Mengenai Saya

Foto saya
Yogyakarta, DIY, Indonesia
Dr. Benediktus Hestu Cipto Handoyo, S.H.,M.Hum atau sering dipanggil Ben atau Hestu, lahir di Blora Jawa Tengah pada tanggal 3 Juli 1962. Suami dari Maria Bernadeth Maitimo, SH dan bapak dari dua anak Giovanni Battista Maheswara, S.H.,M.H dan Alexandro Kevin Maheswara, S.H. ini, menyelesaikan pendidikan di SD. Katolik Kridadharma Blora tahun 1974. Kemudian melanjutkan di SMP Negeri I Blora lulus tahun 1978, serta SMA Jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) di SMA Katolik Wijayakusuma Blora, lulus tahun 1981. Jenjang Pendidikan Tinggi ditempuh di Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta, dan Lulus Sarjana Hukum pada tahun 1988. Melanjutkan studi pada Program Pascasarjana (S2) Universitas Padjadjaran Bandung lulus dan memperoleh gelar Magister Humaniora (M.Hum) pada tahun 1995. Pada tanggal 20 Desember 1997 sampai dengan 4 Maret 1998 mendapatkan kesempatan mengikuti kursus di LEMHANNAS (Lembaga Pertahanan dan Keamanan Nasional) Jakarta. Kemudian pada tahun 2018 Lulus pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Katolik Parahyangan Bandung

Kamis, 29 November 2012

SILANG PENDAPAT TAP MPR SEBELUM AMANDEMEN UUD 1945


Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (sebelum amandemen) sebagai hukum dasar tertulis (konstitusi tertulis) menegas adanya beberapa jenis Peraturan Perundang-undangan Tingkat Pusat, yaitu Undang-Undang Dasar itu sendiri, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang, dan Peraturan Pemerintah.  

Sementara itu dalam sejarah Peraturan Perundang-undangan Indonesia pernah ada Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. XX/MPRS/1966 yang menentukan di samping 4 (empat) jenis Peraturan Perundang-undangan tersebut, juga masih dikenal adanya jenis lain, seperti : Ketetapan MPR, Keputusan Presiden dan Peraturan pelaksanaan lainnya, seperti Peraturan Menteri, Instruksi Menteri, dan lain-lain.
Menurut Bagir Manan bentuk-bentuk atau jenis Peraturan Perundang-undangan yang disebutkan dalam Tap  MPRS No. XX/MPRS/1966 lebih luas daripada yang disebut dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesa Tahun 1945 tetapi lebih sempit dibandingkan dengan kenyataan yang ada. Dikatakan lebih luas, karena Tap MPRS No.XX/MPRS/1966, menyebutkan beberapa Peraturan Perundang-undangan yang tidak secara tegas disebutkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebaliknya disebut lebih sempit dari kenyataan, karena Tap MPRS No. XX/MPRS/1966 hanya memuat Peraturan Perundang-undangan Tingkat Pusat. Sedangkan dalam sistem Peraturan Perundang-undangan Indonesia terdapat juga Peraturan Perundang-undangan tingkat daerah seperti Peraturan Daerah.[1]
Lebih lanjut dikatakan bahwa Tap MPRS No. XX/MPRS/1966 dapat juga dianggap berlebihan, karena memasukkan Instruksi sebagai salah satu bentuk atau jenis Peraturan Perundang-undangan. Padahal dari segala segi sifat dan substansinya, Instruksi tidak memenuhi persyaratan sebagai Peraturan Perundang-undangan. Instruksi memuat hal-hal konkrit dan individual, sehingga tidak memenuhi esensi sebagai Peraturan Perundang-undangan.[2]

Bertolak dari pendapat tersebut, permasalahan yang dapat dikemukakan disini adalah apakah Tap. MPRS No. XX/MPRS/1966 dapat dikatakan melanggar ketentuan yang ada di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau apakah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat tersebut sifatnya inkonstitusional?

Di dalam tataran normatif yuridis, maka keadaan yang demikian ini dapat dianggap merupakan bentuk penyimpangan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hal ini disebabkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai Hukum Dasar yang tertinggi serta berkedudukan sebagai norma hukum bagi pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah telah memberikan penegasan mengenai jenis Peraturan Perundang-undangan yang dimaksud. Oleh sebab itu, kalau dijumpai adanya jenis Peraturan Perundang-undangan di luar yang telah ditentukan secara limitatif oleh Undang-Undang Dasar, maka sudah barang tentu – secara normatif yuridis – jenis Peraturan Perundang-undangan tersebut menyalahi norma hukum yang telah ditentukan oleh Undang-Undang Dasar itu sendiri, sehingga dapatlah dibenarkan jikalau Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat itu bersifat inkonstitusional.

Dalah sejarah khasanah Peraturan Perundang-undangan Indonesia perdebatan mengenai eksistensi Ketetapan Majelis Permusyawaratan memang sempat mengemuka setelah reformasi 1998 bergulir. Lebih-lebih setelah Presiden Abdurrahman ”Gus Dur” Wahid dijatuhi memorandum ke III oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, hingga beliau ”jatuh” dari tampuk kepemimpinan nasional. Pada waktu itu silang pendapat yang cukup keras antara para pakar Hukum Tata Negara begitu mengemuka di belantara wacana akademis tentang keberadaan produk Hukum yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat tersebut.

Dalam suatu kesempatan wawancara dengan sebuah media elektonik nasional, Harun Al Rasyid (Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia) mengemukakan dengan lantang bahwa Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat itu adalah produk hukum yang haram. Artinya melanggar konstitusi. Sementara itu Bagir Manan (Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran Bandung), menyanggah pendapat Harun Al Rasyid dan tetap menganggap bahwa Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat itu adalah produk hukum yang konstitusional.
Silang pendapat yang begitu keras tersebut tentu saja membuat masyarakat bertanya-tanya. Mengapa dalam satu bidang ilmu guru besarnya berbeda pendapat dan berantem argumentasi seperti itu? Ada apa dengan Ilmu Hukum di negeri ini? Bagi penulis silang pendapat seperti itu merupakan hal yang sangat biasa dan wajar di lingkungan Ilmu Hukum. Bahkan dalam dataran filsafat hukum yang melahirkan teori-teori hukum, antinomi terhadap keberadaan dan hakikat ilmu hukum juga terjadi.

Menurut Harun Al Rasyid, produk Hukum yang namanya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat itu tidak secara tegas-tegas tercantum (tersurat)  di dalam ketentuan Pasal-pasal Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh sebab itu produk hukum ini nyata-nyata melanggar konstitusi. Sementara itu Bagir Manan mengemukakan bahwa walaupun Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat itu tidak tercantum secara tegas di dalam Pasal-Pasal Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, namun keberadaan produk hukum ini pada hakikatnya bersumber pada dua hal :

Pertama; penafsiran ketentuan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan Undang-Undang Dasar dan Garis-garis besar daripada haluan Negara. Ketentuan seperti ini dapat ditafsirkan, jika suatu lembaga negara secara tersurat diberi kekuasaan oleh Undang-Undang Dasar untuk menetapkan Undang-Undang Dasar dan Garis-garis besar daripada haluan negara, maka secara tersirat lembaga negara tersebut juga diberi wewenang untuk mengeluarkan suatu produk hukum yang disebut Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Penafsiran seperti ini nampaknya dilatar belakangi oleh asumsi bahwa antara pemberian kekuasaan melakukan sesuatu dengan wewenang untuk mengeluarkan sebuah produk hukum merupakan dua hal yang bisa dikatakan berbanding lurus.

Kedua; lahirnya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat itu bersumber dari kebiasaan ketatanegaraan (Convention of Constitutions) sejak sekitar tahun 1960-an. Oleh sebab itu keberadaan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat tetap konstitusional. Apalagi Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 juga mengakui adanya praktek-praktek ketatanegaraan walaupun tidak tertulis, sebagaimana pernah ditegaskan dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.[3]

Jika ditinjau dari Teori Hukum Tata Negara, kedua pandangan pakar Hukum Tata Negara tersebut pada hakikatnya sama-sama dapat dibenarkan. Hal ini mengingat pandangan masing-masing pihak yang disampaikan itu mempergunakan kacamata aliran teori hukum yang berbeda. Harun Al Rasyid mempergunakan kacamata legisme yang lebih menitik beratkan pada kepastian hukum. Sedangkan Bagir Manan mempergunakan kacamata sosiologis empiris melalui pendekatan kebiasaan ketatanegaraan (convention of constitutions) maupun penafsiran hukum.


[1] Bagir Manan, Dasar-Dasar Perundang-Undangan Indonesia, Ind-Hill,Co, Jakarta, 1992, hlm. 25.
[2] Ibid.
[3] Bagir Manan, Ibid, hlm. 31-32.

Jumat, 29 Juni 2012

NEGARA TEATER

NEGARA TEATER B. Hestu Cipto Handoyo*) Pada tahun 1980 Clifford Geertz menulis sebuah buku yang berjudul Negara, The Theatre State in Nineteenth-Century Bali. Buku tersebut merupakan hasil penelitian Geertz tentang Bali di jaman kerajaan. Menurut Geertz negara teater di dalamnya terdapat raja-raja dan para pangeran sebagai impresario-impresario, para pendetanya sebagai sutradara, dan para petaninya sebagai aktor pendukung atau penata panggung, dan penonton. Sementara itu seremonialisme istana (baca: negara) merupakan daya gerak dari perpolitikan istana; dan ritual massa bukanlah alat untuk mendukung negara, tetapi negaralah sebagai alat untuk menggelar ritual massa itu, bahkan di saat-saat terakhir sebelum ambruk (Geertz, 1980: 21). Dengan demikian, di dalam negara teater hanya ada dua dimensi yakni komponen negara dan aktifitas seremonial. Komponen negara dalam konteks kekinian direpresentasikan oleh pemerintah, lembaga legislatif, dan rakyat biasa (buruh dan petani). Sementara itu seremonial kenegaraan nampak dari mekanisme proses politik dalam pengambilan keputusan politik yang menyangkut kehidupan bersama dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dalam seremonial kenegaraan, ketiga komponen negara saling berinteraksi untuk mewujudkan keharmonisan kepentingan hidup bersama dalam ikatan negara. Ini terjadi dalam negara demokrasi yang pakemnya memang demikian. Namun di negara teater tidaklah seperti itu. Di dalam negara demokrasi seremonial kenegaraan mengenal adanya suasana kehidupan politik yang disebut infra dan suprastruktur politik. Infrastruktur politik tidak lain adalah suasana kehidupan politik di tingkat masyarakat, ia memainkan peranan untuk ikut dalam setiap seremonial politik negara dengan berbagai aktifitas aspirasi ketika suprastruktur politik (penguasa dan elemen-elemen kekuasaan negara) akan mengambil kebijakan politik yang akan diterapkan dalam kehidupan masyarakat. Jadi dalam negara demokrasi aktifitas seremonial negara akan selalu melibatkan ketiga komponen negara agar kebijakan-kebijakan politik yang diambil mendapat respons positif dan berlaku efektif. Inilah pakem negara demokrasi yang dimaksud. Dalam negara teater tidaklah demikian, suprastruktur politik yang direpresentasikan oleh raja, pangeran, dan pendeta sebagai sutradara (baca: lembaga legislatif) menentukan segala-galanya dalam setiap seremonial kenegaraan. Sementara komponan negara yang disebut rakyat hanya berperan sebagai aktor pendukung, penata panggung, dan penonton. Tidak banyak yang diperbuat oleh rakyat, kecuali hanya sebagai figuran dan “mengiyakan” skenario sang sutradara yang dalam konteks negara demokrasi adalah para pembuat aturan yakni lembaga legislatif. Di negara teater seremonial kenegaraan nampak dalam lima aktifitas kehidupan negara dan masyarakat. Pertama; rakyat dibiarkan dalam kehidupan masing-masing tanpa keterlibatan negara, dan ketika terjadi konflik hak di lingkungan masyarakat, negara tidak ambil bagian untuk ikut menyelesaikan. Kalaupun ikut menyelesaikan maka digunakanlah pendekatan Weberian, yakni tindakan kekerasan demi mengembalikan tertib sosial menurut ukuran negara. Kedua; seremonial kenegaraan hanya dimaknai sebagai pembagian kekuasaan eksekutif dan legislatif melalui cara-cara yang manipulatif. Rakyat sebagai komponen negara hanya dilibatkan sebagai “pemeran pembantu”, ketika pembagian kekuasaan itu dilakukan. Ketiga; setiap seremonial pengambilan keputusan politik yang dilakukan eksekutif dan legislatif sifatnya mekanistik prosedural, tanpa melihat nilai-nilai keadilan dan kesejahteraan yang dibutuhkan oleh masyarakat, bahkan kalau perlu masyarakat diminta untuk selalu tunduk dan taat kepada aturan yang hanya berisi norma-norma sebagai mesin birokrasi. Keempat; komponen negara yakni eksekutif dan legislatif hanya dimanfaatkan sebagai asset ekonomi untuk mendatangkan keuntungan, sehingga ruang-ruang kekuasaan itu sarat dengan korupsi, kolusi dan nepotisme. Perebutan kekuasaan di tingkatan eksekutif dan legislatif mempergunakan model pseudo demokrasi (demokrasi semu), karena kekuatan legitimasi tidak diukur dari dukungan murni rakyat, melainkan dari nilai transaksional. Kelima; suara komponen negara yang lain, yakni rakyat hanya dimanfaatkan sesaat ketika komponen eksekutif dan legislatif ingin tetap melanggengkan posisi dan status di tingkat strata tertinggi negara. Setelah kembali menduduki posisi dan status tersebut, seremonial kegiatan negara tetap kembali seperti semula, yakni hanya menempatkan rakyat sebagai pemeran figuran, bahkan penonton. Seremonial kenegaraan seperti itu akan terus berlangsung sampai negara ambruk, karena hilangnya legitimasi komponen eksekutif dan legislatif yang musnah ditelan masa. Keambrukan negara teater itu bisa terjadi kapan saja, manakala komponen rakyat sudah jemu dengan seremonial negara yang tak kunjung berpihak kepadanya, karena seremonial negara hanya merupakan ritual massa dan bukan alat untuk mendukung negara. Mainstream negara teater seperti itu merupakan cerminan Negara Gagal, dan oleh sebab itu harus segera diakhiri dan diubah dengan mainstream negara demokrasi yang tidak hanya mengedepankan aspek prosedural, melainkan yang lebih dalam adalah memberikan tempat bagi rakyat untuk ikut terlibat dalam setiap kegiatan seturut dengan nilai-nilai kearifan yang nampak dari volksgeist (jiwa bangsa) yang disantuni dalam kehidupan sehari-hari mereka.

Rabu, 27 Juni 2012

KOIN UNTUK KPK

KOIN UNTUK KPK B. Hestu Cipto Handoyo Kegaduhan politik kembali menyeruak di negeri ini, ketika pengajuan anggaran pembangunan gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak segera disetujui oleh Komisi III DPR. Spekulasi politik dengan berbagai argumentasi dan alasan pembenar membahana diseantero jagad negeri yang penuh dengan aktor korupsi. Masyarakat sipil tidak tinggal diam, dan secara lantang melakukan perlawanan dengan membentuk gerakan “Koin untuk KPK”. Mereka secara suka rela menyumbang dengan kekuatan sendiri ke KPK untuk merealisasikan pembangunan gedung KPK yang disinyalir hanya “kuat” bertahan 2 – 3 tahun lagi. Gedung KPK yang katanya dibangun sejak tahun 1980-an sudah tidak mampu memuat personil dan aktifitas KPK yang semakin sarat. Kapasitas gedung yang hanya mampu untuk 350 personil, sekarang sudah dihuni 650 personil (Kompas, 27 Juni 2012). Di tinjau dari aspek kesehatan dan keselamatan kerja, kondisi tersebut memang sudah tak layak lagi untuk dipertahankan. Bisa jadi dengan naiknya personil hampir dua kali lipat itu menyebabkan situasi dan kondisi kerja-kerja KPK menjadi “sumpek” dan pengap. Persoalannya yang patut disampaikan di sini adalah bolehkah masyarakat menyumbang secara suka rela biaya pembangunan gedung tersebut? Dan kalau boleh adakah pembatasan besaran total sumbangan itu yang diperkenankan? Persoalan sumbang menyumbang dalam kenyataan sosiologis bangsa ini merupakan tradisi yang masuk dalam kategori kesantunan. Terlepas kesantunan itu merupakan bentuk basa-basi relasi hubungan atau kesantunan yang memang etika sosial dalam pergaulan hidup. Di lingkungan masyarakat sumbangan, kado, parcel, dan sumbangan-sumbangan lainnya sudah menjadi kebiasaan, ketika ada anggota masyarakat mempunyai hajat atau sedang merayakan peristiwa penting. Bahkan ketika ada anggota masyarakat yang “kesripahan” (meninggal dunia), sumbangan uang duka cita pun mengalir tiada henti. Kenyataan sosiologis seperti itu, terasa kontroversial jika dikaitkan dengan ketentuan Pasal 12B ayat (1) UU No. 31 tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001 yang menyatakan bahwa setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Lebih lanjut di dalam ketentuan Pasal 12C ayat (1) Undang-undang yang sama ditegaskan bahwa ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B ayat (1) tidak berlaku jika, penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada KPK. Kedua ketentuan tersebut di atas, menunjukkan bahwa gratifikasi – yang dalam Penjelasan Pasal 12B ayat (1) dimaknai sebagai pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiker perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-Cuma, dan fasilitas lainnya – wajib dilaporkan kepada KPK. Dalam konteks pembangunan gedung KPK tentunya - baik langsung maupun tidak langsung - yang berkepentingan adalah KPK. Jika demikian, maka menyumbang pembangunan gedung KPK yang akan dilakukan oleh masyarakat sipil melalui gerakan “koin untuk KPK” tidaklah sesederhana seperti menyumbang anggota masyarakat atau pejabat publik yang sedang melangsungkan hajatan atau dirundung duka nestapa, seperti yang penulis kemukakan terdahulu. “Koin untuk KPK” ditujukan untuk KPK sendiri yang oleh UU tersebut justru menjadi lembaga yang diberi kewenangan untuk menerima laporan tentang gratifikasi yang dikecualikan. Jika pendapat hanya bersumber dari aspek normatif yuridis, maka “Koin Untuk KPK” tentunya akan dilaporkan oleh KPK sendiri. Hal ini sama dengan papatah iklan “jeruk makan jeruk”. Namun jika ditunjau daru aspek sosiologis empiris, maka “Koin untuk KPK” dapat ditafsirkan dari tiga dimensi. Pertama; gagasan atau gerakan “koin untuk KPK” bukan dimaksudkan untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dilakukan dengan melanggar hukum dan kewenangan hingga merugikan keuangan dan/atau perekonomian negara, melainkan gerakan itu justru dipergunakan untuk mendukung KPK yang memiliki keterbatasan dana dalam pembangunan gedung, serta terhambatannya persetujuan anggaran karena disinyalir adanya konspirasi dan kepentingan politik “menggerogoti” sepak terjang KPK dalam pemberantasan korupsi. Kedua; gerakan “koin untuk KPK” pada hakikatnya merupakan simbol perlawanan terhadap rezim yang korup yang justru oleh masyarakat pada umumnya direpresentasikan kepada lembaga Legislastif yang paling gencar melawan eksistensi KPK, bahkan selalu menyatakan kalau KPK iti adalah lembaga adhoc (sementara) yang super body. Ketiga; “Koin untuk KPK” dilakukan oleh masyarakat sipil yang konsens terhadap pemberantasan korupsi di negara kleptokrasi. Dengan demikian gerakan ini pada hakikatnya adalah gerakan moral dan bentuk gotong royong khas masyarakat Indonesia, ketika suatu komponen masyarakat, bangsa, dan negara mengalami keterbatasan sarana dan prasarana untuk melaksanakan “perjuangan suci” yang dalam hal ini adalah memberantas korupsi yang sudah berurat berakar di tubuh birokrasi dan lembaga politik.

Selasa, 26 Juni 2012

KONSOLIDASI NEGARA (GAGAL) DEMOKRASI

KONSOLIDASI NEGARA (GAGAL) DEMOKRASI B. Hestu Cipto Handoyo*) Thesis Samuel P. Huntington mengemukakan, proses demokratisasi dalam suatu negara pada umumnya melewati tiga tahapan. Pertama; pengakhiran rezim nondemokratis. Kedua; pengukuhan rezim demokratis. Ketiga: konsolidasi sistem demokratis (Huntington, 1997). Implementasi dari ketiga tahapan tersebut yang paling mudah dilakukan adalah tahapan pertama dan kedua. Sedangkan tahapan ketiga, yakni konsolidasi demokrasi akan memakan waktu yang relatif lama. Tahapan pertama dan kedua pada umumnya hanya membutuhkan dukungan masif dari para penggerak atau aktivis prodemokrasi untuk menumbangkan rezim otoritarian dan mengganti dengan rezim demokratis. Syarat utama dan pertama adalah “menciptakan musuh bersama” yang menjadi sumber penolakan gagasan demokratisasi. Dan kalau penciptaan ini berhasil, baru menyusun gerakan bersama yang sifatnya extra konstitusional, entah melalui demonstrasi damai ataukah sampai ke revolusi. Tahapan ini bisa dilalui, walau terkadang harus menempuh jalan yang “berdarah-darah”. Contoh seperti di Filipina, Libia, Mesir, dan negara-negara di belahan dunia lain yang sedang mencoba menggulingkan rezim yang dianggap nondemokratis. Untuk tahapan ketiga yakni menuju konsolidasi demokrasi, harus menempuh jalan yang relatif panjang, rumit dan berbelit-belit. Bahkan tidak menutup kemungkinan mengalami kegagalan. Karena harus melewati berbagai eksperimentasi guna menguatkan pilihan-pilihan cara berdemokrasi yang bagi negara otoritarian atau totaliter merupakan suatu corak kehidupan negara yang “asing”. Perubahan dramatis seperti yang terjadi dalam tahapan pertama dan kedua jarang terjadi dalam satu malam. Karena dalam konsolidasi demokrasi itu hampir selalu bersifat moderat dan sedikit demi sedikit. Eksperimentasi demokrasi. Konsolidasi demokrasi yang berarti suatu langkah untuk memperteguh atau memperkuat demokrasi dalam sistem ketatanegaraan tentu tidak dengan serta merta dapat dihitung dalam jangka waktu tertentu. Bahkan dengan memberikan patokan setelah tahun 2009, seperti yang pernah diungkapkan oleh Akbar Tanjung atau Daniel Sparringga (juru bicara Presiden SBY) yang menganggap sebagai masa transisi dengan ukuran progresif berlangsung 2 tahun, dan ukuran konvensional sekitar 10 tahun (Kompas, 16/2/2009). Jika melihat kenyataan geopolitik Indonesia dengan struktur masyarakat yang plural ditinjau dari berbagai aspek, termasuk plural dalam hal kepentingan-kepentingan politik kekuasaan, ukuran seperti ini absurd dan tak berdasar sama sekali. Namun jika ukuran keberhasilan konsolidasi demokrasi hanya melulu diukur pada aspek eksperimentasi demokrasi prosedural, argumentasi tenggang waktu seperti yang dikemukakan Akbar Tanjung dan Daniel Sparringga memang ada benarnya. Bagi negara yang belum akrab dengan sistem demokrasi pemantapan atau penguatan sistem demokrasi, akan melewati serangkaian uji coba, seperti infra dan suprastruktur politik, perangkat hukum untuk mengawal jalannya sistem demokrasi, serta penerapan sistem pemerintahan demokratis. Serangkaian uji coba ini seharusnya juga diarahkan untuk membangun life style demokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang di dalamnya terkandung nilai-nilai moril, seperti penyelesaian secara damai dan melembaga, terjadinya perubahan secara damai, menyelesaikan pergantian kepemimpinan secara teratur, membatasi pemakaian kekerasan, menganggap wajar adanya keanekaragaman, dan menjamin tegaknya keadilan (Henry B. Mayo, 1980). Secara kualitas eksperimentasi untuk konsolidasi demokrasi dalam dataran empiris tidak menyentuh aspek “hulu” penguatan demokrasi sebagai life style. Bahkan di ruang-ruang kekuasaan yang merepresentasikan demokrasi “prosedural” mengalami metamorfose menjadi ruang-ruang kekuasaan yang kleptokratif. Demokrasi yang digagas dengan menerapkan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam life style menjadi “jauh panggang dari api”. Demokratisasi tidak menyentuh aspek kesejahteraan umum masyarakat, melainkan hanya melahirkan demokrasi para “bandit”. Korupsi makin menjamur, bahkan dilegalisasi melalui produk-produk hukum. Dimensi kekerasan sering dipergunakan untuk menyelesaikan perbedaan, dan celakanya negara atau pemerintah justru tidak hadir memainkan peran sebagai mediator, bahkan cenderung menerapkan politik pembiaran, dan golongan minoritas semakin termarjinalkan. Negara (gagal) Demokrasi. Penataan sistem demokrasi prosedural yang mulai dilakukan pasca reformasi 1998 termasuk melakukan amandemen UUD 1945, pembenahan sistem kepartaian, sistem pemilu, penguatan sistem presidensiil, dan desentralisasi pemerintahan, pada hakikatnya hanya menyentuh aspek “hilir” semata. Tidak ada satupun instrumen hukum yang mampu merumuskan demokrasi di area “hulu”, yakni menterjemahkan kultur demokrasi yang bernafaskan nilai-nilai kesusilaan tertinggi bangsa, yakni Pancasila ke dalam sistem hukum dan peraturan perundang-undangan. Peraturan Perundang-undangan baik di bidang politik maupun dibidang yang terkait dengan persoalan kesejahteraan masyarakat hanya berisi sistem norma sebagai mesin birokrasi dan kekuasaan yang mencederai rasa keadilan. Akibatnya rakyat hanya menjadi kelinci percobaan elit kekuasaan dalam mengeksperimentasi demokrasi prosedural. Ketika konsolidasi demokrasi itu tidak menyentuh aspek nilai-nilai kultural kehidupan bangsa dan justru menimbulkan kesenggaraan rakyat yang berlarut-larut, maka saat itulah negara masuk dalam cengkeraman “negara (gagal) demokrasi”. Untuk itu grand design konsolidasi demokrasi aspek “hulu” harus segera dirumuskan.

Senin, 07 Mei 2012

MUATAN LOKAL DALAM PERATURAN DAERAH

MUATAN LOKAL DALAM PERATURAN DAERAH Oleh: B. Hestu Cipto Handoyo Pendahuluan. Secara teoritis keberadaan produk hukum daerah (khususnya Peraturan Daerah) dapat merujuk pada pandangan Hans Kelsen dalam menerangkan pengertian desentralisasi. Menurut Kelsen desentralisasi berkaitan dengan pengertian negara sebagai suatu tatanan hukum (legal order). Menurut Kelsen desentralisasi pada intinya menyangkut berlakunya sistem tatanan hukum dalam suatu negara. Di dalam negara ada kaidah-kaidah hukum yang berlaku sah untuk seluruh wilayah negara yang disebut sebagai kaidah sentral (central norm) dan ada pula kaidah-kaidah hukum yang berlaku sah dalam bagian-bagian wilayah yang berbeda yang disebut desentral atau kaidah lokal (decentral or local norm). Dengan demikian jika kita membicarakan tentang produk hukum daerah tidak lain adalah menyangkut tatanan hukum yang desentralistik. Pendapat tersebut masih belum menerangkan secara tuntas tentang hakikat dari produk hukum daerah jika dikaitkan dengan pengetian desentralisasi. Persoalannya adalah siapakah yang membentuk kaidah yang desentral tersebut, apakah Pemerintah Pusat ataukah Pemerintah Daerah. Jika ternyata yang membentuk adalah Pemerintah Pusat dan diterapkan di sebagian wilayah negara, maka tentunya tidak dapat disebut sebagai kaidah yang desentral. Oleh sebab itu produk hukumnyapun tetap produk hukum nasional. Hal ini disebabkan wilayah-wilayah negara hanya melaksanakan kaidah desentral itu dan tidak memiliki inisiatif untuk membentuk sendiri. Lain halnya jika kaidah desentral tersebut dibentuk sendiri oleh Pemerintah Lokal yang bersumber dari prakarsa sendiri. Dengan demikian yang dimaksud dengan Produk Hukum Daerah tentunya tidak lain adalah kaidah-kaidah hukum yang berlaku mengikat di masing-masing wilayah negara dan dibentuk berdasarkan inisiatif daerah. Bertitik tolak dari argumentasi tersebut, maka latar belakang keberadaan Peraturan Daerah dalam lingkup negara yang desentralistik akan bersumber pada beberapa prinsip, yaitu: 1. Prinsip negara hukum. Di dalam prinsip negara hukum di samping dikenal adanya pemisahan kekuasaan, juga dikenal adanya pemencaran kekuasaan, yaitu pendelegasian atau pendistribusian kekuasaan secara vertikal. Dengan demikian desentralisasi yang menimbulkan otonomi daerah dan memunculkan adanya produk-produk hukum daerah pada hakikatnya merupakan implementasi dari pemencaran kekuasaan khususnya di bidang legislasi. 2. Prinsip demokrasi. Dalam negara demokrasi kebutuhan akan partisipasi masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara merupakan suatu keniscayaan. Bahkan kalau boleh mengatakan partisipasi merupakan prinsip utama dalam sendi-sendi demokrasi. Berdasarkan prinsip semacam inilah, maka desentralisasi yang menimbulkan otonomi daerah merupakan sarana yang tepat untuk mengimplementasikan prinsip demokrasi pemerintahan di tingkat lokal. Dengan bersumber pada prinsip demokrasi inilah, maka rakyat di daerah memiliki kesempatan yang seluas-luasnya untuk menentukan sendiri arah dan kebijaksanaan dalam memajukan dan mengembangkan daerahnya sesuai dengan potensi yang ada. Produk hukum daerah sebagai manifestasi dari kebijakan publik yang mengikut sertakan partisipasi masyarakat merupakan gambaran nyata dari kehendak masyarakat daerah untuk melakukan pengaturan dalam memenuhi kebutuhan riil masyarakat suatu daerah. 3. Prinsip welfare state. Dalam negara kesejahteraan, fungsi negara adalah sebagai pelayan masyarakat (public services) dalam rangka meningkatkan kesejahteraan umum warganya. Oleh sebab itulah, untuk mendekatkan pelayanan tersebut dibutuhkan satuan-satuan pemerintahan di tingkat lokal. Dengan demikian desentralisasi dan otonomi daerah merupakan prinsip yang paling efektif dipergunakan untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat tersebut. Sekaligus mensinkronisasi pelayanan tersebut sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan masing-masing Daerah. Disinilah letak pentingnya produk hukum daerah guna memberikan landasan bagi peran pemerintah daerah dalam melaksanakan public services. 4. Prinsip ke-bhineka-an. Dalam negara yang komposisi kehidupan kemasyarakatannya demikian beragam, tidaklah mungkin melakukan penyeragaman diberbagai aspek kehidupan tersebut. Setiap bentuk penyeragaman di lingkungan masyarakat yang plural justru akan menimbulkan rasa ketidak adilan. Dengan demikian desentralisasi dan otonomi daerah dapat dipergunakan sebagai sarana untuk menampung keaneka ragaman masyarakat Indonesia. Dengan demikian melalui bingkai ke-Bhineka-an inilah keanekaragaman produk hukum daerah yang bernafaskan kearifan lokal akan memperoleh tempat dalam perspekif normatif yuridis dan sekaligus menjadi paradigma pembangunan hukum nasional. Di samping itu, salah satu prinsip negara berdasarkan hukum dan negara berkonstitusi adalah adanya pembagian dan pembatasan kekuasaan negara atau pemerintah. Kewenangan yang diberikan kepada Daerah untuk mengatur dan mengurus sebagian urusan pemerintahan sebagai urusan rumah tangganya, merupakan cara membagi kekuasaan dan membatasi kekuasaan pemerintahan tingkat lebih tinggi. Urusan-urusan yang diatur melalui produk hukum daerah tidak dapat lagi diatur oleh oleh produk hukum tingkat yang lebih atas, kecuali terdapat perubahan mendasar atas sifat dan kepentingan yang terkandung dalam urusan tersebut (menjadi urusan yang menyangkut kepentingan nasional atau lebih luas dari Daerah bersangkutan). Materi Muatan Peraturan Daerah. Keberadaan Peraturan Daerah di samping untuk mengimplementasikan prinsip-prinsip tersebut di atas, pada hakikatnya merupakan subsistem Peraturan Perundang-undangan nasional. Di negara federal-pun dengan mempergunakan contoh AS, J. Bodenhamer mengemukakan bahwa hukum-hukum pemerintah nasional, yang bertempat di Washington DC, berlaku bagi setiap orang yang tinggal di dalam batas wilayah nasional, sementara hukum-hukum di tiap 50 (lima puluh) negara bagian hanya berlaku bagi penghuni yang tinggal di negara-negara bagian itu. Di bawah Konstitusi AS, kongres tidak mempunyai kekuasaan untuk menghapuskan sebuah negara bagian atau tidak pula sebuah negara bagian bisa mengambil alih kekuasaan yang menjadi wewenang pemerintah nasional. Secara nyata, di bawah federalisme Amerika, Konstitusi adalah sumber kewenangan baik untuk pemerintah nasional dan negara bagian. Lebih lanjut dikatakan bahwa di AS, wilayah-wilayah dimana kewenangan nasional tidak disebutkan dalam konstitusi, negara bagian bisa membuat peraturan untuk bertindak selama tidak bertentangan dengan kekuasaan pemerintah pusat yang sah berlaku. Pendapat tersebut di atas menunjukkan bukti bahwa di negara federal-pun meteri muatan dalam produk hukum negara bagian tidak diperbolehkan melanggar materi muatan dalam produk hukum nasional yang dalam hal ini adalah Konstitusi. Oleh sebab itu di Negara Kesatuan Republik Indonesia yang mempergunakan asas desentralisasi pun seharusnya Peraturan Daerah juga menganut prinsip yang demikian. Menurut Pasal 14 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ditegaskan bahwa materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Berdasar dari ketentuan ini, maka substansi Peraturan Daerah dapat dikategorikan ke dalam tiga materi muatan, yakni: a. Berbagai hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan otonomi dan tugas pembantuan; b. Menampung kondisi khusus daerah; dan/atau c. Penjabaran lebih lanjut Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Ditinjau dari aspek legal drafting, maka cara merumuskan ketentuan Pasal 14 tersebut dilakukan dengan menggabungkan ketentuan Pasal 136 ayat (2) dan ayat (3) UU No. 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah ke dalam satu rumusan pasal. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 136 ayat (2) yang menyatakan bahwa Perda dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah provinsi/kabupaten/kota dan tugas pembantuan, dan ayat (3)-nya menyatakan bahwa Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah. Cara penggabungan kedua ayat yang terdapat dalam Pasal 136 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ke dalam satu pasal yakni Pasal 14 UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan merupakan model perumusan yang tidak taat norma. Pasal 136 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah jelas berkaitan dengan norma keberadaan Peraturan Daerah, sedangkan ayat (3)-nya berkaitan dengan norma isi Peraturan Daerah sebagai tindak lanjut dari norma organ pembentuk Peraturan Daerah yang dirumuskan dalam ketentuan Pasal 136 ayat (1). Dari kerancuan perumusan norma yang terkandung dalam Pasal 14 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan tersebut mengakibatkan ketika mengimplementasikan ketiga kategori materi muatan tersebut ke dalam Peraturan Daerah, maka harus dilaksanakan secara harmonis, artinya perumusan Peraturan Daerah tidak hanya sekedar untuk mengatur penyelenggaraan otonomi dan tugas pembantuan, atau sekedar menampung kondisi khusus daerah, atau hanya sekedar menjabarkan lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi, melainkan harus menampung ketiga kategori materi tersebut secara seimbang. Akibat lanjutan dari kerancuan ini, maka penyelenggara Pemerintahan Daerah (DPRD dan Kepala Daerah) jelas mengalami kesulitan pada saat menyusun suatu Peraturan Daerah. Muatan Lokal dalam Peraturan Daerah. Istilah “muatan Lokal” sejauh ini tidak diatur secara tegas baik mengenai makna dan wujud empiriknya dalam berbagai Peraturan Perundang-undangan yang terkait dengan Pemerintahan Daerah. Namun demikian, istilah “muatan lokal” ini sebenarnya dapat ditelusuri dari prinsip otonomi daerah yang dipergunakan dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Di dalam khasanah Hukum Tata Negara yang secara khusus mengkaji tentang Pemerintahan Daerah dikenal adanya prinsip otonomi nyata (riil), yakni isi rumah tangga daerah yang menjadi wewenang daerah untuk diatur dan diurus sebagai urusan rumah tangga sendiri di dasarkan kepada keadaan dan faktor-faktor yang nyata. Di dalam Penjelasan Umum huruf b UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan: “Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah”. Dari Penjelasan seperti ini menunjukkan bahwa potensi dan kekhasan daerah juga harus menjadi pertimbangan dalam pengaturan urusan pemerintahan. Berpijak dari pemahaman tersebut di atas, maka dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan “muatan lokal” tidak lain adalah keadaan dan faktor-faktor nyata yang oleh Penjelasan Umum huruf b UU No, 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah adalah potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian topik “Muatan Lokal dalam Peraturan Daerah” pada hakikatnya adalah mengkaji keadaan, faktor-faktor nyata, potensi atau kekhasan daerah yang harus menjadi bahan pertimbangan dalam merumuskan materi muatan Peraturan Daerah. Persoalannya adalah unsur-unsur/elemen-elemen/komponen-komponen apa saja yang termasuk kategori keadaan, faktor-faktor nyata, potensi atau kekhasan daerah yang harus menjadi bahan pertimbangan guna dirumuskan dalam Peraturan Daerah? Menurut hemat penulis keadaan, faktor-faktor nyata, potensi atau kekhasan daerah yang merupakan “muatan lokal” tidak lain adalah: a. Kemampuan daerah; b. Keadaan daerah; dan c. Kebutuhan daerah. a. Kemampuan daerah. Kemampuan Daerah dipergunakan untuk bahan pertimbangan dalam merumuskan materi muatan Peraturan Daerah, sehingga kelak Peraturan Daerah tersebut dapat diimplementasikan secara konsisten. Unsur-unsur kemampuan daerah ini antara lain: 1. Kemampuan keuangan yakni kemampuan daerah dalam membiayai pelaksanakan Peraturan Daerah terutama yang berasal dari pendapatan asli. Sehubungan dengan hal ini, untuk mengetahui besarnya kemampuan keuangan adalah: - Prosentasi Pendapatan Asli daerah (PAD) dibandingkan dengan seluruh pendapatan dan penerimaan daerah; - Besar kecilnya pajak-pajak daerah yang diterima. 2. Kemampuan aparatur menjadi unsur penentu karena Pemerintah Daerah pada hakikatnya merupakan suatu organisasi dimana faktor manusia memegang peranan penting. Setiap organisasi membutuhkan pengelola, dan pengelola itu tidak lain adalah manusia-manusia yang terdapat di dalamnya. Oleh sebab itu ketika menyusun suatu Peraturan Daerah yang harus dipertimbangkan adalah menyangkut kemampuan aparatur untuk melaksanakan Peraturan daerah yang dibentuk itu. Sehubungan dengan hal ini unsur-unsur yang perlu diperhatikan antara lain: - Ratio jumlah pegawai dengan jumlah penduduk (terkait dengan pelayanan sampai dengan hal yang berkaitan dengan penegakan hukum Peraturan Daerah); - Pengalaman kerja pegawai; - Golongan pegawai; - Pendidikan formal yang dicapai; - Pendidikan non formal yang pernah diikuti; dan - Kesesuaian antara pendidikan dan jabatan. 3. Kemampuan partisipasi masyarakat harus menjadi pertimbangan dalam merumuskan materi muatan Peraturan Daerah, karena telah disadari bersama bahwa dalam menyelenggarakan kegiatan pemerintahan (lebih-lebih dalam rangka pelaksanaan pembangunan dan demokratisasi), kemampuan pemerintah daerah sangat terbatas. Oleh sebab itu tingkat kemampuan dan kesediaan masyarakat untuk ikut terlibat dalam melaksanakan Peraturan Daerah sangat diperlukan. Peraturan Daerah tidak dapat berjalan efektif manakala masyarakat menolak atau tidak memiliki kesadaran hukum yang tinggi untuk melaksanakannya. Secara empiris banyak dijumpai Peraturan Daerah yang sudah dibentuk ternyata tidak dapat dilaksanakan secara konsisten. Sehubungan dengan hal ini untuk mengetahui kemampuan partisipasi masyarakat perlu diperhatikan: - Besarnya peran serta masyarakat dalam kegiatan pembangunan yang dilaksanakan bersama-sama dengan pemda; - Jumlah lembaga sosial, pendidikan, kesehatan, dan semacamnya yang dikelola oleh masyarakat; - Tingkat keikutsertaan masyarakat dalam penyelenggaraan kegiatan untuk kepentingan umum. 4. Kemampuan Ekonomi yakni besarnya kegiatan atau usaha perekonomian yang berlangsung di daerah. Kemampuan ini menjadi faktor penting untuk dipertimbangkan dalam merumuskan materi muatan Peraturan Daerah karena ikut memberikan konstribusi terhadap Pemerintah Daerah yang pada gilirannya akan memunculkan tingkat kemampuan daerah dalam berotonomi. Dengan mengkaji Pendapatan daerah Bruto (Product Domestic Bruto/PDRB), maka akan diketahui kemampuan suatu daerah. 5. Demografi, yakni keadaan penduduk di suatu daerah baik kuantitas maupun kualitasnya, termasuk juga karakteristik lainnya. Untuk mengetahui muatan lokal yang terkait demografi sebagai bahan pertimbangan merumuskan materi muatan Peraturan daerah, maka komponen yang perlu diperhatikan adalah: - Kepadatan penduduk; - Penyebaran penduduk; - Tingkat pendidikannya; dan - Pembagian umum lainnya. 6. Kemampuan Administrasi dan Organisasi. Aspek muatan lokal ini dipergunakan sebagai arah untuk menilai kemampuan daerah ditinjau dari efektifitas pelaksanaan setiap program, dan pengaturan kerja diantara aparatur pelaksananya. Oleh sebab itu komponen muatan lokal yang terkait dengan hal ini, antara lain: - Tingkat efektifitas perencanaan APBD; - Tingkat pemenuhan struktur organisasi yang telah ditentukan; - Kejelasan fungsi dan tugas pokok masing-masing unit; dan - Tingkat kemampuan melaksanakan rencana-rencana pekerjaan yang telah digariskan. b. Keadaan Derah. Muatan lokal yang terkait dengan keadaan daerah dipergunakan sebagai pertimbangan perumusan materi muatan Peraturan Daerah yang disesuaikan dengan corak daerah, misalnya daerah pertanian, perindustrian, perkotaan, pedesaan, perikanan, perkebunan dan lain sebagainya. Sehubungan dengan hal ini, maka muatan lokal yang terkait dengan keadaan daerah ini menyangkut aspek geografi dan aspek sosial budaya. Aspek geografi adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan lingkungan alam daerah yang memberikan pengaruh signifikan pada pola hidup masyarakat, seperti iklim dan curah hujan, kesuburan tanah, luas dan bentuk daerah, serta unsur biotis lainnya misal flora dan fauna. Sedangkan aspek sosial budaya tidak lain adalah muatan lokal yang berhubungan dengan struktur dan pola budaya masyarakat daerah, seperti religiusitas, adat istiadat, lembaga kemasyarakatan, struktur masyarakat, dan tata nilai yang berlaku dimasyarakat. c. Kebutuhan daerah. Yang dimaksud kebutuhan daerah tidak lain adalah kehendak atau keinginan daerah untuk mengatur, mengurus dan menyelenggarakan urusan pemerintahan tertentu sesuai dengan kemampuan dan keadaan daerah. Dengan demikian kebutuhan daerah ini merupakan unsur muatan lokal yang harus menjadi pertimbangan dalam menentukan bidang atau sektor apa sajakah yang akan diatur dengan Peraturan Daerah setelah daerah yang bersangkutan menginventarisir dan mengkaji kemampuan dan keadaan yang dimiliki daerah. Penutup. Berpijak dari keberadaan unsur-unsur muatan lokal tersebut di atas, maka dapat ditarik pemahaman bahwa ketika suatu Daerah hendak menyusun Peraturan Daerah guna mengatur kewenangan-kewenangan otonomi, maka pengkajian dan pencermatan terhadap kemampuan dan keadaan daerah wajib dilakukan terlebih dahulu. Pengkajian dan pencermatan ini harus tertuang di dalam dokumen Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah. Demikianlah beberapa gambaran singkat mengenai Muatan Lokal dalam Peraturan Daerah yang dapat kami sampaikan. Semoga bermanfaat. Kotagede, 2 Mei 2011 B. Hestu Cipto Handoyo.

Sabtu, 07 Januari 2012

EKSISTENSI TAP MPR

Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan memasukkan kembali Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat di dalam jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan. Langkah seperti ini berdasarkan pada ketentuan Pasal I Aturan Tambahan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan:
Majelis Permusyawaratan Rakyat ditugaskan untuk melakukan peninjauan kembali terhadap materi dan status hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk diambil putusan pada Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 2003.

Sehubungan dengan hal ini, memang di dalam Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk membentuk Produk Hukum tertulis yang namanya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat sudah ditiadakan. Namun demikian Produk Hukum tertulis yang sudah ada sejak sekitar tahun 1960 yang berwujud Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara sampai dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat di era Orde Baru, harus tetap diputuskan kedudukan hukumnya. Hal ini mengingat Produk Hukum tertulis yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat tersebut pernah menimbulkan kontroversi kedudukan hukumnya bila dikaitkan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh sebab itu sejak Amandemen ke empat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia eksistensi materi dan status hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia perlu mendapatkan kepastian hukum apakah masih termasuk jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan ataukah tidak.
Berdasarkan Perintah Pasal I Aturan Tambahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut, maka dikeluarkanlah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1960 Sampai Dengan Tahun 2002.
Di dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan tersebut, status hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, ditentukan sebagai berikut:
1. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia yang tetap dinyatakan berlaku dengan persyaratan;
3. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia yang tetap berlaku sampai dengan terbentuknya pemerintahan hasil pemilihan umum tahun 2004;
4. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia yang tetap berlaku sampai dengan terbentuknya Undang-Undang;
5. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tentang Peraturan Tata Tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dinyatakan masih berlaku sampai dengan ditetapkannya Peraturan Tata Tertib yang baru oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia hasil pemilihan umum tahun 2004; dan
6. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia yang tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena bersifat einmalig (final), telah dicabut maupun telah selesai dilaksanakan.
Sehubungan dengan hal tersebut Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan perundang-undangan menyatakan:
“Yang dimaksud dengan “Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat” adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 Sampai Dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003”.

Dengan demikian, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia yang tetap diakui keberadaannya, serta dimasukkan sebagai jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan menurut Undang-Undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, adalah:
1. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Mejelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia yang dinyatakan berlaku dengan persyaratan-persyaratan sebagaimana tertuang di dalam Ketetapan yang dimaksud, antara lain:
a. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia Nomor XXV/MPRS/I966 tentang Pembubaran Partai Kornunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faharn atau Ajaran Komunis/Marxisme/Leninisme dengan ketentuan seluruh ketentuan dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia Nomor XXV/MPRS/1966 ini, ke depan diberlakukan dengan beikeadilan dan menghormati hukum, prinsip demokrasi dan hak asasi manusia;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi dalam Rangka Demokrasi Ekonomi, dengan ketentuan Pemerintah berkewajiban mendorong keberpihakan politik ekonomi yang lebih memberikan kesempatan dukungan dan pengembangan ekonomi, usaha kecil menengah, dan koperasi sebagai pilar ekonomi dalam membangkitkan terlaksananya pembangunan nasional dalam rangka demokrasi ekonomi sesuai hakikat Pasal 33 Undang--Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Ketetapan Mejelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia yang tetap berlaku sampai dengan terbentuknya Undang-Undang, yakni:
a. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme sampai terlaksananya seluruh ketentuan dalam Ketetapan tersebut;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan; serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia sampai dengan terbentuknya undang-undang tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 18, 18A, dan 18B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional;
d. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia No VI/MPR/200I tentang Etika Kehidupan Berbangsa;
e. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia No VII/MPR/2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan;
f. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia No VIII/MPR/200I tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan Pencegahan Korupsi, Kolusi. dan Nepotisme sampai terlaksananya seluruh ketentuan dalam Ketetapan tersebut;
g. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia No IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam sampai terlaksananya seluruh ketentuan dalam Ketetapan tersebut;
Dengan adanya 2 (dua) kategori materi dan status hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tersebut, maka walaupun setelah empat kali Amandemen, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sudah tidak memberikan wewenang kepada Majelis Permusyawarata Rakyat Republik Indonesia untuk membentuk produk hukum yang namanya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, namun Ketetapan yang dikeluarkan oleh Majelis tetap menjadi dimasukkan sebagai jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan berdasarkan Undang-Undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pemahaman seperti ini tercermin dalam ketentuan Pasal 8 yang menyatakan:
(1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Mejelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
(2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Paraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.

Dari ketentuan tersebut, nampak jelas bahwa peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah masuk ke dalam jenis Peraturan Perundang-undangan. Dengan demikian Ketetapan Majelis tentang Peraturan Tata Tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia yang secara normatif hanya berlaku internal, tetap dianggap sebagai Peraturan Perundang-undangan yang pada umumnya secara normatif berlaku dan bersifat mengikat umum.
Menurut hemat penulis, mengembalikan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat di dalam Undang-Undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan perundang-undangan sebagai jenis dan hierarkhi Peraturan Perundang-undangan, merupakan langkah perumusan yang kontradiktif. Hal ini mengingat ditinjau dari aspek pembentukannya jelas-jelas tidak diperintahkan oleh Paraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi, yakni Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Bahkan walaupun Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan:
Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan”.

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat tersebut keberadaannya tidak memenuhi syarat, karena menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 kewenangan yang dimiliki oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tidak secara tegas disebutkan salah satunya adalah menetapkan produk hukum yang namanya Ketetapan Mejelis Permusyawaratan Rakyat. Dengan demikian, keberadaan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Sementara) Republik Indonesia sebagai jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan merupakan hal yang berlebihan, sehingga bila ditinjau dari aspek konstitusional, Undang-Undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan patut untuk dipertanyakan.

KETERANGAN AHLI UJI MATERI UU KOPERASI

KONSEKUENSI MAKNA KETENTUAN UMUM PASAL 1 ANGKA 1 UU NO. 17 TAHUN 2012 TERHADAP PRINSIP DAN ASAS KOPERASI Oleh: Dr. Benediktus H...