Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (sebelum amandemen) sebagai hukum dasar tertulis
(konstitusi tertulis) menegas adanya beberapa jenis Peraturan
Perundang-undangan Tingkat Pusat, yaitu Undang-Undang Dasar itu sendiri,
Undang-Undang, Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang, dan
Peraturan Pemerintah.
Sementara
itu dalam sejarah Peraturan Perundang-undangan Indonesia pernah ada Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat No. XX/MPRS/1966 yang menentukan di samping 4
(empat) jenis Peraturan Perundang-undangan tersebut, juga masih dikenal adanya
jenis lain, seperti : Ketetapan MPR, Keputusan Presiden dan Peraturan
pelaksanaan lainnya, seperti Peraturan Menteri, Instruksi Menteri, dan
lain-lain.
Menurut
Bagir Manan bentuk-bentuk atau jenis Peraturan
Perundang-undangan yang disebutkan dalam Tap MPRS No. XX/MPRS/1966 lebih luas
daripada yang disebut dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesa Tahun 1945
tetapi lebih sempit dibandingkan dengan kenyataan yang ada. Dikatakan lebih
luas, karena Tap MPRS No.XX/MPRS/1966, menyebutkan beberapa Peraturan
Perundang-undangan yang tidak secara tegas disebutkan dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebaliknya
disebut lebih sempit dari kenyataan, karena Tap MPRS No. XX/MPRS/1966 hanya
memuat Peraturan Perundang-undangan Tingkat Pusat. Sedangkan dalam sistem Peraturan
Perundang-undangan Indonesia terdapat juga Peraturan Perundang-undangan tingkat
daerah seperti Peraturan Daerah.[1]
Lebih
lanjut dikatakan bahwa Tap MPRS No. XX/MPRS/1966 dapat juga dianggap
berlebihan, karena memasukkan Instruksi
sebagai salah satu bentuk atau jenis Peraturan Perundang-undangan. Padahal dari
segala segi sifat dan substansinya, Instruksi
tidak memenuhi persyaratan sebagai Peraturan Perundang-undangan. Instruksi
memuat hal-hal konkrit dan individual, sehingga tidak memenuhi esensi sebagai Peraturan
Perundang-undangan.[2]
Bertolak
dari pendapat tersebut, permasalahan yang dapat dikemukakan disini adalah
apakah Tap. MPRS No. XX/MPRS/1966 dapat dikatakan melanggar ketentuan yang ada
di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau apakah
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat tersebut sifatnya inkonstitusional?
Di dalam
tataran normatif yuridis, maka keadaan yang demikian ini dapat dianggap
merupakan bentuk penyimpangan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hal ini disebabkan Undang-Undang
Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 sebagai
Hukum Dasar yang tertinggi serta berkedudukan sebagai norma hukum bagi
pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah telah
memberikan penegasan mengenai jenis Peraturan Perundang-undangan yang dimaksud.
Oleh sebab itu, kalau dijumpai adanya jenis Peraturan
Perundang-undangan di luar yang telah ditentukan secara limitatif oleh Undang-Undang
Dasar, maka sudah barang tentu – secara normatif yuridis – jenis Peraturan
Perundang-undangan tersebut menyalahi norma hukum yang telah ditentukan oleh Undang-Undang
Dasar itu sendiri, sehingga dapatlah dibenarkan jikalau Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat itu bersifat inkonstitusional.
Dalah
sejarah khasanah Peraturan Perundang-undangan Indonesia perdebatan mengenai
eksistensi Ketetapan Majelis Permusyawaratan memang sempat mengemuka setelah
reformasi 1998 bergulir. Lebih-lebih setelah Presiden Abdurrahman ”Gus
Dur” Wahid dijatuhi memorandum ke III oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia, hingga beliau ”jatuh”
dari tampuk kepemimpinan nasional. Pada waktu itu silang pendapat yang cukup
keras antara para pakar Hukum Tata Negara begitu mengemuka di belantara wacana
akademis tentang keberadaan produk Hukum yang dikeluarkan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat tersebut.
Dalam
suatu kesempatan wawancara dengan sebuah media elektonik nasional, Harun Al
Rasyid (Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia) mengemukakan dengan
lantang bahwa Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat itu adalah produk hukum
yang haram. Artinya melanggar
konstitusi. Sementara itu Bagir Manan (Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas
Padjadjaran Bandung), menyanggah pendapat Harun Al Rasyid dan tetap menganggap
bahwa Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat itu adalah produk hukum yang
konstitusional.
Silang
pendapat yang begitu keras tersebut tentu saja membuat masyarakat
bertanya-tanya. Mengapa dalam satu bidang ilmu guru besarnya berbeda pendapat dan berantem argumentasi seperti
itu? Ada apa dengan Ilmu Hukum di negeri ini? Bagi penulis silang pendapat
seperti itu merupakan hal yang sangat biasa dan wajar di lingkungan Ilmu Hukum.
Bahkan dalam dataran filsafat hukum yang melahirkan teori-teori hukum, antinomi
terhadap keberadaan dan hakikat ilmu hukum juga terjadi.
Menurut
Harun Al Rasyid, produk Hukum yang namanya Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat itu tidak secara tegas-tegas tercantum (tersurat) di dalam ketentuan Pasal-pasal Undang-Undang
Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh sebab itu produk hukum ini nyata-nyata
melanggar konstitusi. Sementara itu Bagir Manan mengemukakan bahwa walaupun
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat itu tidak tercantum secara tegas di
dalam Pasal-Pasal Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, namun
keberadaan produk hukum ini pada hakikatnya bersumber pada dua hal :
Pertama; penafsiran ketentuan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa Majelis
Permusyawaratan Rakyat menetapkan Undang-Undang Dasar dan Garis-garis besar
daripada haluan Negara. Ketentuan seperti ini dapat ditafsirkan, jika suatu
lembaga negara secara tersurat diberi kekuasaan oleh Undang-Undang Dasar untuk
menetapkan Undang-Undang Dasar dan Garis-garis besar daripada haluan negara,
maka secara tersirat lembaga negara tersebut juga diberi wewenang untuk
mengeluarkan suatu produk hukum yang disebut Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat. Penafsiran seperti ini nampaknya dilatar belakangi oleh asumsi bahwa
antara pemberian kekuasaan melakukan sesuatu dengan wewenang untuk mengeluarkan
sebuah produk hukum merupakan dua hal yang bisa dikatakan berbanding lurus.
Kedua; lahirnya Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat itu bersumber dari kebiasaan ketatanegaraan (Convention of Constitutions) sejak
sekitar tahun 1960-an. Oleh sebab itu keberadaan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat tetap konstitusional. Apalagi Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia Tahun 1945 juga mengakui adanya praktek-praktek ketatanegaraan
walaupun tidak tertulis, sebagaimana pernah ditegaskan dalam Penjelasan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.[3]
Jika
ditinjau dari Teori Hukum Tata Negara, kedua pandangan pakar Hukum Tata Negara tersebut
pada hakikatnya sama-sama dapat dibenarkan. Hal ini mengingat pandangan masing-masing
pihak yang disampaikan itu mempergunakan kacamata
aliran teori hukum yang berbeda. Harun Al Rasyid mempergunakan kacamata legisme yang lebih menitik
beratkan pada kepastian hukum. Sedangkan Bagir Manan mempergunakan kacamata
sosiologis empiris melalui pendekatan kebiasaan ketatanegaraan (convention of constitutions) maupun penafsiran
hukum.