Mengenai Saya

Foto saya
Yogyakarta, DIY, Indonesia
Dr. Benediktus Hestu Cipto Handoyo, S.H.,M.Hum atau sering dipanggil Ben atau Hestu, lahir di Blora Jawa Tengah pada tanggal 3 Juli 1962. Suami dari Maria Bernadeth Maitimo, SH dan bapak dari dua anak Giovanni Battista Maheswara, S.H.,M.H dan Alexandro Kevin Maheswara, S.H. ini, menyelesaikan pendidikan di SD. Katolik Kridadharma Blora tahun 1974. Kemudian melanjutkan di SMP Negeri I Blora lulus tahun 1978, serta SMA Jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) di SMA Katolik Wijayakusuma Blora, lulus tahun 1981. Jenjang Pendidikan Tinggi ditempuh di Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta, dan Lulus Sarjana Hukum pada tahun 1988. Melanjutkan studi pada Program Pascasarjana (S2) Universitas Padjadjaran Bandung lulus dan memperoleh gelar Magister Humaniora (M.Hum) pada tahun 1995. Pada tanggal 20 Desember 1997 sampai dengan 4 Maret 1998 mendapatkan kesempatan mengikuti kursus di LEMHANNAS (Lembaga Pertahanan dan Keamanan Nasional) Jakarta. Kemudian pada tahun 2018 Lulus pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Katolik Parahyangan Bandung

Sabtu, 21 Mei 2011

KADER PINDAH PARTAI VERSUS PENGUATAN PARTAI POLITIK

KADER PINDAH PARTAI VERSUS
PENGUATAN PARTAI POLITIK*)

Oleh:

B. Hestu Cipto Handoyo.**)


Definisi Partai Politik dan Fenomena “Kutu Loncat” Kader Parpol.
Keberadaan Partai Politik dalam kehidupan ketatanegaraan pertama kali dijumpai di Eropa Barat, yakni sejak adanya gagasan bahwa rakyat merupakan faktor yang patut diperhitungkan dan diikutsertakan dalam proses politik. Dengan adanya gagasan untuk melibatkan rakyat dalam proses politik (kehidupan dan aktifitas ketatanegaraan), maka secara spontan Partai Politik berkembang menjadi penghubung antara rakyat disatu pihak dan pemerintah di pihak lain.
Dengan demikian, dapat ditarik pengertian bahwa sebagai organisasi yang secara khusus dipergunakan untuk sarana pengubung antara rakyat dengan pemerintah, keberadaan Partai Politik sejalan dengan munculnya paham demokrasi dan kedaulatan rakyat dalam penyelenggaraan sistem ketatanegaraan.
Dalam rangka memahami Partai Politik sebagai salah satu komponen Infra Struktur Politik dalam negara, ada beberapa pengertian Partai Politik, yakni:
a. Carl J. Friedrich: Partai Politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan pemerintah bagi pemimpin Partainya, dan berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada anggota Partainya kemanfaatan yang bersifat ideal maupun materiil.
b. R.H. Soltou: Partai Politik adalah sekelompok warga negara yang sedikit banyak terorganisir, yang bertindak sebagai satu kesatuan politik, yang dengan memanfaatkan kekuasaan memilih, bertujuan menguasai pemerintahan dan melaksanakan kebijaksanaan umum mereka.
c. Sigmund Neumann: partai Politik adalah organisasi dari aktivis-aktivis politik yang berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat atas dasar persaingan melawan golongan atau golongan-golongan lain yang tidak sepaham.
d. Miriam budiardjo: Partai Politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama dengan tujuan memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik (biasanya), dengan cara konstitusional guna melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan mereka.
Memperhatikan pengertian-pengertian di atas, dapat ditarik pemahaman bahwa didirikannya Partai Politik itu bertujuan untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan dalam pemerintahan guna melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang telah digariskan oleh Partai Politik yang bersangkutan. Untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan dalam pemerintahan tersebut, maka langkah yang dilakukan adalah bersifat konstitusional. Hal ini berarti keberadaan Partai Politik juga dimaksudkan sebagai sarana untuk meredam konflik kepentingan ataupun persaingan yang muncul di lingkungan masyarakat dalam perebutan kekuasaan di pemerintahan negara.
Berdasarkan pemahaman yang seperti itu, maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada satupun Partai Politik didirikan tanpa tujuan yang berkaitan dengan kekuasaan pemerintahan. Dengan demikian, keberadaan partai politik dalam kehidupan ketatanegaraan modern tidak lain adalah untuk mewujudkan tatanan kehidupan kenegaraan yang lebih beradab. Hal ini disebabkan dalam sejarahnya, perebutan kekuasaan pemerintahan dalam suatu negara sering dilakukan dengan cara kekerasan dan pertumpahan darah.
Menurut Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Partai adalah pihak, segolongan orang, perkumpulan yang seasas, sehaluan, setujuan dan sebagainya dalam ketatanegaraan. Sedangkan arti politik menurut Kamus Lengkap bahasa Indonesia adalah pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan; segala urusan dan tindakan kebijaksanaan, siasat dan sebagainya mengenai pemerintahan sesuatu negara atau terhadap negara lain. Dari pemahaman secara terminologis seperti ini dapat ditarik pemahaman bahwa Partai Politik tidak lain adalah segolongan orang yang berkumpul atas dasar kesamaan asas, haluan dan tujuan yang aktifitasnya berkaitan dengan urusan dan tindakan kebijaksanaan termasuk siasat mengenai pemerintahan suatu negara. Dengan demikian tidak dapat dipungkiri bahwa yang namanya Partai Politik akan selalu erat kaitannya dengan kesamaan asas, haluan, tujuan, kebijaksanaan pemerintah dan siasat.
Menurut UU No. 2 tahun 2008 tentang Partai Politik disebutkan bahwa Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jika kita simak lebih mendalam pengertian ini, maka cita-cita yang pertama kali diemban oleh Partai politik tidak lain dan tidak bukan adalah memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota. Baru kemudian memperjuangkan masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pendefinisian yang seperti ini menunjukkan bahwa apapun idealisasi dari pendirian partai politik itu, tetap saja akan memperjuangkan kepentingan anggota terlebih dahulu. Bahkan dengan pendefenisian tersebut, wacana yang menganggap Partai Politik hanya mementingkan anggotanya secara yuridis formal ditegaskan. Pertanyaannya adalah kepentingan apakah yang diperjuangkan oleh Partai politik itu untuk para anggotanya?
Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, maka pada hakikatnya Partai Politik adalah sekelompok manusia (warga negara) yang terorganisir secara teratur baik dalam hal pandangan, tujuan maupun tata cara rekrutmen keanggotaan dengan tujuan pokok yaitu menguasai, merebut ataupun mempertahankan kekuasaan dalam pemerintahan negara secara konstitusional.
Tujuan yang demikian inilah mengakibatkan orientasi partai politik tidak lain adalah kekuasaan. Menurut Johan Galtung ada dua dimensi sifat kekuasaan, yaitu dimensi yang mempesona sekaligus dimensi yang menakutkan. Kekuasaan mempunyai sifat dalam konteks dimensi yang mempesona karena dengan kekuasaan itu orang atau kelompok orang akan memperoleh berbagai fasilitas baik materiil maupun moril, dan sekaligus dengan kekuasaan yang dimiliki tersebut akan dapat mengendalikan chaos (kesemrawutan) di dalam masyarakat. Sedangkan dimensi sifat yang menakutkan karena kekuasaan itu cenderung untuk disalahgunakan, menindas, manipulatif yang pada akhirnya sering menyengsarakan masyarakat baik secara individual maupun struktural.
Fenomena kekuasaan yang demikian inilah mengakibatkan Partai Politik menjadi sarana efektif bagi seseorang untuk dipergunakan sebagai “alat angkut” meraih kekuasaan. Dengan demikian, siapapun yang berada di dalam “kapal” Partai Politik selalu berlomba-lomba untuk menjadi yang terdepan dalam organisasi yang disebut Partai Politik. Sangatlah jarang dan tidak bernalar jikalau seseorang menjadi anggota Partai Politik tanpa dilandasi oleh tujuan untuk memperoleh kekuasaan. Oleh sebab itulah jika, kita menyadari hal seperti ini, maka tidak perlu terkejut apabila tokoh-tokoh elit partai politik sering berebut untuk mendapatkan posisi yang strategis di Partai Politiknya. Bahkan perebutan yang dilakukan tidak jarang menimbulkan konflik internal. Fenomena semacam inilah yang mengakibatkan tidak sedikit kader partai politik yang berganti haluan, meloncat pagar, atau pindah ke partai Politik lain alias “kutu loncat” manakala peluang untuk memperoleh kekuasaan makin lama makin kecil.
Jadi dapat disimpulkan bahwa dari pengertian partai politik yang di dalamnya mengandung tujuan merebut atau mempertahankan kekuasaan itu sendirilah yang mengakibatkan tidak sedikit kader-keder yang makin pudar peluangnya untuk memperoleh posisi kekuasaan yang cukup signifikan menjadi “kutu loncat”. Bahkan jika kader-kader ini masih merasa memiliki masa pendukung di internal partai Politik, tidak sedikit yang mendirikan Partai Politik “sempalan” dari Partai Politik yang dulu mereka ikuti.

Primordialisme Paternalistik Partai Politik dan Fenomena “Kutu Loncat” Kader Parpol.
Di dalam struktur masyarakat yang masih paternalistik, maka pilihan rakyat untuk berafiliasi kepada suatu Partai Politik sering dipengaruhi oleh tokoh-tokoh politik yang ada di dalam Partai Politik tersebut. Oleh sebab itulah di dalam negara yang struktur masyarakatnya masih bersifat primordial paternalistik, Partai Politik gemar menempatkan tokoh-tokoh politik yang dianggap memiliki kharisma, baik itu karena kepandaian atau kecerdasan politik dari sang tokoh maupun popularitas sang tokoh yang bersumber dari “dinasti” tokoh politik tertentu.
Menggalang masa dengan mempergunakan tokoh-tokoh politik kharismatik memang paling mudah dilakukan, karena dalam struktur masyarakat yang primordial paternalistik ikatan emosional antara rakyat dengan tokoh-tokoh politik tersebut relatif kuat. Hal ini mengingat masyarakat yang primordial paternalistik membutuhkan tokoh panutan. Oleh sebab itulah, jika kita perhatikan pertumbuhan dan perkembangan Partai Politik pasca reformasi, maka sebagian besar partai-partai Politik yang ada di Indonesia didirikan oleh tokoh-tokoh politik yang memilik kharisma tersebut. Pendirian Partai Politik yang hanya mengandalkan pada tokoh politik kharismatik ini bersifat rapuh, karena kharismatik dari seseorang tidaklah mampu dipertahankan sepanjang segala masa. Pendek kata, setiap zaman yang berubah adalah milik dari generasi yang ada pada saat itu.
Kerapuhan Partai Politik semacam itu akan terjadi, apabila tokoh-tokoh politik kharismatik “zamannya” tidak mampu untuk mentrasfer “tongkat estafet” kepemimpinan dengan cara kaderisasi yang kuat dan berkelanjutan. Lebih konyol lagi jikalau peralihan “tongkat estafet” kepemimpinan itu mempergunakan pola “dinasti politik” dan/atau “money politic”. Peralihan “tongkat estafet” kepemimpinan dengan mempergunakan model yang terakhir itulah, pada gilirannya akan memunculkan politikus-politikus “kutu loncat”, yang disebabkan munculnya kekecewaan dari para kader yang cukup mendalam. Kekecewaan ini tentu akibat tertutupnya peluang untuk meraih kekuasaan di internal Partai Politik yang bersangkutan, atau menurut idealisme para kader, Partai Politik sudah tidak fair dalam menilai potensi politik dari masing-masing kader yang dimiliki. Kondisi semacam ini, pada gilirannya akan berdampak pada hengkangnya para kader dan berpindah ke Partai Politik lainnya. Bahkan tidak jarang hengkang ke Partai Politik yang ideologinya jauh berseberangan.
Kondisi tersebut pada umumnya diawali dengan munculnya konflik internal Partai Politik yang dilatar belakangi oleh perebutan kekuasaan di tubuh Partai Politik. Mekanisme yang biasanya diatur oleh Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Partai Politik disimpangi, karena kepentingan politis yang bersifat pragmatis. Dengan demikian, terjadinya “kutu loncat” di lingkungan kader Partai Politik dalam kasus seperti ini, disebabkan oleh ketidak pecusan manajerial partai politik itu sendiri akibat masih tetap mengandalkan model-model dinasti Politik.

Demokrasi Transaksional dan Fenomena “Kutu Loncat” Kader Partai Politik.
Perjalanan demokrasi Indonesia setelah gerakan reformasi 1998 sungguh luar biasa dahsyatnya. Hampir seluruh relung-relung kehidupan politik negeri ini diwarnai dengan demokratisasi. Namun demikian sungguh sayang, demokrasi yang dibangun di negeri ini masih sebatas pada demokrasi prosedural dengan pendekatan kompetitif mayoritas dan minoritas. Budaya demokrasi yang dibarengi dengan penegakan hukum justru masih tetap jalan di tempat, bahkan kalau boleh mengatakan mundur jauh kebelakang dan lebih parah bila dibandingkan dengan saat rezim Orde Baru berkuasa.
Jika membandingkan perkembangan demokrasi di belahan dunia lain, khususnya Eropa Barat, perkembangan demokrasi Indonesia justru mengalami keterbalikan paradigmatik terutama ditinjau dari kebangkitan ekonomi. Di Eropa Barat perkembangan demokrasi berbanding lurus dengan pertumbuhan ekonomi, saat terjadi revolusi industri di kawasan tersebut. Dengan adanya revolusi industri inilah, muncul golongan menengah yang memiliki kekuatan di bidang ekonomi dan modal kapital yang besar. Oleh karena itu golongan menengah ini kemudian berupaya masuk ke dalam sistem politik untuk ikut berperan dalam pengambilan kebijakan-kebijakan politik.
Masuknya Golongan menengah inilah yang kemudian mendominasi kekuatan infra dan supra struktur politik negara dengan tujuan mengamankan asset-asset ekonomi dan modal kapital yang dimiliki agar tetap terselamatkan melalui keterlibatan mereka dalam pengambilan keputusan politik. Oleh sebab itu, menurut penganut Marxisme demokrasi yang tumbuh subur di Eropa Barat sejatinya adalah tetap merupakan kemenangan kaum borjuis, sementara kaum proletar tetap tertindas dan teraniaya.
Kondisi perkembangan demokrasi yang seperti ini justru tidak terjadi di Indonesia, karena kebangkitan pilar-pilar demokrasi Indonesia justru disebabkan oleh keruntuhan ekonomi dan krisis multidimensional yang pada akhirnya memicu gerakan reformasi 1998. Dengan demikian, kalau di Eropa Barat kemunculan para elit politik yang berasal dari golongan menengah di lingkungan infra dan supra politik bertujuan mengamankan asset-asset yang dimiliki, sedangkan di Indonesia justru kemunculan elit-elit politik itu hanya menjadikan infra dan supra politik sebagai alat yang bersifat ekonomis untuk mendatangkan keuntungan.
Oleh karena itu disetiap kompetisi perebutan kekuasaan, utamanya di lingkungan eksekutif maupun legislatif, yang mempergunakan mekanisme demokrasi prosedural, akan dipenuhi dengan nuansa transaksional, sehingga demokrasi prosedural berubah watak menjadi demokrasi transaksional. Demokrasi macam inilah yang dalam perkembangannya memunculkan model demokrasi para bandit.
Kompas 18-11-2011 mengemukakan bahwa dari 33 Gubernur, 17 diantaranya tersangkut masalah hukum. Ini berarti separo Provinsi di Indonesia memiliki Kepala Daerah yang tidak bersih dari persoalan hukum. Pertanyaannya adalah persoalan hukum apakah itu? Jawaban yang bersifat hipotetis adalah perkara korupsi. Hal ini merupakan salah satu indikasi dari berbagai indikasi bahwa demokrasi transaksional telah memunculkan para bandit yang memperoleh ruang-ruang kekuasaan untuk memperkaya diri sendiri atau kelompok. Di sinilah yang pada akhirnya menumbuhsuburkan mafia hukum disegala bidang. Pertanyaannya bagaimana fenomena demokrasi transaksional tersebut bila dikaitkan dengan kehidupan Partai Politik dan febomena “kutu loncat” kader Partai Politik?
Tidak dapat dipungkiri bahwa demokrasi transaksional semacam ini, juga melanda sebagian besar Partai Politik di Indonesia. Partai Politik tidak lagi dipergunakan sebagai alat atau sarana untuk memperjuangkan idealisme politik dari kader-kadernya, melainkan justru dipergunakan sebagai asset ekonomi untuk membangun kemegahan materiil. Menurut Arbi Sanit, di Indonesia sendiri hampir semua partai merupakan partai massa yang cair, bukan partai kader. Akibatnya politisi pindah partai politik dianggap hal yang lumrah. Politisi akan mencari tempat yang menurut dia merupakan persinggahan yang sesuai, sementara partai politik hanya berpikir soal berapa massa yang dibawa.
Persinggahan yang sesuai bagi politisi – sebagaimana dikemukakan oleh Arbi Sanit tersebut - tentu terkait dengan kekuasaan yang bersifat mempesona. Partai Politik dipergunakan sebagai sarana persinggahan untuk menyalurkan hasrat untuk memperoleh kekuasaan bagi para politisi yang sekaligus dijadikan sebagai sarana untuk mempertahankan asset ekonomi ataupun memperoleh keuntungan ekonomi. Bagi politikus yang sejak semula memang telah memiliki asset ekonomi karena yang bersangkutan adalah tokoh pengusaha “papan atas”, maka keberadaannya di Partai Politik tidak lain adalah agar asset ekonomi yang dimiliki tetap dapat dipertahankan bahkan dikembangkan di bawah “payung perlindungan” Partai Politik. Apalagi jikalau Partai politik tersebut menguasai tampuk kekuasaan negara. Pendek kata, jika Partai politik “persinggahan” tersebut menduduki tampuk kekuasaan negara, maka kebijakan-kebijakan politik negara sedapat mungkin dirumuskan untuk melindungi asset-asset ekonomi yang dimiliki oleh politikus tersebut.
Jika hasrat kekuasaan dari para politikus (kader) yang bersangkutan ternyata tidak kesampaian melalui Partai Politiknya, karena tidak menduduki posisi elit di internal Partai politik, tidaklah mengherankan jikalau politikus (kader) Partai Politik tersebut akan menyeberang ke Partai Politik lain. Kondisi seperti ini sama saja, jika politikus (kader partai politik) mempergunakan Partai Politik hanya sebagai tempat untuk mencari nafkah. Semua ini bermuara dari demokrasi transaksional tersebut.

Memperkuat Partai Politik.
Sejarah kepartaian di Indonesia setelah katup demokrasi terbuka lebar sejak reformasi 1998 selalu diwarnai dengan terjadinya konflik internal yang pada akhirnya memunculkan fenomena “kutu loncat” kader Partai Politik . Hal ini sangat berbeda ketika rezim Orde Baru masih berkuasa di negeri ini. Pada saat itu intervensi dan pengendalian kehidupan Partai Politik di Indonesia sungguh sangat represif dan terbukti mampu memandulkan dinamika kehidupan Partai Politik. Restu pemerintah dalam hal ini Presiden menjadi dasar bagi kehidupan dan keberlangsungan Partai Politik. Tanpa restu itu jangan harap Partai Politik dapat berkembang dan memainkan peranannya dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia.
Untuk saat ini kondisi semacam itu memang sudah tidak lagi dijumpai. Namun celakanya kebebasan untuk mendirikan Partai Politik tidak diikuti dengan kesadaran para elit Partai Politik untuk secara kolektif mendewasakan kehidupan organisasi. Hal ini merupakan dampak dari mudahnya mendirikan Partai Politik di Indonesia. Konflik internal Partai Politik termasuk di dalamnya adalah berpindahnya kader partai politik ke partai politik lain selalu muncul bersamaan dengan kepentingan elit Partai Politik itu sendiri yang semakin beragam. Pada umumnya konflik internal Partai Politik disebabkan oleh adanya perebutan kekuasaan di tubuh Partai Politik itu sendiri. Sehingga aturan main yang sudah tertuang di dalam AD/ART sering diabaikan. Lagi-lagi kepentingan elit mengalahkan dasar konstitusional Partai Politik.
Berpijak dari realitas semacam itu, maka jika Partai Politik itu menyadari akan arti pentingnya AD/ART yang diibaratkan sebagai konstitusi Partai Politik, konflik internal yang terjadi haruslah dikembalikan kepada ketentuan yang tercantum di dalam AD/ART tersebut. Oleh sebab itu solusi yang terbaik untuk menyelesaikan konflik internal Partai Politik tidak lain harus dikembalikan kepada dasar kontitusi Partai Politik itu sendiri. Terkait dengan konsep normatif seperti inilah, maka solusi yang dapat ditawarkan adalah :
1. solusi konflik dilakukan oleh internal Partai Politik dengan membentuk semacam komisi penegak konstitusi (AD/ART) yang posisinya berada di luar kepentingan pihak yang berkonflik.
2. Jika komisi yang dimaksud tidak ada dalam struktur organisasi Partai Politik, solusi dilakukan melalui jalur hukum (peradilan). Hal ini mengingat AD/ART Partai Politik disahkan melalui akta notaris dan berfungsi sebagai alat bukti yang kuat.
3. solusi juga bisa dilakukan melalui perantaraan lembaga mediasi dengan bersumber pada AD/ART Partai Politik.
4. diadakan kongres (Muktamar) Luar biasa Partai Politik yang bersangkutan. Karena Kongres/muktamar ini merupakan organ tertinggi Partai Politik.
5. jika konflik sudah mengarah pada perpecahan Partai Politik, solusi dapat juga dilakukan melalui konvensi internal Partai Politik untuk menguji keabsahan masing-masing pihak yang berkonflik. Konvensi ini dilakukan dengan melibatkan konstituen secara menyeluruh dengan memberikan kebebasan untuk melakukan pilihan.
Masih terkait dengan penyelesaian konflik tersebut di atas, UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik memberikan rambu-rambu sebagai berikut :
1. Perselisihan Partai Politik diselesaikan dengan cara musyawarah mufakat.
2. Jika musyawarah mufakat tidak tercapai, penyelesaian perselisihan ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan.
3. Penyelesaian di luar pengadilan dapat dilakukan melalui rekonsiliasi, mediasi, atau arbitrase Partai Politik yang mekanismenya diatur dalam AD dan ART.
Tidak dapat dipungkiri bahwa yang namanya Partai Politik adalah organisasi yang sarat dengan kepentingan. Penyelesaian konflik yang terjadi di tubuh Partai Politik jelas didominasi oleh kepentingan tersebut. Jika para pihak tetap bersikukuh dengan kepentingannya masing-masing, maka jalan yang terbaik adalah menyerahkan sepenuhnya pada penyelesaian melalui jalur hukum. Namun sayang, sampai saat ini jalur-jalur hukum (peradilan) di Indonesia juga penuh dengan mafia dan tingkat independensinya masih juga diragukan.
Partai Politik sebagai instrumen demokrasi sudah sepantasnya menjadi contoh bagi proses pembelajaran demokrasi yang penuh kedamaian, dan bukan anarkhi. Konflik di tubuh Partai Politik dan kepindahan kader Partai Politik ke Partai Politik lain, sejatinya menunjukkan ketidak dewasaan dalam berdemokrasi. Jika demokrasi dimaknai sebagai sebuah kelumrahan dalam perbedaan pendapat serta fair play, maka perbedaan pendapat tersebut tentunya harus dapat diselesaikan secara elegan.
Lain daripada itu, munculnya partai-partai kecil dan fenomena “Kutu loncat” kader Partai Politik sebagai akibat adanya konflik internal di tubuh partai sejatinya merupakan dampak dari sistem pemilu yang proporsional. Dalam sistem pemilu proporsional, Partai Politik-Partai Politik (besar maupun kecil) memang dimungkinkan akan memperoleh suara dalam pemilu. Namun demikian, jika hal ini terus menerus dilakukan justru akan mengakibatkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Partai Politik akan semakin terpuruk. Masyarakat akan berpandangan: “mengurus Partai Politik saja tidak mampu, kok mau mengurus rakyat dan negara”. Oleh sebab itulah sudah seharusnya elit Partai Politik jangan terlalu percaya diri dan selalu mengklaim bahwa dirinya-lah yang paling legitimate.
Tingkat legitimasi Partai Politik di mata masyarakat bukan terletak pada elit politik atau tokoh-tokoh yang ada di dalamnya, melainkan seturut dengan kecerdasan masyarakat dalam berpolitik, dan sangat ditentukan dari kemampuan Partai Politik dalam mengelola konflik yang ada di dalam tubuh Partai Politik itu sendiri. Ketika elit-elit Partai Politik tidak mampu mengelola konflik, maka saat itu jugalah “kutu-kutu loncat” kader Partai Politik berterbangan dimana-mana. Dan akhirnya rakyat akan mentertawakan perilaku politikus Indonesia serta mempertanyakan komitmen yang bersangkutan terhadap Partai Politiknya. Lebih lanjut, begitu rakyat mempertanyakan komitmen sang politikus “kutu loncat” ini, maka saat itu juga rakyat juga sudah memiliki gambaran tentang komitmen politikus “kutu loncat” tersebut terhadap negara.
Pertanyaan-pertanyaan rakyat tersebut akan semakin membahana di bumi pertiwi dan pada akhirnya mengakibatkan kepercayaan Rakyat Indonesia terhadap Partai Politik sebagai salah satu pilar infra struktur politik sedikit demi sedikit terkikis habis. Hal ini jelas sangat membahayakan proses konsolidasi Demokrasi Indonesia yang sedang berlangsung, karena partai politik merupakan rohnya demokrasi.

Kepustakaan.
Arbi Sanit dalam http://wartakota.co.id/detil/berita/46300/Kutu-Loncat-Karena-Partai-Bukan-Berbasis-Kader.

Dessy Anwar, 2001, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Karya Abditama, Surabaya, hlm. 312 dan 328.

Hestu Cipto Handoyo, B, 2009, Hukum Tata Negara Indonesia, Penerbit UAJY Yogyakarta, Yogyakarta.

Miriam Budiarjo, 1986, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, hlm. 159.




Kotagede, 21 Mei 2011
Salam Demokrasi,
B. Hestu Cipto Handoyo

KETERANGAN AHLI UJI MATERI UU KOPERASI

KONSEKUENSI MAKNA KETENTUAN UMUM PASAL 1 ANGKA 1 UU NO. 17 TAHUN 2012 TERHADAP PRINSIP DAN ASAS KOPERASI Oleh: Dr. Benediktus H...