Mengenai Saya

Foto saya
Yogyakarta, DIY, Indonesia
Dr. Benediktus Hestu Cipto Handoyo, S.H.,M.Hum atau sering dipanggil Ben atau Hestu, lahir di Blora Jawa Tengah pada tanggal 3 Juli 1962. Suami dari Maria Bernadeth Maitimo, SH dan bapak dari dua anak Giovanni Battista Maheswara, S.H.,M.H dan Alexandro Kevin Maheswara, S.H. ini, menyelesaikan pendidikan di SD. Katolik Kridadharma Blora tahun 1974. Kemudian melanjutkan di SMP Negeri I Blora lulus tahun 1978, serta SMA Jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) di SMA Katolik Wijayakusuma Blora, lulus tahun 1981. Jenjang Pendidikan Tinggi ditempuh di Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta, dan Lulus Sarjana Hukum pada tahun 1988. Melanjutkan studi pada Program Pascasarjana (S2) Universitas Padjadjaran Bandung lulus dan memperoleh gelar Magister Humaniora (M.Hum) pada tahun 1995. Pada tanggal 20 Desember 1997 sampai dengan 4 Maret 1998 mendapatkan kesempatan mengikuti kursus di LEMHANNAS (Lembaga Pertahanan dan Keamanan Nasional) Jakarta. Kemudian pada tahun 2018 Lulus pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Katolik Parahyangan Bandung

Jumat, 04 Desember 2009

DASAR PEMIKIRAN TENTANG PERLUNYA UU TENTANG OTONOMI DESA


DASAR PEMIKIRAN TENTANG PERLUNYA
UU TENTANG OTONOMI DESA
B. Hestu Cipto Handoyo

Tidak dapat dipungkiri bahwa UU No. 32 tahun 2004 yang belum genap berumur 3 tahun ini telah menuai persoalan terutama menyangkut keberadaan otonomi desa yang makin lama, makin tidak menunjukkan eksistensinya. Padahal secara konsepsional desa sebagai sebuah persekutuan hukum telah memiliki otonomi asli sebelum Indonesia Merdeka. Bahkan para faunding fathers – khususnya Soepomo – pernah mengemukakan bahwa desa merupakan salah satu dari sekian banyak zelfbestuurende lanschappen yang masuk di dalam kategori hak asal-usul dalam daerah yang bersifat istimewa.
Dalam UU No. 5 tahun 1974 dan UU No. 5 tahun 1979 yang sifatnya monolitis, desa diposisikan sebagai ”duduk diam”. Artinya otonomi Desa dimatikan, karena justru desa ditempatkan sebagai alat birokrasi administratif tanpa kemandirian sama sekali. Sementara itu, rumusan otonomi di dalam UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan daerah, dalam prakteknya hanya dititik beratkan pada masalah uang, pendapatan atau hanya sekedar peningkatan PAD. Akibatnya adalah Otonomi menjadi ladang subur bagi tumbuhnya arogansi dan eksklusivitas daerah yang pada akhirnya melahirkan fenomena disintegrasi bangsa.
Sedangkan dalam UU No. 32 tahun 2004 kesan yang paling kuat muncul adalah kembalinya arah pemerintahan ke sentralistik dan Desa menjadi makin berbeda posisinya. Birokratisasi Desa akan terjadi semakin kuat, misalnya dengan adanya tuntutan agar Sekretaris Desa dijadikan PNS. Bahkan sekarang ada keinginan politik yang sampai di Desa sehingga menimbulkan gerakan kepala desa yang menginginkan menjadi Ketua Partai Politik. Semua ini terjadi, karena secara konsepsional kita belum mempunyai ”demokrasi Indonesia”, melainkan baru ”demokrasi barat yang diterapkan di Indonesia”. Dalam konteks semacam ini, maka Badan Perwakilan Desa itulah yang harus dianggap sebagai perwakilan demokrasi.
Jika dikaji secara lebih mendalam, maka implikasi UU No. 32 tahun 2004 terhadap eksistensi Otonomi Desa adalah terjadinya politisasi desa. Padahal, semestinya desa harus diletakkan dalam konteks otonomi asli yang terlepas dari politik, namun kenyataan menunjukkan bahwa dengan UU No. 32 tahun 2004 persoalan-persoalan politik masuk ke desa. Berkaitan dengan hal ini, persoalan serius yang muncul adalah, bagaimanakah mengembalikan desa dalam bentuk otonomi asli sebagaimana di gagas oleh para foundings fathers dulu.
Oleh sebab itu, gagasan konsepsional harus kembali dirumuskan, yakni Pemerintah harus hanya bertindak sebagai katalisator saja, karena bagaimanapun juga desa memang sudah otonom. Dengan demikian, persoalan-persoalan yang sekarang ini muncul dipermukaan yang kemudian dicerminkan dalam berbagai tuntutan, sesungguhnya terletak pada Undang-undangnya.
Berkaitan dengan persoalan tersebut di atas, ada sejumlah issu penting yang dapat dipergunakan sebagai referensi dalam mengembalikan otonomi desa yaitu:
a. Penegasan posisi (kedudukan) desa dalam NKRI;
b. Pembagian kewenangan secara proporsional antara pusat, provinsi, kabupaten/kota dan desa;
c. Desentralisasi pembangunan;
d. Desentralisasi keuangan kepada desa dengan cara membuat skema perimbangan keuangan antara pusat, daerah dan desa;
e. Mengoptimalkan pembinaan (capacity building), fasilitasi dan supervisi pemerintah supradesa kepada desa.
f. Swadaya masyarakat perlu dirumuskan konsepsinya, mengingat dalam beberapa hal ternyata justru sangat memberatkan masyarakat;
g. Ke depan desa harus mempunyai perencanaan sendiri. Tidak lagi top down.
h. Desentralisasi keuangan dalam PP No. 72 tahun 2005 justru membuka kecenderungan akan terjadinya manipulasi keuangan tersebut. Desa tidak mempunyai daya tawar.
Desa merupakan entitas pemerintahan yang secara historis, politis dan kultural memiliki basis kerakyatan dan sering dianggap benteng kearifan lokal. Soepomo pernah menggagas perlunya menggunakan desa sebagai model dalam menyusun sistem pemerintahan RI.
Terlepas dari pro dan kontra, ada sisi menarik dari UU No. 32 tahun 2004. Pertama, sudah mulai terbukanya kesadaran bahwa persoalan yang menyangkut desa merupakan persoalan yang harus dicermati. Kedua, pada tataran historis, filosofis muncul kembali keinginan meletakkan desa sebagai pemerintahan alas kaki. Di samping itu juga menekankan power sharing antara jenis kewenangan, perimbangan kewenangan dekonsentrasi dengan kewenangan desentralisasi.
UU sebelumnya, yakni UU No. 5 tahun 1979 membuat desa terserap dalam dominasi kekuasaan negara dan kehilangan roh demokrasi kerakyatan. UU ini telah mengebiri hak-hak kultural dan melakukan uniformitas serta sentralisasi pengelolaan desa. Desa yang telah memiliki demokrasi asli dan menjadi basis kerakyatan, justru berbalik menjadi basis tumpuan berbagai kebijakan politik pemerintah. Desa hanya menjadi alat birokrasi pemerintah.
Menyikapi realitas kebijakan otonomi daerah di dalam UU No. 32 tahun 2004 yang ambivalen terhadap demokrasi desa, maka desa hanya mengharap adanya power sharing dengan kabupaten dan pengurangan tarikan sentralisasi melalui perluasan pemberian tugas pembantuan dari provinsi. Langkah selanjutnya yang perlu ditempuh adalah dengan memberikan legal framework melalui Perda Provinsi atau Kabupaten/kota yang lebih menunjukkan paradigma penguatan otonomi. Oleh sebab itulah, tumbuhnya demokfrasi level desa sebenarnya menjadi sarana pembelajaran yang penting untuk mendorong demokrasi di tingkat kabupaten/kota semakin menguat yang pada akhirnya berdampak pada menguatnya demokrasi ditingkat negara.
Mengingat desa sebagai central operating govenrnment maka perlu ditempuh dengan terobosan konstitusional untuk memberikan bingkai bagi makna otonomi desa, antara lain : Pertama, mengubah skema driekriengenleer yang diawali dengan mempertegas otonomi desa dalam konstitusi. Pembaharuan desa yang meletakkan desa sebagai centra operating government perlu dilandasi oleh strategi yang tepat. Anggapan bahwa pemerintah desa merupakan penyelenggara pemerintahan pada level alas kaki merupakan pemahaman yang ahistoris, reduksionis dan ilogical.
Kedua, penguatan kapasitas pemerintahan desa. Melalui penguatan partisipasi dan kapasitas rakyat desa maka gerakan arah perubahan dari bawah harus diupayakan. Kemudian memperkuat kelembagaan yang ada dapat dilakukan dengan mengelaborasi konsep checks and balance dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Langkah ini perlu didukung oleh pembiayaan yang memadai. Alternatif pembiayaan melalui skema Dana Alokasi Umum (DAU) untuk desa sangat dimungkinkan dengan melihat kedudukan DAU sebagai komponen penerimaan daerah yang ditempatkan sebagai bagian dari Dana Perimbangan. Hal ini dapat mendorong desa dapat menggali sumber pendapatan asli desa, memperkuat desa sebagai basis ketahanan pembangunan, mempercepat lacu perkembangan dan kemajuan desa, serta berkembangnya partisipasi masyarakat secara optimal.
Oleh sebab itu, pengaturan desa dan berbagai kewenangan yang ada di dalamnya tidak cukup hanya diatribusikan ke dalam Perda, melainkan harus diletakkan dalam konteks UU tersendiri. Hal ini mengingat UUD 1945 juga mengakui keberadaannya. Pengaturan Desa ke dalam UU tersendiri merupakan langkah strategis untuk memperluas otonomi dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia. Model semacam ini juga pernah di gagas oleh Moh. Yamin yang membagi pemerintahan di Indonesia ke dalam tiga tingkatan, yakni Pemerintahan atasan, pemerintahan tengahan dan pemerintahan rendahan.
Pemerintahan atasan diletakkan dalam konteks Pemerintah Pusat. Pemerintahan Tengahan diletakkan dalam konteks Propinsi/kabupaten dan pemerintahan rendahan tidak lain adalah Desa. Fungsi Pemerintahan tengahan adalah sebagai ”jembatan” yang menghubungkan antara pemerintahan atasan dan pemerintahan rendahan. Jika konsepsi seperti ini dapat diwujudkan niscaya otonomi dan demokratisasi di Indonesia akan terwujud. Sinyalemen yang mengatakan ”baru ada demokrasi di Indonesia” sedikit demi sedikit akan berubah menjadi telah terbentuk ”demokrasi Indonesia”.
Desa sebagai sebuah entitas pemerintahan terendah di Indonesia, tentunya harus diberdayakan. Memang kompleksitas persoalan yang ada di Desa relatif lebih ringan ketimbang yang berada di tingkat Propinsi atau kabupaten. Pemberdayaan desa tentu akan berdampak pada semakin menguatnya tingkat kesadaran masyarakat dalam mengimplementasikan kehidupan demokrasi. Masyarakat Desa akan semakin cerdas, dan hasil lanjutannya jelas akan mencerdaskan masyarakat Indonesia pada umumnya. Tidak kalah pentingnya adalah, dengan memberikan penguatan otonomi kepada desa beserta sumber-sumber pendapatan yang dimiliki, tentu akan mengakibatkan tingkat pertumbuhan ekonomi akan semakin merata. Dampak lanjutannya adalah bisa menjadi sarana efektif untuk menekan arus urbanisasi yang mengakibatkan semakin menumpuknya masyarakat miskin diperkotaan yang pada umumnya berasal dari desa.
Berdasarkan gambaran tersebut di atas, maka dalam rangka mengembalikan keberadaan otonomi Desa prinsip-prinsip yang harus diperhatikan adalah :
1. Sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum otonom berdasarkan Hukum asli Indonesia, maka hak asal-usul desa harus tetap dilindungi. Pasal 18B ayat (2) secara tegas telah memberikan penegasan mengenai hal ini. Desa sebagai zelf bestuurende Lanschappen (menurut Soepomo) tidak cukup hanya diatur dengan Peraturan Pemerintah. Oleh sebab itu perlu segera dirumuskan naskah akademis RUU yang substansinya dapat berupa RUU tentang Perlindungan Kesatuan-Kesatuan masyarakat Hukum Adat atau RUU tentang Otonomi Asli Desa. Di dalam RUU tersebut, Desa yang memiliki otonomi asli harus dibersihkan dari anasir-anasir politik. Penjabaran secara detil dari UU tersebut diatur dalam Perda.
2. Keuangan Desa perlu ada sinkonisasi dan harmonisasi dengan keuangan dari satuan Pemerintahan yang lebih tinggi tingkatannya (Pemerintah Pusat, Propinsi dan kabupaten). Untuk itu perlu ada payung hukum yang memberi dasar bagi sinkronisasi dan harmonisasi Keuangan secara makro yang dalam tataran pelaksanaan dapat diterjemahkan secara rinci ke dalam PP, Perda Propinsi dan Perda Kabupaten. UU Keuangan Negara perlu ada perbaikan-perbaikan untuk disesuaikan dengan tuntutan masyarakat. Berkaitan dengan hal ini, maka Perimbangan keuangan pusat dan daerah yang secara khusus mengatur alokasi Dana Desa sebesar 10% dari DAU perlu ditinjau kembali untuk diberikan peningkatan yang layak dan sepadan dalam rangka pemberdayaan dengan cara menumbuhkan partisipasi masyarakat dalam proses demokratisasi dan kemandirian Desa.
3. Garis-garis besar tentang kebijaksanaan Pemberdayaan masyarakat desa baik SDM maupun SDA harus masuk dalam koridor strategi Pembangunan Nasional. Oleh sebab itu, karena sekarang GBHN sudah tidak dikenal lagi, maka UU tentang Strategi Pembangunan Nasional harus segera rumuskan.
4. Ekonomi Kerakyatan yang terbukti kuat dalam menghadapi krisis multi dimensional ternyata juga mampu untuk menggairahkan aktifitas perekonomian di tingkat Desa. Oleh sebab itu garis-garis besar tentang Ekonomi Kerakyatan perlu dituangkan dalam bentuk UU. Hal ini selaras dengan Pasal 33 ayat (5) UUD 1945. RUU yang dimaksud dapat berupa RUU tentang Pokok-Pokok Ekonomi Kerakyatan. Eksistensi dari RUU ini adalah memberikan tempat bagi sistem ekonomi khas Indonesia dan sekaligus meredam arus kapitalisme global yang semakin merebak dalam kehidupan ekonomi dan investasi di Indonesia. Perekonomian Desa harus tetap dalam koridor ekonomi kerakyatan yang mampu memberikan kesejahteraan masyarakat, sehingga arus urbanisasi sebagai akibat kapitalisme di tingkat perkotaan dapat dieleminir. Oleh sebab itu konsep-konsep Ekonomi Kerakyatan yang digagas oleh Moh. Hatta dapat dipergunakan sebagai referensi utama.
5. Di dalam UU yang mengatur otonomi Desa tersebut masa jabatan lurah Desa masih tetap relevan untuk ditetapkan selama 5 thn. Lurah Desa tetap ditempatkan sebagai figur panutan yang mampu mengayomi dan mengayemi masyarakat Desa secara sosial ekonomi sesuai dengan karakteristik dasar dari fungsi Kepala Desa. Oleh sebab itu sangat tidak relevan apabila seorang Kepala desa menjadi pengurus Partai Politik. Sedangkan Sekretaris Desa tidak perlu menjadi PNS, tetapi yang diperlukan adalah memberikan perhatian kepada kesejahteraan perangkat desa yang layak sehingga mampu menjalankan fungsi, tugas serta pengabdiannya sebagai perangkat Desa.
Demikianlah gambaran singkat tentang Dasar Pemikiran perlunya membentuk Undang-Undang Pemerintahan Desa (Otonomi Desa). Pembentukan UU tersebut tentu akan didahului dengan perumusan naskah akademis yang sifatnya komprehensif.

NEGARA DAN BANGUNAN NASIONALISME


NEGARA DAN BANGUNAN NASIONALISME
(Mencari bentuk Nasionalisme
Kaum Muda Indonesia)*)

Oleh :
B. Hestu CH**)


Iklan minyak rambut Brisk di TV
menggambarkan seorang gadis cantik tidak rela bila
sang pacar masuk AKABRI hanya karena bila
masuk AKABRI Rambutnya yang
bagus harus rela di potong
(Inikah ukuran nasionalisme ?)


A. Batasan Nasionalisme.
Secara umum nasionalisme sering dipahami sebagai aliran atau paham kebangsaan. Nasionalisme juga sering dikonotasikan sebagai paham bernegaranya suatu bangsa. Kendatipun demikian, kalau kita mau jujur sebenarnya nasionalisme itu hanyalah merupakan “rekaan” semata. Keniche Ohmae bahkan mengemukakan bahwa “kita hidup dalam dunia tanpa batas, dimana negara-negara bangsa telah menjadi sebuah “rekaan”, dimana para politikus telah kehilangan semua kekuatan efektif mereka”. Dari sinilah letak kesulitan kita dalam memberikan definisi tentang nasionalisme. Hal ini mengingat nasionalisme itu sendiri sebenarnya tidak mungkin untuk didefinisikan melainkan hanya bisa dirasakan dalam dataran moralitas kebangsaan.
Nasionalisme menurut anggapan saya tidak lain adalah moralitas kebangsaan yang terbangun sejak perjalanan sebuah komunitas masyarakat menyusun perangkat sosiologis dalam rangka memperbesar lingkungan kehidupan bersama diantara mereka. Pandangan semacam ini semata-mata dilandasi oleh argumentasi Cf. Birch yang mencoba menerangkan tentang arti negara sebagai bentuk pengejawantahan nasionalisme yang abstrak itu. Dia mengemukakan :
“Secara teoritik integrasi untuk membentuk negara dapat dibedakan dan sekaligus melalui dua tahapan yaitu; Pertama, Integrasi nasional yakni proses menyatunya kelompok-kelompok masyarakat dalam bidang politik-historis, sosio kultural, interaksi (transportasi-komunikasi) dan ekonomi, sehingga menjadi kelompok yang lebih besar daripada kelompok daerah (regional), tetapi bukan kelompok internasional yang mempunyai identitas berbeda dari kelompok lain sesamanya. Integrasi nasional seperti ini disebut bangsa. Kedua, Integrasi negara, yaitu proses munculnya keklompok penguasa yang menguasai wilayah bangsa itu secara bertahap. (a) menundukkan saingan-saingannya; (b) menentukan batas-batas kekuasaannya; (c) menciptakan polisi dan pengadilan utnuk menciptakan ketertiban; dan (d) tahap penetrasi administrasi, yaitu pembentukan birokrasi untuk melaksanakan undang-undang dan pengumpulan pajak”.

Dari dua proses integrasi, sebagaimana yang dikemukakan oleh Birch tersebut, unsur terpenting yang berkaitan dengan pemahaman nasionalisme adalah identitas pembeda yang nampak dalam proses integrasi nasional yang disebut bangsa tersebut. Hal ini berarti dapat dijelaskan bahwa nasionalisme atau sering disebut sebagai paham kebangsaan justru hanya merupakan sarana pembedaan identitas yang ada dalam suatu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat lain, khususnya dalam rangka membentuk sebuah negara. Disinilah letak keabstrakan dari nasionalisme tersebut. Oleh sebab itulah pembedaan identitas yang dihasilkan dalam proses integrasi nasional akan selalu diupayakan dengan menciptakan simbol-simbol untuk mempertahankan kelanggengan pembeda identitas tersebut.
Banyak negara yang mencoba menciptakan simbol-simbol bagi pembedaan identitas sekaligus dalam rangka mempertahankannya. Contoh Amerika yang pernah merasakan keterpurukan nasionalisme, ketika mengalami kebangkrutan di kawasan Asia Tenggara pada saat ikut terlibat dalam konflik di Kamboja dan Vietnam sekitar tahun 1970-an. Dengan kekalahan di kawasan tersebut - baik secara fisik maupun moral – Amerika kemudian mencoba menciptakan simbol-simbol kepahlawanan melalui media yang dianggap paling efektif, yaitu Film layar lebar. Dengan gegap gempitanya Hollywood gencar memproduksi film-film kepahlawanan seperti Rambo, Rocky, Independent day dll. Inilah salah satu contoh aktual, ketika nasionalisme sangat dibutuhkan dalam rangka memobilisasi masa rakyat untuk memberikan respons positif terhadap negara.
Dari contoh aktual tersebut di atas, maka dapat ditarik pemahaman bahwa nasionalisme sangat berkaitan dengan sikap manusia yang ada di dalam suatu ikatan kehidupan bersama dalam suatu negara. Persoalannya adalah sikap yang bagaimanakah yang dapat dipergunakan untuk menilai nasionalisme tersebut. Menurut hemat saya, untuk saat ini sikap nasionalis tidak mungkin dinilai dalam konteks verbal, misalnya selalu mengikuti upacara bendera, senang menyanyikan lagu-lagu perjuangan, sangat menghormati lambang-lambang negara ataupun sangat loyal kepada pemerintah/penguasa. Sikap-sikap seperti ini tidak serta merta dapat dipergunakan sebagai tolok ukur untuk menentukan ciri-ciri orang yang berjiwa nasionalis. Pendek kata, ciri-ciri orang yang berjiwa nasionalis adalah ditunjukkan melalui sikap kepedulian kepada bangsa dan negara dengan berbagai komponen yang terkandung di dalamnya. Sikap kepedulian ini mempunyai dimensi yang sangat luas. Tak mungkin bagi kita untuk merumuskan satu persatu. Oleh sebab itu untuk memberikan penegasan mengenai ciri-ciri orang yang berjiwa nasionalis tidak lain hanya dapat ditunjukkan dalam konteks kehidupan sehari-hari yang selalu diwarnai dengan sikap tanggap terhadap perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam berbagai aspek. Kepedulian orang terhadap kehidupan bangsa dan negara termasuk masyarakat merupakan pertanda awal dari orang tersebut memiliki ciri nasionalis.

B. Perkembangan Semangat Nasionalisme di Indonesia.
Pada umunya paham kebangsaan alias nasionalisme dapat berkembang dan menjadi sarana perakat negara disebabkan oleh adanya ikatan-ikatan yang bersifat alamiah. Kebangsaan sering diikat oleh adanya kesatuan-kesatuan yang bersifat sosiologis, seperti kesamaan spiritualitas, adat, ras, bahasa, etnis, dan lain sebagainya. Kesamaan-kesamaan inilah yang secara relatif mampu memberikan dukungan dalam mempertahankan paham kebangsaan dari suatu masyarakat negara. Bagaimana dengan Indonesia ?
Tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan nasionalisme bangsa Indonesia tidak diikat oleh suatu perekat yang bersifat alamiah. Manoel Godinho de Eredia dalam penelitiannya mengemukakan bahwa kata Nusantara berasal dari kata Luca-antara atau Nuca-antara. Kata ini semata-mata hanya ingin memberikan gambaran adanya bentangan pulau-pulau di semenanjung Malaka yang tidak memiliki ikatan apapun, kecuali dalam hal hubungan perdagangan. Gambaran semacam ini oleh Sindhunata dianggap merupakan pemicu dari kerapuhan bangunan nasionalisme Indonesia. Mengapa demikian ?
Nasionalisme Indonesia – menurut Sindhunata – dalam sejarah perkembangannya hanyalah diikat oleh kesamaan-kesamaan yang bersifat sosio-historis, yaitu adanya perasaan senasib sepenanggungan dari kelompok masyarakat yang ada di kepulauan nusantara ini, sebagai akibat berada di bawah dominasi kekuasaan satu bangsa melalui kolonialisme. Pendek kata nasionalisme Indonesia terbangun karena adanya “musuh bersama” dari masyarakat disepanjang kepulauan nusantara ini. Dengan kata lain, proses integrasi Indonesia dan sekaligus membangun nasionalisme, semata-mata disebabkan oleh adanya “musuh bersama” tersebut.
Persoalannya adalah bagaimanakah dengan Kebangkitan Nasional (1908), Sumpah Pemuda (1928), Proklamasi (17-8-1945) sebagai suatu simpul-simpul terbentuknya nasionalisme Indonesia. Apakah juga disebabkan oleh adanya musuh bersama ? Ataukah justru peristiwa-peristiwa sejarah itu muncul dengan sendirinya secara mistis tanpa disebabkan oleh adanya “musuh bersama” tersebut ? Dalam konteks kesejarahan Indonesia kontemporer peristiwa-peristiwa tersebut pada hakikatnya merupakan respons terhadap kebutuhan untuk hidup bersama dalam semangat persatuan dan kesatuan. Semangat dan kebutuhan tersebut kalau kita runut jelas disebabkan oleh adanya rasa kebersamaan dalam ketertindasan oleh bangsa lain melalui kolonialisme. Harus diakui sebelum bangsa asing masuk ke bumi nusantara, Kerajaan-kerajaan di telatah nusantara ini nggak pernah bersatu dalam semangat hidup bersama. Penyatuan kerajaan-kerajaan selalu dilalui dengan penundukkan dan peperangan. Dengan demikian dapat diindikasikan bahwa, bangunan nasionalisme Indonesia – secara hipotesis – disebabkan oleh adanya musuh bersama.
Bangunan nasionalisme yang disebabkan oleh adanya musuh bersama ini sifatnya sangat rapuh. Jikalau musuh bersama tersebut sudah dapat dihadapi, ditumpas dan dikalahkan, maka kesatuan masyarakat nasionalis ini jelas akan kehilangan roh persatuan dan kesatuan, sebagai perekat nasionalisme. Oleh sebab itulah dalam sejarah modern Indonesia, para penguasa negeri ini selalu mencoba melakukan langkah-langkah pembaharuan nasionalisme dengan mengambil konsep demitologisasi atau sakralisasi bangunan nasionalisme Indonesia. Maksudnya adalah menciptakan wacana mitologi bahwa nasionalisme Indonesia itu sifatnya adalah sakral dan tak dapat diganggu gugat. Penciptaan wacana ini sering melalui pembentukan simbol-simbol nasionalisme yaitu “musuh bersama”. Contoh yang dapat dikemukakan disini adalah :
1. Zaman Orde Lama, Presiden Soekarno menciptakan simbol yaitu neokolonialisme dan neoimperialisme (NEKOLIM) sebagai musuh bersma dari kaum revolusioner. Oleh sebab itu beliau menghimpun kesatuan gerakan politik revolusioner dalam konsep NASAKOM (Nasionalis, Agama Komunis), sampai-sampai juga mengembangkan wacana “Ganyang Malaysia” sebagai antek Nekolim.
2. Zaman Orde Baru, Presiden Soeharto menciptakan simbol nasionalisme dengan wacana “Pancasila sebagai satu-satunya asas”. Wacana semacam ini dipergunakan untuk menghadapi musuh bersama yaitu Keanekaragaman dan perbedaan disegala bidang. Oleh sebab itulah pada zaman ini yang namanya SARA tabu untuk dibicarakan.
3. Pada saat gerakan reformasi th. 1998, aksi mahasiswa yang berskala masif juga dapat diindikasikan karena adanya musuh bersama, yaitu merosotnya moralitas dikalangan pemegang kekuasaan melalui praktek-praktek KKN dan semakin otoriternya rezim Orde Baru. Musuh bersama pada saat ini disimbolkan dalam diri Soeharto yang dianggap merupakan personifikasi Orde Baru dan sistem politiknya. Kendatipun demikian musuh bersama dalam periode ini, menurut pandangan saya tidak diciptakan seperti pada zaman Orde Lama dan Orde Baru, melainkan muncul karena adanya kesadaran dari kaum intelektual muda (mahasiswa) untuk melakukan pembaharuan kehidupan ketatanegaraan yang lebih demokratis, transparan, dan menghargai HAM serta penerapan prinsip negara hukum yang konsisten.
Ketiga contoh inilah yang dapat dipergunakan sebagi bukti bahwa masalah nasionalisme adalah masalah yang sifatnya sangat abstrak, dan oleh sebab itulah untuk mengkonkritkan masalah ini, sering kita hanya memainkan simbol-simbol yang justru kadang kala mengakibatkan nasionalisme itu kehilangan makna.
Namun demikian kalau dilihat dari pengalaman gerakan reformasi oleh mahasiswa, maka disitu nampak adanya model nasionalisme yang lebih rasional, yaitu nasionalisme yang lebih menekankan pada aspek kebersamaan sikap melalui penyusunan konsep-konsep gerakan yang nyata dan sangat menyentuh kepentingan rakyat. Namun sayang gerakan reformasi ini tidak dilanjutkan secara sistemik oleh para penyelenggara negara. Kondisi negara tetap tidak berubah, krisis multi dimensional masih tetap belum bisa diatasi secara tuntas, korupsi dan penyalahgunaan wewenang justru makin meluas dan membudaya. Akibatnya rakyat kembali pada kondisi semula, dan bahkan akhir-akhir ini dijumpai adanya fenomena “rindu Orde baru”. Kondisi semacam ini kalau tidak segera diatasi, maka akan mengakibatkan terjadinya kemunduran kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Ini sungguh berbahaya.

C. Pancasila sebagai Roh Nasionalisme Indonesia.
Banyak kalangan yang menganggap bahwa generasi muda abad 21 ini, adalah generasi instans. Generasi yang hanya ingin cepat saji. Generasi yang tidak survive, dugem, dan berbagai sebutan lainnya. Inilah persoalan yang harus kita hadapi sebagai generasi muda abad 21, abad mellinium. Apakah model generasi semacam ini mempengaruhi nasionalisme kaum muda ? Secara umum jawabannya adalah “YA”. Pengaruhnya sangat besar sekali. Generasi instans jelas tidak akan memiliki sikap kepedulian pada kehidupan secara umum. Mereka akan asyik dengan dirinya sendiri, sibuk mencari identitas diri dan ingin selalu dihargai. Pertanyaannya, apakah generasi abad 21 ini semuanya seperti itu ? Jawabannya adalah “TIDAK”. Banyak kaum muda yang justru menunjukkan sikap kepedulian mereka yang sangat besar terhadap nasib bangsa ini.
Kalau kita mau menyadari, kaum muda abad 21 sekarang ini justru dihadapkan pada persoalan yang sangat pelik serta multi dimensional. Di satu pihak mereka dihadapkan pada persoalan kemerosotan moral, maraknya korupsi, sex diluar nikah, aborsi, narkoba, premanisme. Dipihak lain mereka juga dihadapkan pada persoalan alih generasi. Hal ini dapat dilihat dari kejadian-kejadian pada akhir abad 20. Generasi 45 yang selama ini mendominasi peta kehidupan berbangsa dan bernegara sudah harus mundur dari kancah kehidupan tersebut. Sementara kaum muda harus segera mengganti mereka dengan mewarisi keterpurukan moralitas angkatan tua. Inilah masalah kaum muda.
Secara umum kecenderungan kaum muda terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori. Pertama, adalah kaum muda yang masuk dalam kategori generasi instans tersebut. Kepedulian mereka terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara nyaris tak terdengar. Mereka hanya sibuk dengan dunianya sendiri, dunia gemerlap alias dugem adalah kehidupan mereka sehari-hari. Café, Mall, Discotik, merupakan wadah bagi mereka ini untuk mengekspresikan aktifitasnya. Mereka gampang sekali menyerap budaya asing. Perubahan yang mereka kehendaki, bukanlah perubahan dalam sektor idealisme, melainkan perubahan yang bersifat pragmatis, seperti mode, potongan rambut, dan lain sebagainya. Dunia mereka adalah dunia yang penuh kebebasan nilai-nilai. Buku Jakarta Undercover buah karya Moamar Emka, adalah salah satu contoh aktual untuk menggambarkan Generasi muda seperti ini.
Kedua, adalah generasi muda yang penuh idealisme. Mereka biasanya masuk dalam komunitas-komunitas studi dan advokasi, LSM (NGO) merupakan wadah pilihan mereka untuk mengekspresikan aktifitas mereka. Gerakan mereka lebih menitik beratkan pada gerakan moral. Mereka memiliki kepedulian sosial yang sangat tinggi. Bahkan saking tingginya, kadang-kala mereka berani menerobos aturan main yang sudah baku seperti aturan-aturan hukum. Mereka sering menolak mentah-mentah wacana-wacana teori baku yang sarat dengan indoktrinasi. Bahkan tidak jarang mereka ini sering sangat radikal dalam membangun wacana teori baru. Pendek kata mereka inilah yang sering dimasukkan dalam kelompok generasi postmodernisme. Inilah generasi yang sarat dengan nilai-nilai nasionalisme. Gerakan mereka pada hakikatnya adalah gerakan pembelaan terhadap martabat kemanusiaan dan kebangsaan. Kalau seperti ini apakah diragukan jiwa nasionalismenya ? Saya berpendapat bahwa mereka inilah generasi muda yang mencoba memberikan makna nasionalisme, dengan gerakan-gerakan nyata di lingkungan masyarakat. Mereka jarang sekali memainkan simbol-simbol nasionalisme. Bahkan mereka menolak simbol-simbol nasionalisme yang diciptakan oleh tokoh-tokoh politik, melalui wacana ideologi yang berbasis aliran.
Dalam rangka mengembangkan nasionalisme kaum muda, maka perlu kiranya kita mengkaitkan dengan gerakan kaum muda dalam sejarah kebangsaan Indonesia. Salah satu peran sosial kaum muda dalam gerakan kebangsaan tidak lain adalah sebagai sumber kritik. Dalam sejarah Indonesia tema kritik sosial kaum muda selalu berubah-ubah sesuai dengan tingkat kesadaran subyektif serta kondisi obyektif yang mereka hadapi.
Pada masa pra kemerdekaan, tema yang lazim mereka lontarkan adalah nasionalisme dan kemerdekaan nasional. Hal ini tercermin dari tema-tema kritik yang dilontarkan oleh kamu muda, 1908, 1928 dan 1945. Sementara itu sesudah kemerdekaan, angkatan 1966 banyak melontarkan tema kritik tentang kebenaran dan keadilan. Tema kritik generasi muda angkatan 1970 adalah soal strategi pembangunan, korupsi dan keadilan sosial. Sedangkan tema kritik generasi muda angkatan 1980 dan awal 1990-an adalah soal kebesaran kekuasaan negara, kekerasan, keadilan dan HAM.
Menyimak tema kritik dari kamu muda di masing-masing periode tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa issu nasionalisme (dalam arti keperpihakan pada kehidupan berbangsa dan benegara secara umum) dari kaum muda menunjukkan perkembangan wacana dan model gerakan. Gerakan nasionalisme pra kemerdekaan jelas mengusung issue yang berbeda dengan pasca kemerdekaan. Pra kemerdekaan gerakan nasionalisme kaum muda menunjukkan eksistensinya karena musuh utamanya sangat kelihatan dan dihadapan mata mereka. Memanggul senjata dan berjuang melawan kolonialisme sampai titik darah yang penghabisan merupakan ukuran sampai seberapa jauh tingkat nasionalisme kaum muda.
Hal tersebut jelas berbeda dengan gerakan nasionalisme kaum muda pasca kemerdekaan, dimana musuh mereka dalam menegakkan nilai-nilai kebangsaan justru sering berasal dari bangsa sendiri. Memanggul senjata dan berperang bukan merupakan cara satu-satunya untuk menilai derajad nasionalisme kaum muda dewasa ini. Kita bisa menyimak bagaimanakah aksi mahasiswa di era th’65 dan 70-an serta di era reformasi sekarang ini. Dalam kondisi yang demikian inilah, kaum tua yang konservatif sering menilai bahwa nasionalisme kaum muda Indonesia diragukan. Pandangan mereka pada umumnya adalah melihat nasionalisme dalam konteks perjuangan fisik dan melawan bangsa lain. Padahal sekarang ini yang disebut penjajah atau kolonialisme justru tidak nampak kepermukaan. Penjajahan sekarang ini justru dilakukan oleh bangsa sendiri yang kebetulan sedang memegang tampuk kekuasaan pemerintahan negara. Pendek kata, kita tidak jarang menyaksikan bahwa para petinggi negara itulah yang melakukan penjajahan atas bangsa sendiri dengan melakukan Kolusi, Korupsi dan Nepotisme.
Peran dan kedudukan generasi muda dalam gerakan nasionalisme justru menduduki posisi yang sangat strategis. Kaum muda Indonesia kalau boleh disebutkan adalah golongan menengah terdidik. Merekalah golongan masyarakat yang tercerahkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi termasuk di dalamnya adalah oleh arus informasi dan komunikasi. Pendek kata dalam sejarah perjalanan Indonesia, kaum Muda merupakan agent of change bagi tatanan masyarakat Indonesia.
Akhir kata, saya hanya akan memberikan satu kata yang patut kita renungkan secara bersama-sama : “Nasionalisme adalah kata-kata yang abstrak, wujudkanlah kata-kata itu dengan tindakan nyata. Sekecil apapun tindakan tersebut, kalau ternyata merupakan tindakan yang menyentuh nurani kerakyatan, disitulah letak nasionalisme senyatanya”. Selamat berjuang kaum muda Indonesia, maju terus pantang mundur, dan maju tak gentar membela yang benar. Maaf ini bukan slogan Partai Politik lho.

Daftar Kepustakaan.
Anthony Giddens, The Third Way (Jalan ketiga Pembaharuan Demokrasi Sosial), Gramedia Pustaka Utama, 1999.

B. Hestu Cipto Handoyo, Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan dan Hak Asasi Manusia, Penerbitan Univ. Atma jaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2003.

Kompas, 1000 tahun Nusantara, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2000.

Nurcholish Majid, et.al, Menggusur Status Quo, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1998.





Pro exclesia et patria

Kotagede, 13 Nopember 2003





B. Hestu CH.

MENGKAMPANYEKAN KONSTRUKSI KABINET


MENGKAMPANYEKAN KONSTRUKSI KABINET

Oleh :
B. Hestu Cipto Handoyo*)


Agun Gunandjar Sudarsa meyakini, konstruksi dan komposisi kabinet sangat mungkin ditawarkan dalam kampanye calon presiden dan wakil presiden. (Kompas,10 Nopember 2008). Pandangan semacam ini menyederhanakan keterkaitan sistem Pemilihan Presiden (Pilpres) dan sistem presidensiil yang diamanatkan oleh UUD 1945.
Jika Sistem Pilpres 2009 menentukan bahwa Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden (Capres/Cawapres) diajukan oleh Parpol atau gabungan Parpol yang memperoleh 20% kursi di parlemen atau 25% suara sah dalam pemilu, maka akan menimbulkan konsekuensi. Pertama; posisi parpol juga sangat menentukan dalam penyusunan kabinet yang akan ditawarkan oleh Capres/Cawapres dalam kampanyenya. Artinya susunan kabinet tersebut sangat mungkin didominasi oleh elit-elit politik dari parpol atau gabungan parpol yang menjadi “kendaraan politik” pasangan Capres/Cawapres.
Hal ini sangat mungkin terjadi karena secara politis parpol/gabungan parpol akan mengajukan “kontrak politik” terkait dengan susunan kabinet yang akan ditawarkan Capres/Cawapres dalam kampanye. Kondisi yang demikian ini jelas akan menimbulkan politik “dagang sapi’ antara Capres/Cawapres dengan parpol atau gabungan parpol yang mencalonkannya. Alih-alih dari konstruksi politik seperti ini, jelas mengakibatkan sistem presidensiil tidak mungkin berjalan selaras dengan pakem yang dikenal selama ini.
Sistem presidensiil pada hakikatnya memberikan kewenangan sisa bagi presiden melalui hak prerogatif dalam penyusunan kabinet, walaupun dalam ranah checks and balances, susunan kabinet ini harus mendapatkan persetujuan parlemen. Dengan demikian, jika sejak semula penyusunan kabinet itu telah dihegemoni oleh parpol atau gabungan parpol yang mencalonkan pasangan Capres/Cawapres, maka jelas kewenangan prerogatif presiden dan persetujuan parlemen mengalami degradasi, karena komposisi kabinet sudah sejak awal ditentukan oleh parpol/gabungan parpol sebelum presiden dan wakil presiden terpilih secara definitif. Akibat lanjutannya, peran parlemen dalam melaksanakan checks and balances, telah diganti oleh parpol/gabungan parpol. Jika parlemen didefinisikan sebagai wakil Parpol, bukan wakil rakyat, tentu hal ini ada benarnya.
Kedua; dengan telah disusunnya kabinet jauh hari sebelum presiden/wakil presiden terpilih secara definitif, jelas akan mengakibatkan beban psikologis bagi Presiden/wakil presiden dalam penyusunan kabinet. Artinya secara psikologis, mereka tidak lagi mampu untuk menyusun kabinetnya berdasarkan pandangan dan idealisme mereka dalam menempatkan calon-calon anggota kabinetnya sesuai dengan kapasitas dan kapabilitasnya. Konsekuensi ini sangat mungkin terjadi mengingat tujuan parpol yang paling utama dan pertama adalah memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota baru kemudian kepentingan masyarakat, nusa, bangsa dan Negara.
Tujuan parpol seperti ini secara normatif yuridis telah ditegaskan oleh Pasal 1 angka 1 UU No. 2 tahun 2008 Tentang Parpol yang menegaskan bahwa parpol adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia.
Dengan demikian, tidak hanya beban psikologis yang akan dihadapi oleh Capres/Cawapres dalam penyusunan kabinetnya, melainkan juga beban normatif yuridis yang harus dihadapi oleh sang calon presiden dan wakil presiden tersebut. Dalam kondisi yang demikian, maka pakem sistem presidensial menjadi berubah wujud dan berwatak parlementer. Hal ini berarti susunan kabinet yang ditawarkan itu jelas-jelas atas kehendak dari parpol/gabungan parpol yang unggul dalam pemilu atau perolehan kursi di parlemen. Sementara persetujuan parlemen sebagai perwujudan checks and balance hanya bersifat performa belaka.

Belajar dari Obama.
Di AS yang baru saja melaksanakan pemilihan Presiden, cara semacam ini tidak dikenal. Dalam berbagai kesempatan kampanye yang dilakukan oleh Obama, tidak pernah terdengar sedikitpun tentang calon-calon anggota Kabinet yang ditawarkan. Susunan Kabinet itu muncul setelah secara definitif, Obama resmi diangkat menjadi Presiden. Dalam setiap kampanye, termasuk debat calon presiden, Obama hanya menawarkan visi/misi serta program yang akan dilaksanakan jika terpilih menjadi Presiden.
Berdasarkan visi/misi serta program itulah, Obama akan menyusun kabinet yang keanggotaannya sesuai dengan yang dia harapkan. Kemudian calon-calon anggota kabinet ini dimintakan persetujuan parlemen sesuai dengan kapasitas dan kapabilitasnya. Dengan model semacam inilah, maka hak prerogatif yang dimiliki oleh Obama sebagai presiden tetap eksis, sedangkan checks and balances yang diperankan oleh parlemen tetap berjalan.
Lain ladang lain belalang. Mungkin pepatah ini bisa dipergunakan sebagai alasan pembenar membedakan model presidensiil di AS dan di Indonesia. Namun, pembedaan ini tidak serta merta membawa pengaruh positif bagi pelaksanaan sistem presidensiil. Jika hak prerogatif presiden dan mekanisme checks and balances parlemen sudah mengalami degradasi akibat hegemoni parpol dalam penyusunan kabinet, maka ambigusitas sistem presidensiil di Indonesia memang ada benarnya. Inikah yang dikehendaki oleh pembentuk UU Pilpres?

KETERANGAN AHLI UJI MATERI UU KOPERASI

KONSEKUENSI MAKNA KETENTUAN UMUM PASAL 1 ANGKA 1 UU NO. 17 TAHUN 2012 TERHADAP PRINSIP DAN ASAS KOPERASI Oleh: Dr. Benediktus H...