Mengenai Saya

Foto saya
Yogyakarta, DIY, Indonesia
Dr. Benediktus Hestu Cipto Handoyo, S.H.,M.Hum atau sering dipanggil Ben atau Hestu, lahir di Blora Jawa Tengah pada tanggal 3 Juli 1962. Suami dari Maria Bernadeth Maitimo, SH dan bapak dari dua anak Giovanni Battista Maheswara, S.H.,M.H dan Alexandro Kevin Maheswara, S.H. ini, menyelesaikan pendidikan di SD. Katolik Kridadharma Blora tahun 1974. Kemudian melanjutkan di SMP Negeri I Blora lulus tahun 1978, serta SMA Jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) di SMA Katolik Wijayakusuma Blora, lulus tahun 1981. Jenjang Pendidikan Tinggi ditempuh di Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta, dan Lulus Sarjana Hukum pada tahun 1988. Melanjutkan studi pada Program Pascasarjana (S2) Universitas Padjadjaran Bandung lulus dan memperoleh gelar Magister Humaniora (M.Hum) pada tahun 1995. Pada tanggal 20 Desember 1997 sampai dengan 4 Maret 1998 mendapatkan kesempatan mengikuti kursus di LEMHANNAS (Lembaga Pertahanan dan Keamanan Nasional) Jakarta. Kemudian pada tahun 2018 Lulus pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Katolik Parahyangan Bandung

Selasa, 26 Juli 2011

PAW ANGGOTA DPRD

PAW ANGGOTA DPRD PROPINSI DAN KABUPATEN/KOTA
TANPA MENIMBULKAN MASALAH HUKUM
(Sebuah Wacana Singkat)*)

B. Hestu CH**)

Pendahuluan.
Undang-undang No. 27 tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) memberikan ketentuan bahwa pemberhentian antarwaktu bagi anggota DPRD Provinsi dan Kabupaten/kota terjadi karena meninggal dunia, mengundurkan diri atau diberhentikan. Dalam perspektif hubungan hukum, antara DPRD sebagai lembaga dan anggota yang diberhentikan, maka pemberhentian antarwaktu dapat dianggap sebagai tindakan pemutusan hubungan kerja secara sepihak. Baik itu oleh pihak anggota DPRD itu sendiri (karena meninggal dunia atau mengundurkan diri) maupun oleh pihak DPRD atau partai politik yang terkait melalui persyaratan dan mekanisme yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.
Secara konseptual pemutusan hubungan kerja yang dilakukan secara sepihak oleh DPRD atau Partai politik, dapat dipandang juga sebagai bentuk pemutusan hubungan kerja secara sepihak yang dilakukan oleh rakyat yang dalam hal ini dimanifestasikan atau dilaksanakan oleh Partai politik. Hal ini mengingat secara yuridis formal rekruitmen anggota DPRD yang dilaksanakan melalui Pemilu pesertanya tidak lain adalah partai politik.
Dari berbagai kasus Pemberhentian antarwaktu bagi anggota DPRD yang disebabkan meninggal dunia atau mengundurkan diri tidak menimbulkan persoalan hukum, karena hal itu dilatarbelakangi oleh kondisi yang secara individual dialami oleh anggota DPRD itu sendiri. Hal ini tentu berbeda jikalau pemberhentian antarwaktu disebabkan adanya pemberhentian sebagaimana ditentukan oleh UU MD3, yaitu:
a. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai anggota DPRD selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan apapun;
b. melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPRD;
c. dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
d. tidak menghadiri rapat paripurna dan/atau rapat alat kelengkapan DPRD yang menjadi tugas dan kewajibannya sebanyak 6 (enam) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah;
e. diusulkan oleh partai politik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
f. tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPRD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan umum;
g. melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini;
h. diberhentikan sebagai anggota partai politik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; atau
i. menjadi anggota partai politik lain.
Dari persyaratan pemberhentian antarwaktu tersebut, persoalannya yang perlu dibahas disini adalah Pemberhentian antarwaktu anggota DPRD yang bagaimanakah yang tidak menimbulkan masalah hukum, serta bagaimanakah upaya yang dilakukan untuk mengeleminir munculnya masalah hukum dkemudian hari?

Eksistensi Anggota DPRD Ditunjau dari Perspektif Sistem Pemilu.
Keberadaan anggota DPRD berdasarkan sistem Pemilu Indonesia memang unik. Satu sisi dia adalah wakil rakyat sedang disisi lain dia adalah wakil partai politik. Keunikan ini makin kelihatan, manakala sistem pemilu tahun 2009 mempergunakan model penentuan wakil definitif dari Partai politik sebagai anggota DPRD yang ditentukan oleh suara terbanyak masing-masing calon yang diajukan oleh Partai Politik yang bersangkutan. Model baru seperti ini secara normatif justru memperkuat posisi anggota DPRD sebagai wakil rakyat ketimbang partai politik, karena sejatinya perolehan suara yang cukup signifikan dari sang calon justru disebabkan oleh kemampuannya dalam mengerahkan atau memobilisasi suara. Terlepas apakah itu dilakukan secara fair atau sarat dengan “politik transaksional” yang bernuansa money politic.
Lain daripada itu penguatan posisi anggota DPRD dalam percaturan politik memperebutkan kursi di DPRD seharusnya diikuti dengan mekanisme pengawasan terhadap kinerja anggota DPRD yang dilakukan oleh masing-masing konstituen anggota. Namun sayang mekanisme seperti ini tidak dikenal, karena pengawasan atas kinerja anggota DPRD tetap dikembalikan kepada alat kelengkapan DPRD yang dalam hal ini adalah BK serta Partai politik melalui fraksi-fraksi yang ada di DPRD.
Dengan demikian antara model pemilihan anggota DPRD yang diharapkan dapat memperkuat posisi anggota DPRD sebagai wakil rakyat dan mekanisme pengawasan kinerjanya tidak berbanding lurus. Artinya antara konsep ideal dalam hal penguatan anggota DPRD melalui sistem pemilu dengan pengawasan anggota DPRD terjadi keterputusan. Padahal aspek pengawasan kinerja inilah yang seharusnya menjadi titik tolak untuk melakukan pemberhentian antarwaktu anggota DPRD.

Pemberhentian Antarwaktu Anggota DPRD Tanpa Masalah Hukum.
Pemberhentian antarwaktu anggota DPRD sebagaimana diatur dalam UU MD3 pada hakikatnya dapat dibedakan ke dalam tiga area penyebab. Pertama; pemberhentian itu disebabkan oleh adanya persoalan hukum khususnya hukum pidana (termasuk pelanggaran terhadap UU MD3). Pemberhentian dalam area ini dilakukan apabila anggota DPRD nyata-nyata dan sudah ada kepastian hukum bersalah telah melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana 5 (lima) tahun atau lebih. Jika memang keputusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka pemberhentian antarwaktu bagi anggota DPRD jelas tidak akan menimbulkan masalah hukum bagi pihak yang mengeluarkan Surat Keputusan pemberhentian antarwaktu.
Kedua; pemberhentian itu disebabkan oleh adanya persoalan etika. Pemberhentian dalam area ini memang harus dibuktikan secara tegas dan jelas sebelum dikeluarkan sebuah Surat Keputusan. Dalam hal ini Badan Kehormatan (BK) harus memiliki standart kode etika bagi anggota DPRD dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya. Sebagai pejabat publik, paling tidak ada 10 (sepuluh) standart kode etika anggota DPRD yang harus diperhatikan, yaitu:
a. Selflessness: Anggota hanya melayani kepentingan publik dan tidak diperbolehkan memberikan keuntungan atau kerugian pada seseorang atau kelompok secara tidak layak (improperly).
b. Honesty and Integrity: Anggota tidak diperbolehkan menempatkan dirinya pada situasi dimana kejujuran dan integritasnya dipertanyakan, berperilaku tidak layak serta harus menghindari segala perilaku tersebut dalam semua kegiatan/acara.
c. Objectivity: Anggota harus mengambil keputusan berdasarkan fakta, termasuk saat membuat perjanjian, kontrak atau merekomendasikan seseorang untuk mendapatkan penghargaan (rewards or benefit).
d. Accountability: Anggota harus mempunyai akuntabilitas dihadapan publik terhadap seluruh tindakannya, dan harus sepenuhnya dapat bekerjasama serta jujur dengan penuh kehati-hatian.
e. Openness: Anggota harus selalu terbuka dalam segala tindakan yang mencakup kewenangannya serta harus mempunyai penjelasan terhadap tindakan-tindakannya tersebut.
f. Personal Judgement: Anggota harus memperhatikan pandangan anggota lain, termasuk kelompok politik mereka, namun harus mempunyai kesimpulan sendiri terhadap isu yang dibicarakan, dan bertindak dalam lingkup kesimpulan-kesimpulan tersebut.
g. Respect for Others: Anggota harus mengedepankan kesetaraan dengan tidak melakukan diskriminasi hukum terhadap semua orang, dan dengan memperlakukan orang dengan kehormatannya tanpa memperhatikan ras, umur, agama, gender, orientasi seksual atau ketidakmampuan.
h. Duty to Uphold the Law: Anggota harus menegakkan hukum, dalam segala kondisi, berlaku dalam keserasian dan kepercayaan yang diberikan publik kepadanya.
i. Stewardship: Anggota harus melakukan apa pun yang dapat mereka lakukan, untuk meyakinkan bahwa otoritas mereka menggunakan sumber-sumber yang prudent dan dalam lingkup hukum.
j. Leadership: Anggota harus mendepankan dan mendukung prinsip-prinsip dan jiwa kepemimpinan serta selalu bertindak dalam jalur yang mampu menjaga keyakinan publik.
Kesepuluh standart kode etik tersebut masing-masing harus diterjemahkan dalam berbagai perlikau keseharian dari anggota DPRD dalam melaksanakan fungsi dan tanggungjawabnya sebagai wakil rakyat. Jika ada perilaku keseharian yang menyimpang maka BK sepatutnya sudah mulai dapat melakukan pemeriksaan atas adanya dugaan pelanggaran kode etik atau code of conduct tersebut. Penting juga untuk dibuat kesepakatan bahwa perilaku keseharian berdasarkan 10 (sepuluh) standart kode etik haruslah disepakati oleh seluruh anggota DPRD dan dituangkan dalam Peraturan DPRD tentang Kode Etik Anggota. Dengan cara semacam ini niscaya jika terjadi pemberhentian antarwaktu karena persoalan etika tidak menimbulkan masalah hukum dikemudian hari.
Ketiga; pemberhentian antarwaktu anggota DPRD disebabkan oleh adanya persoalan yang bernuansakan politis. Maksud dari “bernuansakan politis” ini tidak lain adalah pemberhentian antarwaktu dilakukan karena adanya kepentingan-kepentingan politik yang standart dan kriterianya tidak jelas, seperti adanya perbedaan pandangan antara anggota DPRD dengan kebijakan fraksi atau partai politiknya. Pemberhentian antar waktu dalam area ini sering menimbulkan persoalan hukum, khususnya antara anggota DPRD dengan fraksi atau partai politiknya. Oleh sebab itu untuk menghindari agar pemberhentian antarwaktu area ini tidak menimbulkan masalah hukum, maka sejak semula Partai politik harus menentukan arah kebijaksanaan internal yang harus ditaati berikut sanksi-sanksi yang akan dijatuhkan apabila anggota DPRD tidak atau telah menyimpangi arah kebijaksanaan internal Partai Politik.
Salah satu langkah yang dapat dilakukan oleh Partai Politik untuk menghindari terjadinya masalah hukum, maka sejak semula di dalam AD/ART harus secara tegas menentukan arah kebijaksanaan yang wajib dilakukan oleh anggota parpol yang telah menjadi anggota DPRD. Di samping itu Parpol juga harus menyediakan mekanisme penyelesaian internal terhadap permasalahan hukum yang muncul sebagai akibat adanya pemberhentian antarwaktu, misalnya dengan menyediakan upaya mediasi maupun arbitrase atau diadakannya Mahkamah Partai politik di dalam organisai partai politik yang bersangkutan.

Penutup.
Berdasarkan ketiga area penyebab pemberhentian antarwaktu anggota DPRD tersebut di atas, maka selain dikarenakan adanya alasan meninggal dunia atau mengundurkan diri, pemberhentian antarwaktu bagi anggota DPRD seharusnya dititik beratkan pada area penyebab pelanggaran hukum dan pelanggaran kode etik. Kedua area penyebab inilah yang dalam dataran praksis dapat diukur karena adanya kepastian hukum dan standart baku yang telah ditentukan, baik oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku maupun kesepekatan internal DPRD dalam penyusunan standart perilaku keseharian berdasarkan 10 (sepuluh) kode etik. Dengan menitik beratkan pada dua area penyebab tersebut, niscaya penerbitan SK Pemberhentian antarwaktu tidak akan menimbulkan masalah hukum, yang pada akhirnya digugat oleh anggota DPRD yang diberhentikan. SEMOGA.

Daftar Pustaka.
B. Hestu Cipto Handoyo, 2009, Hukum Tata Negara Indonesia, Penerbit Univ. Atma Jaya Yogyakarta.

Undang-Undang No. 2 tahun 2008 tentang Partai Politik.

Undang-Undang No. 27 tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

http://akangkuswandi.blogspot.com/2008/12/komparasi-kode-etik-pemerintahan-lokal.html

Kotagede; 28 April 2011
B. Hestu CH

EVALUASI PEMEKARAN DAERAH

EVALUASI PEMEKARAN DAERAH DI INDONESIA DAN
LANGKAH STRATEGIS PRIORITAS PEMBANGUNAN DAERAH*)
Oleh:
Benediktus Hestu CH**)

Evaluasi Pemekaran Daerah.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dan UNDP mengemukakan bahwa setelah diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, pemekaran wilayah administratif menjadi kecenderungan baru dalam struktur pemerintahan di Indonesia. Pada tahun 2004, pemerintah provinsi bertambah dari 26 menjadi 33 (26,9%), sedangkan pemerintah kabupaten/kota meningkat 45,2%, dari 303 menjadi 440. Bahkan di awal tahun 2007 usulan pembentukan 114 kabupaten/kota serta provinsi baru telah berada di DPR-RI.
Sementara itu menurut catatan Kompas (Kamis, 22 April 2010), jumlah daerah otonom sejak awal reformasi 1998 sampai Januari 2010 meliputi 33 Provinsi, 398 kabupaten, dan 93 Kota, sedangkan perkembangan daerah otonom baru yang masuk ke Komisi II DPR (2004-2009) tercatat sebagai berikut:
No Keterangan Jumlah Pembentukan daerah
1. Tahap pembahasan di DPR 3 daerah 3 RUU meliputi pembentukan provinsi, kabupaten, dan kota.
2. Tahap proses di Komisi II (usul inisiatif) sudah dikirim ke presiden, tetapi pembahasan belum selesai 20 daerah Provinsi: 7, Kabupaten: 11, Kota: 1).
3. Usul inisiatif sudah disampaikan ke Pimpinan DPR dan sudah diharmonisasi oleh Badan Legislasi DPR 13 daerah Provinsi: 1, Kabupaten: 11, Kota: 1.
4. Belum diusulkan ke Komisi II 27 daerah Propinsi: 1, Kabupaten: 24, Kota: 2
TOTAL 63 daerah

Menurut Fitrani pemekaran wilayah tersebut telah membuka peluang terjadinya bureaucratic and political rent-seeking, yakni kesempatan untuk memperoleh keuntungan dana, baik dari pemerintah pusat maupun dari pemerintah daerah sendiri. Lebih lanjut dikatakan bahwa karena adanya tuntuan untuk menunjukkan kemampuan untuk menggali potensi wilayah, maka banyak daerah yang menetapkan berbagai pungutan untuk meningkatkan PAD. Hal ini menyebabkan terjadinya suatu perekonomian daerah berbiaya tinggi.
Analisis dan argumentasi tersebut di atas menunjukkan bahwa sejak diberlakukannya desentralisasi pemerintahan di Indonesia yang berjalan pararel dengan penerapan demokratisasi tahun 1999 telah memunculkan kecenderungan di beberapa daerah untuk melepaskan diri dari induk pemerintahan yang sudah ada. Kecenderungan ini merupakan akibat dari terbukanya sekat-sekat sentralisasi yang merupakan paradigma politik orde baru. Daerah-daerah di Indonesia – baik provinsi maupun kabupaten/kota - yang dibentuk berdasarkan UU No. 5 tahun 1974 dianggap merupakan hasil dari sistem pemerintahan yang sentralistik, oleh sebab itu setelah diberlakukan UU No. 22 tahun 1999 dan diubah dengan UU No. 32 Tahun 2004 yang mempergunakan prinsip otonomi luas, daerah-daerah tersebut seperti memperoleh peluang untuk melakukan perombakan struktur pemerintahan induk dan menuntut berotonomi. Kecenderungan tersebut wajar sepanjang pemekaran wilayah baik yang ada di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota tidak hanya dilatar belakangi oleh kepentingan atau nafsu politik kekuasaan tanpa memperhatikan kesejahteraan masyarakat pada umumnya dan keadaan, kemampuan dan kebutuhan daerah..
Namun demikian, harus disadari bahwa wacana publik yang berkembang justru melihat bahwa pemekaran daerah yang nampak tidak terkendali itu semata-mata hanya dimanfaatkan untuk pemenuhan nafsu politik kekuasaan, bahkan semata-mata dipergunakan oleh elit politik daerah untuk membuka ruang-ruang kekuasaan yang memungkinkan mereka memperoleh kesempatan yang lebih luas memasuki ranah kekuasaan legislatif dan eksekutif daerah. Pendek kata pemekaran daerah dianggap sebagai salah satu sarana untuk membuka ruang kekuasaan baru pasca perebutan kekuasaan di pemerintah daerah induk (Provinsi atau Kabupaten/Kota).
Wacana yang berkembang seperti ini jelas merugikan masyarakat sendiri, karena potensi untuk lebih berkembang ketika masih bergabung menjadi satu Provinsi atau Kabupaten/kota harus dibagi dan dipecah-pecah baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia pengelola pemerintahan. Akibat dari kondisi yang demikian inilah tingkat kesejahteraan masyarakat tidak naik, melainkan justru semakin menurun. Beban pengaturan dan pengurusan urusan-urusan pemerintahan yang sebelum dimekarkan telah sesuai dengan keadaan dan faktor nyata, berubah drastis ketika daerah baru hasil pemekaran mulai melaksanakan TUPOKSI-nya. Kegagapan daerah yang dimekarkan atau daerah bentukan baru mewarnai jalannya pemerintahan. Hal ini berakibat hampir sebagian besar aparat pemerintah daerah bentukan baru disibukkan dengan urusannya sendiri, dan kepentingan masyarakat terabaikan.
Dalam Pasal 4 PP No. 78 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah secara tegas dinyatakan bahwa pembentukan daerah (provinsi atau kabupaten kota) berupa pemekaran harus memenuhi syarat administratif, teknis, dan fisik kewilayahan. Ketiga persyaratan ini yang paling menonjol nuansa politisnya adalah persyaratan administratif. Dalam penyusunan paraturan perundang-undangan, khususnya dalam hal ini adalah PP, maka seharusnya persyaratan yang lebih substansial (Persyaratan teknis dan persyaratan fisik kewilayahan) didahulukan. Norma hukum kedua persyaratan ini lebih penting ketimbang norma hukum persyaratan administratif.
Namun demikian terlepas dari perdebatan legal drafting tersebut, menurut hemat penulis persyaratan teknis dan fisik kewilayahan sebagaimana dimaksud oleh PP No. 78 Tahun 2007 telah mempergunakan pendekatan teori rumah tangga nyata yang memang lebih tepat jika diterapkan di Indonesia, sehingga PP ini bisa dianggap lebih rasional bila dikaitkan dengan keadaan dan faktor-faktor nyata di daerah.

Teori Rumah Nyata dalam Pemekaran Daerah.
Teori atau sistem rumah tangga daerah adalah tatanan yang bersangkutan dengan cara-cara membagi wewenang, tugas dan tanggungjawab mengatur dan mengurus urusan pemerintahan antara Pusat dan daerah. Salah satu penjelmaan dari pembagian tersebut, maka Daerah-daerah akan memiliki sejumlah urusan pemerintahan baik atas dasar penyerahan atau pengakuan atau dibiarkan tumbuh sebagai urusan rumah tangga Daerah.
Pengertian tersebut di atas mengisyaratkan bahwa suatu pemekaran atau pembentukan daerah baru akan memiliki urusan pemerintahan yang berasal dari tiga (3) kemungkinan, yaitu:
a. Karena adanya penyerahan urusan pemerintahan,
b. Karena adanya pengakuan urusan pemerintahan, dan
c. Karena adanya urusan pemerintahan yang memang dibiarkan tumbuh.
Di antara ketiga asal urusan pemerinahan tersebut yang sering menimbulkan persoalan dalam proses terjadinya pemekaran atau pembentukan daerah baru adalah urusan pemerintahan yang berasal dari penyerahan. Pertanyaannya mengapa demikian?
Bagi urusan pemerintahan yang berasal dari pengakuan tentu hal ini tidak menimbulkan masalah, karena hal ini merupakan bentuk pemenuhan asas recognisi yakni asas yang memberikan penghormatan bagi daerah yang sejak semula telah memiliki urusan rumah tangga yang sifanya tradisionil, sehingga pemerintah hanya memberikan dasar secara formal terhadap jenis urusan pemerinttahan yang seperti ini. Demikian pula bagi urusan pemerintahan yang dibiarkan tumbuh, karena hal ini merupakan jenis urusan jenis yang telah berkembang sejalan dengan kebutuhan masyarakat daerah.
Lain halnya dengan urusan pemerintahan yang berasal dari penyerahan, persoalan yang paling mendasar dalam proses pemekaran atau pembentukan daerah adalah apa yang menjadi ukuran atau parameter sehingga suatu urusan pemerintahan itu dapat diserahkan kepada daerah pemekaran atau daerah bentukan baru? Untuk menjawab pertanyaan ini, dasar pijakan teori yang dipergunakan adalah sistem rumah tangga daerah dipergunakan.
Dalam politik perundang-undangan tentang pemerintahan daerah di Indonesia, teori rumah tangga yang sering dipergunakan adalah teori (sistem) rumah tangga nyata (riil). Menurut Bagir Manan berdasarkan ciri-ciri yang ada tidaklah berlebihan kalau dikatakan bahwa sistem rumah tangga nyata memang mencerminkan sistem tersendiri yang berbeda dengan sistem rumah tangga formal dan sistem rumah tangga materiil. Lebih lanjut dikatakan bahwa ciri-ciri tersebut adalah:
”Pertama: adanya urusan pangkal yang ditetapkan pada saat pembentukan suatu daerah, memberikan kepastian mengenai urusan rumah tangga daerah. Hal ini tidak mungkin terjadi pada sistem rumah tangga formal.
Kedua; di samping urusan rumah tangga yang ditetapkan secara ”materiil”, Daerah-daerah dalam rumah tangga nyata, dapat mengatur dan mengurus pula semua urusan pemerintahan menurut pertimbangan adalah penting bagi daerahnya sepanjang belum diatur dan diurus oleh Pusat atau daerah tingka yang lebih atas.
Ketiga; otonomi dalam rumah tangga nyata didasarkan kepada faktor-faktror nyata suatu Daerah. Hal ini memungkinkan perbedaan isi dan jenis urusan rumah tangga daerah sesuai dengan keadaan masing-masing”.

Dari pemahaman di atas, maka eksistensi penyerahan urusan pemerintahan dalam rangka pemekaran atau pembentukan daerah baru mengandung tiga unsur, yakni penyerahan urusan pangkal ketika daerah itu dimekarkan atau dibentuk, kebebasan daerah untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang dianggap penting, dan urusan pemerintahan yang memang didasarkan pada faktor-faktor nyata dari calon daerah baru yang akan dimekarkan atau dibentuk. Secara teoritik faktor-faktor nyata yang dimaksud adalah menyangkut kemampuan daerah, keadaan daerah dan kebutuhan daerah.
Kemampuan daerah dipergunakan untuk mengukur dan menentukan besarnya wewenang yang akan diserahkan kepada daerah yang akan dimekarkan/dibentuk. Terkait dengan hal ini, maka parameter yang dipergunakan adalah:
a. kemampuan keuangan;
b. kemampuan aparatur;
c. kemampuan partisipasi masyarakat;
d. demografi; dan
e. kemampuan administrasi dan organisasi.
Keadaan daerah dipergunakan untuk menentukan jenis urusan pemerintahan yang akan diserahkan, yakni corak dari suatu daerah yang akan dimekarkan atau dibentuk yang meliputi aspek geografis dan aspek sosial budaya. Aspek geografis adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan keadaan lingkungan alam setempat yang ikut mempengaruhi pola hidup masyarakat, khususnya dalam bidang ekonomi, sepert:
a. Iklim dan curah hujan;
b. Kesuburan tanah;
c. Luas dan bentuk daerah; dan
d. Unsur-unsur biotis.
Sedangkan aspek sosial budaya menyangkut berbagai hal yang berkaitan dengan struktur dan pola budaya masyarakat yang dapat mendukung terwujudnya otonomi daerah, yang unsur-unsurnya meliputi:
a. religiusitas;
b. adat istiadat;
c. lembaga kemasyarakatan; dan
d. struktur masyarakat.
Kebutuhan daerah sebagai salah satu kriteria yang bersumber dari kehendak daerah yang akan dimekarkan atau dibentuk terkait dengan kemampuan dan keadaan daerah sebagaimana telah disebutkan di atas. Artinya kehendak bebas dari suatu daerah yang akan dimekarkan atau dibentuk wajib diketahui oleh pemerintah pusat setelah daerah yang bersangkutan mempertimbangkan kemampuan dan keadaan yang dimiliki.
Kriteria-kriteria-kriteria tersebut, nampaknya memang sudah diakomodasi oleh PP No. 78 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah. Di dalam Pasal 6 ditegaskan:
(1) Syarat teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 meliputi faktor kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, perahanan keamanan, kemampuan keuangan, tingkat kesejaheraan masyarakat, dan rentang kendali penyelenggaraan pemerintahan daerah.
(2) Faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinilai berdasarkan hasil kajian daerah terhadap indikator sebagaimana tercantum dalam lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.
(3) Suatu calon daerah otonom direkomendasikan menjadi daerah otonom baru apabila calon daerah otonom dan daerah induknya mempunyai total nilai seluruh indikator dan perolehan nilai indikator faktor kependudukan, faktor kemampuan ekonomi, faktor potensi daerah dan faktor kemampuan keuangan daerah dengan kategori sangat mampu atau mampu.

Berdasarkan kriteria-kriteria inilah, maka nampak jelas bahwa penyerahan urusan pemerinahan yang bersumber dari kepentingan atau nafsu politik kekuasaan mulai dieleminir. Hal ini berarti kecenderungan untuk memekarkan atau membentuk daerah baru atas dasar konflik kepentingan politik sudah mulai diperkecil bahkan sudah tidak lagi diberi tempat. Pendekatan akademis berdasarkan kajian faktor-faktor nyata mulai dikedepankan.

Strategi Prioritas Pembangunan Daerah.
Kriteria tersebut di atas, jelas membawa dampak bagi daerah untuk secara cerdas menentukan strategi prioritas pembangunan. Secara singkat strategi prioritas pembangunan yang dimaksud dapat dibagi dalam 3 (tiga) perspektif, yaitu:
a. Perspektif administratif, yakni meningkatkan efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan daerah.
b. Perspektif politis, yakni meningkatkan akuntabilitas dan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan.
c. Perspektif ekonomi, yakni mempercepat kesejaheraan masyarakat.
Ketiga perspektif tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:
a. untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan harus ditempuh dengan merampingkan struktur organisasi yang diikuti dengan penguatan sumber daya manusia di lingkungan aparat pemerintah daerah (SKPD).
b. Untuk meningkatkan akuntabilitas dan demokrasi harus ditempuh dengan penerapan aturan hukum dan mekanisme pertanggungjawaban dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan yang ada di masyarakat. Keterlibatan masyarakat diperlukan untuk memberikan tempat bagi proses demokrasi partisipatif dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
c. Untuk mempercepat kesejaheraan masyarakat maka peningkatan terhadap pelayanan umum di bidang perekonomian, pendidikan dan kesehatan harus menjadi prioritas pembangunan.
Demikianlah gambaran singkat yang dapat saya sampaikan dalam kesempatan yang sangat berharga ini. Semoga berguna bagi proses pembangunan di Kabupaten Pakpak Bharat dalam melaksanakan otonomi demi tercapainya kesejahteraan masyarakat.

Kotagede, 24 April 2010
Salam Demokrasi;

B. Hestu CH.

KETERANGAN AHLI UJI MATERI UU KOPERASI

KONSEKUENSI MAKNA KETENTUAN UMUM PASAL 1 ANGKA 1 UU NO. 17 TAHUN 2012 TERHADAP PRINSIP DAN ASAS KOPERASI Oleh: Dr. Benediktus H...