Mengenai Saya

Foto saya
Yogyakarta, DIY, Indonesia
Dr. Benediktus Hestu Cipto Handoyo, S.H.,M.Hum atau sering dipanggil Ben atau Hestu, lahir di Blora Jawa Tengah pada tanggal 3 Juli 1962. Suami dari Maria Bernadeth Maitimo, SH dan bapak dari dua anak Giovanni Battista Maheswara, S.H.,M.H dan Alexandro Kevin Maheswara, S.H. ini, menyelesaikan pendidikan di SD. Katolik Kridadharma Blora tahun 1974. Kemudian melanjutkan di SMP Negeri I Blora lulus tahun 1978, serta SMA Jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) di SMA Katolik Wijayakusuma Blora, lulus tahun 1981. Jenjang Pendidikan Tinggi ditempuh di Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta, dan Lulus Sarjana Hukum pada tahun 1988. Melanjutkan studi pada Program Pascasarjana (S2) Universitas Padjadjaran Bandung lulus dan memperoleh gelar Magister Humaniora (M.Hum) pada tahun 1995. Pada tanggal 20 Desember 1997 sampai dengan 4 Maret 1998 mendapatkan kesempatan mengikuti kursus di LEMHANNAS (Lembaga Pertahanan dan Keamanan Nasional) Jakarta. Kemudian pada tahun 2018 Lulus pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Katolik Parahyangan Bandung

Jumat, 29 Juni 2012

NEGARA TEATER

NEGARA TEATER B. Hestu Cipto Handoyo*) Pada tahun 1980 Clifford Geertz menulis sebuah buku yang berjudul Negara, The Theatre State in Nineteenth-Century Bali. Buku tersebut merupakan hasil penelitian Geertz tentang Bali di jaman kerajaan. Menurut Geertz negara teater di dalamnya terdapat raja-raja dan para pangeran sebagai impresario-impresario, para pendetanya sebagai sutradara, dan para petaninya sebagai aktor pendukung atau penata panggung, dan penonton. Sementara itu seremonialisme istana (baca: negara) merupakan daya gerak dari perpolitikan istana; dan ritual massa bukanlah alat untuk mendukung negara, tetapi negaralah sebagai alat untuk menggelar ritual massa itu, bahkan di saat-saat terakhir sebelum ambruk (Geertz, 1980: 21). Dengan demikian, di dalam negara teater hanya ada dua dimensi yakni komponen negara dan aktifitas seremonial. Komponen negara dalam konteks kekinian direpresentasikan oleh pemerintah, lembaga legislatif, dan rakyat biasa (buruh dan petani). Sementara itu seremonial kenegaraan nampak dari mekanisme proses politik dalam pengambilan keputusan politik yang menyangkut kehidupan bersama dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dalam seremonial kenegaraan, ketiga komponen negara saling berinteraksi untuk mewujudkan keharmonisan kepentingan hidup bersama dalam ikatan negara. Ini terjadi dalam negara demokrasi yang pakemnya memang demikian. Namun di negara teater tidaklah seperti itu. Di dalam negara demokrasi seremonial kenegaraan mengenal adanya suasana kehidupan politik yang disebut infra dan suprastruktur politik. Infrastruktur politik tidak lain adalah suasana kehidupan politik di tingkat masyarakat, ia memainkan peranan untuk ikut dalam setiap seremonial politik negara dengan berbagai aktifitas aspirasi ketika suprastruktur politik (penguasa dan elemen-elemen kekuasaan negara) akan mengambil kebijakan politik yang akan diterapkan dalam kehidupan masyarakat. Jadi dalam negara demokrasi aktifitas seremonial negara akan selalu melibatkan ketiga komponen negara agar kebijakan-kebijakan politik yang diambil mendapat respons positif dan berlaku efektif. Inilah pakem negara demokrasi yang dimaksud. Dalam negara teater tidaklah demikian, suprastruktur politik yang direpresentasikan oleh raja, pangeran, dan pendeta sebagai sutradara (baca: lembaga legislatif) menentukan segala-galanya dalam setiap seremonial kenegaraan. Sementara komponan negara yang disebut rakyat hanya berperan sebagai aktor pendukung, penata panggung, dan penonton. Tidak banyak yang diperbuat oleh rakyat, kecuali hanya sebagai figuran dan “mengiyakan” skenario sang sutradara yang dalam konteks negara demokrasi adalah para pembuat aturan yakni lembaga legislatif. Di negara teater seremonial kenegaraan nampak dalam lima aktifitas kehidupan negara dan masyarakat. Pertama; rakyat dibiarkan dalam kehidupan masing-masing tanpa keterlibatan negara, dan ketika terjadi konflik hak di lingkungan masyarakat, negara tidak ambil bagian untuk ikut menyelesaikan. Kalaupun ikut menyelesaikan maka digunakanlah pendekatan Weberian, yakni tindakan kekerasan demi mengembalikan tertib sosial menurut ukuran negara. Kedua; seremonial kenegaraan hanya dimaknai sebagai pembagian kekuasaan eksekutif dan legislatif melalui cara-cara yang manipulatif. Rakyat sebagai komponen negara hanya dilibatkan sebagai “pemeran pembantu”, ketika pembagian kekuasaan itu dilakukan. Ketiga; setiap seremonial pengambilan keputusan politik yang dilakukan eksekutif dan legislatif sifatnya mekanistik prosedural, tanpa melihat nilai-nilai keadilan dan kesejahteraan yang dibutuhkan oleh masyarakat, bahkan kalau perlu masyarakat diminta untuk selalu tunduk dan taat kepada aturan yang hanya berisi norma-norma sebagai mesin birokrasi. Keempat; komponen negara yakni eksekutif dan legislatif hanya dimanfaatkan sebagai asset ekonomi untuk mendatangkan keuntungan, sehingga ruang-ruang kekuasaan itu sarat dengan korupsi, kolusi dan nepotisme. Perebutan kekuasaan di tingkatan eksekutif dan legislatif mempergunakan model pseudo demokrasi (demokrasi semu), karena kekuatan legitimasi tidak diukur dari dukungan murni rakyat, melainkan dari nilai transaksional. Kelima; suara komponen negara yang lain, yakni rakyat hanya dimanfaatkan sesaat ketika komponen eksekutif dan legislatif ingin tetap melanggengkan posisi dan status di tingkat strata tertinggi negara. Setelah kembali menduduki posisi dan status tersebut, seremonial kegiatan negara tetap kembali seperti semula, yakni hanya menempatkan rakyat sebagai pemeran figuran, bahkan penonton. Seremonial kenegaraan seperti itu akan terus berlangsung sampai negara ambruk, karena hilangnya legitimasi komponen eksekutif dan legislatif yang musnah ditelan masa. Keambrukan negara teater itu bisa terjadi kapan saja, manakala komponen rakyat sudah jemu dengan seremonial negara yang tak kunjung berpihak kepadanya, karena seremonial negara hanya merupakan ritual massa dan bukan alat untuk mendukung negara. Mainstream negara teater seperti itu merupakan cerminan Negara Gagal, dan oleh sebab itu harus segera diakhiri dan diubah dengan mainstream negara demokrasi yang tidak hanya mengedepankan aspek prosedural, melainkan yang lebih dalam adalah memberikan tempat bagi rakyat untuk ikut terlibat dalam setiap kegiatan seturut dengan nilai-nilai kearifan yang nampak dari volksgeist (jiwa bangsa) yang disantuni dalam kehidupan sehari-hari mereka.

Rabu, 27 Juni 2012

KOIN UNTUK KPK

KOIN UNTUK KPK B. Hestu Cipto Handoyo Kegaduhan politik kembali menyeruak di negeri ini, ketika pengajuan anggaran pembangunan gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak segera disetujui oleh Komisi III DPR. Spekulasi politik dengan berbagai argumentasi dan alasan pembenar membahana diseantero jagad negeri yang penuh dengan aktor korupsi. Masyarakat sipil tidak tinggal diam, dan secara lantang melakukan perlawanan dengan membentuk gerakan “Koin untuk KPK”. Mereka secara suka rela menyumbang dengan kekuatan sendiri ke KPK untuk merealisasikan pembangunan gedung KPK yang disinyalir hanya “kuat” bertahan 2 – 3 tahun lagi. Gedung KPK yang katanya dibangun sejak tahun 1980-an sudah tidak mampu memuat personil dan aktifitas KPK yang semakin sarat. Kapasitas gedung yang hanya mampu untuk 350 personil, sekarang sudah dihuni 650 personil (Kompas, 27 Juni 2012). Di tinjau dari aspek kesehatan dan keselamatan kerja, kondisi tersebut memang sudah tak layak lagi untuk dipertahankan. Bisa jadi dengan naiknya personil hampir dua kali lipat itu menyebabkan situasi dan kondisi kerja-kerja KPK menjadi “sumpek” dan pengap. Persoalannya yang patut disampaikan di sini adalah bolehkah masyarakat menyumbang secara suka rela biaya pembangunan gedung tersebut? Dan kalau boleh adakah pembatasan besaran total sumbangan itu yang diperkenankan? Persoalan sumbang menyumbang dalam kenyataan sosiologis bangsa ini merupakan tradisi yang masuk dalam kategori kesantunan. Terlepas kesantunan itu merupakan bentuk basa-basi relasi hubungan atau kesantunan yang memang etika sosial dalam pergaulan hidup. Di lingkungan masyarakat sumbangan, kado, parcel, dan sumbangan-sumbangan lainnya sudah menjadi kebiasaan, ketika ada anggota masyarakat mempunyai hajat atau sedang merayakan peristiwa penting. Bahkan ketika ada anggota masyarakat yang “kesripahan” (meninggal dunia), sumbangan uang duka cita pun mengalir tiada henti. Kenyataan sosiologis seperti itu, terasa kontroversial jika dikaitkan dengan ketentuan Pasal 12B ayat (1) UU No. 31 tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001 yang menyatakan bahwa setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Lebih lanjut di dalam ketentuan Pasal 12C ayat (1) Undang-undang yang sama ditegaskan bahwa ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B ayat (1) tidak berlaku jika, penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada KPK. Kedua ketentuan tersebut di atas, menunjukkan bahwa gratifikasi – yang dalam Penjelasan Pasal 12B ayat (1) dimaknai sebagai pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiker perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-Cuma, dan fasilitas lainnya – wajib dilaporkan kepada KPK. Dalam konteks pembangunan gedung KPK tentunya - baik langsung maupun tidak langsung - yang berkepentingan adalah KPK. Jika demikian, maka menyumbang pembangunan gedung KPK yang akan dilakukan oleh masyarakat sipil melalui gerakan “koin untuk KPK” tidaklah sesederhana seperti menyumbang anggota masyarakat atau pejabat publik yang sedang melangsungkan hajatan atau dirundung duka nestapa, seperti yang penulis kemukakan terdahulu. “Koin untuk KPK” ditujukan untuk KPK sendiri yang oleh UU tersebut justru menjadi lembaga yang diberi kewenangan untuk menerima laporan tentang gratifikasi yang dikecualikan. Jika pendapat hanya bersumber dari aspek normatif yuridis, maka “Koin Untuk KPK” tentunya akan dilaporkan oleh KPK sendiri. Hal ini sama dengan papatah iklan “jeruk makan jeruk”. Namun jika ditunjau daru aspek sosiologis empiris, maka “Koin untuk KPK” dapat ditafsirkan dari tiga dimensi. Pertama; gagasan atau gerakan “koin untuk KPK” bukan dimaksudkan untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dilakukan dengan melanggar hukum dan kewenangan hingga merugikan keuangan dan/atau perekonomian negara, melainkan gerakan itu justru dipergunakan untuk mendukung KPK yang memiliki keterbatasan dana dalam pembangunan gedung, serta terhambatannya persetujuan anggaran karena disinyalir adanya konspirasi dan kepentingan politik “menggerogoti” sepak terjang KPK dalam pemberantasan korupsi. Kedua; gerakan “koin untuk KPK” pada hakikatnya merupakan simbol perlawanan terhadap rezim yang korup yang justru oleh masyarakat pada umumnya direpresentasikan kepada lembaga Legislastif yang paling gencar melawan eksistensi KPK, bahkan selalu menyatakan kalau KPK iti adalah lembaga adhoc (sementara) yang super body. Ketiga; “Koin untuk KPK” dilakukan oleh masyarakat sipil yang konsens terhadap pemberantasan korupsi di negara kleptokrasi. Dengan demikian gerakan ini pada hakikatnya adalah gerakan moral dan bentuk gotong royong khas masyarakat Indonesia, ketika suatu komponen masyarakat, bangsa, dan negara mengalami keterbatasan sarana dan prasarana untuk melaksanakan “perjuangan suci” yang dalam hal ini adalah memberantas korupsi yang sudah berurat berakar di tubuh birokrasi dan lembaga politik.

Selasa, 26 Juni 2012

KONSOLIDASI NEGARA (GAGAL) DEMOKRASI

KONSOLIDASI NEGARA (GAGAL) DEMOKRASI B. Hestu Cipto Handoyo*) Thesis Samuel P. Huntington mengemukakan, proses demokratisasi dalam suatu negara pada umumnya melewati tiga tahapan. Pertama; pengakhiran rezim nondemokratis. Kedua; pengukuhan rezim demokratis. Ketiga: konsolidasi sistem demokratis (Huntington, 1997). Implementasi dari ketiga tahapan tersebut yang paling mudah dilakukan adalah tahapan pertama dan kedua. Sedangkan tahapan ketiga, yakni konsolidasi demokrasi akan memakan waktu yang relatif lama. Tahapan pertama dan kedua pada umumnya hanya membutuhkan dukungan masif dari para penggerak atau aktivis prodemokrasi untuk menumbangkan rezim otoritarian dan mengganti dengan rezim demokratis. Syarat utama dan pertama adalah “menciptakan musuh bersama” yang menjadi sumber penolakan gagasan demokratisasi. Dan kalau penciptaan ini berhasil, baru menyusun gerakan bersama yang sifatnya extra konstitusional, entah melalui demonstrasi damai ataukah sampai ke revolusi. Tahapan ini bisa dilalui, walau terkadang harus menempuh jalan yang “berdarah-darah”. Contoh seperti di Filipina, Libia, Mesir, dan negara-negara di belahan dunia lain yang sedang mencoba menggulingkan rezim yang dianggap nondemokratis. Untuk tahapan ketiga yakni menuju konsolidasi demokrasi, harus menempuh jalan yang relatif panjang, rumit dan berbelit-belit. Bahkan tidak menutup kemungkinan mengalami kegagalan. Karena harus melewati berbagai eksperimentasi guna menguatkan pilihan-pilihan cara berdemokrasi yang bagi negara otoritarian atau totaliter merupakan suatu corak kehidupan negara yang “asing”. Perubahan dramatis seperti yang terjadi dalam tahapan pertama dan kedua jarang terjadi dalam satu malam. Karena dalam konsolidasi demokrasi itu hampir selalu bersifat moderat dan sedikit demi sedikit. Eksperimentasi demokrasi. Konsolidasi demokrasi yang berarti suatu langkah untuk memperteguh atau memperkuat demokrasi dalam sistem ketatanegaraan tentu tidak dengan serta merta dapat dihitung dalam jangka waktu tertentu. Bahkan dengan memberikan patokan setelah tahun 2009, seperti yang pernah diungkapkan oleh Akbar Tanjung atau Daniel Sparringga (juru bicara Presiden SBY) yang menganggap sebagai masa transisi dengan ukuran progresif berlangsung 2 tahun, dan ukuran konvensional sekitar 10 tahun (Kompas, 16/2/2009). Jika melihat kenyataan geopolitik Indonesia dengan struktur masyarakat yang plural ditinjau dari berbagai aspek, termasuk plural dalam hal kepentingan-kepentingan politik kekuasaan, ukuran seperti ini absurd dan tak berdasar sama sekali. Namun jika ukuran keberhasilan konsolidasi demokrasi hanya melulu diukur pada aspek eksperimentasi demokrasi prosedural, argumentasi tenggang waktu seperti yang dikemukakan Akbar Tanjung dan Daniel Sparringga memang ada benarnya. Bagi negara yang belum akrab dengan sistem demokrasi pemantapan atau penguatan sistem demokrasi, akan melewati serangkaian uji coba, seperti infra dan suprastruktur politik, perangkat hukum untuk mengawal jalannya sistem demokrasi, serta penerapan sistem pemerintahan demokratis. Serangkaian uji coba ini seharusnya juga diarahkan untuk membangun life style demokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang di dalamnya terkandung nilai-nilai moril, seperti penyelesaian secara damai dan melembaga, terjadinya perubahan secara damai, menyelesaikan pergantian kepemimpinan secara teratur, membatasi pemakaian kekerasan, menganggap wajar adanya keanekaragaman, dan menjamin tegaknya keadilan (Henry B. Mayo, 1980). Secara kualitas eksperimentasi untuk konsolidasi demokrasi dalam dataran empiris tidak menyentuh aspek “hulu” penguatan demokrasi sebagai life style. Bahkan di ruang-ruang kekuasaan yang merepresentasikan demokrasi “prosedural” mengalami metamorfose menjadi ruang-ruang kekuasaan yang kleptokratif. Demokrasi yang digagas dengan menerapkan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam life style menjadi “jauh panggang dari api”. Demokratisasi tidak menyentuh aspek kesejahteraan umum masyarakat, melainkan hanya melahirkan demokrasi para “bandit”. Korupsi makin menjamur, bahkan dilegalisasi melalui produk-produk hukum. Dimensi kekerasan sering dipergunakan untuk menyelesaikan perbedaan, dan celakanya negara atau pemerintah justru tidak hadir memainkan peran sebagai mediator, bahkan cenderung menerapkan politik pembiaran, dan golongan minoritas semakin termarjinalkan. Negara (gagal) Demokrasi. Penataan sistem demokrasi prosedural yang mulai dilakukan pasca reformasi 1998 termasuk melakukan amandemen UUD 1945, pembenahan sistem kepartaian, sistem pemilu, penguatan sistem presidensiil, dan desentralisasi pemerintahan, pada hakikatnya hanya menyentuh aspek “hilir” semata. Tidak ada satupun instrumen hukum yang mampu merumuskan demokrasi di area “hulu”, yakni menterjemahkan kultur demokrasi yang bernafaskan nilai-nilai kesusilaan tertinggi bangsa, yakni Pancasila ke dalam sistem hukum dan peraturan perundang-undangan. Peraturan Perundang-undangan baik di bidang politik maupun dibidang yang terkait dengan persoalan kesejahteraan masyarakat hanya berisi sistem norma sebagai mesin birokrasi dan kekuasaan yang mencederai rasa keadilan. Akibatnya rakyat hanya menjadi kelinci percobaan elit kekuasaan dalam mengeksperimentasi demokrasi prosedural. Ketika konsolidasi demokrasi itu tidak menyentuh aspek nilai-nilai kultural kehidupan bangsa dan justru menimbulkan kesenggaraan rakyat yang berlarut-larut, maka saat itulah negara masuk dalam cengkeraman “negara (gagal) demokrasi”. Untuk itu grand design konsolidasi demokrasi aspek “hulu” harus segera dirumuskan.

KETERANGAN AHLI UJI MATERI UU KOPERASI

KONSEKUENSI MAKNA KETENTUAN UMUM PASAL 1 ANGKA 1 UU NO. 17 TAHUN 2012 TERHADAP PRINSIP DAN ASAS KOPERASI Oleh: Dr. Benediktus H...