Mengenai Saya

Foto saya
Yogyakarta, DIY, Indonesia
Dr. Benediktus Hestu Cipto Handoyo, S.H.,M.Hum atau sering dipanggil Ben atau Hestu, lahir di Blora Jawa Tengah pada tanggal 3 Juli 1962. Suami dari Maria Bernadeth Maitimo, SH dan bapak dari dua anak Giovanni Battista Maheswara, S.H.,M.H dan Alexandro Kevin Maheswara, S.H. ini, menyelesaikan pendidikan di SD. Katolik Kridadharma Blora tahun 1974. Kemudian melanjutkan di SMP Negeri I Blora lulus tahun 1978, serta SMA Jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) di SMA Katolik Wijayakusuma Blora, lulus tahun 1981. Jenjang Pendidikan Tinggi ditempuh di Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta, dan Lulus Sarjana Hukum pada tahun 1988. Melanjutkan studi pada Program Pascasarjana (S2) Universitas Padjadjaran Bandung lulus dan memperoleh gelar Magister Humaniora (M.Hum) pada tahun 1995. Pada tanggal 20 Desember 1997 sampai dengan 4 Maret 1998 mendapatkan kesempatan mengikuti kursus di LEMHANNAS (Lembaga Pertahanan dan Keamanan Nasional) Jakarta. Kemudian pada tahun 2018 Lulus pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Katolik Parahyangan Bandung

Minggu, 21 Agustus 2011

IMPLIKASI PENGAWASAN PRODUK HUKUM DAERAH

IMPLIKASI PENGAWASAN PRODUK HUKUM DAERAH
TERHADAP PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL*)

Oleh;

B. Hestu Cipto Handoyo.**)


Pendahuluan.
Secara teoritis keberadaan produk hukum daerah dapat merujuk pada pandangan Hans Kelsen dalam menerangkan pengertian desentralisasi. Menurut Kelsen desentralisasi berkaitan dengan pengertian negara sebagai suatu tatanan hukum (legal order). Oleh sebab itu desentralisasi pada intinya menyangkut berlakunya sistem tatanan hukum dalam suatu negara. Di dalam negara ada kaidah-kaidah hukum yang berlaku sah untuk seluruh wilayah negara yang disebut sebagai kaidah sentral (central norm) dan ada pula kaidah-kaidah hukum yang berlaku sah dalam bagian-bagian wilayah yang berbeda yang disebut desentral atau kaidah lokal (decentral or local norm). Dengan demikian jika kita membicarakan tentang produk hukum daerah tidak lain adalah menyangkut tatanan hukum yang desentralistik.
Pendapat tersebut masih belum menerangkan secara tuntas tentang hakikat dari produk hukum daerah jika dikaitkan dengan pengetian desentralisasi. Persoalannya adalah siapakah yang membentuk kaidah yang desentral tersebut, apakah Pemerintah Pusat ataukah Pemerintah Daerah. Jika ternyata yang membentuk adalah Pemerintah Pusat dan diterapkan di sebagian wilayah negara, maka tentunya tidak dapat disebut sebagai kaidah yang desentral. Oleh sebab itu produk hukumnyapun tetap produk hukum nasional. Hal ini disebabkan wilayah-wilayah negara hanya melaksanakan kaidah desentral itu dan tidak memiliki inisiatif untuk membentuk sendiri. Lain halnya jika kaidah desentral tersebut dibentuk sendiri oleh Pemerintah Lokal yang bersumber dari prakarsa sendiri. Dengan demikian yang dimaksud dengan Produk Hukum Daerah tentunya tidak lain adalah kaidah-kaidah hukum yang berlaku mengikat di masing-masing wilayah negara dan dibentuk berdasarkan inisiatif daerah.
Bertitik tolak dari argumentasi tersebut, maka latar belakang keberadaan Produk Hukum Daerah dalam lingkup negara yang desentralistik akan bersumber pada beberapa prinsip, yaitu:
1. Prinsip negara hukum. Di dalam prinsip negara hukum di samping dikenal adanya pemisahan kekuasaan, juga dikenal adanya pemencaran kekuasaan, yaitu pendelegasian atau pendistribusian kekuasaan secara vertikal. Dengan demikian desentralisasi yang menimbulkan otonomi daerah dan memunculkan adanya produk-produk hukum daerah pada hakikatnya merupakan implementasi dari pemencaran kekuasaan khususnya di bidang legislasi.
2. Prinsip demokrasi. Dalam negara demokrasi kebutuhan akan partisipasi masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara merupakan suatu keniscayaan. Bahkan kalau boleh mengatakan partisipasi merupakan prinsip utama dalam sendi-sendi demokrasi. Berdasarkan prinsip semacam inilah, maka desentralisasi yang menimbulkan otonomi daerah merupakan sarana yang tepat untuk mengimplementasikan prinsip demokrasi pemerintahan di tingkat lokal. Dengan bersumber pada prinsip demokrasi inilah, maka rakyat di daerah memiliki kesempatan yang seluas-luasnya untuk menentukan sendiri arah dan kebijaksanaan dalam memajukan dan mengembangkan daerahnya sesuai dengan potensi yang ada. Produk hukum daerah sebagai manifestasi dari kebijakan publik yang mengikut sertakan partisipasi masyarakat merupakan gambaran nyata dari kehendak masyarakat daerah untuk melakukan pengaturan dalam memenuhi kebutuhan riil masyarakat suatu daerah.
3. Prinsip welfare state. Dalam negara kesejahteraan, fungsi negara adalah sebagai pelayan masyarakat (public services) dalam rangka meningkatkan kesejahteraan umum warganya. Oleh sebab itulah, untuk mendekatkan pelayanan tersebut dibutuhkan satuan-satuan pemerintahan di tingkat lokal. Dengan demikian desentralisasi dan otonomi daerah merupakan prinsip yang paling efektif dipergunakan untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat tersebut. Sekaligus mensinkronisasi pelayanan tersebut sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan masing-masing Daerah. Disinilah letak pentingnya produk hukum daerah guna memberikan landasan bagi peran pemerintah daerah dalam melaksanakan public services.
4. Prinsip ke-bhineka-an. Dalam negara yang komposisi kehidupan kemasyarakatannya demikian beragam, tidaklah mungkin melakukan penyeragaman diberbagai aspek kehidupan tersebut. Setiap bentuk penyeragaman di lingkungan masyarakat yang plural justru akan menimbulkan rasa ketidak adilan. Dengan demikian desentralisasi dan otonomi daerah dapat dipergunakan sebagai sarana untuk menampung keaneka ragaman masyarakat Indonesia. Dengan demikian melalui bingkai ke-Bhineka-an inilah keanekaragaman produk hukum daerah yang bernafaskan kearifan lokal akan memperoleh tempat dalam perspekif normatif yuridis dan sekaligus menjadi paradigma pembangunan hukum nasional.
Di samping itu, salah satu prinsip negara berdasarkan hukum dan negara berkonstitusi adalah adanya pembagian dan pembatasan kekuasaan negara atau pemerintah. Kewenangan yang diberikan kepada Daerah untuk mengatur dan mengurus sebagian urusan pemerintahan sebagai urusan rumah tangganya, merupakan cara membagi kekuasaan dan membatasi kekuasaan pemerintahan tingkat lebih tinggi. Urusan-urusan yang diatur melalui produk hukum daerah tidak dapat lagi diatur oleh oleh produk hukum tingkat yang lebih atas, kecuali terdapat perubahan mendasar atas sifat dan kepentingan yang terkandung dalam urusan tersebut (menjadi urusan yang menyangkut kepentingan nasional atau lebih luas dari Daerah bersangkutan).

Pengawasan Atau ”Penyelarasan” Produk Hukum Daerah.
Keberadaan produk hukum daerah di samping untuk mengimplementasikan prinsip-prinsip tersebut di atas, pada hakikatnya merupakan subsistem dari produk hukum nasional. Di negara federal-pun dengan mempergunakan contoh AS, J. Bodenhamer mengemukakan bahwa hukum-hukum pemerintah nasional, yang bertempat di Washington DC, berlaku bagi setiap orang yang tinggal di dalam batas wilayah nasional, sementara hukum-hukum di tiap 50 (lima puluh) negara bagian hanya berlaku bagi penghuni yang tinggal di negara-negara bagian itu. Di bawah Konstitusi AS, kongres tidak mempunyai kekuasaan untuk menghapuskan sebuah negara bagian atau tidak pula sebuah negara bagian bisa mengambil alih kekuasaan yang menjadi wewenang pemerintah nasional. Secara nyata, di bawah federalisme Amerika, Konstitusi adalah sumber kewenangan baik untuk pemerintah nasional dan negara bagian. Lebih lanjut dikatakan bahwa di AS, wilayah-wilayah dimana kewenangan nasional tidak disebutkan dalam konstitusi, negara bagian bisa membuat peraturan untuk bertindak selama tidak bertentangan dengan kekuasaan pemerintah pusat yang sah berlaku.
Pendapat tersebut di atas menunjukkan bukti bahwa di negara federal-pun Produk Hukum Negara bagian tidak dperbolehkan melanggar Produk Hukum Nasional yang dalam hal ini adalah Konstitusi. Oleh sebab itu di Negara Kesatuan yang mempergunakan asas desentralisasi pun seharusnya Produk Hukum Daerah juga menganut prinsip yang demikian.
Bertitik tolak dari pandangan tersebut di atas, pengawasan terhadap Produk Hukum Daerah memang diperlukan untuk menunjang terwujudnya sinkronisasi dan harmonisasi antara kedua produk hukum tersebut. Pengawasan dalam perspektif sinkronisasi adalah pengawasan yang diarahkan pada aspek hirarkhi produk hukum yang berjenjang-jenjang. Sedangkan pengawasan dalam perspektif harmonisasi tidak lain adalah pengawasan yang dilihat dari aspek substansi atau isi produk hukum yang sejajar, misal antara Peraturan Daerah (Perda) yang satu dengan lainnya dalam satu daerah.
Dari aspek kelembagaan, pengawasan terhadap Produk Hukum Daerah memang sudah disediakan secara berjenjang atau bertingkat-tingkat. Namun parameter yang dipergunakan untuk melakukan pengawasan sampai saat ini belum dirumuskan secara tegas. Bahkan dalam UU No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tidak dijumpai adanya ketentuan yang secara tegas mengenai tolok ukur atau kriteria yang dipergunakan untuk melakukan pengawasan terhadap produk-produk hukum daerah. Dengan kondisi yang demikian inilah, maka pengawasan terhadap Produk hukum daerah lebih sarat dengan pendekatan kekuasaan, bukan dialogis dan partisipatif.
Substansi yang menyangkut latar belakang munculnya Produk Hukum Daerah sebagai konsekuensi logis dari penerapan desentralisasi dan otonomi daerah, sering tidak dipergunakan sebagai parameter dalam melakukan pengawasan terhadap produk hukum daerah. Bahkan sejak munculnya PP No. 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota justru menimbulkan dilema berkepanjangan bagi daerah dalam mengatur dan mengurus urusan pemerintahan melalui penerbitan produk hukum daerah.
Sebaliknya dengan mengatas namakan desentralisasi dan otonomi Daerah, justru sering memunculkan arogansi daerah dalam membentuk Produk hukum daerah. Akibatnya banyak dijumpai produk-produk hukum yang tidak taat asas bahkan melanggar norma hukum yang lebih tinggi tingkatannya. Padahal keberadaan produk hukum daerah disamping dalam rangka melaksanakan kewenangan desentralisasi dan otonomi juga merupakan instrumen bagi pemerintah daerah untuk menjabarkan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi sesuai dengan kondisi faktual demografi, geografi, dan geo-sosial ekonomi masing-masing daerah dalam suatu sistem hukum. Lain daripada itu dalam produk hukum daerah akan tergambar politik hukum pemerintah daerah dalam mengelola pemerintahan daerahnya.
Menurut situs www.perdaonline.org bila dilihat dari konfigurasi jumlah produk hukum daerah yang berbentuk Perda, nampak jelas bahwa isu-isu yang diangkat dan jenis perda yang dikeluarkan lebih banyak berkutat pada masalah kelembagaan atau insitusi pemerintahan dan daerah serta keuangan khususnya pajak dan retribusi daerah. Dengan konfigurasi seperti ini, desentalisasi kemudian diartikan sebagai kesempatan untuk memperkaya daerah masing-masing dengan meningkatkan pundi-pundi PAD masing-masng dengan berbagai macam cara yang dilegalkan.
Berdasarkan gambaran tersebut, maka demi menjaga eksistensi Produk Hukum Daerah, dan sinkronisasi-harmonisasi dalam kerangka sistem hukum nasional sebaiknya pengertian pengawasan haruslah diletakkan dalam konteks penyelarasan antara Produk Hukum Daerah dengan Produk Hukum Nasional dalam rangka pembangunan hukum nasional secara menyeluruh, terintegrasi, dan berkelanjutan. Hal ini berarti secara normatif pemahaman pengawasan dalam arti penyelarasan lebih menunjukkan adanya nuansa dialogis dan partisipatif. bukan hegemoni. Pendek kata, dengan langkah penyelarasan itu hak otonomi sebagai akibat pelaksanaan desentralisasi lebih dihargai dan diberikan tempat dalam seluruh sistem penyelenggaraan negara.

Beberapa Catatan Untuk Didiskusikan:
Implikasi Pengawasan Produk Hukum Daerah agar tidak kontra produkif terhadap Pembangunan Hukum Nasional dan tetap memberikan ruang kepada daerah untuk mengatur dan mengurus kewenangan otonomi secara mandiri, sebaiknya menyangkut prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Istilah pengawasan lebih baik diganti dengan Penyelarasan Produk Hukum Daerah yang meliputi sinkronisasi dan harmonisasi Produk hukum daerah sebagai subsistem hukum nasional. Penyelarasan ini menyangkut asas hukum yang dipergunakan, kemanfaatan bagi masyarakat daerah dalam kerangka kehidupan berbangsa dan bernegara, serta sinergi hubungan antara pemerintah pusat dan daerah.
2. Kriteria atau parameter untuk melakukan penyelarasan harus mempunyai standart baku berdasarkan prinsip kepastian hukum. Oleh sebab itu perlu dirumuskan metode penyelerasan berdasarkan kriteria yang telah ditentukan.
3. UU No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan perlu diamandemen dengan memasukkan ketentuan tentang prinsip-prinsip penyelarasan produk hukum daerah sebagai subsistem hukum nasional. Sedangkan metode penyelarasan beserta teknis pelaksanaannya diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
4. Perlu ”dibentuk” atau ditunjuk satu Lembaga Penyelaras produk hukum daerah sebagai subsistem hukum nasional agar mekanisme penyelarasan hanya dikenal satu pintu. Dalam hal ini di lingkungan Departemen Hukum dan HAM atau DPD-RI sebagai lembaga yang merepresentasikan kepentingan daerah dapat dinominasikan sebagai lembaga yang dimaksud.
5. Mekanisme penyelarasan hendaknya melibatkan daerah, khususnya DPRD agar mekanisme dialogis dapat terbangun, sehingga argumentasi-argumentasi dapat tertampung melalui prinsip kesetaraan. Hal ini mengingat dalam otonomi juga mengenal prinsip kesetaraan. Perubahan paradigma hubungan pusat-daerah sebagai atasan-bawahan sedikit demi sedikit diubah dengan paradigma hubungan partnership dalam kerangka welfare state. Hal ini berarti UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah berikut Peraturan Pelaksanaannya memang harus diamandemen.
Demikianlah beberapa catatan yang dapat saya sampaikan dalam kesempatan yang baik ini. Semoga bermanfaat bagi Pembangunan Hukum Nasional yang tetap memberikan tempat pada kearifan lokal. Selamat berdiskusi.


Kotagede, 17 Juli 2009

B. Hestu Cipto Handoyo.

Selasa, 26 Juli 2011

PAW ANGGOTA DPRD

PAW ANGGOTA DPRD PROPINSI DAN KABUPATEN/KOTA
TANPA MENIMBULKAN MASALAH HUKUM
(Sebuah Wacana Singkat)*)

B. Hestu CH**)

Pendahuluan.
Undang-undang No. 27 tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) memberikan ketentuan bahwa pemberhentian antarwaktu bagi anggota DPRD Provinsi dan Kabupaten/kota terjadi karena meninggal dunia, mengundurkan diri atau diberhentikan. Dalam perspektif hubungan hukum, antara DPRD sebagai lembaga dan anggota yang diberhentikan, maka pemberhentian antarwaktu dapat dianggap sebagai tindakan pemutusan hubungan kerja secara sepihak. Baik itu oleh pihak anggota DPRD itu sendiri (karena meninggal dunia atau mengundurkan diri) maupun oleh pihak DPRD atau partai politik yang terkait melalui persyaratan dan mekanisme yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.
Secara konseptual pemutusan hubungan kerja yang dilakukan secara sepihak oleh DPRD atau Partai politik, dapat dipandang juga sebagai bentuk pemutusan hubungan kerja secara sepihak yang dilakukan oleh rakyat yang dalam hal ini dimanifestasikan atau dilaksanakan oleh Partai politik. Hal ini mengingat secara yuridis formal rekruitmen anggota DPRD yang dilaksanakan melalui Pemilu pesertanya tidak lain adalah partai politik.
Dari berbagai kasus Pemberhentian antarwaktu bagi anggota DPRD yang disebabkan meninggal dunia atau mengundurkan diri tidak menimbulkan persoalan hukum, karena hal itu dilatarbelakangi oleh kondisi yang secara individual dialami oleh anggota DPRD itu sendiri. Hal ini tentu berbeda jikalau pemberhentian antarwaktu disebabkan adanya pemberhentian sebagaimana ditentukan oleh UU MD3, yaitu:
a. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai anggota DPRD selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan apapun;
b. melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPRD;
c. dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
d. tidak menghadiri rapat paripurna dan/atau rapat alat kelengkapan DPRD yang menjadi tugas dan kewajibannya sebanyak 6 (enam) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah;
e. diusulkan oleh partai politik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
f. tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPRD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan umum;
g. melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini;
h. diberhentikan sebagai anggota partai politik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; atau
i. menjadi anggota partai politik lain.
Dari persyaratan pemberhentian antarwaktu tersebut, persoalannya yang perlu dibahas disini adalah Pemberhentian antarwaktu anggota DPRD yang bagaimanakah yang tidak menimbulkan masalah hukum, serta bagaimanakah upaya yang dilakukan untuk mengeleminir munculnya masalah hukum dkemudian hari?

Eksistensi Anggota DPRD Ditunjau dari Perspektif Sistem Pemilu.
Keberadaan anggota DPRD berdasarkan sistem Pemilu Indonesia memang unik. Satu sisi dia adalah wakil rakyat sedang disisi lain dia adalah wakil partai politik. Keunikan ini makin kelihatan, manakala sistem pemilu tahun 2009 mempergunakan model penentuan wakil definitif dari Partai politik sebagai anggota DPRD yang ditentukan oleh suara terbanyak masing-masing calon yang diajukan oleh Partai Politik yang bersangkutan. Model baru seperti ini secara normatif justru memperkuat posisi anggota DPRD sebagai wakil rakyat ketimbang partai politik, karena sejatinya perolehan suara yang cukup signifikan dari sang calon justru disebabkan oleh kemampuannya dalam mengerahkan atau memobilisasi suara. Terlepas apakah itu dilakukan secara fair atau sarat dengan “politik transaksional” yang bernuansa money politic.
Lain daripada itu penguatan posisi anggota DPRD dalam percaturan politik memperebutkan kursi di DPRD seharusnya diikuti dengan mekanisme pengawasan terhadap kinerja anggota DPRD yang dilakukan oleh masing-masing konstituen anggota. Namun sayang mekanisme seperti ini tidak dikenal, karena pengawasan atas kinerja anggota DPRD tetap dikembalikan kepada alat kelengkapan DPRD yang dalam hal ini adalah BK serta Partai politik melalui fraksi-fraksi yang ada di DPRD.
Dengan demikian antara model pemilihan anggota DPRD yang diharapkan dapat memperkuat posisi anggota DPRD sebagai wakil rakyat dan mekanisme pengawasan kinerjanya tidak berbanding lurus. Artinya antara konsep ideal dalam hal penguatan anggota DPRD melalui sistem pemilu dengan pengawasan anggota DPRD terjadi keterputusan. Padahal aspek pengawasan kinerja inilah yang seharusnya menjadi titik tolak untuk melakukan pemberhentian antarwaktu anggota DPRD.

Pemberhentian Antarwaktu Anggota DPRD Tanpa Masalah Hukum.
Pemberhentian antarwaktu anggota DPRD sebagaimana diatur dalam UU MD3 pada hakikatnya dapat dibedakan ke dalam tiga area penyebab. Pertama; pemberhentian itu disebabkan oleh adanya persoalan hukum khususnya hukum pidana (termasuk pelanggaran terhadap UU MD3). Pemberhentian dalam area ini dilakukan apabila anggota DPRD nyata-nyata dan sudah ada kepastian hukum bersalah telah melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana 5 (lima) tahun atau lebih. Jika memang keputusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka pemberhentian antarwaktu bagi anggota DPRD jelas tidak akan menimbulkan masalah hukum bagi pihak yang mengeluarkan Surat Keputusan pemberhentian antarwaktu.
Kedua; pemberhentian itu disebabkan oleh adanya persoalan etika. Pemberhentian dalam area ini memang harus dibuktikan secara tegas dan jelas sebelum dikeluarkan sebuah Surat Keputusan. Dalam hal ini Badan Kehormatan (BK) harus memiliki standart kode etika bagi anggota DPRD dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya. Sebagai pejabat publik, paling tidak ada 10 (sepuluh) standart kode etika anggota DPRD yang harus diperhatikan, yaitu:
a. Selflessness: Anggota hanya melayani kepentingan publik dan tidak diperbolehkan memberikan keuntungan atau kerugian pada seseorang atau kelompok secara tidak layak (improperly).
b. Honesty and Integrity: Anggota tidak diperbolehkan menempatkan dirinya pada situasi dimana kejujuran dan integritasnya dipertanyakan, berperilaku tidak layak serta harus menghindari segala perilaku tersebut dalam semua kegiatan/acara.
c. Objectivity: Anggota harus mengambil keputusan berdasarkan fakta, termasuk saat membuat perjanjian, kontrak atau merekomendasikan seseorang untuk mendapatkan penghargaan (rewards or benefit).
d. Accountability: Anggota harus mempunyai akuntabilitas dihadapan publik terhadap seluruh tindakannya, dan harus sepenuhnya dapat bekerjasama serta jujur dengan penuh kehati-hatian.
e. Openness: Anggota harus selalu terbuka dalam segala tindakan yang mencakup kewenangannya serta harus mempunyai penjelasan terhadap tindakan-tindakannya tersebut.
f. Personal Judgement: Anggota harus memperhatikan pandangan anggota lain, termasuk kelompok politik mereka, namun harus mempunyai kesimpulan sendiri terhadap isu yang dibicarakan, dan bertindak dalam lingkup kesimpulan-kesimpulan tersebut.
g. Respect for Others: Anggota harus mengedepankan kesetaraan dengan tidak melakukan diskriminasi hukum terhadap semua orang, dan dengan memperlakukan orang dengan kehormatannya tanpa memperhatikan ras, umur, agama, gender, orientasi seksual atau ketidakmampuan.
h. Duty to Uphold the Law: Anggota harus menegakkan hukum, dalam segala kondisi, berlaku dalam keserasian dan kepercayaan yang diberikan publik kepadanya.
i. Stewardship: Anggota harus melakukan apa pun yang dapat mereka lakukan, untuk meyakinkan bahwa otoritas mereka menggunakan sumber-sumber yang prudent dan dalam lingkup hukum.
j. Leadership: Anggota harus mendepankan dan mendukung prinsip-prinsip dan jiwa kepemimpinan serta selalu bertindak dalam jalur yang mampu menjaga keyakinan publik.
Kesepuluh standart kode etik tersebut masing-masing harus diterjemahkan dalam berbagai perlikau keseharian dari anggota DPRD dalam melaksanakan fungsi dan tanggungjawabnya sebagai wakil rakyat. Jika ada perilaku keseharian yang menyimpang maka BK sepatutnya sudah mulai dapat melakukan pemeriksaan atas adanya dugaan pelanggaran kode etik atau code of conduct tersebut. Penting juga untuk dibuat kesepakatan bahwa perilaku keseharian berdasarkan 10 (sepuluh) standart kode etik haruslah disepakati oleh seluruh anggota DPRD dan dituangkan dalam Peraturan DPRD tentang Kode Etik Anggota. Dengan cara semacam ini niscaya jika terjadi pemberhentian antarwaktu karena persoalan etika tidak menimbulkan masalah hukum dikemudian hari.
Ketiga; pemberhentian antarwaktu anggota DPRD disebabkan oleh adanya persoalan yang bernuansakan politis. Maksud dari “bernuansakan politis” ini tidak lain adalah pemberhentian antarwaktu dilakukan karena adanya kepentingan-kepentingan politik yang standart dan kriterianya tidak jelas, seperti adanya perbedaan pandangan antara anggota DPRD dengan kebijakan fraksi atau partai politiknya. Pemberhentian antar waktu dalam area ini sering menimbulkan persoalan hukum, khususnya antara anggota DPRD dengan fraksi atau partai politiknya. Oleh sebab itu untuk menghindari agar pemberhentian antarwaktu area ini tidak menimbulkan masalah hukum, maka sejak semula Partai politik harus menentukan arah kebijaksanaan internal yang harus ditaati berikut sanksi-sanksi yang akan dijatuhkan apabila anggota DPRD tidak atau telah menyimpangi arah kebijaksanaan internal Partai Politik.
Salah satu langkah yang dapat dilakukan oleh Partai Politik untuk menghindari terjadinya masalah hukum, maka sejak semula di dalam AD/ART harus secara tegas menentukan arah kebijaksanaan yang wajib dilakukan oleh anggota parpol yang telah menjadi anggota DPRD. Di samping itu Parpol juga harus menyediakan mekanisme penyelesaian internal terhadap permasalahan hukum yang muncul sebagai akibat adanya pemberhentian antarwaktu, misalnya dengan menyediakan upaya mediasi maupun arbitrase atau diadakannya Mahkamah Partai politik di dalam organisai partai politik yang bersangkutan.

Penutup.
Berdasarkan ketiga area penyebab pemberhentian antarwaktu anggota DPRD tersebut di atas, maka selain dikarenakan adanya alasan meninggal dunia atau mengundurkan diri, pemberhentian antarwaktu bagi anggota DPRD seharusnya dititik beratkan pada area penyebab pelanggaran hukum dan pelanggaran kode etik. Kedua area penyebab inilah yang dalam dataran praksis dapat diukur karena adanya kepastian hukum dan standart baku yang telah ditentukan, baik oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku maupun kesepekatan internal DPRD dalam penyusunan standart perilaku keseharian berdasarkan 10 (sepuluh) kode etik. Dengan menitik beratkan pada dua area penyebab tersebut, niscaya penerbitan SK Pemberhentian antarwaktu tidak akan menimbulkan masalah hukum, yang pada akhirnya digugat oleh anggota DPRD yang diberhentikan. SEMOGA.

Daftar Pustaka.
B. Hestu Cipto Handoyo, 2009, Hukum Tata Negara Indonesia, Penerbit Univ. Atma Jaya Yogyakarta.

Undang-Undang No. 2 tahun 2008 tentang Partai Politik.

Undang-Undang No. 27 tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

http://akangkuswandi.blogspot.com/2008/12/komparasi-kode-etik-pemerintahan-lokal.html

Kotagede; 28 April 2011
B. Hestu CH

EVALUASI PEMEKARAN DAERAH

EVALUASI PEMEKARAN DAERAH DI INDONESIA DAN
LANGKAH STRATEGIS PRIORITAS PEMBANGUNAN DAERAH*)
Oleh:
Benediktus Hestu CH**)

Evaluasi Pemekaran Daerah.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dan UNDP mengemukakan bahwa setelah diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, pemekaran wilayah administratif menjadi kecenderungan baru dalam struktur pemerintahan di Indonesia. Pada tahun 2004, pemerintah provinsi bertambah dari 26 menjadi 33 (26,9%), sedangkan pemerintah kabupaten/kota meningkat 45,2%, dari 303 menjadi 440. Bahkan di awal tahun 2007 usulan pembentukan 114 kabupaten/kota serta provinsi baru telah berada di DPR-RI.
Sementara itu menurut catatan Kompas (Kamis, 22 April 2010), jumlah daerah otonom sejak awal reformasi 1998 sampai Januari 2010 meliputi 33 Provinsi, 398 kabupaten, dan 93 Kota, sedangkan perkembangan daerah otonom baru yang masuk ke Komisi II DPR (2004-2009) tercatat sebagai berikut:
No Keterangan Jumlah Pembentukan daerah
1. Tahap pembahasan di DPR 3 daerah 3 RUU meliputi pembentukan provinsi, kabupaten, dan kota.
2. Tahap proses di Komisi II (usul inisiatif) sudah dikirim ke presiden, tetapi pembahasan belum selesai 20 daerah Provinsi: 7, Kabupaten: 11, Kota: 1).
3. Usul inisiatif sudah disampaikan ke Pimpinan DPR dan sudah diharmonisasi oleh Badan Legislasi DPR 13 daerah Provinsi: 1, Kabupaten: 11, Kota: 1.
4. Belum diusulkan ke Komisi II 27 daerah Propinsi: 1, Kabupaten: 24, Kota: 2
TOTAL 63 daerah

Menurut Fitrani pemekaran wilayah tersebut telah membuka peluang terjadinya bureaucratic and political rent-seeking, yakni kesempatan untuk memperoleh keuntungan dana, baik dari pemerintah pusat maupun dari pemerintah daerah sendiri. Lebih lanjut dikatakan bahwa karena adanya tuntuan untuk menunjukkan kemampuan untuk menggali potensi wilayah, maka banyak daerah yang menetapkan berbagai pungutan untuk meningkatkan PAD. Hal ini menyebabkan terjadinya suatu perekonomian daerah berbiaya tinggi.
Analisis dan argumentasi tersebut di atas menunjukkan bahwa sejak diberlakukannya desentralisasi pemerintahan di Indonesia yang berjalan pararel dengan penerapan demokratisasi tahun 1999 telah memunculkan kecenderungan di beberapa daerah untuk melepaskan diri dari induk pemerintahan yang sudah ada. Kecenderungan ini merupakan akibat dari terbukanya sekat-sekat sentralisasi yang merupakan paradigma politik orde baru. Daerah-daerah di Indonesia – baik provinsi maupun kabupaten/kota - yang dibentuk berdasarkan UU No. 5 tahun 1974 dianggap merupakan hasil dari sistem pemerintahan yang sentralistik, oleh sebab itu setelah diberlakukan UU No. 22 tahun 1999 dan diubah dengan UU No. 32 Tahun 2004 yang mempergunakan prinsip otonomi luas, daerah-daerah tersebut seperti memperoleh peluang untuk melakukan perombakan struktur pemerintahan induk dan menuntut berotonomi. Kecenderungan tersebut wajar sepanjang pemekaran wilayah baik yang ada di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota tidak hanya dilatar belakangi oleh kepentingan atau nafsu politik kekuasaan tanpa memperhatikan kesejahteraan masyarakat pada umumnya dan keadaan, kemampuan dan kebutuhan daerah..
Namun demikian, harus disadari bahwa wacana publik yang berkembang justru melihat bahwa pemekaran daerah yang nampak tidak terkendali itu semata-mata hanya dimanfaatkan untuk pemenuhan nafsu politik kekuasaan, bahkan semata-mata dipergunakan oleh elit politik daerah untuk membuka ruang-ruang kekuasaan yang memungkinkan mereka memperoleh kesempatan yang lebih luas memasuki ranah kekuasaan legislatif dan eksekutif daerah. Pendek kata pemekaran daerah dianggap sebagai salah satu sarana untuk membuka ruang kekuasaan baru pasca perebutan kekuasaan di pemerintah daerah induk (Provinsi atau Kabupaten/Kota).
Wacana yang berkembang seperti ini jelas merugikan masyarakat sendiri, karena potensi untuk lebih berkembang ketika masih bergabung menjadi satu Provinsi atau Kabupaten/kota harus dibagi dan dipecah-pecah baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia pengelola pemerintahan. Akibat dari kondisi yang demikian inilah tingkat kesejahteraan masyarakat tidak naik, melainkan justru semakin menurun. Beban pengaturan dan pengurusan urusan-urusan pemerintahan yang sebelum dimekarkan telah sesuai dengan keadaan dan faktor nyata, berubah drastis ketika daerah baru hasil pemekaran mulai melaksanakan TUPOKSI-nya. Kegagapan daerah yang dimekarkan atau daerah bentukan baru mewarnai jalannya pemerintahan. Hal ini berakibat hampir sebagian besar aparat pemerintah daerah bentukan baru disibukkan dengan urusannya sendiri, dan kepentingan masyarakat terabaikan.
Dalam Pasal 4 PP No. 78 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah secara tegas dinyatakan bahwa pembentukan daerah (provinsi atau kabupaten kota) berupa pemekaran harus memenuhi syarat administratif, teknis, dan fisik kewilayahan. Ketiga persyaratan ini yang paling menonjol nuansa politisnya adalah persyaratan administratif. Dalam penyusunan paraturan perundang-undangan, khususnya dalam hal ini adalah PP, maka seharusnya persyaratan yang lebih substansial (Persyaratan teknis dan persyaratan fisik kewilayahan) didahulukan. Norma hukum kedua persyaratan ini lebih penting ketimbang norma hukum persyaratan administratif.
Namun demikian terlepas dari perdebatan legal drafting tersebut, menurut hemat penulis persyaratan teknis dan fisik kewilayahan sebagaimana dimaksud oleh PP No. 78 Tahun 2007 telah mempergunakan pendekatan teori rumah tangga nyata yang memang lebih tepat jika diterapkan di Indonesia, sehingga PP ini bisa dianggap lebih rasional bila dikaitkan dengan keadaan dan faktor-faktor nyata di daerah.

Teori Rumah Nyata dalam Pemekaran Daerah.
Teori atau sistem rumah tangga daerah adalah tatanan yang bersangkutan dengan cara-cara membagi wewenang, tugas dan tanggungjawab mengatur dan mengurus urusan pemerintahan antara Pusat dan daerah. Salah satu penjelmaan dari pembagian tersebut, maka Daerah-daerah akan memiliki sejumlah urusan pemerintahan baik atas dasar penyerahan atau pengakuan atau dibiarkan tumbuh sebagai urusan rumah tangga Daerah.
Pengertian tersebut di atas mengisyaratkan bahwa suatu pemekaran atau pembentukan daerah baru akan memiliki urusan pemerintahan yang berasal dari tiga (3) kemungkinan, yaitu:
a. Karena adanya penyerahan urusan pemerintahan,
b. Karena adanya pengakuan urusan pemerintahan, dan
c. Karena adanya urusan pemerintahan yang memang dibiarkan tumbuh.
Di antara ketiga asal urusan pemerinahan tersebut yang sering menimbulkan persoalan dalam proses terjadinya pemekaran atau pembentukan daerah baru adalah urusan pemerintahan yang berasal dari penyerahan. Pertanyaannya mengapa demikian?
Bagi urusan pemerintahan yang berasal dari pengakuan tentu hal ini tidak menimbulkan masalah, karena hal ini merupakan bentuk pemenuhan asas recognisi yakni asas yang memberikan penghormatan bagi daerah yang sejak semula telah memiliki urusan rumah tangga yang sifanya tradisionil, sehingga pemerintah hanya memberikan dasar secara formal terhadap jenis urusan pemerinttahan yang seperti ini. Demikian pula bagi urusan pemerintahan yang dibiarkan tumbuh, karena hal ini merupakan jenis urusan jenis yang telah berkembang sejalan dengan kebutuhan masyarakat daerah.
Lain halnya dengan urusan pemerintahan yang berasal dari penyerahan, persoalan yang paling mendasar dalam proses pemekaran atau pembentukan daerah adalah apa yang menjadi ukuran atau parameter sehingga suatu urusan pemerintahan itu dapat diserahkan kepada daerah pemekaran atau daerah bentukan baru? Untuk menjawab pertanyaan ini, dasar pijakan teori yang dipergunakan adalah sistem rumah tangga daerah dipergunakan.
Dalam politik perundang-undangan tentang pemerintahan daerah di Indonesia, teori rumah tangga yang sering dipergunakan adalah teori (sistem) rumah tangga nyata (riil). Menurut Bagir Manan berdasarkan ciri-ciri yang ada tidaklah berlebihan kalau dikatakan bahwa sistem rumah tangga nyata memang mencerminkan sistem tersendiri yang berbeda dengan sistem rumah tangga formal dan sistem rumah tangga materiil. Lebih lanjut dikatakan bahwa ciri-ciri tersebut adalah:
”Pertama: adanya urusan pangkal yang ditetapkan pada saat pembentukan suatu daerah, memberikan kepastian mengenai urusan rumah tangga daerah. Hal ini tidak mungkin terjadi pada sistem rumah tangga formal.
Kedua; di samping urusan rumah tangga yang ditetapkan secara ”materiil”, Daerah-daerah dalam rumah tangga nyata, dapat mengatur dan mengurus pula semua urusan pemerintahan menurut pertimbangan adalah penting bagi daerahnya sepanjang belum diatur dan diurus oleh Pusat atau daerah tingka yang lebih atas.
Ketiga; otonomi dalam rumah tangga nyata didasarkan kepada faktor-faktror nyata suatu Daerah. Hal ini memungkinkan perbedaan isi dan jenis urusan rumah tangga daerah sesuai dengan keadaan masing-masing”.

Dari pemahaman di atas, maka eksistensi penyerahan urusan pemerintahan dalam rangka pemekaran atau pembentukan daerah baru mengandung tiga unsur, yakni penyerahan urusan pangkal ketika daerah itu dimekarkan atau dibentuk, kebebasan daerah untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang dianggap penting, dan urusan pemerintahan yang memang didasarkan pada faktor-faktor nyata dari calon daerah baru yang akan dimekarkan atau dibentuk. Secara teoritik faktor-faktor nyata yang dimaksud adalah menyangkut kemampuan daerah, keadaan daerah dan kebutuhan daerah.
Kemampuan daerah dipergunakan untuk mengukur dan menentukan besarnya wewenang yang akan diserahkan kepada daerah yang akan dimekarkan/dibentuk. Terkait dengan hal ini, maka parameter yang dipergunakan adalah:
a. kemampuan keuangan;
b. kemampuan aparatur;
c. kemampuan partisipasi masyarakat;
d. demografi; dan
e. kemampuan administrasi dan organisasi.
Keadaan daerah dipergunakan untuk menentukan jenis urusan pemerintahan yang akan diserahkan, yakni corak dari suatu daerah yang akan dimekarkan atau dibentuk yang meliputi aspek geografis dan aspek sosial budaya. Aspek geografis adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan keadaan lingkungan alam setempat yang ikut mempengaruhi pola hidup masyarakat, khususnya dalam bidang ekonomi, sepert:
a. Iklim dan curah hujan;
b. Kesuburan tanah;
c. Luas dan bentuk daerah; dan
d. Unsur-unsur biotis.
Sedangkan aspek sosial budaya menyangkut berbagai hal yang berkaitan dengan struktur dan pola budaya masyarakat yang dapat mendukung terwujudnya otonomi daerah, yang unsur-unsurnya meliputi:
a. religiusitas;
b. adat istiadat;
c. lembaga kemasyarakatan; dan
d. struktur masyarakat.
Kebutuhan daerah sebagai salah satu kriteria yang bersumber dari kehendak daerah yang akan dimekarkan atau dibentuk terkait dengan kemampuan dan keadaan daerah sebagaimana telah disebutkan di atas. Artinya kehendak bebas dari suatu daerah yang akan dimekarkan atau dibentuk wajib diketahui oleh pemerintah pusat setelah daerah yang bersangkutan mempertimbangkan kemampuan dan keadaan yang dimiliki.
Kriteria-kriteria-kriteria tersebut, nampaknya memang sudah diakomodasi oleh PP No. 78 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah. Di dalam Pasal 6 ditegaskan:
(1) Syarat teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 meliputi faktor kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, perahanan keamanan, kemampuan keuangan, tingkat kesejaheraan masyarakat, dan rentang kendali penyelenggaraan pemerintahan daerah.
(2) Faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinilai berdasarkan hasil kajian daerah terhadap indikator sebagaimana tercantum dalam lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.
(3) Suatu calon daerah otonom direkomendasikan menjadi daerah otonom baru apabila calon daerah otonom dan daerah induknya mempunyai total nilai seluruh indikator dan perolehan nilai indikator faktor kependudukan, faktor kemampuan ekonomi, faktor potensi daerah dan faktor kemampuan keuangan daerah dengan kategori sangat mampu atau mampu.

Berdasarkan kriteria-kriteria inilah, maka nampak jelas bahwa penyerahan urusan pemerinahan yang bersumber dari kepentingan atau nafsu politik kekuasaan mulai dieleminir. Hal ini berarti kecenderungan untuk memekarkan atau membentuk daerah baru atas dasar konflik kepentingan politik sudah mulai diperkecil bahkan sudah tidak lagi diberi tempat. Pendekatan akademis berdasarkan kajian faktor-faktor nyata mulai dikedepankan.

Strategi Prioritas Pembangunan Daerah.
Kriteria tersebut di atas, jelas membawa dampak bagi daerah untuk secara cerdas menentukan strategi prioritas pembangunan. Secara singkat strategi prioritas pembangunan yang dimaksud dapat dibagi dalam 3 (tiga) perspektif, yaitu:
a. Perspektif administratif, yakni meningkatkan efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan daerah.
b. Perspektif politis, yakni meningkatkan akuntabilitas dan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan.
c. Perspektif ekonomi, yakni mempercepat kesejaheraan masyarakat.
Ketiga perspektif tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:
a. untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan harus ditempuh dengan merampingkan struktur organisasi yang diikuti dengan penguatan sumber daya manusia di lingkungan aparat pemerintah daerah (SKPD).
b. Untuk meningkatkan akuntabilitas dan demokrasi harus ditempuh dengan penerapan aturan hukum dan mekanisme pertanggungjawaban dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan yang ada di masyarakat. Keterlibatan masyarakat diperlukan untuk memberikan tempat bagi proses demokrasi partisipatif dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
c. Untuk mempercepat kesejaheraan masyarakat maka peningkatan terhadap pelayanan umum di bidang perekonomian, pendidikan dan kesehatan harus menjadi prioritas pembangunan.
Demikianlah gambaran singkat yang dapat saya sampaikan dalam kesempatan yang sangat berharga ini. Semoga berguna bagi proses pembangunan di Kabupaten Pakpak Bharat dalam melaksanakan otonomi demi tercapainya kesejahteraan masyarakat.

Kotagede, 24 April 2010
Salam Demokrasi;

B. Hestu CH.

Sabtu, 21 Mei 2011

KADER PINDAH PARTAI VERSUS PENGUATAN PARTAI POLITIK

KADER PINDAH PARTAI VERSUS
PENGUATAN PARTAI POLITIK*)

Oleh:

B. Hestu Cipto Handoyo.**)


Definisi Partai Politik dan Fenomena “Kutu Loncat” Kader Parpol.
Keberadaan Partai Politik dalam kehidupan ketatanegaraan pertama kali dijumpai di Eropa Barat, yakni sejak adanya gagasan bahwa rakyat merupakan faktor yang patut diperhitungkan dan diikutsertakan dalam proses politik. Dengan adanya gagasan untuk melibatkan rakyat dalam proses politik (kehidupan dan aktifitas ketatanegaraan), maka secara spontan Partai Politik berkembang menjadi penghubung antara rakyat disatu pihak dan pemerintah di pihak lain.
Dengan demikian, dapat ditarik pengertian bahwa sebagai organisasi yang secara khusus dipergunakan untuk sarana pengubung antara rakyat dengan pemerintah, keberadaan Partai Politik sejalan dengan munculnya paham demokrasi dan kedaulatan rakyat dalam penyelenggaraan sistem ketatanegaraan.
Dalam rangka memahami Partai Politik sebagai salah satu komponen Infra Struktur Politik dalam negara, ada beberapa pengertian Partai Politik, yakni:
a. Carl J. Friedrich: Partai Politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan pemerintah bagi pemimpin Partainya, dan berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada anggota Partainya kemanfaatan yang bersifat ideal maupun materiil.
b. R.H. Soltou: Partai Politik adalah sekelompok warga negara yang sedikit banyak terorganisir, yang bertindak sebagai satu kesatuan politik, yang dengan memanfaatkan kekuasaan memilih, bertujuan menguasai pemerintahan dan melaksanakan kebijaksanaan umum mereka.
c. Sigmund Neumann: partai Politik adalah organisasi dari aktivis-aktivis politik yang berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat atas dasar persaingan melawan golongan atau golongan-golongan lain yang tidak sepaham.
d. Miriam budiardjo: Partai Politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama dengan tujuan memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik (biasanya), dengan cara konstitusional guna melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan mereka.
Memperhatikan pengertian-pengertian di atas, dapat ditarik pemahaman bahwa didirikannya Partai Politik itu bertujuan untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan dalam pemerintahan guna melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang telah digariskan oleh Partai Politik yang bersangkutan. Untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan dalam pemerintahan tersebut, maka langkah yang dilakukan adalah bersifat konstitusional. Hal ini berarti keberadaan Partai Politik juga dimaksudkan sebagai sarana untuk meredam konflik kepentingan ataupun persaingan yang muncul di lingkungan masyarakat dalam perebutan kekuasaan di pemerintahan negara.
Berdasarkan pemahaman yang seperti itu, maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada satupun Partai Politik didirikan tanpa tujuan yang berkaitan dengan kekuasaan pemerintahan. Dengan demikian, keberadaan partai politik dalam kehidupan ketatanegaraan modern tidak lain adalah untuk mewujudkan tatanan kehidupan kenegaraan yang lebih beradab. Hal ini disebabkan dalam sejarahnya, perebutan kekuasaan pemerintahan dalam suatu negara sering dilakukan dengan cara kekerasan dan pertumpahan darah.
Menurut Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Partai adalah pihak, segolongan orang, perkumpulan yang seasas, sehaluan, setujuan dan sebagainya dalam ketatanegaraan. Sedangkan arti politik menurut Kamus Lengkap bahasa Indonesia adalah pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan; segala urusan dan tindakan kebijaksanaan, siasat dan sebagainya mengenai pemerintahan sesuatu negara atau terhadap negara lain. Dari pemahaman secara terminologis seperti ini dapat ditarik pemahaman bahwa Partai Politik tidak lain adalah segolongan orang yang berkumpul atas dasar kesamaan asas, haluan dan tujuan yang aktifitasnya berkaitan dengan urusan dan tindakan kebijaksanaan termasuk siasat mengenai pemerintahan suatu negara. Dengan demikian tidak dapat dipungkiri bahwa yang namanya Partai Politik akan selalu erat kaitannya dengan kesamaan asas, haluan, tujuan, kebijaksanaan pemerintah dan siasat.
Menurut UU No. 2 tahun 2008 tentang Partai Politik disebutkan bahwa Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jika kita simak lebih mendalam pengertian ini, maka cita-cita yang pertama kali diemban oleh Partai politik tidak lain dan tidak bukan adalah memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota. Baru kemudian memperjuangkan masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pendefinisian yang seperti ini menunjukkan bahwa apapun idealisasi dari pendirian partai politik itu, tetap saja akan memperjuangkan kepentingan anggota terlebih dahulu. Bahkan dengan pendefenisian tersebut, wacana yang menganggap Partai Politik hanya mementingkan anggotanya secara yuridis formal ditegaskan. Pertanyaannya adalah kepentingan apakah yang diperjuangkan oleh Partai politik itu untuk para anggotanya?
Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, maka pada hakikatnya Partai Politik adalah sekelompok manusia (warga negara) yang terorganisir secara teratur baik dalam hal pandangan, tujuan maupun tata cara rekrutmen keanggotaan dengan tujuan pokok yaitu menguasai, merebut ataupun mempertahankan kekuasaan dalam pemerintahan negara secara konstitusional.
Tujuan yang demikian inilah mengakibatkan orientasi partai politik tidak lain adalah kekuasaan. Menurut Johan Galtung ada dua dimensi sifat kekuasaan, yaitu dimensi yang mempesona sekaligus dimensi yang menakutkan. Kekuasaan mempunyai sifat dalam konteks dimensi yang mempesona karena dengan kekuasaan itu orang atau kelompok orang akan memperoleh berbagai fasilitas baik materiil maupun moril, dan sekaligus dengan kekuasaan yang dimiliki tersebut akan dapat mengendalikan chaos (kesemrawutan) di dalam masyarakat. Sedangkan dimensi sifat yang menakutkan karena kekuasaan itu cenderung untuk disalahgunakan, menindas, manipulatif yang pada akhirnya sering menyengsarakan masyarakat baik secara individual maupun struktural.
Fenomena kekuasaan yang demikian inilah mengakibatkan Partai Politik menjadi sarana efektif bagi seseorang untuk dipergunakan sebagai “alat angkut” meraih kekuasaan. Dengan demikian, siapapun yang berada di dalam “kapal” Partai Politik selalu berlomba-lomba untuk menjadi yang terdepan dalam organisasi yang disebut Partai Politik. Sangatlah jarang dan tidak bernalar jikalau seseorang menjadi anggota Partai Politik tanpa dilandasi oleh tujuan untuk memperoleh kekuasaan. Oleh sebab itulah jika, kita menyadari hal seperti ini, maka tidak perlu terkejut apabila tokoh-tokoh elit partai politik sering berebut untuk mendapatkan posisi yang strategis di Partai Politiknya. Bahkan perebutan yang dilakukan tidak jarang menimbulkan konflik internal. Fenomena semacam inilah yang mengakibatkan tidak sedikit kader partai politik yang berganti haluan, meloncat pagar, atau pindah ke partai Politik lain alias “kutu loncat” manakala peluang untuk memperoleh kekuasaan makin lama makin kecil.
Jadi dapat disimpulkan bahwa dari pengertian partai politik yang di dalamnya mengandung tujuan merebut atau mempertahankan kekuasaan itu sendirilah yang mengakibatkan tidak sedikit kader-keder yang makin pudar peluangnya untuk memperoleh posisi kekuasaan yang cukup signifikan menjadi “kutu loncat”. Bahkan jika kader-kader ini masih merasa memiliki masa pendukung di internal partai Politik, tidak sedikit yang mendirikan Partai Politik “sempalan” dari Partai Politik yang dulu mereka ikuti.

Primordialisme Paternalistik Partai Politik dan Fenomena “Kutu Loncat” Kader Parpol.
Di dalam struktur masyarakat yang masih paternalistik, maka pilihan rakyat untuk berafiliasi kepada suatu Partai Politik sering dipengaruhi oleh tokoh-tokoh politik yang ada di dalam Partai Politik tersebut. Oleh sebab itulah di dalam negara yang struktur masyarakatnya masih bersifat primordial paternalistik, Partai Politik gemar menempatkan tokoh-tokoh politik yang dianggap memiliki kharisma, baik itu karena kepandaian atau kecerdasan politik dari sang tokoh maupun popularitas sang tokoh yang bersumber dari “dinasti” tokoh politik tertentu.
Menggalang masa dengan mempergunakan tokoh-tokoh politik kharismatik memang paling mudah dilakukan, karena dalam struktur masyarakat yang primordial paternalistik ikatan emosional antara rakyat dengan tokoh-tokoh politik tersebut relatif kuat. Hal ini mengingat masyarakat yang primordial paternalistik membutuhkan tokoh panutan. Oleh sebab itulah, jika kita perhatikan pertumbuhan dan perkembangan Partai Politik pasca reformasi, maka sebagian besar partai-partai Politik yang ada di Indonesia didirikan oleh tokoh-tokoh politik yang memilik kharisma tersebut. Pendirian Partai Politik yang hanya mengandalkan pada tokoh politik kharismatik ini bersifat rapuh, karena kharismatik dari seseorang tidaklah mampu dipertahankan sepanjang segala masa. Pendek kata, setiap zaman yang berubah adalah milik dari generasi yang ada pada saat itu.
Kerapuhan Partai Politik semacam itu akan terjadi, apabila tokoh-tokoh politik kharismatik “zamannya” tidak mampu untuk mentrasfer “tongkat estafet” kepemimpinan dengan cara kaderisasi yang kuat dan berkelanjutan. Lebih konyol lagi jikalau peralihan “tongkat estafet” kepemimpinan itu mempergunakan pola “dinasti politik” dan/atau “money politic”. Peralihan “tongkat estafet” kepemimpinan dengan mempergunakan model yang terakhir itulah, pada gilirannya akan memunculkan politikus-politikus “kutu loncat”, yang disebabkan munculnya kekecewaan dari para kader yang cukup mendalam. Kekecewaan ini tentu akibat tertutupnya peluang untuk meraih kekuasaan di internal Partai Politik yang bersangkutan, atau menurut idealisme para kader, Partai Politik sudah tidak fair dalam menilai potensi politik dari masing-masing kader yang dimiliki. Kondisi semacam ini, pada gilirannya akan berdampak pada hengkangnya para kader dan berpindah ke Partai Politik lainnya. Bahkan tidak jarang hengkang ke Partai Politik yang ideologinya jauh berseberangan.
Kondisi tersebut pada umumnya diawali dengan munculnya konflik internal Partai Politik yang dilatar belakangi oleh perebutan kekuasaan di tubuh Partai Politik. Mekanisme yang biasanya diatur oleh Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Partai Politik disimpangi, karena kepentingan politis yang bersifat pragmatis. Dengan demikian, terjadinya “kutu loncat” di lingkungan kader Partai Politik dalam kasus seperti ini, disebabkan oleh ketidak pecusan manajerial partai politik itu sendiri akibat masih tetap mengandalkan model-model dinasti Politik.

Demokrasi Transaksional dan Fenomena “Kutu Loncat” Kader Partai Politik.
Perjalanan demokrasi Indonesia setelah gerakan reformasi 1998 sungguh luar biasa dahsyatnya. Hampir seluruh relung-relung kehidupan politik negeri ini diwarnai dengan demokratisasi. Namun demikian sungguh sayang, demokrasi yang dibangun di negeri ini masih sebatas pada demokrasi prosedural dengan pendekatan kompetitif mayoritas dan minoritas. Budaya demokrasi yang dibarengi dengan penegakan hukum justru masih tetap jalan di tempat, bahkan kalau boleh mengatakan mundur jauh kebelakang dan lebih parah bila dibandingkan dengan saat rezim Orde Baru berkuasa.
Jika membandingkan perkembangan demokrasi di belahan dunia lain, khususnya Eropa Barat, perkembangan demokrasi Indonesia justru mengalami keterbalikan paradigmatik terutama ditinjau dari kebangkitan ekonomi. Di Eropa Barat perkembangan demokrasi berbanding lurus dengan pertumbuhan ekonomi, saat terjadi revolusi industri di kawasan tersebut. Dengan adanya revolusi industri inilah, muncul golongan menengah yang memiliki kekuatan di bidang ekonomi dan modal kapital yang besar. Oleh karena itu golongan menengah ini kemudian berupaya masuk ke dalam sistem politik untuk ikut berperan dalam pengambilan kebijakan-kebijakan politik.
Masuknya Golongan menengah inilah yang kemudian mendominasi kekuatan infra dan supra struktur politik negara dengan tujuan mengamankan asset-asset ekonomi dan modal kapital yang dimiliki agar tetap terselamatkan melalui keterlibatan mereka dalam pengambilan keputusan politik. Oleh sebab itu, menurut penganut Marxisme demokrasi yang tumbuh subur di Eropa Barat sejatinya adalah tetap merupakan kemenangan kaum borjuis, sementara kaum proletar tetap tertindas dan teraniaya.
Kondisi perkembangan demokrasi yang seperti ini justru tidak terjadi di Indonesia, karena kebangkitan pilar-pilar demokrasi Indonesia justru disebabkan oleh keruntuhan ekonomi dan krisis multidimensional yang pada akhirnya memicu gerakan reformasi 1998. Dengan demikian, kalau di Eropa Barat kemunculan para elit politik yang berasal dari golongan menengah di lingkungan infra dan supra politik bertujuan mengamankan asset-asset yang dimiliki, sedangkan di Indonesia justru kemunculan elit-elit politik itu hanya menjadikan infra dan supra politik sebagai alat yang bersifat ekonomis untuk mendatangkan keuntungan.
Oleh karena itu disetiap kompetisi perebutan kekuasaan, utamanya di lingkungan eksekutif maupun legislatif, yang mempergunakan mekanisme demokrasi prosedural, akan dipenuhi dengan nuansa transaksional, sehingga demokrasi prosedural berubah watak menjadi demokrasi transaksional. Demokrasi macam inilah yang dalam perkembangannya memunculkan model demokrasi para bandit.
Kompas 18-11-2011 mengemukakan bahwa dari 33 Gubernur, 17 diantaranya tersangkut masalah hukum. Ini berarti separo Provinsi di Indonesia memiliki Kepala Daerah yang tidak bersih dari persoalan hukum. Pertanyaannya adalah persoalan hukum apakah itu? Jawaban yang bersifat hipotetis adalah perkara korupsi. Hal ini merupakan salah satu indikasi dari berbagai indikasi bahwa demokrasi transaksional telah memunculkan para bandit yang memperoleh ruang-ruang kekuasaan untuk memperkaya diri sendiri atau kelompok. Di sinilah yang pada akhirnya menumbuhsuburkan mafia hukum disegala bidang. Pertanyaannya bagaimana fenomena demokrasi transaksional tersebut bila dikaitkan dengan kehidupan Partai Politik dan febomena “kutu loncat” kader Partai Politik?
Tidak dapat dipungkiri bahwa demokrasi transaksional semacam ini, juga melanda sebagian besar Partai Politik di Indonesia. Partai Politik tidak lagi dipergunakan sebagai alat atau sarana untuk memperjuangkan idealisme politik dari kader-kadernya, melainkan justru dipergunakan sebagai asset ekonomi untuk membangun kemegahan materiil. Menurut Arbi Sanit, di Indonesia sendiri hampir semua partai merupakan partai massa yang cair, bukan partai kader. Akibatnya politisi pindah partai politik dianggap hal yang lumrah. Politisi akan mencari tempat yang menurut dia merupakan persinggahan yang sesuai, sementara partai politik hanya berpikir soal berapa massa yang dibawa.
Persinggahan yang sesuai bagi politisi – sebagaimana dikemukakan oleh Arbi Sanit tersebut - tentu terkait dengan kekuasaan yang bersifat mempesona. Partai Politik dipergunakan sebagai sarana persinggahan untuk menyalurkan hasrat untuk memperoleh kekuasaan bagi para politisi yang sekaligus dijadikan sebagai sarana untuk mempertahankan asset ekonomi ataupun memperoleh keuntungan ekonomi. Bagi politikus yang sejak semula memang telah memiliki asset ekonomi karena yang bersangkutan adalah tokoh pengusaha “papan atas”, maka keberadaannya di Partai Politik tidak lain adalah agar asset ekonomi yang dimiliki tetap dapat dipertahankan bahkan dikembangkan di bawah “payung perlindungan” Partai Politik. Apalagi jikalau Partai politik tersebut menguasai tampuk kekuasaan negara. Pendek kata, jika Partai politik “persinggahan” tersebut menduduki tampuk kekuasaan negara, maka kebijakan-kebijakan politik negara sedapat mungkin dirumuskan untuk melindungi asset-asset ekonomi yang dimiliki oleh politikus tersebut.
Jika hasrat kekuasaan dari para politikus (kader) yang bersangkutan ternyata tidak kesampaian melalui Partai Politiknya, karena tidak menduduki posisi elit di internal Partai politik, tidaklah mengherankan jikalau politikus (kader) Partai Politik tersebut akan menyeberang ke Partai Politik lain. Kondisi seperti ini sama saja, jika politikus (kader partai politik) mempergunakan Partai Politik hanya sebagai tempat untuk mencari nafkah. Semua ini bermuara dari demokrasi transaksional tersebut.

Memperkuat Partai Politik.
Sejarah kepartaian di Indonesia setelah katup demokrasi terbuka lebar sejak reformasi 1998 selalu diwarnai dengan terjadinya konflik internal yang pada akhirnya memunculkan fenomena “kutu loncat” kader Partai Politik . Hal ini sangat berbeda ketika rezim Orde Baru masih berkuasa di negeri ini. Pada saat itu intervensi dan pengendalian kehidupan Partai Politik di Indonesia sungguh sangat represif dan terbukti mampu memandulkan dinamika kehidupan Partai Politik. Restu pemerintah dalam hal ini Presiden menjadi dasar bagi kehidupan dan keberlangsungan Partai Politik. Tanpa restu itu jangan harap Partai Politik dapat berkembang dan memainkan peranannya dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia.
Untuk saat ini kondisi semacam itu memang sudah tidak lagi dijumpai. Namun celakanya kebebasan untuk mendirikan Partai Politik tidak diikuti dengan kesadaran para elit Partai Politik untuk secara kolektif mendewasakan kehidupan organisasi. Hal ini merupakan dampak dari mudahnya mendirikan Partai Politik di Indonesia. Konflik internal Partai Politik termasuk di dalamnya adalah berpindahnya kader partai politik ke partai politik lain selalu muncul bersamaan dengan kepentingan elit Partai Politik itu sendiri yang semakin beragam. Pada umumnya konflik internal Partai Politik disebabkan oleh adanya perebutan kekuasaan di tubuh Partai Politik itu sendiri. Sehingga aturan main yang sudah tertuang di dalam AD/ART sering diabaikan. Lagi-lagi kepentingan elit mengalahkan dasar konstitusional Partai Politik.
Berpijak dari realitas semacam itu, maka jika Partai Politik itu menyadari akan arti pentingnya AD/ART yang diibaratkan sebagai konstitusi Partai Politik, konflik internal yang terjadi haruslah dikembalikan kepada ketentuan yang tercantum di dalam AD/ART tersebut. Oleh sebab itu solusi yang terbaik untuk menyelesaikan konflik internal Partai Politik tidak lain harus dikembalikan kepada dasar kontitusi Partai Politik itu sendiri. Terkait dengan konsep normatif seperti inilah, maka solusi yang dapat ditawarkan adalah :
1. solusi konflik dilakukan oleh internal Partai Politik dengan membentuk semacam komisi penegak konstitusi (AD/ART) yang posisinya berada di luar kepentingan pihak yang berkonflik.
2. Jika komisi yang dimaksud tidak ada dalam struktur organisasi Partai Politik, solusi dilakukan melalui jalur hukum (peradilan). Hal ini mengingat AD/ART Partai Politik disahkan melalui akta notaris dan berfungsi sebagai alat bukti yang kuat.
3. solusi juga bisa dilakukan melalui perantaraan lembaga mediasi dengan bersumber pada AD/ART Partai Politik.
4. diadakan kongres (Muktamar) Luar biasa Partai Politik yang bersangkutan. Karena Kongres/muktamar ini merupakan organ tertinggi Partai Politik.
5. jika konflik sudah mengarah pada perpecahan Partai Politik, solusi dapat juga dilakukan melalui konvensi internal Partai Politik untuk menguji keabsahan masing-masing pihak yang berkonflik. Konvensi ini dilakukan dengan melibatkan konstituen secara menyeluruh dengan memberikan kebebasan untuk melakukan pilihan.
Masih terkait dengan penyelesaian konflik tersebut di atas, UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik memberikan rambu-rambu sebagai berikut :
1. Perselisihan Partai Politik diselesaikan dengan cara musyawarah mufakat.
2. Jika musyawarah mufakat tidak tercapai, penyelesaian perselisihan ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan.
3. Penyelesaian di luar pengadilan dapat dilakukan melalui rekonsiliasi, mediasi, atau arbitrase Partai Politik yang mekanismenya diatur dalam AD dan ART.
Tidak dapat dipungkiri bahwa yang namanya Partai Politik adalah organisasi yang sarat dengan kepentingan. Penyelesaian konflik yang terjadi di tubuh Partai Politik jelas didominasi oleh kepentingan tersebut. Jika para pihak tetap bersikukuh dengan kepentingannya masing-masing, maka jalan yang terbaik adalah menyerahkan sepenuhnya pada penyelesaian melalui jalur hukum. Namun sayang, sampai saat ini jalur-jalur hukum (peradilan) di Indonesia juga penuh dengan mafia dan tingkat independensinya masih juga diragukan.
Partai Politik sebagai instrumen demokrasi sudah sepantasnya menjadi contoh bagi proses pembelajaran demokrasi yang penuh kedamaian, dan bukan anarkhi. Konflik di tubuh Partai Politik dan kepindahan kader Partai Politik ke Partai Politik lain, sejatinya menunjukkan ketidak dewasaan dalam berdemokrasi. Jika demokrasi dimaknai sebagai sebuah kelumrahan dalam perbedaan pendapat serta fair play, maka perbedaan pendapat tersebut tentunya harus dapat diselesaikan secara elegan.
Lain daripada itu, munculnya partai-partai kecil dan fenomena “Kutu loncat” kader Partai Politik sebagai akibat adanya konflik internal di tubuh partai sejatinya merupakan dampak dari sistem pemilu yang proporsional. Dalam sistem pemilu proporsional, Partai Politik-Partai Politik (besar maupun kecil) memang dimungkinkan akan memperoleh suara dalam pemilu. Namun demikian, jika hal ini terus menerus dilakukan justru akan mengakibatkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Partai Politik akan semakin terpuruk. Masyarakat akan berpandangan: “mengurus Partai Politik saja tidak mampu, kok mau mengurus rakyat dan negara”. Oleh sebab itulah sudah seharusnya elit Partai Politik jangan terlalu percaya diri dan selalu mengklaim bahwa dirinya-lah yang paling legitimate.
Tingkat legitimasi Partai Politik di mata masyarakat bukan terletak pada elit politik atau tokoh-tokoh yang ada di dalamnya, melainkan seturut dengan kecerdasan masyarakat dalam berpolitik, dan sangat ditentukan dari kemampuan Partai Politik dalam mengelola konflik yang ada di dalam tubuh Partai Politik itu sendiri. Ketika elit-elit Partai Politik tidak mampu mengelola konflik, maka saat itu jugalah “kutu-kutu loncat” kader Partai Politik berterbangan dimana-mana. Dan akhirnya rakyat akan mentertawakan perilaku politikus Indonesia serta mempertanyakan komitmen yang bersangkutan terhadap Partai Politiknya. Lebih lanjut, begitu rakyat mempertanyakan komitmen sang politikus “kutu loncat” ini, maka saat itu juga rakyat juga sudah memiliki gambaran tentang komitmen politikus “kutu loncat” tersebut terhadap negara.
Pertanyaan-pertanyaan rakyat tersebut akan semakin membahana di bumi pertiwi dan pada akhirnya mengakibatkan kepercayaan Rakyat Indonesia terhadap Partai Politik sebagai salah satu pilar infra struktur politik sedikit demi sedikit terkikis habis. Hal ini jelas sangat membahayakan proses konsolidasi Demokrasi Indonesia yang sedang berlangsung, karena partai politik merupakan rohnya demokrasi.

Kepustakaan.
Arbi Sanit dalam http://wartakota.co.id/detil/berita/46300/Kutu-Loncat-Karena-Partai-Bukan-Berbasis-Kader.

Dessy Anwar, 2001, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Karya Abditama, Surabaya, hlm. 312 dan 328.

Hestu Cipto Handoyo, B, 2009, Hukum Tata Negara Indonesia, Penerbit UAJY Yogyakarta, Yogyakarta.

Miriam Budiarjo, 1986, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, hlm. 159.




Kotagede, 21 Mei 2011
Salam Demokrasi,
B. Hestu Cipto Handoyo

Jumat, 29 April 2011

MEMORI JABATAN

MEMORI JABATAN


WAKIL REKTOR III UNIVERSITAS ATMA JAYA YOGYAKARTA
MASA PELAKSANAAN TUGAS TAHUN 2009-2011


“Lebih baik mengerjakan yang sisa daripada
mengerjakan semua tapi tidak tuntas”

Oleh:
B. Hestu Cipto Handoyo, SH.,M.Hum.


Jangan anggap remeh si manusia;
Yang kelihatannya begitu sederhana, biar pengelihatanmu setajam mata elang;
Pikiranmu setajam pisau cukur, perabaanmu lebih peka daripada dewa;
Pendengaranmu dapat menangkap musik dan ratap tangis kehidupan;
Pengetahuanmu tentang manusia
takkan bakal bisa kemput
(Pramoedya Ananta Toer : Bumi Manusia)


A. Pendahuluan.
Untuk mengawali penyusunan memori jabatan ini, perkenankanlah saya menyampaikan bahwa memori jabatan ini semata-mata bersumber dari daya ingat saya selama 2 (dua) tahun dalam melaksanakan tugas, kewajiban, dan tanggungjawab sebagai Wakil Rektor III. Oleh sebab itu jikalau dalam keseluruhan memori jabatan ini ada hal-hal yang belum lengkap tersampaikan, maka hal itu semata-mata hanya karena keterbatasan memori (daya ingat) saya selaku manusia yang tidak mungkin sempurna.
Belum genap 4 (empat) tahun memangku jabatan Dekan Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY) periode tahun 2006-2009, Rektor UAJY pada saat itu Prof. Dr. Dibyo Prabowo, MSc (Alm), meminta saya untuk memangku jawaban Wakil Rektor III UAJY. Permintaan ini saya ketahui bertepatan dengan diadakannya Rapat Senat Akademik Universitas (SAU) dalam rangka memberikan pertimbangan atas usulan calon-calon Wakil Rektor III yang diajukan oleh Rektor. Sebuah cara yang unik dan terkesan tidak memberikan pilihan kepada saya untuk melakukan penolakan, dan itulah gaya kepemimpinan yang khas dari Prof. Dibyo Prabowo (Alm) yang saya kagumi sejak beliau diangkat menjadi Rektor UAJY.
Keberadaan Wakil Rektor III dalam struktur Pimpinan Universitas memang pernah ditiadakan berdasarkan Statuta UAJY tahun 2006. Oleh karena statuta tahun 2006 diubah dengan Statuta 2009 yang memunculkan kembali keberadaan Wakil Rektor III dalam struktur Pimpinan Universitas, maka berdasarkan ketentuan Pasal 30 ayat (4) Statuta UAJY tahun 2009, Rektor mengajukan permohonan pertimbangan 3 (tiga) calon Wakil Rektor III kepada SAU yang salah satunya saya. Kemudian dalam pertimbangan yang diberikan SAU, saya diputuskan untuk diusulkan kepada Yayasan Slamet Riyadi Yogyakarta sebagai Wakil Rektor III.
Dalam sejarah organisasi UAJY khususnya Fakultas Hukum Universitas UAJY mungkin baru kali ini seorang Dekan tidak dapat menuntaskan masa jabatannya sampai akhir, karena mendapat tugas dari Rektor untuk memangku jabatan sebagai Wakil Rektor III. Sejujurnya saya tidak mengetahui apa yang menjadi alasan Prof. Dr. Dibyo Prabowo, MSc (Alm) mengajukan saya sebagai salah satu calon untuk mendampingi beliau sebagai Wakil Rektor III yang membidangi Kemahasiswaan, Alumni,dan Kerja sama. Hanya satu kata yang saya ketahui pada saat beliau menyampaikan di depan SAU tentang alasan mengapa salah satu calonnya adalah saya. Beliau menyampaikan: “Saya memilih salah satu calonnya adalah sdr. Hestu yang sekarang masih Dekan FH-UAJY, karena orangnya braok” (Bhs Indonesia: suaranya keras dan terkesan urakan). Bagi saya pribadi, sebutan braok tersebut justru menunjukkan adanya kelugasan dari Prof. Dr. Dibyo Prabowo, MSc (Alm) dalam menilai seseorang. Tanpa tedeng aling-aling, tanpa mempergunakan bahasa retorika. Inilah yang menyebabkan saya semakin menaruh hormat kepada beliau, sehingga sulit bagi saya untuk menolak permintaan beliau.
Dengan adanya peristiwa tersebut tentu dikalangan sivitas akademika FH-UAJY muncul pandangan yang pro dan kontra. Bagi pihak yang pro memiliki argumentasi bahwa saya sebagai Dekan memperoleh tugas dan tanggung jawab yang lebih besar dan dapat menjadi sarana representasi dari FH-UAJY di tingkat Universitas. Jika saya tidak bersedia mengemban tugas dan tanggung jawab tersebut, dengan alasan masih tetap ingin meneruskan masa jabatannya sebagai Dekan yang tinggal 1 (satu) tahun, maka akan diragukan loyalitasnya pada Universitas karena menolak dan tidak menghormati hak prerogatif Rektor, serta berbagai argumentasi-argumentasi lainnya.
Sedangkan bagi pihak yang kontra berpendapat bahwa saya hanya berorientasi kepada jabatan yang lebih tinggi, tidak bertanggung jawab, tidak konsisten dengan visi dan misi yang dulu pernah disampaikan di awal pencalonan saya sebagai Dekan, ninggal glanggang colong playu (istilah dalam budaya Jawa) dan argumentasi-argumentasi lain.
Bagi saya pribadi kedua pandangan tersebut sama-sama memiliki argumentasi yang masuk akal dan dapat dibenarkan. Tergantung darimana sang pemberi argumentasi itu melihat. Dilema posisi yang demikian ini menimbulkan beban yang cukup berat bagi saya, karena bagaimanapun juga posisi jabatan apapun, baik di tingkat Fakultas maupun di tingkat Universitas, sama-sama penting demi tugas dan tanggung jawab untuk mengembangkan kemajuan Universitas dan Fakultas.
Bagi saya, baik sebagai karyawan maupun pribadi yang dibesarkan oleh Universitas Atma Jaya Yogyakarta, loyalitas, tanggung jawab dan komitmen untuk mengemban tugas dimanapun tempatnya merupakan prinsip dasar yang harus dilakukan. Hal ini sekaligus juga merupakan bentuk konkrit kecintaan kepada Universitas sebagai almamater (ibu kandung). Kendati alasan semacam ini memang dinilai bernada klise, euphimisme, hanya mencari alasan pembenar dan tidak berdasar, namun apapun resiko dari pilihan atau tidak diberi kesempatan untuk memilih, keputusan sudah dijatuhkan, dan saya harus tunduk kepada keputusan tersebut. “Terjadilah padaku menurut kehendakMu”.
Bertitik tolak dari gambaran tersebut di atas, memori jabatan ini sengaja diberi judul “Lebih baik mengerjakan yang sisa daripada mengerjakan semua tapi tidak tuntas”. Pemberian judul tersebut mengandung dua alasan: Pertama; memori jabatan ini adalah memori jabatan yang disusun berdasarkan masa pelaksanaan tugas 2 (dua) tahun sebagai Wakil Rektor III yang sebelumnya diemban oleh Pejabat Kemahasiswaan, Alumni, dan Kerjasama. Selama satu tahun pejabat ini telah melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya dan telah pula dilaporkan dalam memori jabatan ketika berlangsung upacara pelantikan dan serah terima jabatan.
Kedua; Lebih baik mengerjakan yang sisa daripada mengerjakan semua tapi tidak tuntas, merupakan sebuah kalimat untuk mengungkapkan bahwa seorang pejabat yang mengemban amanah haruslah menyelesaikan amanah tersebut sampai tuntas, tidak terputus di tengah jalan serta wajib untuk bertanggungjawab jika ada permasalahan yang dihadapi. Kendati tugas tersebut hanya melanjutkan tugas yang telah dilaksanakan oleh pejabat sebelumnya. Pendek kata, tidaklah pantas jikalau saya tidak melanjutkan pekerjaan yang tersisa dari pejabat lama, bahkan malah menciptakan pekerjaan baru yang justru tidak tuntas saya selesaikan.
Tugas dan tanggungjawab sudah diberikan, program-program kerja sudah menanti untuk segera dilaksanakan guna mengejar ketertinggalan sebagai akibat tidak adanya Wakil Rektor III karena amanat Statuta 2006. Oleh sebab itulah, begitu saya dilantik menjadi Wakil Rektor III, secara seksama saya mempelajari memori jabatan Pejabat Kemahasiswaan. Alumni, dan Kerjasama untuk kemudian saya susun kerangka program kerja lanjutan yang belum sempat diselesaikan oleh pejabat lama.
Berdasarkan memori jabatan Pejabat Kemahasiswaan, Alumni, dan Kerjasama ada 4 (empat) Program kerja bidang kemahasiswaan, alumni, dan kerja sama yang belum terselesaikan, yaitu:
1. Belum selesainya kerjasama dengan pihak external yang menyangkut kontrak kerja pembuatan baliho penunjuk jalan menuju Kampus Universitas Atma Jaya Yogyakarta;
2. Penyelenggaraan Kejuaraan Tae Kwon Do Internasional yang sebenarnya merupakan harapan dari Prof. Dr. Dibyo Prabowo (Alm);
3. Pelacakan alumni dan pelibatannya dalam promosi dan pemerimaan mahasiswa baru di daerah-daerah para alumni UAJY berada; dan
4. Penyusunan dan penerapan Sistem Partisipasi Aktifitas Mahasiswa Atma Jaya Yogyakarta (SPAMA) sebagai sarana untuk mengembangkan pendidikan soft skill bagi para mahasiswa UAJY.
Bersumber dari 4 (empat) program kerja tersebut, maka saya mulai mencoba melaksanakan satu persatu dengan target satu tahun pelaksanaan tugas dapat terselesaikan semua dan saya lanjutkan menyusun program-program kerja baru berdasarkan ide dan gagasan saya sendiri. Namun demikian ternyata diantara empat program tersebut ada satu yang sampai detik ini belum mampu saya selesaikan dengan baik, yaitu pelacakan alumni dan pelibatannya dalam promosi dan pemerimaan mahasiswa baru di daerah-daerah para alumni UAJY berada.

B. Tahun Pertama Masa Jabatan: Penyelesaian Program Kerja yang Tersisa.
Tema besar yang menjadi titik tolak saya ketika bersedia memangku jabatan Wakil Rektor III adalah “Menyelesaikan sisa program peninggalan agar tidak menjadi duri dalam daging kinerja kolektif pimpinan UAJY”. Tema besar seperti ini dilandasi oleh alasan, bahwa perkembangan UAJY di bawah kepemimpinan Prof. Dr. Dibyo Prabowo (Alm) menunjukkan kemajuan yang cukup signifikan, kendati pada saat itu UAJY sedang dilanda krisis keuangan akibat “salah urus” yang dilakukan oleh Pengurus Harian Yayasan Slamet Riyadi saat itu. Secara terus terang dan siap menghadapi resiko apapun saya berani mengatakan “salah urus”, karena kenyataan memang demikian adanya, hingga Yayasan kehilangan dana sebesar Rp 16,6 Milyar (Kasus Antaboga/Bank Century).
Keberhasilan UAJY di bawah kepemimpinan Prof. Dr. Dibyo Prabowo (Alm) antara lain: dibangunnya gedung Perpustakaan Pusat, beberapa program studi memperoleh akreditasi A dan sertifikasi ISO 9001 tahun 2000, UAJY diakui oleh Kementerian Pendidikan Nasional sebagai salah satu dari 50 (lima puluh) Promosing University di Indonesia. Keberhasilan-keberhasilan inilah yang tentunya harus tetap dipertahankan dan dilanjutkan oleh siapapun yang menjadi bagian dari keluarga besar UAJY.
Bertitik tolak tema besar tersebut di atas, maka kerja-kerja untuk melaksanakan program yang masih tersisa atau belum sempat diselesaikan oleh pejabat lama, adalah:
1. Menyelesaikan kontrak kerja dengan pihak external tentang pemasangan baliho penunjuk jalan menuju kampus UAJY Babarsari. Kontrak kerja yang dilakukan ternyata bermasalah karena tidak pernah ada MoU secara terulis, oleh sebab itu saya memutuskan untuk membatalkan kontrak tersebut, karena memang mekanismenya tidak sesuai kelaziman.
2. Mempersiapkan dan menyelenggarakan Kejuaraan Internasional Tae Kwon Do dan telah berhasil dengan baik, walaupun dalam hal anggaran kegiatan ini sungguh luar biasa besar. UAJY memberikan bantuan anggaran sebesar Rp. 100 Juta, sisanya diperoleh dari pihak sponsor. Kegiatan ini merupakan kejuaran internasional Tae Kwon Do yang pertama kali dilakukan di Yogyakarta.
3. Melakukan penelusuran dan pelibatan Alumni UAJY dalam promosi dan pendaftaran mahasiswa. Kegiatan untuk melaksanakan program ini dilakukan dengan mengadakan kunjungan ke Alumni di Bali dan NTT. Dalam kunjungan tersebut ternyata alumni yang berada di Bali bersedia membantu dan menyediakan sekretariat, namun kesemuanya itu tidak dapat saya respons dengan positif, karena alumni UAJY yang berada di Bali mengajukan anggaran sebesar Rp. 125 Juta untuk biaya operasional sekretariat. Sedangkan saat mengunjungi Alumni di NTT tepatnya di Maumere, pihak alumni dapat membantu dan telah membentuk sekretariat penerimaan mahasiswa baru di kantor Notaris sdr Grave (Alumni FH-UAJY).
4. Merancang dan menyusun Sistem Partisipasi Aktifitas Mahasiswa Atma Jaya Yogyakarta (SPAMA). Kegiatan penyusunan sistem ini dilatar belakangi oleh kebutuhan akan pengembangan soft skill yang terintegrasi dengan pengembangan hard skill. Program ini terselesaikan menjelang akhir masa jabatan Wakil Rektor III dan saat ini sudah mendapat Surat Keputusan Raktor.
Di samping 4 (empat) program kerja sisa yang harus tuntas dalam waktu satu tahun pelaksanaan tugas, ada beberapa aktifitas yang tidak terprogramkan, namun harus tetap dilaksanakan, karena terkait dengan institusi eksternal, yaitu:
1. UAJY ditunjuk sebagai salah satu rayon pembina kegiatan Pendidikan Wirausaha Mahasiswa yang dikembangkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan. Kegiatan ini kemudian didelegasikan pelaksanaannya oleh Wakil Rektor III kepada PUSWIRA UAJY (Pusat Studi Kewirausahaan) dan sampai saat ini masih tetap berlangsung serta progres reportnya cukup bagus
2. Mempersiapkan data prestasi olahraga untuk menngikuti kompetisi Kampus Berprestasi Olahraga (KBO) yang diselenggarakan oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga. Setelah dilakukan visitasi oleh pihak Kementerian Pemuda dan Olahraga dan proses penilaian panjang, maka pada tahun 2009 UAJY dinobatkan sebagai KAMPUS BERPRESTASI OLAH RAGA Ranking II Nasional.
3. Pemberian beasiswa kepada semua Ketua Lembaga Mahasiswa dan UKM. Progam ini dimaksudkan untuk memberikan reward Ketua Lembaga Mahasiswa dan UKM atas kesediaannya mengelola Lembaga Mahasiswa dan UKM. Syarat perolehan beasiswa adalah indeks prestasi yang bersangkutan minimal 2,75. Program ini sudah berjalan sampai dengan sekarang.
4. Pencarian dana-dana beasiswa dari pihak external dengan memanfaatkan CSR yang ada di perusahaan-perusahaan besar. Sampai memori jabatan ini dibuat, dana-dana beasiswa diperoleh dari:
a. PT. Vivere yang memberikan beasiswa tambahan bagi 5 (lima) mahasiswa PSSB yang meliputi living cost dan uang buku;
b. Pada tahun 2009 Bank Mandiri memberikan dana sebesar Rp 120 juta kepada mahasiswa UAJY dalam upaya membentuk Wirausaha Mandiri;
c. PT. Jarum, Astra, Toyota; dan
d. Beasiswa yang berasal dari pemerintah melalui program Beasiswa BBM.
Terkait dengan beasiswa-beasiswa ini, ada rencana kelompok alumni FH-UAJY angkatan tahun 1986 sedang menggalang dana untuk membantu mahasiswa FH-UAJY yang membutuhkan dan memiliki indeks prestasi sesuai persyaratan yang berlaku. Persiapan untuk mewujudkan program ini terus dilakukan oleh kelompok alumni tersebut, dan sangat kebetulan secara pribadi saya diminta oleh kelompok alumni yang dimaksud sebagai “Sesepuh”.

C. Membina dan Mendamping Mahasiswa UAJY yang Unggul, Inklusif, Humanis.
Secara umum pembinaan dan pendampingan mahasiswa UAJY dilakukan dalam 3 (tiga) lapisan aktifitas, yaitu:
1. Lapisan pertama pembinaan dan pendampingan kemahasiswaan diwujudkan melalui program kerja dengan mempergunakan kata kunci “Pengenalan atau adaptasi”. Pembinaan dan pendampingan pada lapisan ini dilakukan melalui proses pengenalan bagi mahasiswa baru terhadap seluruh sistem pendidikan di UAJY termasuk di dalamnya pengenalan seluruh aktifitas kemahasiswaan. Pelaksanaan program-program pada lapisan pertama ini diawali dengan kegiatan Inisiasi baik di tingkat Universitas maupun Fakultas, kemudian dilanjutkan dengan berbagai pendampingan yang dilakukan baik oleh mahasiswa senior melalui program asistensi maupun yang dilakukan oleh Kantor Kemahasiswaan, Alumni dan Campus Ministry (KKACM) melalui latihan kepemimpinan dan pengembangan karakter.
2. Lapisan kedua pembinaan dan pendampingan kemahasiswaan diwujudkan melalui program kerja dengan mempergunakan kata kunci “Prestasi”. Untuk melaksanakan seluruh program kerja yang membergunakan paradigma prestasi, maka pihak Universitas khusunya Fungsi III melakukan langkah-langkah pembinaan minat/bakat dan penalaran kepada mahasiswa dengan mengembangkan potensi yang ada, agar mereka menjadi manusia-manusia yang berprestasi sesuai dengan bidang dan aktifitas yang telah dipilih, baik melalui UKM atau Unit-unit lembaga kemahasiswaan yang ada. Dari catatan saya selaku Wakil Rektor III, ada beberapa prestasi yang cukup membanggakan, antara lain:
a. UKM Tae Kwon Do UAJY tetap menduduki posisi elit di jajaran Tae Kwon Do baik nasional maupun internasional;
b. Tim Basket Putra UAJY selalu menduduki posisi elit di Jateng-DIY dalam berbagai kejuaraan antar mahasiswa. Bahkan di tingkat Nasional Tim Putra masuk 4 besar nasional.
c. Tahun pertama menjabat sebagai Wakil Rektor III, kelompok Program Kreativitas Mahasiswa dari Fakultas Tekno Biologi dan Fakultas Ekonomi berhasil mengikuti Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS) yang diselenggarakan oleh Universitas Mahasaraswati Denpasar-Bali.
d. Prestasi mahasiswa di bidang penalaran semakin menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan, karena telah meloloskan 32 (tiga puluh dua) proposal PKM yang dibiayai oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional. Hal ini mengakibatkan ranking UAJY meningkat menjadi 30 besar Universitas di Indonesia yang berhasil meloloskan proposal.
3. Lapisan ketiga pembinaan dan pendampingan kemahasiswaan diwujudkan melalui program kerja dengan mempergunakan kata kunci “pembinaan karier”. Untuk mengimplementasikan kata kunci ini, maka aktifitas kegiatan diarahkan dengan memberikan fasilitas bagi mahasiswa UAJY semester akhir atau sedang menyusun skripsi dalam mempersiapkan diri untuk mencari atau membuka peluang kerja yang dicita-citakan. Dalam kegiatan ini yang baru dapat dilaksanakan oleh KKACM adalah melaksanakan Job Fair minimal dua kali dalam setiap tahunnya.
Kerangka pembinaan dan pendampingan mahasiswa UAJY tersebut di atas sebagian besar dilakukan di masing-masing Fakultas, sementara pihak Wakil Rektor III hanya memfasilitas dan menyusun kerangka strategis yang diterjemahkan dalam kisi-kisi program kerja setiap tahunnya. Harus diakui bahwa berdasarkan pengalaman dua tahun ini Wakil Rektor III tidak pernah memiliki program kerja tersendiri, karena semuanya sudah disusun oleh KKACM dan perangkat pendukung lainnya.
Di samping itu, karena Wakil Rektor III juga mempunyai tugas untuk melaksanakan kerjasama institusional maka beban yang terakhir inipun sampai sekarang masih belum dapat dijalankan dengan optimal. Untungnya ada perangkat pendukung yakni Kantor Kerjasama dan Promosi. Oleh sebab itu ke depan perlu dipikirkan untuk meningkatkan status Kantor Kerjasama dan Promosi menjadi Wakil Rektor IV, karena bagaimanapun persoalan kerjasama dan promosi harus dilaksanakan secara konsisten dan menyeluruh. Tidak hanya sekedar digabungkan dengan Kemahasiswaan dan Alumni.

D. Catatan Akhir: Kegagalan adalah awal keberhasilan.
Dihadapan sivitas akademika UAJY harus saya sampaikan bahwa dengan tersusunnya memori jabatan yang amat sangat tidak sempurna ini, maka tugas, kewajiban dan tanggung jawab saya selaku Wakil Rektor III tentu saya tinggalkan. Masih banyak program kerja dan aktifitas maupun persoalan yang belum terselesaikan secara tuntas. Untuk itulah dengan kesadaran pribadi dan tanpa paksaan dari siapapun juga, saya menyatakan bahwa semua daya dan upaya yang telah saya lakukan belum dapat dikatakan berhasil. Karena memang selama 2 (dua) tahun memangku jabatan Wakil Rektor III UAJY saya tidak memiliki program yang patut dibanggakan dan dilaksanakan dengan gilang-gemilang. Saya hanya menuruskan seluruh program kerja pejabat terdahulu. Bahkan kegagalan yang paling mencolok yang saya lakukan adalah seringnya saya meninggalkan kantor dan tugas, karena ada tugas lain. Untuk itu dalam kesempatan ini saya mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Mungkin masih banyak kekurangan yang belum tercatat di dalam memori jabatan ini, karena memang begitu banyak kekurangan yang melingkupi pelaksanaan tugas dan tanggungjawab yang selama ini saya emban. Untuk itu secara terbuka saya siap menerima kritik dan saran dari seluruh sivitas akademika UAJY. Dalam kesempatan ini, saya juga ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:
1. Prof. Dr. Dibyo Prabowo, Msc (Alm) dengan gaya kepemimpinannya yang khas telah memberikan kesempatan kepada saya untuk membantu dalam mengembangkan almamater yang sangat saya cintai ini. “Pak Dib karena panjenenganlah saya sempat menjadi akademisi yang produktif. Panjenenganlah yang selalu mengolok-olok saya, namun olok-olok itu justru menjadi pemicu semangat saya. Namun Pak, mengapa engkau cepat meninggalkan kami, khususnya saya yang saat itu baru semangat-semangatnya mengabdi. Pak Dib, terima kasih atas bimbingannya, Saya berharap semoga UAJY muncul “Pak Dib-pak Dib” lain dimasa yang akan datang.
2. Bpk. Kosemargono Phd, mantan Rektor, atas bimbingan dan kesebarannya mendampingi saya yang berkarakter meledak-ledak dan terkadang sulit dikontrol. Pak Koes panjenengan berhasil memahami karakter saya dan dari situlah panjenengan mampu mengendalikan saya, sehingga saya bisa menyelesaikan semua tugas dan tanggung jawab yang dibebankan kepada saya. Terima Kasih pak Koes.
3. Bpk. Prof. Dr. Yoyong mantan Wakil Rektor I yang dengan karakter diamnya justru memperkuat keyakinan saya untuk menyelesaikan seluruh pekerjaan hingga tuntas, walau hasilnya belum dapat dibanggakan. Pak Yoyong matur nuwun ya, kerja sama kita dalam diam dan sering hanya berkomunikasi dengan sorot mata penuh arti sangat indah sekali. Bahkan kadang lucu karena mampu mentertawakan diri sendiri. Saya kok yakin bahwa setiap orang yang mampu mentertawakan diri sendiri, dia tidak akan mentertawakan orang lain.
4. Bpk Luddy mantan Wakil Rektor II yang selalu memberikan koreksi-koreksi terhadap kebijakan yang saya keluarkan di bidang keuangan. Pak Luddy harus saya akui untuk mengatur masalah keuangan saya memang tidak memiliki talenta, namun karena panjenengan, paling tidak saya mulai bisa melakukan pembenahan sedikit demi sedikit masalah keuangan yang melingkupi aktifitas kemahasiswaan.
5. Ibu Suryanti selaku Kepala KKACM beserta staff, yang telah membantu tanpa kenal lelah dalam membina dan mendampingi kegiatan kemahasiswaan UAJY.
6. Pak Andre selaku Kepala Kantor Humas, Sekretariat, dan Protokoler yang selalu mengingatkan jadwal agenda acara berikut segala hal yang perlu dipersiapkan, sehingga seluruh acara yang sering saya ikuti dapat berjalan dengan lancar.
7. Mbak Nastiti, Mbak Maya, Mbak Lina, dan Mbak Arin selaku sekretaris Rektorat, yang telah banyak membantu saya dalam bidang administrasi surat menyurat, mengingatkan semua agenda yang harus saya lakukan. Mbak-mbak semua tanpa panjenengan, saya pasti kebingungan seperti layaknya orang buta yang jalan di hutan belantara.
8. Mas Wardi selaku OB (Office Boy) yang selalu menyediakan berbagai “ubo rampe” ketika saya membutuhkan. Matur nuwun ya Mas Wardi Gusti pasti memberikan berkah yang melimpah kepada panjenengan sekeluarga.
9. Mas Agus (Driver Rektorat) yang tanpa mengeluh selalu bersedia menghantar saya kemanapun saya bertugas. Mas Agus sekarang ngga perlu lagi antar jemput lagi ya, tarima kasih atas kerjasamanya.
10. Semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu. Terima kasih atas kerjasama dan penerimaan Bpk/ibu/sdr terhadap saya selama berada di rektorat.
Demikianlah memori jabatan ini saya susun dengan harapan agar dapat dipergunakan sebagai bahan masukan bagi Wakil Rektor III yang baru
Perkenankanlah dalam kesempatan ini saya mengutip dialog antara Senapati Wiranggaleng dengan para prajurit Tuban dalam eposide terakhir novel Arus Balik karya Pramoedya Ananta Toer.
”Dengarkan” perintah Senapati.
”Telah aku buktikan masa mudaku dan tenagaku dan kesetiaanku. Biarpun hanya secauk pasir untuk ikut membendung arus balik dari utara. Arus balik itu ternyata tak dapat dibendung. Kekuatan itu ada pada Trenggono, dan Sultan Demak itu tidak bisa diyakinkan untuk menggunakannya. Arus tetap datang dari utara, yang selatan tetap tertindih. Ya, Dewa Batara, Kau tak beri aku kekuatan untuk menyadarkan raja dan sultan sehingga terjadi gelombang raksasa, bukan sekedar yang mendesak arus balik dari utara, bukan saja untuk jaman kemerosotan ini, juga kelangsungannya untuk selama-lamanya”.
”Gadjah Mada, anak desa itu telah berhasil. Ia gerakkan tangannya dan semua jadilah yang dipegangnya, semua bangun yang disentuhnya. Pergilah dia, pergi untuk selama-lamanya, meninggalkan kebesaran dan arus besar yang mengimbak-imbak megah berpendaran damai ke utara. Aku bukan Gadjah Mada. Tiada sesuatu hasil apalagi kebesaran kutinggalkan kecuali kesakitan dan kekecewaan dalam diri dan terhadap diri sendiri”.
”Jaman Gadjah Mada, jaman anak desa dapat mengedepankan pendapatnya pada Kaisar, telah lewat. Kita tak pernah lagi punya Kaisar selama ini. Raja-raja semakin kecil dan anak-anak desa jadi lebih kecil lagi”
”Aku menyadari tak ada kemampuan membendung arus utara, arus balik yang semakin besar juga ini. Maka akulah orang yang paling menderita karena kesadaran ini. Jaman bukan hanya tak membantu, bahkan melawan kita. Itu sebabnya akan kutinggalkan kepada kalian, dan semua kuserahkan kepada kalian”.
”Senapati” Banteng Wareng menyela.
”Aku sadar tak ada kemampuan untuk pekerjaan besar itu. Aku tak ada kemampuan mempersatukan raja-raja dan para sultan. Itu sebabnya akan kutinggalkan kalian, dan semua kuserahkan pada kalian. Setelah ini kalian harus atur dan urus semua tanpa aku. Jangan berduka cita, karena surya enggan memancarkan rahmatnya pada yang berduka cita”
Wiranggaleng melepas bungkusan di punggung dan meletakkan di hadapannya. Semua mata mengawasi bungkusan itu.
”Lihatlah ini, katanya lagi dan membuka bungkusan, dan meletakkan isinya satu persatu di atas destar. Kala Cuwil, cincin, kalung, destar, kain, ikat pinggang, tilam, semua bertanda kupu-tarung. Hanya kasut tidak ada, hilang karena keteledoran pembawanya. Nah ini gelang, kemudian Senapati menarik keris dari pinggang, dan ini keris bersarung dan berbulu emas dengan kupu-tarung pula. Kalian tahu lambang siapa ini. Jangan pegang. Lihat saja baik-baik”.
Dan semua menjalankan apa yang diperintahkan.
”Kutinggalkan dan kuserahkan semua ini pada kalian – peninggalan Gusti Kanjeng Adipati Unus, melalui Gusti Ratu Aisah, melalui Pada alias Mohammad Firman, melalui aku, Wiranggaleng, Senapati Tuban”.
”Nah kalian empat orang, masing-masing pegang sudut apa yang diperintahkan. Benda-benda itu menggelantung di tengah destar”
”Pegang terus dan jangan lepaskan. Barangsiapa di antara kalian, dapat memahami kata-kataku, memahami arus utara dan selatan, dapat menyelami arus balik dan pesan Gusti Kanjeng Unus, ambillah dan pergunakanlah semua peninggalan itu. Tegakkan Tuban, usahakan mengusir Peranggi dari jalan laut, Pasai, Selat, Semenanjung, Malaka dan Maluku. Lepaskan arus selatan ke utara bergelombang-gelombang sepanjang jaman”.
”Perhatikan barang-barang itu dan jangan perhatikan Wiranggaleng, Senapati kalian. Wiranggaleng sekarang sudah tidak ada. Sekarang dia hanya seorang petani bernama Galeng. Tinggallah kalian dalam kerukunan, karena perpecahan adalah pembunuh kalian yang pertama. Aku akan pergi dan jangan kalian cari. Hanya bila Peranggi datang lagi, Wiranggaleng akan datang untuk memusnahkannya”.

Sekali lagi atas segala kelemahan dan kekurangan saya selama menjabat sebagai Wakil Rektor III, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya. Semoga Tuhan memberkati seluruh langkah yang akan kita tempuh dalam memajukan UAJY yang kita cintai ini. Berkah Dalem menyertai kita semua. Viva Atma Jaya.

Kotagede, 30 April 2011.
Salam Hormat;


B. Hestu Cipto Handoyo, SH.,M.Hum.

Senin, 18 April 2011

UPAYA AKSELERASI TATA PEMERINTAHAN LOKAL MELALUI PENGUATAN PERAN DPRD DALAM FUNGSI LEGISLASI

UPAYA AKSELERASI TATA PEMERINTAHAN LOKAL MELALUI
PENGUATAN PERAN DPRD DALAM FUNGSI LEGISLASI*)

Oleh :
B. Hestu Cipto Handoyo**)


A. Kedudukan DPRD dalam Sistem Desentralisasi dan Demokrasi.
Desentralisasi sebagai suatu asas penyelenggaraan pemerintahan lokal merupakan salah satu pilar yang dipergunakan dalam penyelenggaraan pemerintahan di Negara kesatuan yang mempergunakan prinsip Negara hukum dan demokrasi. Penggunaan asas desentralisasi di samping bertujuan untuk menyelenggarakan sistem pemerintahan yang efektif dan efisien juga dilandasi oleh beberapa latar belakang prinsipiil.
Pertama; Prinsip Negara hukum. Di dalam prinsip Negara hukum di samping dikenal adanya pemisahan kekuasaan (pemisahan atau pembagian kekuasaan secara horizontal antara tiga cabang kekuasaan di dalam Negara yakni eksekutif, legislatif dan yudikatif), juga dikenal adanya pemencaran kekuasaan (pendistribusian kekuasaan dalam garis vertikal). Dari prinsip seperti inilah, desentralisasi merupakan sarana yang tepat untuk melaksanakan pemencaran kekuasaan tersebut. Selaras dengan pemahaman ini, maka kedudukan DPRD menjadi sarana untuk melakukan pemencaran kekuasaan, khususnya di bidang legislasi, pengawasan dan budgeting. Fungsi-fungsi ini memang sudah berjalan, namun optimalisasi fungsi-fungsi tersebut masih kurang, karena sifat keanggotaan DPRD yang masih generalis. Oleh sebab itu dalam kerangka desentralisasi, kelembagaan DPRD harus diperkuat dengan adanya tim asistensi ahli yang memiliki kemampuan di bidang legislasi, pengawasan (berbagai sektor penyelenggaraan pemerintahan daerah), dan sistem penganggaran.
Kedua; Prinsip demokrasi. Dalam Negara demokrasi kebutuhan akan partisipasi masyarakat dalam berbagai aspek penyelenggaraan pemerintahan merupakan suatu keharusan. Berdasarkan prinsip semacam inilah maka desentralisasi merupakan sarana yang tepat untuk melaksanakan demokrasi pemerintahan di tingkat lokal. DPRD sebagai lembaga yang merepresentasikan partisipasi masyarakat daerah harus ditempatkan sebagai sarana untuk mengartikulasikan kehendak masyarakat daerah bukan justru mengartikulasikan kehendak masing-masing partai politik. Wacana bahwa anggota DPRD hanya mementingkan kepentingan Parpol saat ini justru telah memperoleh pembenaran dan kepastian hukum melalui UU No. 2 Tahun 2008 tentang Parpol.
Menurut Pasal 1 angka 1 UU No. 2 Tahun 2008 tentang Parpol ditegaskan bahwa Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
Mencermati pengertian tersebut menunjukkan bahwa organisasi Parpol dibentuk untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota terlebih dahulu, baru kemudian memperjuangkan kepentingan politik masyarakat, baru disusul memperjuangkan kepentingan politik bangsa dan negara. Rumusan seperti ini memberikan penguatan secara yuridis bahwa Partai Politik memang hanya mementingkan kelompok dan anggota-anggotanya.
Ketiga; Prinsip welfare state. Dalam Negara kesejahteraan, fungsi Negara yang diwujudkan dalam aktifitas pemerintahan adalah sebagai pelayan masyarakat (public services) untuk mewujudkan kesejahteraan umum warganya. Fungsi seperti ini tentunya tidak dapat berjalan dengan baik jikalau dalam pelaksanaannya dilakukan secara sentralistik. Hal ini mengingat kebutuhan-kebutuhan masyarakat di masing-masinh bagian Negara jelas berbeda sesuai dengan karakteristiknya masing-masing. Dengan demikian dalam prinsip welfare state, asas desentralisasi merupakan sarana yang tepat untuk menyelenggarakan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan karekteristik kebutuhan di tingkat lokal. Desentralisasi dalam prinsip welfre state berguna untuk lebih mendekatkan pelayanan masyarakat yang dilakukan oleh Negara. DPRD sebagai wadah untuk mengartikulasikan kebutuhan-kebutuhan masyarakat seharusnya, tidak lagi bertindak seperti layaknya broker-broker parpol untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Kerja-kerja anggota DPRD seharusnya bersifat kolektif untuk melayani masyarakat dalam mengartikulasikan kebutuhan-kebutuhan riil masyarakat daerah. Oleh sebab itu sebenarnya keberadaan fraksi, sebagai perpanjangan tangan Parpol justru menghambat kerja-kerja kolektif anggota DPRD. Padahal fraksi bukan salah satu alat kelengkapan DPRD, namun dalam berbagai hal ternyata fraksi lebih mendominasi dalam setiap pengambilan keputusan politik yang terkait dengan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan riil masyarakat daerah. Dengan demikian, secara nyata keberadaan fraksi justru kontra produktif, karena dengan adanya keberadaan fraksi inilah DPRD bukan lagi merupakan perwakilan rakyat, melainkan perwakilan parpol. Parpol memang merupakan pranata penting dalam kehidupan demokrasi. Namun jikalau parpol justru terlalu mendominasi dan memonopoli sepak terjang DPRD, maka hal ini justru mengakibatkan penyelenggaraan prinsip-prinsip demokrasi akan mengalami penurunan yang cukup signifikan.
Keempat; Prinsip kebhinekaan. Dalam Negara yang komposisi masyarakatnya demikian beragam, tidaklah mungkin untuk melakukan penyeragaman (uniformitas) kebijaksanaan dan keputusan-keputusan politik. Karakteristik dan kehendak masing-masing daerah yang berbeda-beda haruslah menjadi pertimbangan utama. Dengan demikian, karena adanya prinsip kebhinekaan inilah, fungsi desentralisasi dipergunakan sebagai sarana untuk menampung keanekaragaman.
Pasal 1 angka 4 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menegaskan bahwa DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Kemudian dalam Pasal 60 dan Pasal 76 UU No. 22 Tahun 2003 tentang Susduk MPR, DPR, DPD, dan DPRD ditergaskan bahwa DPRD (Provinsi/Kabupaten/Kota) merupaan lembaga perwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga pemerintahan daerah (Provinsi/Kabupaten/Kota). Ketentuan yuridis semacam ini jelas menimbulkan penafsiran yang beragam, khususnya menyangkut frase “unsur penyelenggara pemerintahan daerah (UU No. 32 tahun 2004) dan lembaga pemerintahan daerah (UU Susduk)”.
Pemerintahan (daerah) dalam pengertian Hukum Tata Negara dapat ditafsirkan dalam pengertian luas dan sempit. Pertama; pemerintahan dalam konteks pengertian yang luas menyangkut segala aktifitas untuk mengimplementasikan fungsi, tugas, wewenang, dan tanggungjawab yang dilakukan oleh Negara. Penafsiran ini meliputi satu kesatuan fungsi yang menyangkut mengatur (legislasi), memerintah (eksekutif), dan mengadili (judikatif).
Kedua; pemerintahan dalam pengertian yang sempit menyangkut aktifitas yang dilakukan Negara atau daerah dalam fungsinya untuk memerintah (eksekutif). Penafsiran ini hanya ditekankan pada pelaksanaan fungsi yang dilakukan oleh pemerintah yakni pemegang kekuasaan eksekutif dalam Negara atau dalam konteks pemerintahan daerah, adalah Kepala daerah dan jajaran eksekutif lainnya.
Dari kedua penafsiran seperti ini, maka problematika kedudukan dan kewenangan DPRD sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah terletak pada posisi yang ambigu, yakni apakah yang dimaksud dengan unsur pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud dalam UU No. 32 Tahun 2004 dan UU Susduk dalam perspektif yang luas ataukah sempit? Kedua UU tersebut tidak memberikan kepastian hukum dalam menentukan posisi DPRD dalam kacamata penafsiran tersebut di atas.
Jikalau pengertian Pemerintahan daerah itu diletakkan dalam aspek penafsiran yang luas, maka kedudukan dan kewenangan DPRD masih bisa dipisahkan dengan kedudukan dan kewenangan eksekutif daerah (Kepala daerah dan jajaran eksekutif lainnya). Namun menjadi bermasalah, jikalau pengertian Pemerintahan daerah itu diletakkan dalam aspek penafsiran yang sempit. Penafsiran yang demikian ini jelas akan meletakkan kedudukan dan kewenangan DPRD yang tidak selaras dengan hakikat DPRD sebagai lembaga perwakilan atau parlemen daerah, karena DPRD diletakkan sebagai unsur pemerintahan yang sempit. Posisi yang seperti ini hampir sama dengan ketika pengaturan tentang Pemerintahan Daerah mempergunakan UU No. 5 Tahun 1974. Pada saat mempergunakan UU ini, pengertian Pemerintahan daerah adalah Kepala Daerah dan DPRD.
Menurut Hans Kelsen, desentralisasi berkaitan dengan pengertian Negara. Kelsen mengemukakan bahwa Negara itu merupakan tatanan hukum (legal order). Oleh sebab itu pengertian desentralisasi menyangkut berlakunya sistem tatanan hukum dalam suatu Negara. Di dalam Negara ada kaidah-kaidah hukum yang berlaku sah untuk seluruh wilayah Negara yang disebut kaidah sentral (central norm) dan ada pula kaidah-kaidah hukum yang berlaku sah dalam bagian-bagian wilayah Negara yang disebut desentral atau kaidah lokal (decentral norm).
Konsep teoritis seperti ini, jika diletakkan dalam perspektif DPRD sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah (UU No. 32 tahun 2004) dan lembaga pemerintahan daerah (UU Susduk), maka lebih tepat jikalau yang dimaksud disini tidak lain adalah pemegang kekuasaan legislatif di tingkat daerah. Oleh sebab itu, jika pemahaman seperti ini akan diterapkan dalam rangka revisi UU No. 32 Tahun 2004, sudah sepatutnya jikalau kedudukan DPRD dipertegas menjadi lembaga perwakilan rakyat di tingkat daerah yang memiliki fungsi legislasi, pengawasan dan penganggaran. Oleh sebab itu, guna mengarahkan pada kepastian hukum rumusan untuk revisi UU no. 32 tahun 2004 tidak lagi mempergunakan frase “unsur penyelenggara pemerintahan daerah” yang menimbulkan dua kemungkinan penafsiran seperti yang telah penulis kemukakan.

B. Penguatan DPRD dalam Fungsi Legislasi.
Secara umum Penguatan DPRD dalam fungsi legislasi sangat dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu :
1. kemampuan dan kapasitas personal anggota DPRD. Dalam kerangka welfare state keberadaan Pemerintahan Lokal merupakan sarana untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat guna mewujudkan kesejahteraan umum. Kebutuhan dan kehendak masyarakat daerah jelas makin beragam dan multi sektoral. DPRD sebagai lembaga Perwakilan Rakyat secara paradigmatik harus mampu menampung dan merumuskan kebijakan-kebijakan politik melalui produk hukum yang dihasilkan. Oleh sebab itu, kemampuan dan kapasitas personal anggota DPRD dalam menyerap aspirasi masyarakat menjadi syarat mutlak. Kemampuan dan kapasitas anggota DPRD yang pas-pasan, atau minimalis jelas akan menghambat pelaksanaan kewenangan yang diberikan kepadanya. Dengan demikian salah satu syarat untuk menjadi anggota DPRD hendaknya mencantumkan uji kelayakan yang dapat dipergunakan untuk menilai kemampuan dan kapasitas anggota DPRD tersebut. Materi uji kelayakan itu harus terkait dengan fungsi dan wewenang yang akan dijalankan oleh anggota DPRD seperti visi dan misi, kemampuan legal drafting, pengawasan, dan budgeting.
2. Sistem rekrutmen kader Parpol. Pemilu yang masih tetap mempergunakan sistem proporsional terbuka pada hakikatnya tetap memposisikan Parpol yang sangat dominan dalam proses rekrutmen anggota DPRD. Dengan demikian peran Parpol dalam mempersiapkan kader-kader untuk menjadi anggota DPRD sangat berpengaruh dalam menunjang kemampuan dan kapasitas anggota DPRD. Untuk itu pola pencalonan anggota DPRD yang dilakukan oleh Parpol harus diubah. Uji kelayakan sebagaimana penulis kemukakan dalam point 1 harus menjadi dasar bagi Parpol untuk menentukan kader-kadernya dalam daftar calon anggota DPRD tersebut. Jadi pencantuman daftar calon tidak lagi mempergunakan paradigma kemampuan finansial kader yang sampa sekarang masih menggejala di lingkungan Parpol.
3. Mekanisme pertanggungjawaban anggota DPRD terhadap konstituen. Selama ini setelah kader parpol menjadi anggota DPRD hubungan dengan rakyat pemilih (konstituen) masih tetap “terputus”. Anggota DPRD masih tetap “mesra” berhubungan dengan organisasi Induk Parpol. Apalagi di lingkungan DPRD peran fraksi sebagai perpanjangan parpol di DPRD dalam menggendalikan anggota DPRD masih sangat dominan. Akuntabilitas anggota DPRD kepada rakyat tidak pernah dilakukan, dan mekanismenya sampai sekarang juga belum ada perangkat hukum yang mengatur. Akibatnya sepak terjang anggota DPRD tetap tidak dapat dikontrol secara langsung oleh konstituen. Pergantian antar waktu juga sangat tergantung dari kebijakan Parpol melalui fraksi-fraksi yang ada di DPRD. Oleh sebab itu tidaklah mengherankan jikalau antara anggota DPRD dengan rakyat pemilih tidak ada ikatan keterwakilan yang memadai.
4. Mekanisme kerja fraksi-fraksi dalam menampung dan menyalurkan kehendak atau aspirasi masyarakat daerah dalam perumusan dan pembentukan kebijakan publik melalui pembentukan Perda. Sampai saat ini kedudukan fraksi – walaupun bukan alat perlengkapan DPRD – sangatlah dominan. Tidak sedikit Raperda yang sudah disepakati oleh komisi, gabungan komisi ataupun Pansus gagal disetujui oleh DPRD, hanya gara-gara fraksi tidak menyetujui dalam rapat paripurna. Dengan demikian secara empiris posisi fraksi dalam pembentukan Perda sangat menentukan. Jika Fraksi masih tetap diposisikan seperti ini, maka jalan satu-satunya adalah memberikan penguatan kepada fraksi-fraksi dalam menampung dan merumuskan aspirasi masyarakat daerah untuk dituangkan dalam produk hukum (perda). Caranya adalah dengan melengkapi fraksi-fraksi tersebut dengan staff ahli lintas sektoral. Bukan staf ahli yang disediakan oleh masing-masing Parpol.
5. Mekanisme dan sistem pengawasan internal anggota DPRD dalam melaksanakan fungsi dan kewenangannya. Kode etik (code of conduct) bagi anggota DPRD sampai saat ini dirumuskan secara internal oleh DPRD. Padahal secara teoritis anggota DPRD adalah wakil-wakil rakyat. Oleh sebab itu code of conduct sebaiknya dirumuskan oleh DPRD bekerja sama dengan stakeholder (pemangku kepentingan) yang ada di masyarakat. Substansi Code of conduct itu harus dimuat dalam satu kesatuan dengan Peraturan Tata tertib anggota DPRD atau lebih tepat dimuat dalam revisi UU No. 32 Tahun 2004 atau dimuat dalam UU Susduk. Sehingga masyarakat mengetahui dan ikut melakukan pengawasan terhadap perilaku anggota DPRD. Substansi code of conduct ini secara umum dan berlaku untuk seluruh DPRD di Indonesia. Substansi code of conduct dan perilaku keseharian yang menyimpang dari anggota DPRD, dapat digambarkan dalam bagan di bawah ini.

PRINSIP CODE OF CONDUCT PERILAKU KESEHARIAN YANG MENYIMPANG DARI ANGGOTA DPRD
Selflessness: Anggota hanya melayani kepentingan publik dan tidak diperbolehkan memberikan keuntungan atau kerugian pada seseorang atau kelompok secara tidak layak (improperly).
1. merekomendasikan kepada kroninya (keluarga) dan anggota Parpol untuk mendapatkan proyek di pemerintah;
2. melayani kepentingan publik tetapi sebenarnya kepentngan pribadi dan Parpol ikut andil di dalamnya;
3. mendahulukan kepentingan sendiri dan kroninya. (Lowongan jabatan : mendahulukan saudara dan kroni)
4. Memakai mobil dinas untuk kepentingan kelompok atau partainya (keluarga) diganti Platnya.
5. merekomendasikan fasilitas publik yang berdekatan dengan tanah milik atau kelompoknya.
6. pelanggaran standart operasional pelayanan publik.
Honesty and Integrity: Anggota tidak diperbolehkan menempatkan dirinya pada situasi dimana kejujuran dan integritasnya dipertanyakan, berperilaku tidak layak serta harus menghindari segala perilaku tersebut dalam semua kegiatan/acara.
1. mengambil keputusan yang tidak konsisten (gampang berubah), hal ini disebabkan karena kepentingan pribadi, kelompok, golongan (kepentingan terselubung).
2. meminta amplop (pelicin) seolah-olah anggota telah melakukan jasa tertentu.
3. melakukan penipuan di masyarakat (bisnis dll) : terlibat di dalam suatu propaganda yang tingkat kualitasnya belum terbukti;
4. membuat laporan pertanggung jawaban kegiatan yang dianggarkan dari lembaga namun kegiatan tersebut tidak dilaksanakan (reses fiktif).
5. ingin mendapat pelayanan lebih dahulu dalam pelayanan publik. Contoh dalam hal mengurus perijinan.
Objectivity: Anggota harus mengambil keputusan berdasarkan fakta, termasuk saat membuat perjanjian, kontrak atau merekomendasikan seseorang untuk mendapatkan penghargaan (rewards or benefit).
1. Like and dislike contohnya : memberikan sebuah rekomendasi atau keputusan yang dilandasi oleh suka/tidak suka kepada seseorang. Baik bersifat positif/negatif. Contoh kalau terhadap kelompoknya dianggap baik, sebaliknya terhadap lawan politik dianggap tidak baik.
2. mengambil sebuah keputusan yang tidak berdasarkan aturan, tetapi berdasar pada kebijakan politik. Contohnya mengusulkan PAW.
3. mengambil keputusan berdasarkan data yang tidak jelas. Contoh : mark up anggaran, kegiatan-kegiatan fiktif, memberikan bantuan yang tidak tepat sasaran/ tidak sesuai program

Accountability: Anggota harus mempunyai akuntabilitas dihadapan publik terhadap seluruh tindakannya, dan harus sepenuhnya dapat bekerjasama serta jujur dengan penuh kehati-hatian.
1. menganggarkan barang (laptop) yang tidak sesuai dengan porsinya (mark up anggaran)
2. membuat peraturan yang justru membuat kacau ditengah-tengah masyarakat. (Perda)
3. mark up anggaran.
Openness: Anggota harus selalu terbuka dalam segala tin-dakan yang mencakup kewenangannya serta harus mempunyai penjelasan terhadap tindakan-tindakannya tersebut.
1. tidak melakukan kontrol terhadap regulasi yang benar-benar merugikan masyarakat. (Lingkungan hidup – pembuangan limbah pabrik)
2. mendirikan lembaga yang tdk ada dasar legalitasnya. Contohnya Panitia Legislasi (seharusnya kalau di daerah ad hoc, tetapi dipermanenkan supaya ada uang tunjangan)
Personal Judgement: Anggota harus memperhatikan pandangan anggota lain, termasuk kelompok politik mereka, namun harus mempunyai kesimpulan sendiri terhadap isu yang dibicarakan, dan bertindak dalam lingkup kesimpulan-kesimpulan tersebut.
1. mengatasnamakan lembaga pdhal untuk kepentingan pribadi, kelompoknya
2. membangun opini publik dengan cara membunuh karakter anggota DPRD yang lain yang tidak sependapat.
3.
Respect for Others: Anggota harus mengedepankan kesetaraan dengan tidak melakukan diskriminasi hukum terhadap semua orang, dan dengan memperlakukan orang dengan kehormatannya tanpa memperhatikan ras, umur, agama, gender, orientasi seksual atau ketidakmampuan.

Duty to Uphold the Law: Anggota harus menegakkan hukum, dalam segala kondisi, berlaku dalam keserasian dan keper-cayaan yang diberikan publik kepadanya.

Stewardship: Anggota harus melakukan apa pun yang dapat mereka lakukan, untuk meyakinkan bahwa otoritas mereka menggunakan sumber-sumber yang prudent dan dalam lingkup hukum.

Leadership: Anggota harus mendepankan dan mendukung prinsip-prinsip ini dengan jiwa kepemimpinan dan selalu bertindak dalam jalur yang menjaga keyakinan publik.


Penegakan Code of conduct bagi anggota DPRD tidak dapat berjalan dengan baik jikalau Badan Kehormatan tidak berfungsi secara optimal. Problematika yang dihadapi oleh BK-DPRD dalam penanganan kasus pelanggaran code of conduct, yaitu :
a. Keanggotaan BK-DPRD yang sifatnya tetap justru menghambat penanganan secara fair jika pelanggaran justru dilakukan oleh anggota BK-DPRD sendiri;
b. Kedekatan hubungan antara pelanggar (anggota DPRD) dengan Parpol induk via fraksi mengakibatkan punishment tidak berjalan;
c. Acara pemeriksaan pada umumnya tertutup;
d. Tuduhan pelanggaran code of conduct sering penuh dengan muatan kepentingan politik, artinya terbuka untuk dipergunakan sebagai sarana untuk menjatuhlan lawan politik (caracter assasination);
e. Pada umumnya DPRD belum memiliki peraturan “acara” pemeriksaan pelanggaran code of conduct;
f. Berat ringannya pelanggaran code of conduct dan berat ringannya sanksi, pada umumnya berdasarkan persepsi orang per orang. Belum ada kepastian ukuran; dan
g. Mekanisme BK-DPRD belum proaktif. Hanya menunggu laporan. BK DPRD belum memiliki standard baku investigasi.
Terkait dengan problematik yang dihadapi oleh BK-DPRD tersebut di atas, maka untuk menunjang kapasitas dan kemampuan anggota DPRD dalam menjalankan kewenangannya BK-DPRD di masa mendatang harus :
1. Membangun kerja sama dengan Parpol. Misalnya Parpol harus melaporkan ke BK-DPRD dan publik mengenai sumbangan periodik yang diberikan wakilnya di DPRD, termasuk yang langsung disalurkan ke parpol;
2. Bersama dengan pimpinan DPRD menertibkan pihak-pihak di internal DPRD yang selama ini disinyalir sering menjadi “bandar” pembagian amplop kepada anggota DPRD terkait dengan pembahasan Raperda atau pelaksana fungsi-fungsi lainnya;
3. Bersama dengan pimpinan DPRD bekerja sama dengan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dalam hal merumuskan definisi gratifikasi dan prosedur standard pemrosesan kasusnya baik di tingkat BK DPRD, Pimpinan DPRD, Parpol, maupun institusi penegak hukum;
4. Memperbaiki mekanisme pemrosesan kasus yang ditangani BK DPRD agar lebih mandiri dan terlepas dari hambatan prosedural maupun politik;
5. Ke depan BK DPRD harus mengambil inisiatif jika issu publik mulai muncul berkaitan dengan adanya pelanggaran code of conduct. Perlu dikatahui bahwa di dalam Tatib DPRD, tidak ada larangan untuk melakukan hal itu;
6. Pengaturan bahwa rapat-rapat BK DPRD bersifat tertutup seharusnya tidak diartikan bahwa BK DPRD tidak memiliki wewenang untuk menjelaskan kepada publik hasil proses penelusuran dan persidangan yang dilakukan termasuk pertimbangan-pertimbangan yang dikemukakan;
7. Tata Cara pemeriksaan atas pelanggaran code of conduct harus segera disusun oleh BK DPRD dan berpedoman pada UU Susduk atau UU Pemerintahan Daerah. Tata cara ini harus disebar luaskan kepada publik agar publik memahami prosedur dan mekanisme pelaporan;
8. BK DPRD menciptakan mekanisme pertanggungjawaban publik atas laporan hasil pemeriksaan yang dilakukan agar tidak menimbulkan interpretasi di masyarakat yang justru akan mengurangi nilai keabsahan keputusan BK DPRD di mata publik;
9. BK DPRD harus memiliki tim investigasi Pelanggaran code of conduct yang dalam aktifitasnya bekerja sama dengan pihak-pihak terkait, seperti kepolisian. LSM, Perguruan Tinggi dan Parpol.

C. Arah Agenda Penguatan Kelembagaan dan Supporting System DPRD.
Berpijak dari problematik dan argumentasi tersebut di atas, maka arah agenda penguatan kelembagaan dan supporting system DPRD meliputi :
1. Revitalisasi fraksi-fraksi yang ada di DPRD yang diarahkan kepada prinsip keberpihakan masyarakat daerah secara umum. Bukan lagi keberpihakan kepada masing-masing parpol;
2. Sistem dan mekanisme rekriutmen kader masing-masing Parpol yang lebih transparan dan berbasis pada kapasitas dan performance guna menunjang kualitas anggota DPRD;
3. Penegasan mekanisme akuntabilitas publik anggota DPRD;
4. Standarisasi code of conduct yang sama untuk semua DPRD harus tersusun dan dituangkan dalam UU Susduk atau UU Pemerintahan Daerah;
5. Komposisi keanggotaan BK-DPRD yang mencerminkan kompisisi keterwakilan rakyat. Artinya anggota BK-DPRD tidak hanya diambil dari internal DPRD melainkan melibatkan komponen masyarakat daerah yang konsens terhadap pemberdayaan parlemen daerah. Anggota BK-DPRD juga tidak bersifat tetap, melainkan ad hoc.
6. Mekanisme hubungan DPRD dengan Lembaga Perwakilan lain (DPR dan DPD) perlu dirumuskan. Hal ini dimaksud agar ada sinergitas keterwakilan rakyat dalam sistem keparlemenan Indonesia, karena selama ini hubungan antara DPRD dengan lembaga perwakilan rakyat di tingkat Pusat terputus. Sinergitas hubungan ini juga dapat dipergunakan untuk mengeleminir terjadinya Perda-perda yang bermasalah; dan
7. Penguatan Sekretariat DPRD yang tidak hanya menjalankan fungsi-fungsi administratif dan protokoler, melainkan juga menjalankan fungsi Penelitian dan Pengembangan termasuk penyediaan staf ahli bagi anggota DPRD.

D. Menyusun Naskah Akademik.
Setelah keluarnya Undang-Undang No 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perudang-undangan, sampai saat ini belum ada model atau desain baku untuk menyusun Naskah Akademik (khususnya Undang-Undang atau Peraturan Daerah). Bahkan Peraturan Presiden No. 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden juga tidak mengatur secara rinci mengenai model atau desain baku Naskah Akademik. Demikian juga Qanun Aceh No. 3 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan Qanun. Oleh sebab itulah tidak mengherankan jikalau para ahli legal drafting banyak mempergunakan model atau desain yang berbeda-beda pada waktu menyusun Naskah Akademik Rancangan Peraturan Perundang-undangan.
Dari buku-buku (literatur) yang penulis temukan, pada umumnya hanya menyampaikan Teknik Penyusunan Rancangan Peraturan Perundang-undangan yang sudah dalam bentuk pasal per pasal. Padahal sebelum sampai pada bentuk atau sistematika pasal demi pasal seyogyanya perlu disampaikan kerangka pemikiran dan kajian akademik agar materi muatan Rancangan Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat dipertanggung jawabkan secara akademik.
Memang ada buku yang sangat komprehensif yang ditulis oleh Maria Farida Indrati Suprapto (Guru Besar Bidang Hukum Perundang-Undangan FH-UI Jakarta) yang berjudul “Ilmu Perundang-Undangan (Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan)”, dan “Ilmu Perundang-Undangan (Proses dan Teknik Pembentukannya)” - namun lagi-lagi kedua buku tersebut juga belum banyak menyajikan bagaimana model atau desain baku penyusunan atau perumusan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Perundang-undangan disusun.
Dalam salah satu bukunya, Maria Farida Indrati Soeprapto mengemukakan bahwa walaupun kewajiban untuk menyusun suatu Naskah Akademik serta bentuk Naskah Akademik tersebut sampai saat ini tidak ditentukan dengan pedoman yang jelas, namun demikian sejak tanggal 20 Desember 1994 Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional telah mengeluarkan Keputusan No. G 159.PR.09.10 Tahun 1994 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan Naskah Akademik Peraturan Perundang-undangan. Petunjuk teknis ini oleh sebagian besar departemen digunakan sebagai acuan untuk membentuk Naskah Akademik dalam pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Namun demikian, setelah keluarnya Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, maka keberadaan Keputusan Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman tersebut, tentu saja menjadi tidak mengikat bagi sebagian besar departemen untuk menyusun Naskah Akademik Rancangan Peraturan Perundang-undangan.
Kemudian dalam buku hasil penelitan yang dilakukan oleh Mahendra Putra Kurnia dan kawan-kawan, berjudul ”Pedoman Naskah Akademik Perda Partisipatif”, juga dikemukakan bahwa pada dasarnya tidak ada bentuk/format baku dari sebuah Naskah Akademik, tetapi biasanya Naskah Akademik disusun secara sistematis dalam bab-bab. Sehubungan dengan hal inilah, penulis mencoba untuk memberikan 3 alternatif model atau Desain Naskah Akademik yang dimaksud yakni :
1. Model atau Desain Menurut Keputusan Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional No. G.159.PR.09.10 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan Naskah Akademik Peraturan Perundang-undangan; dan
2. Alternatif model atau desain menurut versi penulis yang terdiri dari dua model atau desain, yakni untuk Rancangan Perundang-undangan baru (mengganti Peraturan Perundang-undangan atau membentuk Peraturan Perundang-undangan yang memang belum pernah ada), serta desain Naskah Akademik untuk Rancangan Peraturan Perundang-undangan yang hanya sekedar mengubah suatu Peraturan Perundang-undangan yang sudah ada, khususnya mengubah beberapa pasal dari Peraturan Perundang-undangan lama.
Model atau Desain Naskah Akademik Menurut Keputusan Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional No. G. 159.PR.09.10 Tahun 1994.

NASKAH AKADEMIK
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
TENTANG
...............................................................
I. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang.
1.1. Pokok fikiran tentang konstatering fakta-fakta yang merupakan alasan-alasan pentingnya materi hukum yang bersangkutan harus segera diatur.
1.2. Daftar Peraturan Perundang-undangan yang akan berkaitan dan dapat dijadikan dasar hukum bagi pengaturan materi hukum yang bersangkutan.
2. Tujuan dan kegunaan yang ingin dicapai.
3. Metode pendekatan;
4. Pengorganisasian.

II. RUANG LINGKUP NASKAH AKADEMIK
1. Ketentuan Umum.
Memuat istilah-istilah/pengertian-pengertian yang dipakai dalam Naskah Akademik, beserta arti dan maknanya.
2. Materi
Memuat konsepsi, pendekatan dan asas-asas dari materi hukum yang perlu diatur, serta pemikiran-pemikiran normanya yang disarankan, sedapat mungkin dengan mengemukakan beberapa alternatif.

III. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan berisi:
1) Rangkuman pokok isi Naskah Akademik.
2) Luas lingkup materi yang diatur, dan kaitannya secara sistemik dengan lain-lain Peraturan Perundang-undangan.
3) Bentuk pengaturan yang akan dikaitkan dengan materi muatan.
2. Saran mengenai:
1) Apakah semua materi Naskah Akademik sebaiknya diatur dalam bentuk Undang-Undang atau ada sebagian yang sebaiknya dituangkan dalam peraturan pelaksana atau peraturan yang lain;
2) Usulan mengenai penetapan skala prioritas penyusunan Naskah Akademik Peraturan Perundang-undangan dan saat paling lambat RUU/RPP harus selasai diproses, beserta alasannya/sebabnya.

IV. LAMPIRAN
1. Daftar Kepustakaan.
2. Inventarisasi Peraturan yang relevan dan masih berlaku.
3. Inventarisas permasalahan hukumnya.
4. Laporan hasil penelitian di lapangan (kalau ada).
5. Berita acara proses penyusunan Naskah Akademik.
6. Saran-saran dan makalah-makalah tertulis dari anggota Panitia Penyusun Naskah Akademik.
7. Berita Acara Rapat-rapat.


E. Penutup.
Demikian sumbangan pemikiran yang dapat penulis sampaikan dalam acara Lokalatih Bagi Calon Anggota Legislasi Terpilih. Semoga permanfaat.

Kotagede; 30 Juni 2009
Penulis;



B. Hestu Cipto Handoyo

KETERANGAN AHLI UJI MATERI UU KOPERASI

KONSEKUENSI MAKNA KETENTUAN UMUM PASAL 1 ANGKA 1 UU NO. 17 TAHUN 2012 TERHADAP PRINSIP DAN ASAS KOPERASI Oleh: Dr. Benediktus H...