Mengenai Saya

Foto saya
Yogyakarta, DIY, Indonesia
Dr. Benediktus Hestu Cipto Handoyo, S.H.,M.Hum atau sering dipanggil Ben atau Hestu, lahir di Blora Jawa Tengah pada tanggal 3 Juli 1962. Suami dari Maria Bernadeth Maitimo, SH dan bapak dari dua anak Giovanni Battista Maheswara, S.H.,M.H dan Alexandro Kevin Maheswara, S.H. ini, menyelesaikan pendidikan di SD. Katolik Kridadharma Blora tahun 1974. Kemudian melanjutkan di SMP Negeri I Blora lulus tahun 1978, serta SMA Jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) di SMA Katolik Wijayakusuma Blora, lulus tahun 1981. Jenjang Pendidikan Tinggi ditempuh di Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta, dan Lulus Sarjana Hukum pada tahun 1988. Melanjutkan studi pada Program Pascasarjana (S2) Universitas Padjadjaran Bandung lulus dan memperoleh gelar Magister Humaniora (M.Hum) pada tahun 1995. Pada tanggal 20 Desember 1997 sampai dengan 4 Maret 1998 mendapatkan kesempatan mengikuti kursus di LEMHANNAS (Lembaga Pertahanan dan Keamanan Nasional) Jakarta. Kemudian pada tahun 2018 Lulus pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Katolik Parahyangan Bandung

Rabu, 05 Februari 2020

KETERANGAN AHLI UJI MATERI UU KOPERASI


KONSEKUENSI MAKNA KETENTUAN UMUM
PASAL 1 ANGKA 1 UU NO. 17 TAHUN 2012 TERHADAP
PRINSIP DAN ASAS KOPERASI

Oleh:
Dr. Benediktus Hestu Cipto Handoyo, SH.,MH


     A.    Pendahuluan.
Jika mengkaji secara lebih mendalam UU No. 17 Tahun 2012 tentang Koperasi, maka sejatinya kajian awal dalam naskah akademik menunjukkan adanya kekeliruan dalam menafsirkan prinsip ekonomi yang tertuang dalam teori-teori koperasi. Hal ini mengingat Naskah Akademik pada hakikatnya berfungsi mengarahkan ruang lingkup materi muatan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, atau Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang akan dibentuk.
Dalam Bab V Naskah Akademik yang membahas tentang Jangkauan, Arah Pengaturan, Dan Ruang Lingkup Materi Muatan Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi, Atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, sebelum menguraikan ruang lingkup materi muatan, dirumuskan sasaran yang akan diwujudkan, arah dan jangkauan pengaturan. Selanjutnya mengenai ruang lingkup materi pada dasarnya mencakup:
A.    Ketentuan umum memuat rumusan akademik mengenai pengertian istilah, dan frasa;
B.    Materi yang akan diatur;
C.    Ketentuan sanksi; dan
D.    Ketentuan peralihan.
Menurut Lampiran II UU No. 98 UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dinyatakan bahwa ketentuan umum berisi:
a.     batasan pengertian atau definisi;
b.     singkatan atau akronim yang dituangkan dalam batasan pengertian atau definisi; dan/atau;
c.     hal-hal lain yang bersifat umum yang berlaku bagi pasal atau beberapa pasal berikutnya antara lain ketentuan yang mencerminkan asas, maksud, dan tujuan tanpa dirumuskan tersendiri dalam pasal atau bab.

B.    Konsekuensi Pemaknaan Koperasi dalam Ketentuan Umum UU No. 17 Tahun 2012 tentang Koperasi dalam Pasal-pasal.
Pasal 1 angka 1 UU No. 17 Tahun 2012 tentang Koperasi menyatakan bahwa koperasi adalah badan hukum yang didirikan oleh orang perseorangan atau badan hukum Koperasi, dengan pemisahan kekayaan para anggotanya sebagai modal untuk menjalankan usaha, yang memenuhi aspirasi dan kebutuhan bersama di bidang ekonomi, sosial, dan budaya sesuai dengan nilai dan prinsip Koperasi. Ketentuan semacam ini menunjukkan bahwa perumusan pemaknaan koperasi tidak taat asas dan prinsip koperasi sebagaimana pernah digagas oleh Mohammad Hatta.
Ketidaktaatan asas itu nampak jelas ketika koperasi dinyatakan sebagai badan hukum yang didirikan oleh orang perseorangan atau badan hukum koperasi. Frasa “atau” yang menghubungkan kata orang perseorangan dan badan hukum, pada hakikatnya menunjukkan sifat alternatif. Sehingga menimbulkan makna bahwa koperasi dapat didirikan oleh orang perseorangan (individual sebagai subyek hukum) atau badan hukum (yang terdiri dari kelompok orang). Sementara prinsip koperasi itu sendiri dinyatakan oleh Bung Hatta berdasarkan prinsip kekeluargaan, artinya bukan berdasarkan pada perseorangan melainkan berdasarkan kolektivisme.
Pemaknaan yang tidak konsisten dan ambigu ini mengakibatkan seluruh perumusan pasal-pasal yang mempergunakan frasa koperasi akan melanggar prinsip atau hakikat keberadaan koperasi itu sendiri. Pelanggaran terhadap prinsip dasar atau hakikat koperasi di dalam perumusan pasal-pasal akan nampak jelas manakala pengertian koperasi itu dirumuskan secara lengkap sebagaimana tertuang dalam Ketentuan Umum Pasal 1 angka 1 UU No. 17 Tahun 2012 tentang Kopertasi ke dalam pasal-pasal-nya, misal:
1.     Pasal 1 angka 2 menyatakan: “Perkoperasian adalah segala sesuatu yang menyangkut kehidupan koperasi (badan hukum yang didirikan oleh orang perseorangan atau badan hukum Koperasi, dengan pemisahan kekayaan para anggotanya sebagai modal untuk menjalankan usaha, yang memenuhi aspirasi dan kebutuhan bersama di bidang ekonomi, sosial, dan budaya sesuai dengan nilai dan prinsip Koperasi);
2.     Pasal 1 angka 3 menyatakan: “Koperasi primer adalah koperasi yang didirikan oleh dan beranggotakan orang perseorangan”. Pendefinisian dengan mempergunakan frasa “didirikan oleh dan beranggotakan” mengandung makna bahwa koperasi primer sebagai badan hukum yang didirikan oleh orang perseorangan juga beranggotakan orang perseorangan. Pemaknaan yang demikian ini jelas menafikan prinsip koperasi yang sifatnya kolektivitas atau dengan mempergunakan asas kekeluargaan. Kendati yang dimaksud subyek hukum dalam konstruksi ilmu hukum adalah orang perseorangan atau badan hukum, namun pemahaman subyek hukum orang perseorangan ini tidak serta merta dapat diberlalukan dalam konteks koperasi. Subyek hukum orang perorangan adalah menyangkut kecakapan melakukan perbuatan hukum dalam mendirikan koperasi secara kolektif. Jadi bukan kecakapan perbuatan hukum yang dilakukan orang perseorangan ketika secara pribadi bermaksud mendirikan suatu koperasi.
Kedua contoh penerapan pengertian ke dalam suatu ketentuan Pasal tersebut menunjukkan bahwa Ketentuan Pasal 1 angka 1 UU Perkoperasian yang dalam menerangkan inti pengertian koperasi telah menimbulkan pemaknaan ganda. Kondisi seperti inilah yang seharusnya tidak dijumpai dalam norma hukum tertulis yang lebih menekankan atau mengedepankan aspek kepastian hukum.
Sehubungan dengan hal tersebut, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PPUU-VI/2008 mengenai pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan kemudian dikuatkan lagi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 10-17-23/PUU-VII/2009 mengenai pengujian Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tegas-tegas dinyatakan bahwa "... Ketentuan Umum yang dimaksud dalam suatu peraturan perundang-undangan dimaksudkan agar batas pengertian atau definisi, singkatan atau akronim yang berfungsi untuk menjelaskan makna suatu kata atau istilah memang harus dirumuskan sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan pengertian ganda.
Jika mencermati pengertian Koperasi sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 UU No. 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian yang menyebutkan bahwa koperasi adalah badan hukum yang didirikan oleh orang perseorangan atau badan hukum koperasi, dengan pemisahan kekayaan para anggotanya sebagai modal untuk menjalankan usaha...dst, maka pengertian ini sebenarnya ingin menerangkan prinsip yang utama dan pertama siapakah pendiri koperasi yang dalam hal ini ditegaskan adalah bisa perseorangan, dan bisa juga badan hukum koperasi karena diberi kata sambung “atau” yang artinya alternatif. Sementara frasa “dengan pemisahan kekayaan para anggotanya” pada hakikanya merupakan prinsip kedua yang mengandung unsur persyaratan yang terkait dengan kekayaan sebagai modal.
Sehubungan dengan hal ini, jika menurut Pasal 3 UU No. 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian dinyatakan bahwa koperasi berdasarkan atas asas kekeluargaan, maka hubungan antara Pasal 1 angka 1 dengan Pasal 3, tidak ada konsistensi dan hubungan timbal balik. Kekeluargaan tidak lain adalah kolektivitas sedangkan menurut ketentuan Pasal 1 angka 1 jelas lebih menonjolkan individualitas karena mempergunakan frasa “orang perseorangan”. Kendati Pasal 1 angka 1 masuk dalam kategori ketentuan umum yang belum mengandung norma hukum, namun pengertian-pengertian yang dirumuskan dalam ketentuan umum – termasuk pasal 1 angka 1 – merupakan instrumen atau formula untuk merumuskan norma-norma hukum yang ada di dalam ketentuan pasal-pasal atau ayat-ayat selanjutnya. Ketidak konsistenan dan ketiadaan hubungan timbal balik antara pengertian koperasi (Pasal 1 angka 1) juga nampak jelas jika dihubungan dengan ketentuan Pasal 4 dan Pasal 5.
Pasal 4 menyatakan bahwa Koperasi bertujuan meningkatkan kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya, sekaligus sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari tatanan perekonomian nasional yang demokratis dan berkeadilan. Pengkhususan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan anggota, jelas berbeda dengan tujuan orang perseorangan. oleh sebab itulah tidak tepat jika pendiri koperasi itu orang perseorangan namun tujuannya untuk kesejahteraan anggota. Ambigusitas seperti ini jelas merupakan manipulasi pemaknaan koperasi yang disadari ataupun tidak telah memisahkan aspek tujuan koperasi dengan aspek pendiri koperasi, artinya tujuannya untuk anggota namun yang mendirikan bisa orang perorangan. Pertanyaannya mungkinkah itu? Kalau mungkin, betapa mulianya seorang pendiri koperasi itu, karena tidak memikirkan diri sendiri melainkan memikirkan kesejahteraan anggota.
Ketidak konsistenan tersebut di atas, juga tampak jelas jika pengertian koperasi dalam Pasal 1 angka 1 dikaitkan dengan nilai-nilai yang dikembangkan dalam kegiatan koperasi sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 5. Seluruh nilai yang tertuang dalam Pasal 5 menonjolkan sifat kolektivitas atau kebersamaan dalam berbagai aspek kegiatan.

C.    Mengkonstruksikan Teori dalam Pengertian atau Mengkonstruksikan Pengertian untuk Membangun Teori?
Suatu pengertian tidak dirumuskan tanpa dilandasi teori tertentu. Oleh sebab itu perumusan pengertian koperasi seharusnya juga dilandasi oleh teori-teori dasar koperasi. Apalagi dalam perkembangan ilmu ekonomi, koperasi sejatinya sudah memiliki pengertian baku yang pada hakikatnya unsur yang terpenting dalam memahami koperasi adalah prinsip atau asas “usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan”.
Namun demikian ada juga sebaliknya, suatu pengertian yang dirumuskan dalam ketentuan umum Undang-Undang dapat berkembang menjadi teori hukum bahkan dalam konstruksi tradisi hukum continental penemuan prinsip-prinsip hukum justru melalui hukum yang tertulis. Dengan demikian, pengertian dalam suatu UU yang selalu dituangkan dalam Ketentuan Umumnya bisa saja mengubah bahkan memunculkan teori baru, karena adanya unsur keajegan pemahaman sebagai akibat adanya sifat suatu hukum yang tertulis (UU).
Contoh yang dapat dikemukakan disini adalah pemahaman desentralisasi. Menurut teori kelsen Desentralisasi terkait dengan pengertian negara yang oleh kelsen negara disebut sebagai kesatuan norma hukum. Oleh sebab itu berbicara mengenai desentralisasi terkait dengan pemberlakuan norma hukum. Menurut Kelsen dalam pemberlakuan norma hukum itu ada yang disebut central norm dan decentral norm. Teori ini di Indonesia kemudian mengalami perubahan sejalan dengan perubahan politik perundang-undangan pemerintahan daerah.
Di dalam UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di daerah ditegaskan bahwa desentralisasi adalah penyerahan urusan pemerintahan dari pemerintah atau daerah tingkat atasnya kepada daerah untuk diatur dan diurus sebagai urusan rumah tangga sendiri. Kemudian dalam UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan daerah dinyatakan bahwa desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom dalam ikatan NKRI. Dan terakhir dalam UU No. 32 Tahun 2004 menegaskan bahwa desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengat
ur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem NKRI.
Dari contoh tersebut di atas menunjukkan bahwa teori desentralisasi Hans Kelsen yang menekankan aspek penerapan norma hukum negara berangsur-angsur mengalami perubahan menjadi penyerahan urusan, penyerahan wewenang, dan penyerahan wewenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan.
Kondisi seperti ini tentu akan dialami oleh UU Koperasi jikalau dalam pemaknaan pengertiannya tidak taat kepada teori-teori koperasi yang sudah dikembangkan oleh para ahli. Kesalahan dalam pendefinisian pengertian akan mempengaruhi perkembangan pemahaman teori dari stau bidang kajian yang ada di masyarakat.

Selasa, 04 Februari 2020

HUKUM DITINJAU DARI ASPEK FILSAFAT ILMU


HUKUM DITINJAU DARI ASPEK FILSAFAT ILMU
Oleh:
Dr. Benediktus Hestu Cipto Handoyo, SH.,MH

    A.   Pendahuluan.
Dalam berbagai kesempatan, orang awam sering memandang bahwa hukum tidak lain adalah aturan-aturan yang harus dipatuhi dalam kehidupan bermasyarakat. Hukum hanya dipandang sebagai sebuah norma kehidupan bersama. Hukum hanya dilihat dari satu sisi, yakni perundang-undangan yang dibentuk oleh negara. Dalam hal ini orang awam belum memandang hukum dalam konteks sebagai sebuah ilmu pengetahuan yang tentunya memenuhi syarat-syarat keilmuan. Berkaitan dengan hal inilah, maka tulisan ini mencoba memberikan sedikit pemahaman mengenai hukum ditinjau dari aspek filsafat ilmu. Untuk maksud tersebut, maka pertanyaan yang perlu disampaikan sebagai “pancingan” untuk pembahasan adalah apakah hukum itu ilmu?
Untuk menjawab pertanyaan sekaligus membahas topik tersebut di atas, maka langkah yang paling dirasa tepat adalah dengan menerangkan terlebih dahulu komponen-koponen yang terdapat di dalamnya, yaitu dengan menjawab persoalan :
1.   apakah yang dimaksud dengan hukum itu bila ditinjau dari sudut kefilsafatan?
2.   Apa yang dimaksud dengan filsafat ilmu itu?
3.   apakah hukum bila ditinjau dari sudut filsafat dapat dikategorikan sebagai ilmu?
Ketiga pertanyaan tersebut, merupakan pertanyaan yang sangat mendasar karena jawaban-jawaban yang akan diperoleh dari pertanyaan tersebut dapat dijadikan sebagao landasan berpijak atau “cantolan” bagi suatu bidang kajian yang disebut hukum.


B.   Memahami Pengertian Filsafat dan Filsafat Hukum.
Bila kita memperhaikan sebuah pohon yang tumbuh di halaman rumah tidak dapat terelakkan bahwa pohon itu pasti mempunyai akar untuk menyerap sari-sari makalan di dalam tanah dan bergungsi sebagai pendukung pokok agar pohon tersebut tidak tumbang. Filsafat juga bisa kita ibaratkan sebagai “akar” dari pohon yang disebut Pengetahuan. Dengan demikian filsafat merupakan sarana berpijak dari segala sesuatu yang hendak dipecahkan oleh manusia, atau dengan kata lain filsafat merupakan dasar pijakan dari hakikat sesuatu.
Gambaran tersebut di atas dapat diperbandingkan dengan gambaran yang dikemukakan oleh Jujun S. Suriasumantri, yakni bahwa filsafat, meminjam pemikiran Will Durant, dapat diibaratkan pasukan marinir yang merebut pantai untuk pendaratan pasukan infanteri. Pasukan infanteri ini adalah sebagai pengetahuan yang diantaranya adalah ilmu.[1] Dengan demikian apabila pengetahuan diletakkan dalam konteks “segala sesuatu”, maka filsafat dapat dikatakan merupakan hakikat dari pengetahuan. Hal ini selaras dengan pandangan yang dikemukakan oleh Lili Rasyidi yang mengatakan :
“Dengan filsafat manusia menggunakan unsur rasionya dan barangkali bergabung dengan unsur rasa. Jadi tidaklah heran apabila  yang dibuat oleh para filsuf itu selalu didahului dengan pemikiran. Atau dengan kata lain filsafat juga merupakan suatu kemampuan untuk memahami/mengetahui/menghayati yang tidak dimiliki oleh mahluk lain”.[2]

Berangkat dari gambaran tersebut di atas, maka hukum sebagai inti dari pembahasan akan diletakkan sebagai pengetahuan yang dikaji dari sudt filsafat sebagai ”sesuatunya” itu. Dengan demikian nantinya akan diperoleh suatu gambaran yang jelas tentang pemahaman hukum secara lebih mendasar. Terkait dengan hal ini. Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto mengatakan bahwa sedikitnya dapat ditemukan  ( (sembilan) pengertian terhadap hukum, yaitu :[3]
1.   hukum sebagai ilmu pengetahuan;
2.   hukum sebagai disiplin;
3.   ukum sebagai kaidah;
4.   hukum sebagai tata hukum;
5.   hukum sebagai petugas (hukum);
6.   hukum sebagai keputusan penguasa;
7.   hukum sebagai proses pemerintahan;
8.   hukum sebagai perilaku yang ajeg, atau sikap tindak yang teratur; dan
9.   hukum sebagai jalinan nilai-nilai.
Dengan demikian, jika hukum dipandang sebagai suatu pengetahuan, sudah barang tentu dari segi kefilsafatan hukum merupakan salah satu cabang dari filsafat yang lebih spesifik dan mempelajari sebagian dari tingkah laku manusia, yaitu tingkah laku (atau perbuatan) yang akibatnya diatur oleh hukum.[4]
Dari beberapa pemahaman tersebut di atas, dapat diambil suatu pengertian bahwa bila dilihat dari keseluruhan karangka filsafat yang berusaha mempelajari tentang hakikat sesuatu, maka hukum (dalam artian filsafat hukum) dapat dikatakan sebagai cabang dari filsafat yang secara khusus mempelajari aspek kehidupan antar pribadi dengan menitik beratkan tujuan keserasian antara ketertiban dengan kebebasan/ketenteraman dalam pergaulan hidup, yang tercakup dalam bidang kedamaian (vreedzaaheid).[5] Dari landasan berpikir secara filsafati inilah, paham-paham atau aliran-aliran filsafat hukum dikembangkan sejak jaman romawi kuno. Akan tetapi untuk lebih memperjelas pembahasan yang dimaksud, aliran-aliran atau paham-paham filsafat hukum tidak menjadi inti pokok dalam menjawab pertanyaan ”apakah hukum itu ilmu?”.
Dengan demikian secara singkat dapat dberikan jawaban atas pertanyaan pertama yakni bahwa hukum bila ditinjau dari sudut kefilsafatan adalah mempelajari sebagian dari tingkat laku manusia, yaitu tingkah laku (atau perbuatan manusia) kehidupan antar pribadi yang akbatnya diatur oleh hukum dengan menitik beratkan tujuan keserasian antara ketertiban dengan kebebasan/ketenteraman dalam pergaulan hidup yang tercakup pula dalam bidang kedamaian.
Menurut Jujun S. Suriasumantri, ilmu bila ditinjau dari sudut filsafat merupakan cabang dari filsafat yangbidang kajiannya lebih spesifik. Hal ini bila diartikan ilmu sebagai filsafat ilmu. Lebih lanjut dikatakan bahwa cabang-cabang filsafat antara lain mencakup :[6]
1.   epistimologi/filsafat pengetahuan;
2.   etika/filsafat moral;
3.   estetika/filsafat seni;
4.   metafisika;
5.   politik/filsafat emerintahan;
6.   filsafat agama;
7.   filsafat ilmu;
8.   filsafat pendidikan;
9.   filsafat hukum;
10.        filsafat sejarah;
11.        filsafat metematika.
Lain daripada itu. Ilmu (dalam arti filsafat ilmu) merupakan bagian dari epistimologi (filsafat pengetahuan yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu (pengetahuan ilmiah). Ilmu merupakan cabang pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tertentu. Meskipun secara metodologis ilmu tidak membedakan antara ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial.[7]
Dari pengertian ilmu (filsafat) ini, maka bila dikaitkan dengan pembahasan terdahulu mengenai hukum (sebagai cabang filsafat) maka dapat ditarik “benang merah bahwa antara keduanya (filsafat ilmu dan filsafat hukum = ilmu dan hukum) sama-sama merupakan cabang filsafat yang masing-masing berusaha mengkaji hakikatnya sesuatu dengan spesifikasinya masing-masing. Berkaitan dengan hal ini, Lili Rasjidi memperjelas penegasannya sebagai berikut :
”Filsafat ilmu adalah suatu cabang filsafat yang mengkaji hakikat sesuatu, maksud hakikat itu adalah tempat sesuatu di alam semesta dan bagaimana hubungan sesuatu tadi dengan alam semesta (inti) dasar yang sedalamnya dari sesuatu. Bila kita isi ”sesuatu” itu dengan ilmu, maka yang dikaji filsafat adalah rumusan tempat ilmu itu”.[8]

Oleh karena itu ”ilmu” bila dilihat dari sudut filsafat yang dalam hal ini sering dikatakan sebagai filsafat ilmu memiliki spesifikasi yaitu mengkaji secara mendalam mengenai hakikat dari ilmu dengan tanpa melihat cabang-cabang ilmu yangberkembang seperti ilmu alam dan ilmu sosial, serta berusaha untuk memberikan sesuatu kejelasan mengenai sumber-sumber dari ilmu itu. Berkaitan hal ini, Lili Rasjidi mengemukakan bahwa filsafat ilmu mengkaji inti atau dasar yang sedalam-dalamnya dari ilmu, yaitu dengan melalui unsur-unsur yang ditamplkan, yakni :
1.   Ontologi : hakikat apa yang dikaji;
2.   eksistensi : kebenaran itu sendiri;
3.   epistimologi : bagaimana mencari sifat dari ilmu itu atau cara untuk mencari dan mencoba mengkaji bagaimana memperoleh ilmu.


C.   Apakah Hukum Itu Ilmu.
Untuk menjawab inti permasalahan pokok, yaitu ”apakah Hukum itu ilmu”, maka dasar yang akan dipergunakan adalah dengan mengkaji terlebih dahulu bidang-bidang apa saja yang ditelaah oleh filsafat ilmu dan kemudian mengkaji bidang-bidang tersebut ke dalam konteks hukum sebagai ilmu, sehingga diperoleh suatu jawaban apakah hukum itu benar-benar ilmu atau bukan.
Untuk keperluan ini dasar yang dipergunakan adalah pendapat yang dikemukakan oleh Jujun S. Suriasumantri yang mengatakan bahwa untuk membedakan semua pengetahuan apapak itu ilmu, seni atau pengetahuan apa saja, maka pertanyaan yang dapat diajukan adalah :[9]
1.   apa yang dikaji oleh pengetahuan itu (ontologi);
2.   bagaimana cara mendapatkan pengetahuan tersebut (epistimologi); serta
3.   untuk apa pengetahuan tersebut dipergunakan (aksiologi).
Dari pandangan semacam inilah, diharapkan dapat diperoleh suatu jawaban apakah pengetahuan yang disebut ”Hukum” itu termasuk ilmu ataukah hanya sekedar seni. Oleh karena itu dalam menerangkan atau menjawab permasalahan pokok seperti yang telah disebutkan, maka langkah yang dipergunakan adalah dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas dalam konteks ”hukum”, yakni :
1.   apa yang dikaji oleh pengetahuan hukum itu?
2.   bagaimana cara mendapatkan pengetahuan hukum tersebut?
3.   untuk apa pengetahuan hukum tersebut dipergunakan.
Menjawab perihal ”apa yang dikaji oleh pengetahuan hukum” pada hakikatnya sama dengan mempertanyakan apa obyek kajian dari hukum itu. Menurut Lili Rasjidi obyek dari hukum adalah gejala hukum yang disebabkan oleh adanya sistem pengendalian sosial dalam masyarakat seperti yang ditunjukkan oleh ilmu-ilmu sosial.[10] Dengan demikian secara tersirat Lili Rasjidi berpandangan bahwa hukum merupakan bagian dari ilmu-imu sosial. Terkait dengan pandangan ini, Utrecht mengemukakan bahwa seperti halnya dengan semua gejala lain disekitar kita, maka hukumpun dipelajari oleh ilmu. Ilmu hukum termasuk ilmu sosial (sociale wetenschap, social science). Ilmu itu suatu jalan yang berusaha menerangkan kejadian-kejadian yang ditimbulkan disekitar kita, supaya kita dapat mengertinya.[11]
Lain daripada itu, Theo Huijbers juga memberikan padangan yang senada perihal hukum sebagai ilmu dengan mengatakan :
”Ilmu pengetahuan hukum dapat didefinisikan sebagai suatu ilmu pengetahuan tentang peraturan-peraturan yang berlaku untuk hidup bersama dalam suatu masyarakat tertentu. Perhatikanlah bahwa ilmu pengetahuan hukum selalu mengenai sesuatu aturan hidup dalam suatu masyarakat yang konkret. Umpama dipejari hukm Indonesia, hukum adat Indonesia, hukum Internasional dan seterusnya”.[12]

Bertitik tolak dari pandangan Theo Huijbers tersebut dapatlah ditarik pemahaman bahwa hukum dalam perspektif ilmu pengetahuan tidak lain adalah ilmu yang secara khusus mengkaji persoalan norma, yakni ukuran tingkah laku yang digunakan oleh manusia dalam hubungan hidup bersama, baik antar sesama dan maupun dengan lingkungannya.


[1] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1988, hlm. 22.
[2] Lili Rasjidi, Catatan Kuliah Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian, Program Pascasarjana UNPAD, Bandung, Sem. Gasal, 1991, tanpa halaman.
[3] Purnadi Purbacarakan dan Soerjono Soekanto, Renungan tentang Flsafat Hukum, CV. Rajawali, Jakarta, 1985, hlm. 51.
[4] Lili Rasjidi, Filsafat Hukum Apakah Hukum Itu, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1991, hlm. 8-10.
[5] Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Ikhtisar Antinomi Aliran Filsafat Sebagai Landasan Filsafat Hukum, Rajawali, Jakarta, 1984, hlm. 1.
[6] Jujun S. Suriasumantri, Loc.cit.
[7] Jujun S. Suriasumantri, Ibid, hlm. 55.
[8] Lili Rasjidi, Op.cit, tanpa halaman.
[9] Jujun S. Suriasumantri, Op.cit, hlm. 33-35.
[10] Lili Rasjidi, Filsafat Hukum Mazhab dan Refleksinya, Remaja Karya, Bandung, 1989, hlm. 1.
[11] Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia, Cet II, Balai Buku Indonesia, Jakarta, 1955, hlm. 58.
[12] Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, Yogyakarta, 1986, hlm. 58.

EVALUASI PEMEKARAN DAERAH DI INDONESIA DAN LANGKAH STRATEGIS PRIORITAS PEMBANGUNAN DAERAH


EVALUASI PEMEKARAN DAERAH DI INDONESIA DAN
LANGKAH STRATEGIS PRIORITAS PEMBANGUNAN DAERAH*)
Oleh:
Dr. Benediktus Hestu Cipto Handoyo, SH.,MH**)

Evaluasi Pemekaran Daerah.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dan UNDP mengemukakan bahwa setelah diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, pemekaran wilayah administratif menjadi kecenderungan baru dalam struktur pemerintahan di Indonesia. Pada tahun 2004, pemerintah provinsi bertambah dari 26 menjadi 33 (26,9%), sedangkan pemerintah kabupaten/kota meningkat 45,2%, dari 303 menjadi 440. Bahkan di awal tahun 2007 usulan pembentukan 114 kabupaten/kota serta provinsi baru telah berada di DPR-RI.[1]
Sementara itu menurut catatan Kompas (Kamis, 22 April 2010), jumlah daerah otonom sejak awal reformasi 1998 sampai Januari 2010 meliputi 33 Provinsi, 398 kabupaten, dan 93 Kota, sedangkan perkembangan daerah otonom baru yang masuk ke Komisi II DPR (2004-2009) tercatat sebagai berikut:
No
Keterangan
Jumlah
Pembentukan daerah
1.
Tahap pembahasan di DPR
3 daerah
3 RUU meliputi pembentukan provinsi, kabupaten, dan kota.
2.
Tahap proses di Komisi II (usul inisiatif) sudah dikirim ke presiden, tetapi pembahasan belum selesai
20 daerah
Provinsi: 7, Kabupaten: 11, Kota: 1).
3.
Usul inisiatif sudah disampaikan ke Pimpinan DPR dan sudah diharmonisasi oleh Badan Legislasi DPR
13 daerah
Provinsi: 1, Kabupaten: 11, Kota: 1.
4.
Belum diusulkan ke Komisi II
27 daerah
Propinsi: 1, Kabupaten: 24, Kota: 2

TOTAL
63 daerah


Menurut Fitrani pemekaran wilayah tersebut telah membuka peluang terjadinya bureaucratic and political rent-seeking, yakni kesempatan untuk memperoleh keuntungan dana, baik dari pemerintah pusat maupun dari pemerintah daerah sendiri. Lebih lanjut dikatakan bahwa karena adanya tuntuan untuk menunjukkan kemampuan untuk menggali potensi wilayah, maka banyak daerah yang menetapkan berbagai pungutan untuk meningkatkan PAD. Hal ini menyebabkan terjadinya suatu perekonomian daerah berbiaya tinggi.[2]
Analisis dan argumentasi tersebut di atas menunjukkan bahwa sejak diberlakukannya desentralisasi pemerintahan di Indonesia yang berjalan pararel dengan penerapan demokratisasi tahun 1999 telah memunculkan kecenderungan di beberapa daerah untuk melepaskan diri dari induk pemerintahan yang sudah ada. Kecenderungan ini merupakan akibat dari terbukanya sekat-sekat sentralisasi yang merupakan paradigma politik orde baru. Daerah-daerah di Indonesia – baik provinsi maupun kabupaten/kota - yang dibentuk berdasarkan UU No. 5 tahun 1974 dianggap merupakan hasil dari sistem pemerintahan yang sentralistik, oleh sebab itu setelah diberlakukan UU No. 22 tahun 1999 dan diubah dengan UU No. 32 Tahun 2004 yang mempergunakan prinsip otonomi luas, daerah-daerah tersebut seperti memperoleh peluang untuk melakukan perombakan struktur pemerintahan induk dan menuntut berotonomi. Kecenderungan tersebut wajar sepanjang pemekaran wilayah baik yang ada di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota tidak hanya dilatar belakangi oleh kepentingan atau nafsu politik kekuasaan tanpa memperhatikan kesejahteraan masyarakat pada umumnya dan keadaan, kemampuan dan kebutuhan daerah.
Namun demikian, harus disadari bahwa wacana publik yang berkembang justru melihat bahwa pemekaran daerah yang nampak tidak terkendali itu semata-mata hanya dimanfaatkan untuk pemenuhan nafsu politik kekuasaan, bahkan semata-mata dipergunakan oleh elit politik daerah untuk membuka ruang-ruang kekuasaan yang memungkinkan mereka memperoleh kesempatan yang  lebih luas memasuki ranah kekuasaan legislatif dan eksekutif daerah. Pendek kata pemekaran daerah dianggap sebagai salah satu sarana untuk membuka ruang kekuasaan baru pasca perebutan kekuasaan di pemerintah daerah induk (Provinsi atau Kabupaten/Kota).
Wacana yang berkembang seperti ini jelas merugikan masyarakat sendiri, karena potensi untuk lebih berkembang ketika masih bergabung menjadi satu Provinsi atau Kabupaten/kota harus dibagi dan dipecah-pecah baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia pengelola pemerintahan. Akibat dari kondisi yang demikian inilah tingkat kesejahteraan masyarakat tidak naik, melainkan justru semakin menurun. Beban pengaturan dan pengurusan urusan-urusan pemerintahan yang sebelum dimekarkan telah sesuai dengan keadaan dan faktor nyata, berubah drastis ketika daerah baru hasil pemekaran mulai melaksanakan TUPOKSI-nya. Kegagapan daerah yang dimekarkan atau daerah bentukan baru mewarnai jalannya pemerintahan. Hal ini berakibat hampir sebagian besar aparat pemerintah daerah bentukan baru disibukkan dengan urusannya sendiri, dan kepentingan masyarakat terabaikan.
Dalam Pasal 4 PP No. 78 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah[3] secara tegas dinyatakan bahwa pembentukan daerah (provinsi atau kabupaten kota) berupa pemekaran harus memenuhi syarat administratif, teknis, dan fisik kewilayahan. Ketiga persyaratan ini yang paling menonjol nuansa politisnya adalah persyaratan administratif.[4] Dalam penyusunan paraturan perundang-undangan, khususnya dalam hal ini adalah PP, maka seharusnya persyaratan yang lebih substansial (Persyaratan teknis dan persyaratan fisik kewilayahan) didahulukan. Norma hukum kedua persyaratan ini lebih penting ketimbang norma hukum persyaratan administratif.
Namun demikian terlepas dari perdebatan legal drafting tersebut, menurut hemat penulis persyaratan teknis dan fisik kewilayahan sebagaimana dimaksud oleh PP No. 78 Tahun 2007 telah mempergunakan pendekatan teori rumah tangga nyata yang memang lebih tepat jika diterapkan di Indonesia, sehingga PP ini bisa dianggap lebih rasional bila dikaitkan dengan keadaan dan faktor-faktor nyata di daerah.

Teori Rumah Nyata dalam Pemekaran Daerah.
Teori atau sistem rumah tangga daerah adalah tatanan yang bersangkutan dengan cara-cara membagi wewenang, tugas dan tanggungjawab mengatur dan mengurus urusan pemerintahan antara Pusat dan daerah. Salah satu penjelmaan dari pembagian tersebut, maka Daerah-daerah akan memiliki sejumlah urusan pemerintahan baik atas dasar penyerahan atau pengakuan atau dibiarkan tumbuh sebagai urusan rumah tangga Daerah.[5]
Pengertian tersebut di atas mengisyaratkan bahwa suatu pemekaran atau pembentukan daerah baru akan memiliki urusan pemerintahan yang berasal dari tiga (3) kemungkinan, yaitu:
a.    Karena adanya penyerahan urusan pemerintahan,
b.    Karena adanya pengakuan urusan pemerintahan, dan
c.    Karena adanya urusan pemerintahan yang memang dibiarkan tumbuh.
Di antara ketiga asal urusan pemerinahan tersebut yang sering menimbulkan persoalan dalam proses terjadinya pemekaran atau pembentukan daerah baru adalah urusan pemerintahan yang berasal dari penyerahan. Pertanyaannya mengapa demikian?
Bagi urusan pemerintahan yang berasal dari pengakuan tentu hal ini tidak menimbulkan masalah, karena hal ini merupakan bentuk pemenuhan asas recognisi yakni asas yang memberikan penghormatan bagi daerah yang sejak semula telah memiliki urusan rumah tangga yang sifanya tradisionil, sehingga pemerintah hanya memberikan dasar secara formal terhadap jenis urusan pemerinttahan yang seperti ini. Demikian pula bagi urusan pemerintahan yang dibiarkan tumbuh, karena hal ini merupakan jenis urusan jenis yang telah berkembang sejalan dengan kebutuhan masyarakat daerah.
Lain halnya dengan urusan pemerintahan yang berasal dari penyerahan, persoalan yang paling mendasar dalam proses pemekaran atau pembentukan daerah adalah apa yang menjadi ukuran atau parameter sehingga suatu urusan pemerintahan itu dapat diserahkan kepada daerah pemekaran atau daerah bentukan baru? Untuk menjawab pertanyaan ini, dasar pijakan teori yang dipergunakan adalah sistem rumah tangga daerah dipergunakan.
Dalam politik perundang-undangan tentang pemerintahan daerah di Indonesia, teori rumah tangga yang sering dipergunakan adalah teori (sistem) rumah tangga nyata (riil). Menurut Bagir Manan berdasarkan ciri-ciri yang ada tidaklah berlebihan kalau dikatakan bahwa sistem rumah tangga nyata memang mencerminkan sistem tersendiri yang berbeda dengan sistem rumah tangga formal dan sistem rumah tangga materiil.[6] Lebih lanjut dikatakan bahwa ciri-ciri tersebut adalah:
”Pertama: adanya urusan pangkal yang ditetapkan pada saat pembentukan suatu daerah, memberikan kepastian mengenai urusan rumah tangga daerah. Hal ini tidak mungkin terjadi pada sistem rumah tangga formal.
Kedua; di samping urusan rumah tangga yang ditetapkan secara ”materiil”, Daerah-daerah dalam rumah tangga nyata, dapat mengatur dan mengurus pula semua urusan pemerintahan menurut pertimbangan adalah penting bagi daerahnya sepanjang belum diatur dan diurus oleh Pusat atau daerah tingka yang lebih atas.
Ketiga; otonomi dalam rumah tangga nyata didasarkan kepada faktor-faktror nyata suatu Daerah. Hal ini memungkinkan perbedaan isi dan jenis urusan rumah tangga daerah sesuai dengan keadaan masing-masing”.[7]

Dari pemahaman di atas, maka eksistensi penyerahan urusan pemerintahan dalam rangka pemekaran atau pembentukan daerah baru mengandung tiga unsur, yakni penyerahan urusan pangkal ketika daerah itu dimekarkan atau dibentuk, kebebasan daerah untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang dianggap penting, dan urusan pemerintahan yang memang didasarkan pada faktor-faktor nyata dari calon daerah baru yang akan dimekarkan atau dibentuk. Secara teoritik faktor-faktor nyata yang dimaksud adalah menyangkut kemampuan daerah, keadaan daerah dan kebutuhan daerah.[8]
Kemampuan daerah dipergunakan untuk mengukur dan menentukan besarnya wewenang yang akan diserahkan kepada daerah yang akan dimekarkan/dibentuk. Terkait dengan hal ini, maka parameter yang dipergunakan adalah:
a.    kemampuan keuangan;
b.    kemampuan aparatur;
c.    kemampuan partisipasi masyarakat;
d.    demografi; dan
e.    kemampuan administrasi dan organisasi.[9]
Keadaan daerah dipergunakan untuk menentukan jenis urusan pemerintahan yang akan diserahkan, yakni corak dari suatu daerah yang akan dimekarkan atau dibentuk yang meliputi aspek geografis dan aspek sosial budaya. Aspek geografis adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan keadaan lingkungan alam setempat yang ikut mempengaruhi pola hidup masyarakat, khususnya dalam bidang ekonomi, sepert:
a.    Iklim dan curah hujan;
b.    Kesuburan tanah;
c.    Luas dan bentuk daerah; dan
d.    Unsur-unsur biotis.
Sedangkan aspek sosial budaya menyangkut berbagai hal yang berkaitan dengan struktur dan pola budaya masyarakat yang dapat mendukung terwujudnya otonomi daerah, yang unsur-unsurnya meliputi:
a.    religiusitas;
b.    adat istiadat;
c.    lembaga kemasyarakatan; dan
d.    struktur masyarakat.
Kebutuhan daerah sebagai salah satu kriteria yang bersumber dari kehendak daerah yang akan dimekarkan atau dibentuk terkait dengan kemampuan dan keadaan daerah sebagaimana telah disebutkan di atas. Artinya kehendak bebas dari suatu daerah yang akan dimekarkan atau dibentuk wajib diketahui oleh pemerintah pusat setelah daerah yang bersangkutan mempertimbangkan kemampuan dan keadaan yang dimiliki.
Kriteria-kriteria-kriteria tersebut, nampaknya memang sudah diakomodasi oleh PP No. 78 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah. Di dalam Pasal 6 ditegaskan:
(1)   Syarat teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 meliputi faktor kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik,  kependudukan, luas daerah, perahanan keamanan, kemampuan keuangan, tingkat kesejaheraan masyarakat, dan rentang kendali penyelenggaraan pemerintahan daerah.
(2)   Faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinilai berdasarkan hasil kajian daerah terhadap indikator sebagaimana tercantum dalam lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.
(3)   Suatu calon daerah otonom direkomendasikan menjadi daerah otonom baru apabila calon daerah otonom dan daerah induknya mempunyai total nilai seluruh indikator dan perolehan nilai indikator faktor kependudukan, faktor kemampuan ekonomi, faktor potensi daerah dan faktor kemampuan keuangan daerah dengan kategori sangat mampu atau mampu.

Berdasarkan kriteria-kriteria inilah, maka nampak jelas bahwa penyerahan urusan pemerinahan yang bersumber dari kepentingan atau nafsu politik kekuasaan mulai dieleminir. Hal ini berarti kecenderungan untuk memekarkan atau membentuk daerah baru atas dasar konflik kepentingan politik sudah mulai diperkecil bahkan sudah tidak lagi diberi tempat. Pendekatan akademis berdasarkan kajian faktor-faktor nyata mulai dikedepankan.

Strategi Prioritas Pembangunan Daerah.
Kriteria tersebut di atas, jelas membawa dampak bagi daerah untuk secara cerdas menentukan strategi prioritas pembangunan. Secara singkat strategi prioritas pembangunan yang dimaksud dapat dibagi dalam 3 (tiga) perspektif, yaitu:
a.    Perspektif administratif, yakni meningkatkan efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan daerah.
b.    Perspektif politis, yakni meningkatkan akuntabilitas dan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan.
c.    Perspektif ekonomi, yakni mempercepat kesejaheraan masyarakat.
Ketiga perspektif tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:
a.    untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan harus ditempuh dengan merampingkan struktur organisasi yang diikuti dengan penguatan sumber daya manusia di lingkungan aparat pemerintah daerah (SKPD).
b.    Untuk meningkatkan akuntabilitas dan demokrasi harus ditempuh dengan penerapan aturan hukum dan mekanisme pertanggungjawaban dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan yang ada di masyarakat. Keterlibatan masyarakat diperlukan untuk memberikan tempat bagi proses demokrasi partisipatif dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
c.    Untuk mempercepat kesejaheraan masyarakat maka peningkatan terhadap pelayanan umum di bidang perekonomian, pendidikan dan kesehatan harus menjadi prioritas pembangunan.
Demikianlah gambaran singkat yang dapat saya sampaikan dalam kesempatan yang sangat berharga ini. Semoga berguna bagi proses pembangunan di Kabupaten Pakpak Bharat dalam melaksanakan otonomi demi tercapainya kesejahteraan masyarakat.

Kotagede, 24 April 2010
Salam Demokrasi;

*) Makalah Pernah disampaikan dalam Seminar Nasional dan Konsolidasi Mahasiswa Pakpak  se Pulau Jawa, Prospek Kepemimpinan Kab. Pakpak Bharat Melalui Pemilu Kada dan Langkah Strategis Menghadapi Evaluasi Pemekaran Daerah di Indonesia, Yogyakarta, 24 -25 April 2010.
**) Dosen FH UAJY, Kepala Bagian HTN FH UAJY, Dir. Eksekutuf Parliament Watch Yogyakarta, Anggota Dewan Pertimbangan Pelestarian Warisan Budaya (DP2WB) DIY, Anggota Folk Mataraman Institute, dan Ahli Cagar Budaya.
[1] BAPPENAS bekerja sama dengan UNDP, 2008, Studi Evaluasi Dampak Pemekaran Daerah 2001-2007, dalam http://www.undp.or.id/pubs/docs/pemekaran_ID.pdf.
[2] Ibid.
[3] Peraturan Pemerintah ini mengganti PP No. 129 Tahun 2000 Tentang Persyaratan Pembentukan, dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah.
[4] Lihat Pasal 5 PP No. 78 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah.
[5] Bagir Manan dalam B. Hestu Cipto Handoyo, Otonomi Daerah, 1998, Titik Berat Otonomi, dan Urusan Rumah Tangga Derah (Pokok-pokok Pikiran menuju Reformasi Hukum di Bidang Pemerintahan Daerah), Univ Atmajaya Yogyakarta, Yogyakarta, Hlm. 17.
[6] Bagir Manan, dalam Ibid, hlm. 23.
[7] Bagir Manan, dalam Ibid.
[8] B. Hestu Cipto Handoyo, Ibid, hlm. 102
[9] Ibid.

KETERANGAN AHLI UJI MATERI UU KOPERASI

KONSEKUENSI MAKNA KETENTUAN UMUM PASAL 1 ANGKA 1 UU NO. 17 TAHUN 2012 TERHADAP PRINSIP DAN ASAS KOPERASI Oleh: Dr. Benediktus H...