembenahan sistem informasi akademik menjadi sarana ampuh untuk menggalang kebersamaan dan kekompakan, karena dalam memanfaatan teknologi informasi syarat utama yang dibutuhkan adalah kebersamaan, kedisiplinan, dan konsistensi. Dengan mempergunakan cara seperti ini diharapkan sinergi antar subbagian termasuk sinergi seluruh komunitas FH-UAJY dapat berjalan dengan baik. Di lingkungan karyawan administrasi menunjukkan bahwa terjadinya miskomunikasi sebenarnya disebabkan oleh adanya arogansi kemampuan di bidang teknologi informasi. Dengan adanya keadaan yang demikian ini, serta mengingat salah satu personil karyawan administrasi memang sulit untuk diajak kerjasama, maka terpaksa Dekan mengambil keputusan untuk memindahkan personil tersebut ke unit lain di lingkungan Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

3. Membangun budaya dialog dan keterbukaan dalam menyampaikan kritik maupun saran. Forum-forum rembug bareng baik formal maupun informal dilakukan oleh seluruh jajaran pejabat struktural di lingkungan FH-UAJY. Pendekatan personal pun dilakukan untuk menggali aspirasi baik tuntutan (demand) maupun dukungan (support) guna membangun partisipasi dalam pengambilan berbagai kebijakan baik di bidang teknis administratif, maupun di bidang akademis. Community gathering dilakukan untuk mewujudkan kebersamaan.

4. Di lingkungan kemahasiswaan melakukan pembenahan organisasi kemahasiswaan di tingkat BPM dengan cara menyusun kepengurusan dengan mempergunakan model pemilihan organis (pengangkatan/ penunjukan) dari berbagai kelompok atau komunitas yang hidup di lingkungan mahasiswa. Masing-masing kelompok atau komunitas mahasiswa mengirimkan dua atau tiga orang untuk menduduki posisi di BPM. Sementara untuk BEM tetap dilakukan dengan cara PEMILWA yang diikuti oleh Partai Mahasiswa yang hidup di lingkungan mahasiswa. Tata tertib PEMILWA terus dilakukan pembenahan dan perbaikan sesuai dengan tuntutan dan kehendak mahasiswa.

Dalam perjalanan selama setahun setelah diangkat sebagai Dekan FH-UAJY dan terus berupaya melakukan pembenahan dalam membangun kebersamaan dan kekompakan, Bpk. Dr. Ign. Sumarsono Rahardjo, SH.,M.Hum selaku Wakil Dekan I menyampaikan surat pengunduran diri, karena kesibukan beliau yang tidak dapat ditinggalkan. Oleh sebab itu dengan mundurnya Wakil Dekan I tersebut, maka terjadi pergantian Wakil Dekan I yang kemudian dijabat oleh Bpk. B. Bambang Riyanto, SH.,M.Hum. Langkah untuk melakukan konsolidasi internal semakin intensif, dan berkat kesadaran seluruh anggota komunitas FH-UAJY, kebersamaan dan kekompakan mulai tergalang. Untuk itu dimulailah menyusun program-program pengembangan demi mengejar ketertinggalan.

C. Mengimplementasikan Kebersamaan Mengejar Ketertinggalan.

Setelah kebersamaan dan kekompakan mulai terbangun atas dasar kesadaran bersama seluruh komunitas FH-UAJY, maka demi mengejar ketertinggalan dirumuskanlah program-program kerja baik rutin maupun non rutin dalam setiap tahunnya. Program-program yang telah dilaksanakan antara lain:

1. Membangun Sistem Informasi akademik melalui KRS online yang memang masih sederhana, dimana mahasiswa dapat melakukan input sendiri mata kuliah setelah mendapat bimbingan dari dosen pembimbing pada waktu pengisian KRS.

2. Memberikan layanan informasi kepada mahasiswa dan seluruh anggota komunitas FH UAJY dengan melengkapi fasilitas hotspot untuk mengakses internet serta menambah kapasitas kelancaran akses internet.

3. Melengkapi fasilitas proses belajar mengajar dengan memasang LCD dan AC diseluruh ruangan kelas dan membangun Kelas Multimedia sebagai sarana bagi pelaksanaan proses pembelajaran dengan metode PBL (Problem Based Learning) hasil kerja sama dengan Maastricht University Belanda.

4. Meningkatkan kemampuan akademik staf pengajar (Dosen) FH-UAJY dengan mengirim Studi Lanjut ke Program S3, dan sampai saat ini sudah mencapai 13 orang Dosen yang sedang menempuh studi lanjut S3. Sementara itu dalam masa kepengurusan Dekan telah berhasil menuntaskan 2 (dua) dosen yang studi lanjut, yakni Ibu. Dr. Sari Murti Widiastuti, SH.,M.Hum dan Bpk. Dr. Drs. Paulinus Soge, SH.,M.Hum.

5. Mengirim Dosen untuk memperoleh Sertifikat Nasional di bidang Mediasi dan telah berhasil ditempuh oleh Bpk. FX. Endro Susilo, SH.,LLM dan Bpk. FX. Suhardana, SH. Pemanfaatan tenaga dosen sebagai mediator bersertifikat nasional ini harus diupayakan seoptimal mungkin melalui PBKH.

6. Mengirim delegasi mahasiswa diberbagai event perlombaan baik di bidang minat olah raga maupun akademik, seperti Pertandingan Bola Basket Antar FH (2 kali menjadi Juara II di tingkat Nasional), Juara II Nasional Penulisan Karya Ilmiah, kompetisi Moot Court (Peradilan Semu) di tingkat regional maupun nasional dan selalu masuk kategori semifinalis.

7. Pembenahan proses pembelajaran dengan menerapkan 75% presensi bagi mahasiswa secara konsisten. Bagi mahasiswa yang keaktifan dalam mengikuti perkuliahan di bawah 75% tidak diperkenankan untuk mengikuti ujian akhir semester.

8. Pembenahan fasilitas-fasilitas penunjang proses belajar mengajar seperti penataan ruang perkuliahan, renovasi ruang PBKH, pembenahan sarana kamar mandi dan WC, pengecatan gedung Kampus FH-UAJY, serta penyediaan fasilitas student welfare yang sampai saat ini baru tersedia satu fasilitas gasebu di dekat kantin.

9. Atas fasilitas yang diberikan oleh pihak Universitas, membuka kesempatan kepada Dosen-dosen untuk memiliki laptop atau notebook guna menunjang aktifitas dalam proses belajar mengajar dan produktifitas dosen dalam penulisan buku maupun penelitian.

10. Bekerja sama dengan KP2MA Universitas Atma Jaya Yogyakarta memfasiliasi serifikasi Dosen Tahap I dan semua Dosen Fakultas Hukum yang mengikuti sertifikasi telah berhasil memperoleh sertifikat Dosen Profesional dari Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia.

11. Melakukan kerja sama dengan pihak eksternal seperti Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Komisi Yudisial, KPPU, dan Kantor Kementerian Pemberdayaan Perempuan dalam rangka memberikan sumbangan pemikiran yang konstruktif dalam pemecahan masalah-masalah hukum masyarakat serta memberikan masukan terhadap RUU yang sedang dirancang maupun dibicarakan di tingkat pusat.

12. Bekerja sama dengan SMU Pangudi Luhur Van Lith dalam pendidikan Wawasan Kebangsaan, dan SMU Kolese De Brito dalam memberikan wawasan di bidang hukum.

13. Melakukan kerja sama dengan PUKAT (Pusat Kajian Anti Korupsi) UGM serta Universitas Muhamadiyah Yogyakarta untuk menyelenggarakan KKN Alternatif Pemantauan Peradilan di wilayah Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta.

14. Melakukan kerja sama dengan LBH Yogyakarta dalam kegiatan Karya Latihan Bantuan Hukum (KALABAHU).

15. Beberapa Dosen juga telah secara mandiri atau kelompok melakukan kerjasama dengan pihak eksternal khususnya dalam bidang penelitian, seperti dengan Pemerintah Daerah Provinsi Papua, pengajuan Hibah Kompetisi, dan kerja sama lain guna mengembangkan kemampuan akademik dan kepedulian terhadap persoalan-persoalan masyarakat, bangsa dan Negara.

16. Melakukan pembenahan dan penyusunan Kurikulum dan sekarang sudah diterapkan walaupun masih belum optimal, karena ada beberapa tuntutan kurikulum yang belum dapat terwujud, seperti program pemagangan, penyusunan kerangka konseptual Satuan Kredit Partisipatoris untuk membangun soft skill mahasiswa, dan pembenahan mata Kuliah Praktek Kemahiran Hukum sebagai salah satu keunggulan FH-UAJY.

17. Penyusunan silabus dan SAP karena tuntuan kurikulum baru yang sudah diterapkan. Pembenahan SAP dan Silabu ini masih terus berjalan.

18. Dalam rangka pemanfaatan teknologi informasi dalam proses belajar mengajar mulai dikembangkan e-learning yang sampai sekarang masih terus berproses dengan cara mengumpulkan bahan-bahan kuliah dari dosen-dosen yang ada untuk dimasukkan dalam konten e-learning FH-UAJY.

19. Membangun sistem manajemen pendataan dengan teknologi informasi, baik untuk keperluan akreditasi Program Studi, ISO, maupun pendataan alumni yang tersebar diseluruh pelosok tanah air.

20. Membuat company profile FH-UAJY melalui media film berdurasi pendek, brosur maupun liflet yang akan dipergunakan sebagai sarana promosi.

Menurut kamus bahasa Indonesia arti kata memori adalah ingatan atau kenangan. 20 (dua puluh) program kerja dan akifitas tersebut di atas tentu masih dirasa kurang. Ingatan dan kenangan saya selama 3 (tiga) tahun menjabat sebagai Dekan FH-UAJY tentu masih kurang memadai. Oleh sebab itu rincian program kerja baik rutin maupun non rutin dan aktifitas selama 3 (tiga) tahun tertuang di dalam lampiran memori jabatan yang saya susun ini.

D. Catatan Akhir: Ninggal Glanggang Colong Playu.

Dihadapan sivitas akademika FH-UAJY harus saya sampaikan bahwa dengan adanya tugas baru yang sekarang saya emban ini, maka tugas, kewajiban dan tanggung jawab saya selaku Dekan FH-UAJY tentu saya tinggalkan. Tidaklah pantas dan sangat tidak lazim jika saya melakukan rangkap jabatan. Masih banyak program kerja dan aktifitas maupun persoalan yang belum terselesaikan secara tuntas. Untuk itulah dengan kesadaran pribadi dan tanpa paksaan dari siapapun juga, saya menyatakan bahwa semua daya dan upaya yang telah saya lakukan belum dapat dikatakan berhasil. Bahkan kegagalan yang paling mencolok dalam mengemban amanah dari sivitas akademika FH-UAJY, adalah TIDAK TUNTASNYA seluruh program yang telah direncanakan sampai akhir masa jabatan, dikarenakan saya ditunjuk untuk mengemban tugas dan tanggungjawab baru di tingkat Universitas. Ada beberapa rencana program dan aktifitas yang belum terselesaikan, yaitu:

1. Pembenahan manajemen PBKH untuk menjadi salah satu unit di lingkungan FH-UAJY yang berorientasi pada public services sekaligus profit oriented belum dapat terlaksana hingga saat ini.

2. Optimalisasi peran Bagian di Lingkungan FH-UAJY yang diarahkan untuk menjadi Pusat-pusat Kajian belum dapat direalisasikan, bahkan konsep untuk mengubah peran konvensional Bagian tersebut sama sekali belum dibahas dan dirumuskan. Padahal perubahan peran tersebut diperlukan dalam rangka mengantisipasi perubahan kelembagaan berdasarkan Statuta 2009.

3. Situs pangganti kamushukum.com sebagai produk unggulan yang dimiliki oleh Lab. Hukum FH-UAJY juga belum dapat beroperasi, walaupun langkah-langkah untuk mengaktifkan kembali melalui kerja sama dengan Pusat Sistem Informasi (PSI) Universitas Atma Jaya Yogyakarta telah dilakukan sejak bulan Nopember 2008.

4. Peningkatan produktifitas penulisan Buku Ajar belum dapat terealisir, walaupun insentif bagi dosen yang menulis Buku Ajar sudah disediakan, bahkan pihak Rektor menambah stimulan yang cukup menarik.

5. Kerja sama insitusional dengan lembaga-lembaga atau instansi pemerintah dan swasta untuk membuka jaringan dalam memberikan fasilitas pemagangan bagi mahasiswa belum dapat terlaksana.

6. Akreditasi Program Studi untuk meraih tingkat akreditasi BAN PT ke level unggulan (A) masih dalam tahap penyusunan berkas-berkas akreditasi yaitu evaluasi diri, borang dan portofolio. Pengajuan akreditasi ini direncanakan sebelum bulan Maret 2009.

7. Penjaminan mutu yang berbasis ISO belum menunjukkan hasil-hasil yang nyata, karena masih dilakukan proses penyusunan Tim dan pengumpulan dokumen-dokumen penunjang.

8. Membangun kultur organisasi melalui pembentukan dan penerapan reward and punishment secara konsisten juga belum dapat dilakukan. Hal ini berakibat rendahnya keterlibatan sebagian dosen-dosen dalam setiap aktifitas yang diselenggarakan oleh Fakultas, kecuali rapat Koperasi ”Usaha Bersama” FH-UAJY dan Pembagian SHU. Memang Dekan pernah mengirimkan surat himbauan, namun ternyata surat tersebut hanya himbauan belaka dan belum ditanggapi secara nyata dan serius.

9. Penurunan jumlah mahasiswa masih belum mampu ditanggulangi. Penerimaan mahasiswa selalu di bawah target. Untuk itu perlu dikembangkan inovasi-inovasi baru dalam promosi dan penciptaan keunggulan kompetitif.

10. Penataan Kurikulum Pascasarjana (S2) Magister Ilmu Hukum dan pengembangan Pascasarjana dengan membuka Program S3 juga masih belum dapat terlaksana, karena akreditasi S1 masih B.

11. Tingkat efisiensi yang masih jauh di bawah standar yang ditetapkan oleh DIKTI, untuk itu perlu dibangun sistem dan proses pembelajaran bagi mahasiswa yang tidak cukup dengan model Program Percepatan.

Mungkin masih banyak kekurangan yang belum tercatat di dalam memori jabatan ini, karena memang begitu banyak kekurangan yang melingkupi pelaksanaan tugas dan tanggungjawab yang selama ini saya emban. Untuk itu secara terbuka saya siap menerima kritik dan saran dari seluruh sivitas akademika FH-UAJY melalui Senat Akademik Fakultas. Dalam kesempatan ini, saya juga ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Bpk. B. Bambang Riyanto, SH.,M.Hum selaku Wakil Dekan I FH-UAJY yang dengan kegigihannya membantu saya dalam merumuskan kebijakan-kebijakan strategis di bidang akademik dan kemahasiswaan. Karakter beliau yang ekspresif dan sering meledak-ledak serta terbuka dan berani menyampaikan kritik maupun saran tanpa tedeng aling-aling telah banyak membantu saya dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab yang selama 3 (tiga) tahun ini saya emban. Saya tidak bisa membayangkan apa jadinya seandainya beliau tidak bersedia saya tunjuk menggantikan Bpk. Dr. Ign. Sumarsono Rahardjo, SH.,M.Hum yang mengundurkan diri karena kesibukan yang tidak dapat ditinggalkan.

2. Bpk. N. Budi Arianto Wijaya, SH.,M.Hum selaku Wakil Dekan II. Kecil-kecil cabe rawit walau kecil namun mempunyai daya tahan di bidang pekerjaan yang sungguh luar biasa. Tanpa beliau saya tidak mampu merumuskan kebijakan-kebijakan di bidang prasarana dan sarana yang dibutuhkan dalam menggerakkan roda organisasi FH-UAJY. Kreatifias dan inovasi beliau dalam mengembangkan ide-ide baru sungguh merupakan sumbangan yang sangat berharga dalam membangun dinamika organisasi dan menumbuhkan kultur organisasi FH-UAJY. Beliaulah motor penggerak program kerja di FH-UAJY.

3. Bpk. Triyana Yohanes, SH.,M.Hum selaku Ka Prodi S1. Sifat dan karakter beliau yang sabar tanpa batas dan sekaligus religius telah mampu meredam karakter saya yang sering meledak-ledak tak terkendali. Kebijakan-kebijakan teknis di bidang akademik mampu dikelola secara baik dan penuh kelembutan serta cinta kasih, sehingga aktifitas proses belajar mengajar dapat terselenggara dengan baik.

4. Ibu Prof. Dr. Dra. MG. Endang Sumiarni, SH.,M.Hum, selaku Ka Prodi S2 beserta staf Administrasi Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum yang telah bekerja secara optimal hingga mampu mempertahankan akreditasi Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum FH-UAJY dengan derajad unggulan (A).

5. Ketua, Sekretaris dan seluruh anggota Senat Akademik Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta yang selalu memberikan masukan-masukan program kerja di bidang akademis.

6. Rekan-rekan Kepala Bagian, Ka. PBKH dan Sekretaris beserta para advokat dan para volunter, Ka.Lab Hukum beserta staf dan asisten-asisten Lab Hukum yang dengan ketekunan serta loyalitasnya telah membantu dalam menerjemahkan program-program kerja dalam kerangka aktifitas yang dinamis, dan mampu membangun sinergi dalam melaksanakan program kerja dengan semangat kebersamaan.

7. Mbak Titi, Mas Agus, Pak Kirman, Mbak Niken, Mas Totok, Mbak Lusi, Mas Maryoko, Mas Kristoro, Mas Revan, Mas Heri, dan Mas Wijayanto (Mas Ho) yang selalu melaksanakan tugas dengan gembira, terbuka dan tanpa canggung sering menyampaikan kritik maupun saran yang konstruktif guna memajukan FH-UAJY. Melalui merekalah sinergi dan kinerja bagian administrasi dapat berjalan dengan baik.

8. Rekan-rekan dosen FH-UAJY yang dengan semangat kebersamaan telah mendobrak sekat-sekat ketidak harmonisan karena konflik yang pernah terjadi, sehingga saat ini telah terjalin kebersamaan dan kekompakan yang kita dambakan bersama demi merawat ladang panenan yang namanya FH-UAJY.

9. Mbak Iis selaku Sekretaris Dekanat yang selalu mengingatkan saya tentang agenda-agenda kegiatan saya. Tanpa Mbak Iis tentu banyak agenda-agenda penting yang terlupakan.

10. Rekan-rekan Cleaning Service yang selalu bertugas tanpa mengenal lelah dalam merawat dan menciptakan kebersihan di lingkungan FH-UAJY.

11. Rekan-rekan Satpam yang bertugas di FH-UAJY yang dengan gigih siang dan malam mengawal ketertiban dan keamanan di lingkungan FH-UAJY.

12. Rekan-rekan petugas parkir yang dengan tekun mengatur dan mengamankan alat transportasi mahasiswa, dosen dan karyawan di lingkungan FH-UAJY.

13. Seluruh personil Lembaga Mahasiswa FH-UAJY serta seluruh mahasiswa yang dengan tekun dan patuh melaksanakan proses pembelajaran dan banyak membantu Fakultas disaat dibutuhkan tenaganya untuk mensukseskan kegiatan yang diselenggarakan Fakultas.

14. Semua pihak yang tidak mungkin saya sebutkan satu-persatu yang secara sadar maupun tidak telah ikut membantu FH-UAJY untuk terus berkiprah dalam mengemban tugas konstitusional yakni mencerdaskan kehidupan bangsa.

Tanpa mereka semua, saya tidak memiliki arti apa-apa bagi FH-UAJY. Demikianlah memori jabatan ini saya susun dengan harapan agar dapat dipergunakan sebagai bahan masukan bagi Dekan baru yang menggantikan saya. Untuk rincian program kerja dan aktifitas dapat dilihat dalam lampiran memori jabatan ini.

Perkenankanlah dalam kesempatan ini saya mengutip dialog antara Senapati Wiranggaleng dengan para prajurit Tuban dalam eposide terakhir novel Arus Balik karya (Alm) Pramoedya Ananta Toer.

”Dengarkan” perintah Senapati.

”Telah aku buktikan masa mudaku dan tenagaku dan kesetiaanku. Biarpun hanya secauk pasir untuk ikut membendung arus balik dari utara. Arus balik itu ternyata tak dapat dibendung. Kekuatan itu ada pada Trenggono, dan Sultan Demak itu tidak bisa diyakinkan untuk menggunakannya. Arus tetap datang dari utara, yang selatan tetap tertindih. Ya, Dewa Batara, Kau tak beri aku kekuatan untuk menyadarkan raja dan sultan sehingga terjadi gelombang raksasa, bukan sekedar yang mendesak arus balik dari utara, bukan saja untuk jaman kemerosotan ini, juga kelangsungannya untuk selama-lamanya”.

”Gadjah Mada, anak desa itu telah berhasil. Ia gerakkan tangannya dan semua jadilah yang dipegangnya, semua bangun yang disentuhnya. Pergilah dia, pergi untuk selama-lamanya, meninggalkan kebesaran dan arus besar yang mengimbak-imbak megah berpendaran damai ke utara. Aku bukan Gadjah Mada. Tiada sesuatu hasil apalagi kebesaran kutinggalkan kecuali kesakitan dan kekecewaan dalam diri dan terhadap diri sendiri”.

”Jaman Gadjah Mada, jaman anak desa dapat mengedepankan pendapatnya pada Kaisar, telah lewat. Kita tak pernah lagi punya Kaisar selama ini. Raja-raja semakin kecil dan anak-anak desa jadi lebih kecil lagi”

”Aku menyadari tak ada kemampuan membendung arus utara, arus balik yang semakin besar juga ini. Maka akulah orang yang paling menderita karena kesadaran ini. Jaman bukan hanya tak membantu, bahkan melawan kita. Itu sebabnya akan kutinggalkan kepada kalian, dan semua kuserahkan kepada kalian”.

”Senapati” Banteng Wareng menyela.

”Aku sadar tak ada kemampuan untuk pekerjaan besar itu. Aku tak ada kemampuan mempersatukan raja-raja dan para sultan. Itu sebabnya akan kutinggalkan kalian, dan semua kuserahkan pada kalian. Setelah ini kalian harus atur dan urus semua tanpa aku. Jangan berduka cita, karena surya enggan memancarkan rahmatnya pada yang berduka cita”

Wiranggaleng melepas bungkusan di punggung dan meletakkan di hadapannya. Semua mata mengawasi bungkusan itu.

”Lihatlah ini, katanya lagi dan membuka bungkusan, dan meletakkan isinya satu persatu di atas destar. Kala Cuwil, cincin, kalung, destar, kain, ikat pinggang, tilam, semua bertanda kupu-tarung. Hanya kasut tidak ada, hilang karena keteledoran pembawanya. Nah ini gelang, kemudian Senapati menarik keris dari pinggang, dan ini keris bersarung dan berbulu emas dengan kupu-tarung pula. Kalian tahu lambang siapa ini. Jangan pegang. Lihat saja baik-baik”.

Dan semua menjalankan apa yang diperintahkan.

”Kutinggalkan dan kuserahkan semua ini pada kalian – peninggalan Gusti Kanjeng Adipati Unus, melalui Gusti Ratu Aisah, melalui Pada alias Mohammad Firman, melalui aku, Wiranggaleng, Senapati Tuban”.

”Nah kalian empat orang, masing-masing pegang sudut apa yang diperintahkan. Benda-benda itu menggelantung di tengah destar”

”Pegang terus dan jangan lepaskan. Barangsiapa di antara kalian, dapat memahami kata-kataku, memahami arus utara dan selatan, dapat menyelami arus balik dan pesan Gusti Kanjeng Unus, ambillah dan pergunakanlah semua peninggalan itu. Tegakkan Tuban, usahakan mengusir Peranggi dari jalan laut, Pasai, Selat, Semenanjung, Malaka dan Maluku. Lepaskan arus selatan ke utara bergelombang-gelombang sepanjang jaman”.

”Perhatikan barang-barang itu dan jangan perhatikan Wiranggaleng, Senapati kalian. Wiranggaleng sekarang sudah tidak ada. Sekarang dia hanya seorang petani bernama Galeng. Tinggallah kalian dalam kerukunan, karena perpecahan adalah pembunuh kalian yang pertama. Aku akan pergi dan jangan kalian cari. Hanya bila Peranggi datang lagi, Wiranggaleng akan datang untuk memusnahkannya”.

Sekali lagi atas segala kelemahan dan kekurangan saya selama menjabat sebagai Dekan FH-UAJY, terlebih lagi dengan meninggalkan tugas dan tanggung jawab selagi belum selesai masa jabatan, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya. Semoga Tuhan memberkati seluruh langkah yang akan kita tempuh dalam memajukan FH-UAJY yang kita cintai ini. Berkah Dalem menyertai kita semua. Viva Atma Jaya.

Kotagede, Pebruari 2009.

Dekan FH-UAJY Periode 2006-2010

B. Hestu Cipto Handoyo, SH.,M.Hum.

Sabtu, 21 November 2009

MENCARI FORMAT HUKUM KEWARGANEGARAAN YANG TIDAK DISKRIMINATIF


MENCARI FORMAT HUKUM KEWARGANEGARAAN

YANG TIDAK DISKRIMINATIF*)

Oleh :

B. Hestu CH**)

“Bukankah kita memang tercipta laki-laki dan wanita,

dan menjadi suku-suku dan bangsa-bangsa yang pasti berbeda.

Bukankah kita memang harus saling mengenal dan menghormati,

bukan untuk saling bercerai berai dan berperang angkat senjata”

(Laskar Cinta “chapter 2” : Dewa 19)

Pendahuluan

Bierens de Haan, sebagaimana dikutip oleh Hamid S. Attamimi mengemukakan : (Hamid S. Attamimi, 1990 : 53-54)

“Negara adalah lembaga manusia; manusialah yang membentuk negara. Dan menusia yang membentuk negara itu, merupakan makhluk perorangan (endelwezen) dan merupakan juga makhluk bermasyarakat (gemeenchapswezen). Manusia dalam dirinya secara alami mengandung keinginan untuk berorganisasi yang timbul karena dorongan dari dalam. Dan negara adalah bentuk berorganisasinya suatu masyarakat, yaitu masyarakat bangsa. Meskipun masyarakat bangsa terbagi dalam kelompok-kelompok, negara membentuk suatu kesatuan yang bulat dan mewakili sebuah cita (eenidee vertegenwoordig)”.

Terkait dengan persoalan berorganisasinya suatu masyarakat, Cf. Birch mengemukakan bahwa untuk membentuk organisasi negara, maka secara teoritik terdapat dua tahapan yang harus dilalui. Pertama; tahap integrasi nasional, yaitu proses menyatunya kelompok-kelompok masyarakat dalam bidang politik-historis, sosio-kultural, interaksi (transportasi-komunikasi), dan ekonomi, sehingga menjadi kelompok yang lebih besar daripada daerah (regional), tetapi bukan kelompok internasional, yang mempunyai identitas berbeda dengan kelompok lain sesamanya. Hasil integrasi nasional ini adalah bangsa.

Kedua; tahap integrasi negara, yakni proses munculnya kelompok penguasa yang menguasai wilayah bangsa itu secara bertahap, yakni (a) menundukkan saingan-saingannya; (b) menentukan batas-batas wilayah kekuasaannya; (c) menciptakan polisi dan pengadilan untuk mendukung ketertiban; dan (d) tahap penetrasi administrasi, yaitu pembentukan birokrasi untuk melaksanakan undang-undang dan mengumpulkan pajak. (Suwarno PJ; 1994:37).

Mencermati dua pendapat tersebut di atas, dapat ditarik pemahaman bahwa, unsur utama yang harus dipenuhi oleh negara sebagai organisasi kekuasaan tidak lain adalah adanya rakyat atau warganegara. Mereka inilah yang bertindak sebagai anggota organisasi kekuasaan tersebut, dan sekaligus sebagai unsur utama pembentuk organisasi. Merekalah yang mengikatkan dirinya dalam kontrak sosial dalam rangka membentuk organisasi kekuasaan yang disebut Negara. Oleh sebab itulah dalam mekanisme kehidupan ketatanegaraan, warganegara atau rakyat menduduki posisi sentral dan menentukan. Persoalannya menjadi lain, jikalau posisi yang demikian tidak nampak dalam seluruh mekanisme kehidupan ketatanegaraan di suatu negara. Salah satu sebab yang dapat diajukan disini tidak lain adalah sistem pemerintahan dari negara itulah yang tidak kondusif dalam meletakkan posisi warganegaranya.

Dalam konteks Indonesia, integrasi memang berjalan tertatih-tatih. Secara konseptual kata Nusantara sebagai simbol integrasi-pun berasal dari kata yang kurang menunjukkan aspek integrasi. Menurut Manoel Godinho de Eredia, kata nusantara berasal dari kata “Luca” dan “antara” yakni suatu kata yang dipergunakan untuk menggambarkan adanya bentangan pulau-pulau di semenanjung Malaka, dimana antara pulau yang satu dengan lainnya tidak ada hubungan satu sama lain kecuali perdagangan.

Arti kata semacam ini menunjukkan bahwa integrasi nusantara itu nyata-nyata tidak diikat oleh perekat yang sifatnya alamiah (kesamaan suku, bangsa, rasa, bahasa dan lain sebagainya). Yang menjadi daya ikat nusantara tidak lain adalah kenyataan sosio-historis, yaitu senasib seperjuangan karena berada di bawah penindasan kolonialisme. Oleh sebab itu simbol dari integrasi nusantara sebenarnya tidak lebih adalah adanya “musuh bersama” yang harus dihadapi oleh orang-orang yang ada di nusantara ini. Kondisi semacam ini masih ditabah dengan politik Devide et impera-nya Belanda melalui pengelompokan warga Hindia Belanda yang terdiri dari beberapa golongan melalui Indische Staatregeling. Kondisi semacam inilah yang mengakibatkan rezim-rezim yang berkuasa di negeri ini selalu mempergunakan simbol-simbol “musuh bersama” dalam rangka memperkuat bangunan integrasi Indonesia.

Menurut Pasal 1 Konvensi Den Haag 1930 dinyatakan bahwa penentuan kewarganegaraan merupakan hak mutlak dari negara yang bersangkutan. Namun demikian hak mutlak ini dibatasi oleh general principles, yakni : (B. Hestu Cipto Handoyo, 1996 : 153)

1. Tidak boleh bertentangan dengan konvensi-konvensi internasional;

2. tidak boleh bertentangan dengan kebiasaan internasional; dan

3. tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum umum yang secara internasional diterapkan dalam hal penentuan kewarganegaraan.

Berdasarkan pada Konvensi Den Haag tersebut, maka negara memiliki wewenang dan kebebasan penuh untuk membentuk berbagai ketentuan mengenai kewarganegaraan. Hal inilah yang menyebabkan dalam penentuan status kewarganegaraan seseorang dikenal adanya asas ius sanguinis (kewarganegaraan berdasarkan keturunan) dan ius soli (kewarganegaraan berdasarkan pada tempat dimana seseorang itu dilahirkan).

Walaupun negara mempunyai hak mutlak dan kebebasan untuk menentukan status kewarganegaraan seseorang, namun menurut Pasal 15 Deklarasi Universal HAM dinyatakan bahwa “setiap orang berhak atas suatu kewarganegaraa, dan bahwa tidak seorangpun dapat dengan sewenang-wenang dicabut kewarganegaraannya ataupun tidak dapat diingkari hak untuk mengganti kewarganegaraannya”.(Peter Baehr, et.al, 1997:839)

Dari dua konstruksi hukum internasional tersebut, maka jikalau diterapkan akan menimbulkan perbenturan hak yakni, disatu sisi negara mempunyai hak mutlak untuk menentukan status kewarganegaraan seseorang. Sementara itu disisi lain setiap orang berhak atas status kewarganegaraan. Dengan terjadinya perbenturan hak seperti ini, maka secara normatif akan menimbulkan kewajiban diantara keduanya.

Kewajiban yang dimaksud tidak lain adalah, bagi negara dituntut untuk memberikan pengakuan dan perlindungan, yang tentunya melalui perangkat hukum nasional. Pengakuan dan perlindungan tersebut ditujukan kepada setiap orang yang berkeinginan atau sudah menjadi warganegara. Sementara itu bagi setiap orang dituntut untuk mengambil ketegasan mengenai status kewarganegaraannya melalui tata cara yang telah diatur dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Konsekuensi Yuridis Status Kewarganegaraan.

Status kewarganegaraan seseorang memberikan konsekuensi yuridis bagi keberadaannya di dalam suatu organisasi kekuasaan yang disebut negara. Konsekuensi yuridis tersebut meliputi bidang hukum Perdata Internasional, Hukum Kekeluargaan, dan hukum Publik (M. Indradi Kusuma, et.al, 2000:2-3).

Pertama; di bidang Hukum Perdata Internasional dikenal adanya konsep nationaliteit principles yang intinya menyatakan bahwa status hukum seseorang warganegara dalam hak dan kewajiban melekat dimanapun ia berada. Hal ini berarti ditinjau dari aspek Hukum Perdata Internasional, keberadaan hukum nasional dari suatu negara akan tetap mempengaruhi sikap dan tindak seorang warganegara walaupun ia berada di luar wilayah yuridiksi negara yang bersangkutan.

Prinsip semacam ini sangat penting untuk diterapkan, mengingat perlindungan hukum bagi seseorang warganegara akan selalu dibutuhkan dimanapun ia berada. Hal ini juga selaras dengan visi dan misi Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagaimana tertuang di dalam Pembukaan UUD 1945, yakni melindungi segenap tumpah dan darah Indonesia.

Kendatipun demikian, nationaliteit principles ini ternyata acap kali tidak mampu untuk diterapkan dalam rangka melakukan perlindungan dan penegakkan hukum bagi warganegara yang berada di luar wilayah yuridiksi negara.. Kesemuanya ini disebabkan di dalam lingkungan Hukum Internasional juga dikenal adanya prinsip domisili. Suatu prinsip yang menghendaki bahwa status hukum mengenai hak dan kewajiban seseorang ditentukan oleh hukum di mana ia berdomisili. Contoh konkrit yang dapat dikemukakan disini adalah kasus Oki yang melakukan pembunuhan di AS, dan kasus-kasus Tenaga Kerja (TKI) Indonesia yang sering mengalami penindasan Hak-hak di negeri orang, serta TKI yang terkena vonis hukuman mati sebagai akibat tindak pidana pembunuhan dan sejenisnya.

Dengan demikian dalam penerapan kedua prinsip seperti ini, negara sebagai institusi kekuasaan sering menghadapi dilema hukum. Disatu pihak dibebani kewajiban untuk melindungi setiap warganegara dimanapun mereka berada, dipihak lain juga dituntut untuk menghormati hukum negara lain karena alasan yuridiksi. Berkaitan dengan hal inilah, maka langkah yang sering dilakukan adalah dengan mengadakan perjanjian ekstradisi yang dalam dataran substanti mengandung bobot politis yang tinggi.

Kedua; di bidang Hukum Kekeluargaan (familie recht), status kewarganegaraan seseorang akan berkaitan dengan adanya kepastian hukum mengenai hak dan kewajiban yang berkaitan dengan masalah-masalah hubungan antara anak dan orang tua, pewarisan, perwalian ataupun pengampuan. Dalam persoalan ini, fenomena hukum di Indonesia sebagian besar masih menggariskan pada pemberlakuan hukum adat, yang kadang kala justru dianggap tidak memenuhi rasa keadilan. Misalnya dalam lingkup Hukum Waris Adat yang sifatnya masih dianggap diskriminatif.

Dalam lingkungan masyarakat Jawa, dikenal adanya pola pembagian waris Segendong sepikul. Pola semacam ini menentukan bahwa dalam hal pewarisan anak laki-laki akan memperoleh pembagian harta warisan sebesar satu bagian, sementara anak perempuan hanya ½ bagiannya. Kondisi semacam ini juga bisa diperbandingkan dengan Hukum Waris Adat dilingkungan masyarakat Patrilinial dan matrilinial, seperti di Bali dan Minangkabau (Sumatra Barat).

Namun demikian, persoalan keadilan ataupun ketidak setaraan gender tersebut tentunya tidak terkait dengan persoalan hukum kewarganegaraan. Hal ini mengingat secara prinsipiil Hukum Kewarganegaraan hanya dibentuk dan diimplementasikan status seseorang bila berhadapan dengan negara sebagai organisasi kekuasaan.

Ketiga; konsekuensi di bidang Hukum Publik menunjukkan bahwa status kewarganegaraan seseorang merupakan bukti keanggotaan orang tersebut di dalam organisasi negara. Oleh sebab itulah negara berkewajiban untuk memberikan perlindungan. Lain daripada itu, dalam dimensi hukum publik, status kewarganegaraan akan menimbulkan konsekuensi bahwa setiap orang yang disebut sebagai warganegara harus tunduk dan patuh kepada hukum-hukum negara sebagai manifestasi kehendak bersama dalam ikatan kontrak sosial sebagai prasyarat normatif terbentuknya negara (JJ. Rousseau).

Dari ketiga konsekuensi yuridis tersebut di atas, tentunya pembentukan Hukum Kewarganegaraan melalui Undang-Undang Kewarganegaraan haruslah memuat ketiga bidang hukum di atas. Persoalannya adalah, bagaimanakah ketiga konsekuensi yuridis itu dapat dimuat dalam Undang-Undang Kewarganegaraan tanpa harus menerobos hukum-hukum yang lain yang dalam hal ini telah diatur di dalam peraturan perundang-undangan lain, misalnya UU tentang HAM.

Pertanyaan yang perlu di jawab sehubungan dengan pemberlakuan UU No. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan adalah, apakah 3 (tiga) konsekuensi yuridis tersebut sudah diakomodasi? Menurut hemat saya, konsekuensi di bidang hukum perdata internasional masih belum diakomodasi secara lengkap. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 23i yang menyatakan bahwa WNI kehilangan kewarganegaraannya jika yang bersangkutan bertempat tinggal di luar wilayah Negara RI selama 5 (lima) tahun terus menerus, dst.

Diskriminasi Hukum Kewarganegaraan di Dalam UUD 1945.

Dari 4 (empat) kali Amandemen UUD 1945 yang dilakukan oleh MPR hasil Pemilu tahun 1999, ternyata Pasal 26 ayat (1) tidak mengalami perubahan. Di dalam Pasal tersebut dinyatakan bahwa “Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara”. Konsepsi yuridis konstitusional seperti ini menimbulkan persoalan sosiologis dan yuridis di bidang hukum kewarganegaraan, yaitu :

1. Pemahaman mengenai orang-orang bangsa Indonesia asli akan menimbulkan penafsiran yang ambigu, yakni dapat dipahami sebagai :

a. Orang-orang berikut keturunannya yang telah ada di Indonesia sejak Indonesia menyatakan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, atau

b. Orang-orang yang dianggap sebagai cikal-bakal pembentuk bangsa Indonesia. Hal ini berarti bila ditinjau dari Ras ataupun secara etnologis dianggap sebagai pembentuk bangsa Indonesia.

Dalam dataran kepastian hukum, kedua pemahaman ini jelas sulit untuk dilacak. Ukurannya tidak jelas. Hal ini mengingat yang disebut sebagai bangsa asli sering hanya dikaitkan dengan aspek fisiologis manusia misalnya warna kulit, bentuk wajah, budaya. Padahal dari aspek fisiologis – misalnya warna kulit – dapat direkayasa melalui berbagai cara, entah karena kondisi alam ataupun buatan.

2. Pasal 26 ayat (1) menyiratkan adanya dua kelompok dalam warga negara Indonesia, yaitu kelompok pribumi dan non pribumi. Hal ini jelas akan berdampak pada pembedaan warga negara berikut perlakuan hukumnya. (Samuel S. Nitisaputra, dalam M. Indradi Kusuma, et.al, ibid, hlm. 40).

3. Penegasan Pasal 26 ayat (1) yang menyatakan bahwa yang disahkan dengan undang-undang sebagai warganegara merupakan ketentuan yang sangat berlebihan dan merepotkan bagi lembaga legislatif. Mengapa demikian? Karena ketentuan tersebut mensyaratkan bahwa status kewarganegaraan Indonesia bagi seseorang akan selalu dilegalisasi lewat undang-undang.

Ketiga persoalan sosiologis dan yuridis tersebut, dalam dataran pelaksanaan lebih lanjut melalui peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya. Dari undang-undang sampai dengan Keputusan Persiden. Akan menimbulkan penegakkan hukum kewarganegaraan yang diskriminatif.

Bagi golongan pertama ( yang dianggap sebagai orang-orang bangsa Indonesia asli) akan secara otomatis, tanpa melalui upaya hukum apapun, sudah dianggap sebagai warga negara Indonesia. Sedangkan bagi golongan kedua (orang-orang yang di anggap dari bangsa lain), untuk dapat memperoleh status warga negara Indonesia harus melakukan upaya-upaya hukum tertentu yang memakan waktu, biaya dan tenaga yang relatif besar. Birokrasi pengurusan status kewarganegaraan Indonesia dirasa sangat berbelit-belit.

Contoh aktual yang dapat dipakai sebagai bukti, adalah kasus Hendrawan, atlet Bulu Tangkis Indonesia yang kesulitan mengurus status kewarganegaraan anaknya, dan Kasus Ivana Lie, atlet Bulu Tangkis Indonesia yang juga menghadapi kesulitan sama dalam mengurus status kewarganegaraanya.

Tidak dapat dipungkiri bahwa dewasa ini persoalan yang berdimensi diskriminatif tidak hanya berkisar pada issu pribumi dan non pribumi. Melainkan telah berkembang sampai menjurus kearah gejala disintegrasi dalam skala masif. Contoh yang dapat disebutkan disini adalah :

Pertama; ketika opsi kemerdekaan dan otonomi ditawarkan bagi masyarakat Timor Leste. Pada waktu itu wacana yang berkembang tidak hanya pada persoalan penindasan HAM, melainkan sampai pada persoalan mengenai hak untuk menentukan nasib sendiri bagi sekelompok masyarakat yang mengatas namakan dirinya sebagai suatu bangsa.

Kedua; deklarasi rakyat Papua, Aceh yang pada intinya menuntut nasib sendiri (baca:merdeka) bagi bangsa Papua ataupun Aceh, melalui rujukan pelurusan sejarah dar kedua wilayah Indonesia tersebut. Ketiga; RUU Pemerintahan Aceh juga mengandung persoalan yang menyangkut warga Negara. Karena di dalam RUU tersebut dijumpai adanya ketentuan mengenai warga Aceh dan Penduduk Aceh. Persoalannya adalah apakah warga aceh dan penduduk aceh secara prinsipiil berbeda dengan Warga Negara Indonesia dan Penduduk Indonesia? Mengapa ketentuan semacam ini masuk di dalam sebuah UU Pemerintahan Aceh? Apakah keistimewaan Aceh juga berdampak pada keistimewaan masyarakat Aceh dan perlu diperlakukan tersendiri?

Kalau kita kembali merujuk pandangan Cf. Birch menyangkut teori integrasi – sebagaimana penulis sampaikan di awal tulisan ini – maka persoalan integrasi nasional Indonesia yang membentuk bangsa tentunya sudah dapat dianggap final. Proses integrasi bangsa Indonesia dimulai sejak Kebangkitan Nasional 1908, Sumpah Pemuda 1928 dan mencapai puncak finalisasi pada saat dikumandangkan deklarasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.

Dengan demikian persoalan yang melingkupi Pasal 26 ayat (1) UUD 1945, khususnya yang menyangkut penafsiran orang-orang bangsa Indonesia asli, harusnya dipahami sebagai hasil dari proses berintegrasinya kelompok-kelompok masyarakat (suku, bangsa, ras, agama, dan lain sebagainya) dalam satu ikatan kebangsaan Indonesia. Bertitik dari persoalan inilah, usulan untuk melakukan amandemen Pasal 26 ayat (1) patut ditanggapi secara positif. Samuel P. Nitisapoetra mengemukakan : (ibid, hlm. 14)

“Amandemen tersebut merupakan salah satu langkah untuk meluruskan makna dalam pikiran yang tertuang pada Pasal 26 UUD 1945 tentang kata orang Indonesia Asli. Pelurusan saat ini menjadi penting karena penafsiran pasa ini telah bergeser ke arah diskriminasi rasial, dengan menempatkan yang disebut orang-orang bangsa lain sebagai bangsa asing yang layak ditempatkan di kelas dua. Amandemen ini lebih di arahkan untuk menyempurnakan bahasa yang dipakai dalam penulisan pemikiran tentang warga negara. Kalau dalam UUD 1945 memakai orang Indonesia asli, maka diusulkan dalam amandemen untuk dipakai kalimat dengan perspektif hukum, yaitu original born citizen, keaslian berdasarkan tempat kelahiran”.

Pendapat di atas sangat cocok bila diletakkan dalam paradigma globalisasi. Dalam paradigma ini jelas lalu-lintas orang lintas negara, budaya maupun ras (bangsa) akan terjadi. Keniche Ohmae mengemukakan bahwa “kita sekarang ini hidup dalam dunia tanpa batas, dimana negara-negara bangsa telah menjadi sebuah rekaan, dimana para politikus telah kehilangan semua kekuatan efektif mereka”. (Anthony Giddens,1999:33)

Oleh sebab itulah jika hukum kewarganegaraan Indonesia, utamanya yang terdapat di dalam UUD 1945 mempergunakan perspektif original born citizen, maka konsekuensinya peraturan perundang-undangan yang ada juga mensyaratkan adanya pengakuan status kewarganegaraan Indonesia berdasarkan asas ius soli. Pengakuan dengan mempergunakan asas semacam ini juga digunakan oleh Amerika Serikat. Akan tetapi dalam hal ini AS juga memberikan penegasan mengenai perlunya hak opsi dalam hal penentuan status kewarganegaraan. Dan hak opsi ini pada umumnya dilandasi oleh alasan-alasan keturunan (ius sanguinis).

Hukum Kewarganegaraan dalam Prespektif Konvensi Internasional.

Dalam Konvensi Internasional, persoalan yang menyangkut kewarganegaraan, antara lain diatur dalam : (Referensi Fundamental Diskursus Hukum Kewarganegaraan; 2000: 475-512)

1. Konvensi tentang Kewarganegaraan Perempuan yang sudah menikah (disetujui tanggal 30 Agustus 1961);

2. Konvensi tentang Pengurangan Ketiadaan Kewarganegaraan (disetujui tanggal 30 Agustus 1961); dan

3. Konvensi mengenai Status orang yang tidak memiliki kewarganegaraan (disetujui tanggal 28 September 1961).

Dengan berlandaskan pada Pasal 15 Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia, Pasal 1 Konvensi tentang Kewarganegaraan Perempuan yang sudah menikah menegaskan bahwa “Setiap Negara Peserta menyetujui bahwa baik penyelenggaraan ataupun pembubaran suatu perkawinan antara salah satu warga negaranya dan seorang asing, ataupun perubahan kewarganegaraan oleh suami selama perkawinan, tidak secara otomatis mempengaruhi kewarganegaraan istri”. Ketentuan semacam ini jelas-jelas telah menghilangkan unsur bias gender dalam hal pengaturan mengenai status kewarganegaraan wanita yang telah menikah.

Di dalam Pasal 1 ayat (1) Konvensi tentang Pengurangan Ketiadaan Kewarganegaraan ditegaskan :

Suatu Negara Peserta akan memberikan kewarganegaraannya kepada seseorang yang dilahirkan di dalam wilayahnya, yang jika sebaliknya, akan tidak memiliki kewarganegaraan tersebut harus diberikan : (a) Pada kelahiran, karena berlakunya hukum atau, (b) Atas suatu lamaran yang diajukan atas nama orang yang bersangkutan, dalam cara yang ditetapkan oleh hukum nasional. Dengan tunduk pada ketentuan ayat (2) pasal ini, tidak satupun lamaran tersebut ditolak.

Ayat (2) dalam konvensi tersebut juga menegaskan bahwa suatu Negara Peserta dapat membuat pemberian kewarganegaraan menurut ketentuan ayat (1) sub b, tunduk pada satu atau lebih syarat-syarat berikut :

a. Bahwa lamaran diajukan selama jangka waktu, yang ditetapkan oleh Negara Peserta, mulai tidak kurang dari umur 18 tahun, dan berakhir tidak lebih awal dari umur 21 tahun, sehingga bagaimanapun, orang yang bersangkutan akan diperkenankan paling sedikit 1 tahun yang selama itu dia dapat membuat sendiri lamaran tanpa harus memperoleh penguasaan hukum.

b. Bahwa orang yang bersangkutan sudah terbiasa bertempat tinggal di dalam wilayah Negara Peserta untuk satu jangka waktu seperti yang mungkin ditetapkan oleh negara tersebut, tidak melebihi 5 tahun segera sebelum pengajuan lamaran atau tidak melebihi 10 tahun seluruhnya.

c. Bahwa orang yang bersangkutan belum pernah dihukum baik karena suatu pelanggaran terhadap keamanan nasional atau belum pernah diputuskan dihukum penjara untuk periode 5 tahun atau lebih atas tuduhan pidana;

d. Bahwa orang yangbersangkutan sudah tidak berkewarganegaraan.

Ketentuan-ketentuan di atas menegaskan bahwa, konvensi tersebut mempergunakan asas ius soli dalam penentuan status kewarganegaraan seseorang. Khususnya bagi mereka yang tidak memiliki kewarganegaraan.

Tinjauan Kritis UU Kewarganegaraan.

Sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa UU Kewarganegaraan yang menggantikan UU No. 62 tahun 1958 telah disetujui oleh DPR-RI pada tanggal 11 Juli 2006. Secara umum, kemunculan UU ini memperoleh tanggapan positif dari berbagai pihak. Bahkan UU ini disebut-sebut sebagai UU yang progresif dan telah mengubah paradigma tentang kewarganegaraan yang selama ini nuansa diskriminatifnya sangat tinggi. Terlepas dari itu semua, ddi bagian ini saya akan mencoba memberikan sedikit catatan kritis tentang keberadaan UU tersebut.

Pasal 2 menegaskan bahwa Yang menjadi Warga Negara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga Negara. Ketentuan semacam ini pada hakikatnya merupakan copy paste dari ketentuan Pasal 26 ayat (1) UUD 1945 yang masih tetap bernuansa diskriminatif.

Penjelasan Pasal 2 tersebut menyatakan bahwa Yang dimaksud dengan “bangsa Indonesia asli” adalah orang Indonesia yang menjadi Warga Negara sejak kelahiran dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas kehendak sendiri. Penjelasan semacam ini memang telah menutup perdebatan tentang kriteria atau ukuran dalam memahami pengertian “bangsa Indonesia Asli”. Pendek kata, keaslian itu sudah berlandaskan pada tempat kelahiran alias Original born citizen.

Bila ditinjau dari aspek teori perundang-undangan, maka penempatan pengertian “bangsa Indonesia asli” di dalam penjelasan merupakan langkah yang tidak tepat, sebab pengertian tersebut sejatinya merupakan asas yang akan dipergunakan dalam seluruh materi muatan UU Kewarganegaraan tersebut. Oleh sebab itu mumpung belum diundangkan, maka alangkah baiknya jikalau rumsan pengertian tersebut dicantumkan di dalam Pasal 2 atau di dalam Pasal 1 Ketentuan Umum.

Lain daripada itu Pasal ini juga masih menyisakan persoalan yang berkaitan dengan prosedur dan tata cara untuk memperoleh kewarganegaraan Indonesia bagi orang-orang bangsa lain. Hal ini nampak dalam rumusan yang menyatakan “disahkan dengan Undang-undang sebagai warga Negara”. Persoalan yang dimaksud telah penulis kemukakan terdahulu.

Menurut Pasal 1 Konvensi tentang kewarganegaraan Perempuan yang sudah menikah, pada prinsipnya menyatakan bahwa seseorang wanita warga negara yang menikah dengan laki-laki warga negara lain tidak secara otomatis mempengaruhi status kewarga negaraan istri. Norma hukum internasional semacam ini ternyata diimplementasikan ke dalam Pasal 26 ayat (1) secara ragu-ragu. Perancang UU ini nampak masih kurang memiliki kepercayaan diri bahwa Hukum internasional sudah menjamin tentang kewarganegaraan perempuan yang sudah menikah.

Lebih lanjut kalau mencermati Pasal 23i dan pasal 26 maka nampak bahwa UU ini masih bersifat diskriminatif terhadap perempuan yang potensial menjadi korban dari UU Kewarganegaraan ini. Pasal 23i misalkan, mengatakan siapa saja warga negara yang tidak melaporkan kesediaannya atau keinginannya menjadi warga negara dalam waktu lima tahun maka akan gugur. Ketentuan seperti ini tidak melihat pengalaman-pengalaman buruh migran yang ada di Malaysia. Kemudian juga tidak melihat bagaimana warga negara Indonesia yang stateless yang saat ini berada di Eropa karena kebijakan Orde Baru di masa lalu, ketika itu ada mahasiswa-mahasiswa Indonesia sekolah, kemudian dapat stigma Soekarnois atau komunis. Mereka ini tidak bisa kembali dan paspornya tidak diperpanjang KBRI setempat.

Diskriminasi lain ada pada pasal 26. Di situ disebutkan, perempuan berwarganegara Indonesia yang menikah dengan orang asing, setelah tiga tahun, harus memilih mau tetap WNI atau ikut kewarganegaraan suami. Aturan itu harus dicabut dan perempuan yang bersangkutan diberi keleluasaan memilih kewarganegaraannya, tanpa batasan waktu.

Lain daripada itu undang-undang juga dapat memunculkan kemungkinan adanya jutaan tenaga kerja Indonesia di luar negeri, terutama Malaysia dan Timur Tengah, terancam kehilangan kewarganegaraan. Sebab Undang-Undang Kewarganegaraan mewajibkan setiap WNI untuk mendeklarasikan kewarganegaraan mereka setiap lima tahun sekali. Di tempat-tempat inilah mereka sulit mengakses KBRI, misalnya kalau memang mereka diwajibkan untuk melapor. Apalagi di Timur Tengah. Ini memperlihatkan bahwa UU ini sangat bias kelas. Artinya UU ini mengasumsikan bahwa semua WNI di luar negeri punya akses informasi yang luas, bisa mudah berkomunikasi, mobilitasnya sangat tinggi. Padahal kalau kita ketahui buruh migran kita yang di Malaysia umpamanya yang kerja di perkebunan-perkebunan ada yang lima atau enam tahun tidak bisa ke bandar atau ke kota, apalagi ke KBRI."

Kemudian di Saudi Arabia, di dalam kultur mereka sangat sulit majikan-majikan mereka membebaskan atau memberi sedikit keleluasaan kepada para buruh migran perempuan kita yang bekerja di sana, keluar rumah apalagi datang ke KBRI. Jadi saya kira ini memang ancaman bagi buruh migran yang jumlahnya jutaan. Di Malaysia ada sekitar 1,2 juta TKI kita yang bekerja tidak berdokumen, mayoritas mereka ada di perkebunan-perkebunan yang jauh dari bandar-bandar raya. Kemudian juga di Saudi Arabia, utamanya dan juga di beberapa negara di Timur Tengah. mereka pada umumnya sangat sulit keluar rumah. Oleh sebab itu kondisi yang demikian harus juga dicermati

Undang-undang Kewarganegaraan sudah diketok oleh DPR-RI. Tentu ada yang masih belum puas. Sebuah undang-undang memang tak pernah sempurna. Selalu ada kekurangan di sana-sini. Yang jelas, undang-undang ini sudah menghapus banyak diskriminasi, walaupun mungkin belum semua diskriminasi. Sekarang tinggal melihat diskriminasi yang tersisa. Sebagai manusia yang hidup bermasyarakat dan bernegara orang Indonesia memang harus terus-menerus belajar. Dan yang paling penting adalah belajar untuk menghilangkan stigma pribumi dan non pribumi. Belajar untuk tidak saling curiga.

Kepustakaan.

Anthony Giddens, The Third Way (Jalan Ketiga Pembaharuan Demokrasi Sosial, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1999.

B. Hestu Cipto handoyo, Dasar-dasar Hukum Tata Negara Indonesia, Univ. Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, 1996.

Hamid S. Attamimi, Disertasi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Pascasarjana, UI, Jakarta, 1990

KOMNAS HAM, Referensi Fundamental Diskursus Hukum Kewarganegaraan, Komnas HAM, Gandhi, FKKB, The Asia Foundation, Jakarta, 2000.

M. Indradi Kusuma, et.al, Diskriminasi Warga Negaradan hak Asdasi Manusia (Bunga Rampai Wacana Kewarganegaraan dalam Beragam Perspektif & Interdisipliner), Komnas HAM, Gandhi, FKKB, The Asia Foundation, Jakarta, 2000.

Peter Baehr, et.al, Instrumen Internasional Pokok Hak Asasi Manusia, Obor Indonesia, Jakarta, 1997.

Suwarno PJ, Hamengku Buwono IX dan Sistem Birokrasi Pemerintahan Yogyakarta, Kanisius, Yogyakarta, 1994.


*) Paper ini pernah disampaikan dalam acara Sosialisasi UU No. 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan yang diselenggarakan oleh INTI DIY pada tanggal 12 Agustus 2006.

**) B. Hestu CH,SH,MH, Dekan Fakultas Hukum Univ. Atma Jaya Yogyakarta, Direktur Eksekutif PARWI Foundation, Staf Ahli Anggota DPD-RI.

KETERANGAN AHLI UJI MATERI UU KOPERASI

KONSEKUENSI MAKNA KETENTUAN UMUM PASAL 1 ANGKA 1 UU NO. 17 TAHUN 2012 TERHADAP PRINSIP DAN ASAS KOPERASI Oleh: Dr. Benediktus H...