Mengenai Saya

Foto saya
Yogyakarta, DIY, Indonesia
Dr. Benediktus Hestu Cipto Handoyo, S.H.,M.Hum atau sering dipanggil Ben atau Hestu, lahir di Blora Jawa Tengah pada tanggal 3 Juli 1962. Suami dari Maria Bernadeth Maitimo, SH dan bapak dari dua anak Giovanni Battista Maheswara, S.H.,M.H dan Alexandro Kevin Maheswara, S.H. ini, menyelesaikan pendidikan di SD. Katolik Kridadharma Blora tahun 1974. Kemudian melanjutkan di SMP Negeri I Blora lulus tahun 1978, serta SMA Jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) di SMA Katolik Wijayakusuma Blora, lulus tahun 1981. Jenjang Pendidikan Tinggi ditempuh di Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta, dan Lulus Sarjana Hukum pada tahun 1988. Melanjutkan studi pada Program Pascasarjana (S2) Universitas Padjadjaran Bandung lulus dan memperoleh gelar Magister Humaniora (M.Hum) pada tahun 1995. Pada tanggal 20 Desember 1997 sampai dengan 4 Maret 1998 mendapatkan kesempatan mengikuti kursus di LEMHANNAS (Lembaga Pertahanan dan Keamanan Nasional) Jakarta. Kemudian pada tahun 2018 Lulus pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Katolik Parahyangan Bandung

Senin, 07 Mei 2012

MUATAN LOKAL DALAM PERATURAN DAERAH

MUATAN LOKAL DALAM PERATURAN DAERAH Oleh: B. Hestu Cipto Handoyo Pendahuluan. Secara teoritis keberadaan produk hukum daerah (khususnya Peraturan Daerah) dapat merujuk pada pandangan Hans Kelsen dalam menerangkan pengertian desentralisasi. Menurut Kelsen desentralisasi berkaitan dengan pengertian negara sebagai suatu tatanan hukum (legal order). Menurut Kelsen desentralisasi pada intinya menyangkut berlakunya sistem tatanan hukum dalam suatu negara. Di dalam negara ada kaidah-kaidah hukum yang berlaku sah untuk seluruh wilayah negara yang disebut sebagai kaidah sentral (central norm) dan ada pula kaidah-kaidah hukum yang berlaku sah dalam bagian-bagian wilayah yang berbeda yang disebut desentral atau kaidah lokal (decentral or local norm). Dengan demikian jika kita membicarakan tentang produk hukum daerah tidak lain adalah menyangkut tatanan hukum yang desentralistik. Pendapat tersebut masih belum menerangkan secara tuntas tentang hakikat dari produk hukum daerah jika dikaitkan dengan pengetian desentralisasi. Persoalannya adalah siapakah yang membentuk kaidah yang desentral tersebut, apakah Pemerintah Pusat ataukah Pemerintah Daerah. Jika ternyata yang membentuk adalah Pemerintah Pusat dan diterapkan di sebagian wilayah negara, maka tentunya tidak dapat disebut sebagai kaidah yang desentral. Oleh sebab itu produk hukumnyapun tetap produk hukum nasional. Hal ini disebabkan wilayah-wilayah negara hanya melaksanakan kaidah desentral itu dan tidak memiliki inisiatif untuk membentuk sendiri. Lain halnya jika kaidah desentral tersebut dibentuk sendiri oleh Pemerintah Lokal yang bersumber dari prakarsa sendiri. Dengan demikian yang dimaksud dengan Produk Hukum Daerah tentunya tidak lain adalah kaidah-kaidah hukum yang berlaku mengikat di masing-masing wilayah negara dan dibentuk berdasarkan inisiatif daerah. Bertitik tolak dari argumentasi tersebut, maka latar belakang keberadaan Peraturan Daerah dalam lingkup negara yang desentralistik akan bersumber pada beberapa prinsip, yaitu: 1. Prinsip negara hukum. Di dalam prinsip negara hukum di samping dikenal adanya pemisahan kekuasaan, juga dikenal adanya pemencaran kekuasaan, yaitu pendelegasian atau pendistribusian kekuasaan secara vertikal. Dengan demikian desentralisasi yang menimbulkan otonomi daerah dan memunculkan adanya produk-produk hukum daerah pada hakikatnya merupakan implementasi dari pemencaran kekuasaan khususnya di bidang legislasi. 2. Prinsip demokrasi. Dalam negara demokrasi kebutuhan akan partisipasi masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara merupakan suatu keniscayaan. Bahkan kalau boleh mengatakan partisipasi merupakan prinsip utama dalam sendi-sendi demokrasi. Berdasarkan prinsip semacam inilah, maka desentralisasi yang menimbulkan otonomi daerah merupakan sarana yang tepat untuk mengimplementasikan prinsip demokrasi pemerintahan di tingkat lokal. Dengan bersumber pada prinsip demokrasi inilah, maka rakyat di daerah memiliki kesempatan yang seluas-luasnya untuk menentukan sendiri arah dan kebijaksanaan dalam memajukan dan mengembangkan daerahnya sesuai dengan potensi yang ada. Produk hukum daerah sebagai manifestasi dari kebijakan publik yang mengikut sertakan partisipasi masyarakat merupakan gambaran nyata dari kehendak masyarakat daerah untuk melakukan pengaturan dalam memenuhi kebutuhan riil masyarakat suatu daerah. 3. Prinsip welfare state. Dalam negara kesejahteraan, fungsi negara adalah sebagai pelayan masyarakat (public services) dalam rangka meningkatkan kesejahteraan umum warganya. Oleh sebab itulah, untuk mendekatkan pelayanan tersebut dibutuhkan satuan-satuan pemerintahan di tingkat lokal. Dengan demikian desentralisasi dan otonomi daerah merupakan prinsip yang paling efektif dipergunakan untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat tersebut. Sekaligus mensinkronisasi pelayanan tersebut sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan masing-masing Daerah. Disinilah letak pentingnya produk hukum daerah guna memberikan landasan bagi peran pemerintah daerah dalam melaksanakan public services. 4. Prinsip ke-bhineka-an. Dalam negara yang komposisi kehidupan kemasyarakatannya demikian beragam, tidaklah mungkin melakukan penyeragaman diberbagai aspek kehidupan tersebut. Setiap bentuk penyeragaman di lingkungan masyarakat yang plural justru akan menimbulkan rasa ketidak adilan. Dengan demikian desentralisasi dan otonomi daerah dapat dipergunakan sebagai sarana untuk menampung keaneka ragaman masyarakat Indonesia. Dengan demikian melalui bingkai ke-Bhineka-an inilah keanekaragaman produk hukum daerah yang bernafaskan kearifan lokal akan memperoleh tempat dalam perspekif normatif yuridis dan sekaligus menjadi paradigma pembangunan hukum nasional. Di samping itu, salah satu prinsip negara berdasarkan hukum dan negara berkonstitusi adalah adanya pembagian dan pembatasan kekuasaan negara atau pemerintah. Kewenangan yang diberikan kepada Daerah untuk mengatur dan mengurus sebagian urusan pemerintahan sebagai urusan rumah tangganya, merupakan cara membagi kekuasaan dan membatasi kekuasaan pemerintahan tingkat lebih tinggi. Urusan-urusan yang diatur melalui produk hukum daerah tidak dapat lagi diatur oleh oleh produk hukum tingkat yang lebih atas, kecuali terdapat perubahan mendasar atas sifat dan kepentingan yang terkandung dalam urusan tersebut (menjadi urusan yang menyangkut kepentingan nasional atau lebih luas dari Daerah bersangkutan). Materi Muatan Peraturan Daerah. Keberadaan Peraturan Daerah di samping untuk mengimplementasikan prinsip-prinsip tersebut di atas, pada hakikatnya merupakan subsistem Peraturan Perundang-undangan nasional. Di negara federal-pun dengan mempergunakan contoh AS, J. Bodenhamer mengemukakan bahwa hukum-hukum pemerintah nasional, yang bertempat di Washington DC, berlaku bagi setiap orang yang tinggal di dalam batas wilayah nasional, sementara hukum-hukum di tiap 50 (lima puluh) negara bagian hanya berlaku bagi penghuni yang tinggal di negara-negara bagian itu. Di bawah Konstitusi AS, kongres tidak mempunyai kekuasaan untuk menghapuskan sebuah negara bagian atau tidak pula sebuah negara bagian bisa mengambil alih kekuasaan yang menjadi wewenang pemerintah nasional. Secara nyata, di bawah federalisme Amerika, Konstitusi adalah sumber kewenangan baik untuk pemerintah nasional dan negara bagian. Lebih lanjut dikatakan bahwa di AS, wilayah-wilayah dimana kewenangan nasional tidak disebutkan dalam konstitusi, negara bagian bisa membuat peraturan untuk bertindak selama tidak bertentangan dengan kekuasaan pemerintah pusat yang sah berlaku. Pendapat tersebut di atas menunjukkan bukti bahwa di negara federal-pun meteri muatan dalam produk hukum negara bagian tidak diperbolehkan melanggar materi muatan dalam produk hukum nasional yang dalam hal ini adalah Konstitusi. Oleh sebab itu di Negara Kesatuan Republik Indonesia yang mempergunakan asas desentralisasi pun seharusnya Peraturan Daerah juga menganut prinsip yang demikian. Menurut Pasal 14 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ditegaskan bahwa materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Berdasar dari ketentuan ini, maka substansi Peraturan Daerah dapat dikategorikan ke dalam tiga materi muatan, yakni: a. Berbagai hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan otonomi dan tugas pembantuan; b. Menampung kondisi khusus daerah; dan/atau c. Penjabaran lebih lanjut Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Ditinjau dari aspek legal drafting, maka cara merumuskan ketentuan Pasal 14 tersebut dilakukan dengan menggabungkan ketentuan Pasal 136 ayat (2) dan ayat (3) UU No. 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah ke dalam satu rumusan pasal. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 136 ayat (2) yang menyatakan bahwa Perda dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah provinsi/kabupaten/kota dan tugas pembantuan, dan ayat (3)-nya menyatakan bahwa Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah. Cara penggabungan kedua ayat yang terdapat dalam Pasal 136 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ke dalam satu pasal yakni Pasal 14 UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan merupakan model perumusan yang tidak taat norma. Pasal 136 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah jelas berkaitan dengan norma keberadaan Peraturan Daerah, sedangkan ayat (3)-nya berkaitan dengan norma isi Peraturan Daerah sebagai tindak lanjut dari norma organ pembentuk Peraturan Daerah yang dirumuskan dalam ketentuan Pasal 136 ayat (1). Dari kerancuan perumusan norma yang terkandung dalam Pasal 14 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan tersebut mengakibatkan ketika mengimplementasikan ketiga kategori materi muatan tersebut ke dalam Peraturan Daerah, maka harus dilaksanakan secara harmonis, artinya perumusan Peraturan Daerah tidak hanya sekedar untuk mengatur penyelenggaraan otonomi dan tugas pembantuan, atau sekedar menampung kondisi khusus daerah, atau hanya sekedar menjabarkan lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi, melainkan harus menampung ketiga kategori materi tersebut secara seimbang. Akibat lanjutan dari kerancuan ini, maka penyelenggara Pemerintahan Daerah (DPRD dan Kepala Daerah) jelas mengalami kesulitan pada saat menyusun suatu Peraturan Daerah. Muatan Lokal dalam Peraturan Daerah. Istilah “muatan Lokal” sejauh ini tidak diatur secara tegas baik mengenai makna dan wujud empiriknya dalam berbagai Peraturan Perundang-undangan yang terkait dengan Pemerintahan Daerah. Namun demikian, istilah “muatan lokal” ini sebenarnya dapat ditelusuri dari prinsip otonomi daerah yang dipergunakan dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Di dalam khasanah Hukum Tata Negara yang secara khusus mengkaji tentang Pemerintahan Daerah dikenal adanya prinsip otonomi nyata (riil), yakni isi rumah tangga daerah yang menjadi wewenang daerah untuk diatur dan diurus sebagai urusan rumah tangga sendiri di dasarkan kepada keadaan dan faktor-faktor yang nyata. Di dalam Penjelasan Umum huruf b UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan: “Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah”. Dari Penjelasan seperti ini menunjukkan bahwa potensi dan kekhasan daerah juga harus menjadi pertimbangan dalam pengaturan urusan pemerintahan. Berpijak dari pemahaman tersebut di atas, maka dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan “muatan lokal” tidak lain adalah keadaan dan faktor-faktor nyata yang oleh Penjelasan Umum huruf b UU No, 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah adalah potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian topik “Muatan Lokal dalam Peraturan Daerah” pada hakikatnya adalah mengkaji keadaan, faktor-faktor nyata, potensi atau kekhasan daerah yang harus menjadi bahan pertimbangan dalam merumuskan materi muatan Peraturan Daerah. Persoalannya adalah unsur-unsur/elemen-elemen/komponen-komponen apa saja yang termasuk kategori keadaan, faktor-faktor nyata, potensi atau kekhasan daerah yang harus menjadi bahan pertimbangan guna dirumuskan dalam Peraturan Daerah? Menurut hemat penulis keadaan, faktor-faktor nyata, potensi atau kekhasan daerah yang merupakan “muatan lokal” tidak lain adalah: a. Kemampuan daerah; b. Keadaan daerah; dan c. Kebutuhan daerah. a. Kemampuan daerah. Kemampuan Daerah dipergunakan untuk bahan pertimbangan dalam merumuskan materi muatan Peraturan Daerah, sehingga kelak Peraturan Daerah tersebut dapat diimplementasikan secara konsisten. Unsur-unsur kemampuan daerah ini antara lain: 1. Kemampuan keuangan yakni kemampuan daerah dalam membiayai pelaksanakan Peraturan Daerah terutama yang berasal dari pendapatan asli. Sehubungan dengan hal ini, untuk mengetahui besarnya kemampuan keuangan adalah: - Prosentasi Pendapatan Asli daerah (PAD) dibandingkan dengan seluruh pendapatan dan penerimaan daerah; - Besar kecilnya pajak-pajak daerah yang diterima. 2. Kemampuan aparatur menjadi unsur penentu karena Pemerintah Daerah pada hakikatnya merupakan suatu organisasi dimana faktor manusia memegang peranan penting. Setiap organisasi membutuhkan pengelola, dan pengelola itu tidak lain adalah manusia-manusia yang terdapat di dalamnya. Oleh sebab itu ketika menyusun suatu Peraturan Daerah yang harus dipertimbangkan adalah menyangkut kemampuan aparatur untuk melaksanakan Peraturan daerah yang dibentuk itu. Sehubungan dengan hal ini unsur-unsur yang perlu diperhatikan antara lain: - Ratio jumlah pegawai dengan jumlah penduduk (terkait dengan pelayanan sampai dengan hal yang berkaitan dengan penegakan hukum Peraturan Daerah); - Pengalaman kerja pegawai; - Golongan pegawai; - Pendidikan formal yang dicapai; - Pendidikan non formal yang pernah diikuti; dan - Kesesuaian antara pendidikan dan jabatan. 3. Kemampuan partisipasi masyarakat harus menjadi pertimbangan dalam merumuskan materi muatan Peraturan Daerah, karena telah disadari bersama bahwa dalam menyelenggarakan kegiatan pemerintahan (lebih-lebih dalam rangka pelaksanaan pembangunan dan demokratisasi), kemampuan pemerintah daerah sangat terbatas. Oleh sebab itu tingkat kemampuan dan kesediaan masyarakat untuk ikut terlibat dalam melaksanakan Peraturan Daerah sangat diperlukan. Peraturan Daerah tidak dapat berjalan efektif manakala masyarakat menolak atau tidak memiliki kesadaran hukum yang tinggi untuk melaksanakannya. Secara empiris banyak dijumpai Peraturan Daerah yang sudah dibentuk ternyata tidak dapat dilaksanakan secara konsisten. Sehubungan dengan hal ini untuk mengetahui kemampuan partisipasi masyarakat perlu diperhatikan: - Besarnya peran serta masyarakat dalam kegiatan pembangunan yang dilaksanakan bersama-sama dengan pemda; - Jumlah lembaga sosial, pendidikan, kesehatan, dan semacamnya yang dikelola oleh masyarakat; - Tingkat keikutsertaan masyarakat dalam penyelenggaraan kegiatan untuk kepentingan umum. 4. Kemampuan Ekonomi yakni besarnya kegiatan atau usaha perekonomian yang berlangsung di daerah. Kemampuan ini menjadi faktor penting untuk dipertimbangkan dalam merumuskan materi muatan Peraturan Daerah karena ikut memberikan konstribusi terhadap Pemerintah Daerah yang pada gilirannya akan memunculkan tingkat kemampuan daerah dalam berotonomi. Dengan mengkaji Pendapatan daerah Bruto (Product Domestic Bruto/PDRB), maka akan diketahui kemampuan suatu daerah. 5. Demografi, yakni keadaan penduduk di suatu daerah baik kuantitas maupun kualitasnya, termasuk juga karakteristik lainnya. Untuk mengetahui muatan lokal yang terkait demografi sebagai bahan pertimbangan merumuskan materi muatan Peraturan daerah, maka komponen yang perlu diperhatikan adalah: - Kepadatan penduduk; - Penyebaran penduduk; - Tingkat pendidikannya; dan - Pembagian umum lainnya. 6. Kemampuan Administrasi dan Organisasi. Aspek muatan lokal ini dipergunakan sebagai arah untuk menilai kemampuan daerah ditinjau dari efektifitas pelaksanaan setiap program, dan pengaturan kerja diantara aparatur pelaksananya. Oleh sebab itu komponen muatan lokal yang terkait dengan hal ini, antara lain: - Tingkat efektifitas perencanaan APBD; - Tingkat pemenuhan struktur organisasi yang telah ditentukan; - Kejelasan fungsi dan tugas pokok masing-masing unit; dan - Tingkat kemampuan melaksanakan rencana-rencana pekerjaan yang telah digariskan. b. Keadaan Derah. Muatan lokal yang terkait dengan keadaan daerah dipergunakan sebagai pertimbangan perumusan materi muatan Peraturan Daerah yang disesuaikan dengan corak daerah, misalnya daerah pertanian, perindustrian, perkotaan, pedesaan, perikanan, perkebunan dan lain sebagainya. Sehubungan dengan hal ini, maka muatan lokal yang terkait dengan keadaan daerah ini menyangkut aspek geografi dan aspek sosial budaya. Aspek geografi adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan lingkungan alam daerah yang memberikan pengaruh signifikan pada pola hidup masyarakat, seperti iklim dan curah hujan, kesuburan tanah, luas dan bentuk daerah, serta unsur biotis lainnya misal flora dan fauna. Sedangkan aspek sosial budaya tidak lain adalah muatan lokal yang berhubungan dengan struktur dan pola budaya masyarakat daerah, seperti religiusitas, adat istiadat, lembaga kemasyarakatan, struktur masyarakat, dan tata nilai yang berlaku dimasyarakat. c. Kebutuhan daerah. Yang dimaksud kebutuhan daerah tidak lain adalah kehendak atau keinginan daerah untuk mengatur, mengurus dan menyelenggarakan urusan pemerintahan tertentu sesuai dengan kemampuan dan keadaan daerah. Dengan demikian kebutuhan daerah ini merupakan unsur muatan lokal yang harus menjadi pertimbangan dalam menentukan bidang atau sektor apa sajakah yang akan diatur dengan Peraturan Daerah setelah daerah yang bersangkutan menginventarisir dan mengkaji kemampuan dan keadaan yang dimiliki daerah. Penutup. Berpijak dari keberadaan unsur-unsur muatan lokal tersebut di atas, maka dapat ditarik pemahaman bahwa ketika suatu Daerah hendak menyusun Peraturan Daerah guna mengatur kewenangan-kewenangan otonomi, maka pengkajian dan pencermatan terhadap kemampuan dan keadaan daerah wajib dilakukan terlebih dahulu. Pengkajian dan pencermatan ini harus tertuang di dalam dokumen Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah. Demikianlah beberapa gambaran singkat mengenai Muatan Lokal dalam Peraturan Daerah yang dapat kami sampaikan. Semoga bermanfaat. Kotagede, 2 Mei 2011 B. Hestu Cipto Handoyo.

KETERANGAN AHLI UJI MATERI UU KOPERASI

KONSEKUENSI MAKNA KETENTUAN UMUM PASAL 1 ANGKA 1 UU NO. 17 TAHUN 2012 TERHADAP PRINSIP DAN ASAS KOPERASI Oleh: Dr. Benediktus H...