KONSEKUENSI MAKNA KETENTUAN UMUM
PASAL 1 ANGKA 1 UU NO. 17 TAHUN 2012 TERHADAP
PRINSIP DAN ASAS KOPERASI
Oleh:
Dr. Benediktus Hestu Cipto Handoyo, SH.,MH
A. Pendahuluan.
Jika
mengkaji secara lebih mendalam UU No. 17 Tahun 2012 tentang Koperasi, maka
sejatinya kajian awal dalam naskah akademik menunjukkan adanya kekeliruan dalam
menafsirkan prinsip ekonomi yang tertuang dalam teori-teori koperasi. Hal ini
mengingat Naskah Akademik pada hakikatnya berfungsi mengarahkan ruang lingkup
materi muatan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi,
atau Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang akan dibentuk.
Dalam
Bab V Naskah Akademik yang membahas tentang Jangkauan, Arah Pengaturan, Dan
Ruang Lingkup Materi Muatan Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi, Atau
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, sebelum menguraikan ruang lingkup materi
muatan, dirumuskan sasaran yang akan diwujudkan, arah dan jangkauan pengaturan.
Selanjutnya mengenai ruang lingkup materi pada dasarnya mencakup:
A.
Ketentuan umum memuat rumusan akademik mengenai pengertian istilah, dan
frasa;
B.
Materi
yang akan diatur;
C.
Ketentuan
sanksi; dan
D.
Ketentuan
peralihan.
Menurut
Lampiran II UU No. 98 UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, dinyatakan bahwa ketentuan umum berisi:
a.
batasan
pengertian atau definisi;
b.
singkatan
atau akronim yang dituangkan dalam batasan pengertian atau definisi; dan/atau;
c.
hal-hal
lain yang bersifat umum yang berlaku bagi pasal atau beberapa pasal berikutnya
antara lain ketentuan yang mencerminkan asas, maksud, dan tujuan tanpa
dirumuskan tersendiri dalam pasal atau bab.
B.
Konsekuensi Pemaknaan Koperasi dalam
Ketentuan Umum UU No. 17 Tahun 2012 tentang Koperasi dalam Pasal-pasal.
Pasal
1 angka 1 UU No. 17 Tahun 2012 tentang Koperasi menyatakan bahwa koperasi
adalah badan hukum yang didirikan oleh orang perseorangan
atau badan hukum Koperasi, dengan pemisahan kekayaan para anggotanya sebagai
modal untuk menjalankan usaha, yang memenuhi aspirasi dan kebutuhan bersama di
bidang ekonomi, sosial, dan budaya sesuai dengan nilai dan prinsip Koperasi.
Ketentuan semacam ini menunjukkan bahwa perumusan pemaknaan koperasi tidak taat
asas dan prinsip koperasi sebagaimana pernah digagas oleh Mohammad Hatta.
Ketidaktaatan
asas itu nampak jelas ketika koperasi dinyatakan sebagai badan hukum yang
didirikan oleh orang perseorangan atau badan hukum koperasi. Frasa “atau”
yang menghubungkan kata orang perseorangan dan badan hukum, pada hakikatnya
menunjukkan sifat alternatif. Sehingga menimbulkan makna bahwa koperasi dapat
didirikan oleh orang perseorangan (individual sebagai subyek hukum) atau
badan hukum (yang terdiri dari kelompok orang). Sementara prinsip koperasi itu
sendiri dinyatakan oleh Bung Hatta berdasarkan prinsip kekeluargaan, artinya
bukan berdasarkan pada perseorangan melainkan berdasarkan kolektivisme.
Pemaknaan
yang tidak konsisten dan ambigu ini mengakibatkan seluruh perumusan pasal-pasal
yang mempergunakan frasa koperasi akan melanggar prinsip atau hakikat
keberadaan koperasi itu sendiri. Pelanggaran terhadap prinsip dasar atau
hakikat koperasi di dalam perumusan pasal-pasal akan nampak jelas manakala
pengertian koperasi itu dirumuskan secara lengkap sebagaimana tertuang dalam
Ketentuan Umum Pasal 1 angka 1 UU No. 17 Tahun 2012 tentang Kopertasi ke dalam
pasal-pasal-nya, misal:
1.
Pasal
1 angka 2 menyatakan: “Perkoperasian adalah segala sesuatu yang menyangkut
kehidupan koperasi (badan hukum yang didirikan oleh orang perseorangan atau badan hukum Koperasi, dengan
pemisahan kekayaan para anggotanya sebagai modal untuk menjalankan usaha, yang
memenuhi aspirasi dan kebutuhan bersama di bidang ekonomi, sosial, dan budaya
sesuai dengan nilai dan prinsip Koperasi);
2.
Pasal 1 angka
3 menyatakan: “Koperasi primer adalah koperasi yang didirikan oleh dan
beranggotakan orang perseorangan”. Pendefinisian dengan mempergunakan frasa “didirikan oleh dan beranggotakan”
mengandung makna bahwa koperasi primer sebagai badan hukum yang didirikan oleh
orang perseorangan juga beranggotakan orang perseorangan. Pemaknaan yang
demikian ini jelas menafikan prinsip koperasi yang sifatnya kolektivitas atau
dengan mempergunakan asas kekeluargaan. Kendati yang dimaksud subyek hukum
dalam konstruksi ilmu hukum adalah orang perseorangan atau badan hukum, namun
pemahaman subyek hukum orang perseorangan ini tidak serta merta dapat
diberlalukan dalam konteks koperasi. Subyek hukum orang perorangan adalah
menyangkut kecakapan melakukan perbuatan hukum dalam mendirikan koperasi secara
kolektif. Jadi bukan kecakapan perbuatan hukum yang dilakukan orang
perseorangan ketika secara pribadi bermaksud mendirikan suatu koperasi.
Kedua
contoh penerapan pengertian ke dalam suatu ketentuan Pasal tersebut menunjukkan
bahwa Ketentuan Pasal 1 angka 1 UU Perkoperasian yang dalam menerangkan inti
pengertian koperasi telah menimbulkan pemaknaan ganda. Kondisi seperti inilah
yang seharusnya tidak dijumpai dalam norma hukum tertulis yang lebih menekankan
atau mengedepankan aspek kepastian hukum.
Sehubungan
dengan hal tersebut, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PPUU-VI/2008
mengenai pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan kemudian dikuatkan lagi dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 10-17-23/PUU-VII/2009 mengenai pengujian Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tegas-tegas dinyatakan
bahwa "... Ketentuan Umum yang dimaksud dalam suatu peraturan
perundang-undangan dimaksudkan agar batas pengertian atau definisi, singkatan
atau akronim yang berfungsi untuk menjelaskan makna suatu kata atau istilah
memang harus dirumuskan sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan pengertian
ganda.
Jika
mencermati pengertian Koperasi sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 1
angka 1 UU No. 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian yang menyebutkan bahwa
koperasi adalah badan hukum yang didirikan oleh orang perseorangan atau badan
hukum koperasi, dengan pemisahan kekayaan para anggotanya sebagai modal untuk
menjalankan usaha...dst, maka pengertian ini sebenarnya ingin menerangkan
prinsip yang utama dan pertama siapakah pendiri koperasi yang dalam hal ini
ditegaskan adalah bisa perseorangan, dan bisa juga badan hukum koperasi karena
diberi kata sambung “atau” yang artinya alternatif. Sementara frasa “dengan pemisahan kekayaan para anggotanya”
pada hakikanya merupakan prinsip kedua yang mengandung unsur persyaratan yang
terkait dengan kekayaan sebagai modal.
Sehubungan
dengan hal ini, jika menurut Pasal 3 UU No. 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian
dinyatakan bahwa koperasi berdasarkan atas asas kekeluargaan, maka hubungan
antara Pasal 1 angka 1 dengan Pasal 3, tidak ada konsistensi dan hubungan
timbal balik. Kekeluargaan tidak lain adalah kolektivitas sedangkan menurut
ketentuan Pasal 1 angka 1 jelas lebih menonjolkan individualitas karena
mempergunakan frasa “orang perseorangan”. Kendati Pasal 1 angka 1 masuk dalam
kategori ketentuan umum yang belum mengandung norma hukum, namun
pengertian-pengertian yang dirumuskan dalam ketentuan umum – termasuk pasal 1
angka 1 – merupakan instrumen atau formula untuk merumuskan norma-norma hukum
yang ada di dalam ketentuan pasal-pasal atau ayat-ayat selanjutnya. Ketidak
konsistenan dan ketiadaan hubungan timbal balik antara pengertian koperasi
(Pasal 1 angka 1) juga nampak jelas jika dihubungan dengan ketentuan Pasal 4
dan Pasal 5.
Pasal
4 menyatakan bahwa Koperasi bertujuan meningkatkan kesejahteraan anggota pada
khususnya dan masyarakat pada umumnya, sekaligus sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dari tatanan perekonomian nasional yang demokratis dan berkeadilan.
Pengkhususan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan anggota, jelas berbeda
dengan tujuan orang perseorangan. oleh sebab itulah tidak tepat jika pendiri
koperasi itu orang perseorangan namun tujuannya untuk kesejahteraan anggota.
Ambigusitas seperti ini jelas merupakan manipulasi pemaknaan koperasi yang
disadari ataupun tidak telah memisahkan aspek tujuan koperasi dengan aspek
pendiri koperasi, artinya tujuannya untuk anggota namun yang mendirikan bisa
orang perorangan. Pertanyaannya mungkinkah itu? Kalau mungkin, betapa mulianya
seorang pendiri koperasi itu, karena tidak memikirkan diri sendiri melainkan
memikirkan kesejahteraan anggota.
Ketidak
konsistenan tersebut di atas, juga tampak jelas jika pengertian koperasi dalam
Pasal 1 angka 1 dikaitkan dengan nilai-nilai yang dikembangkan dalam kegiatan
koperasi sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 5. Seluruh nilai yang
tertuang dalam Pasal 5 menonjolkan sifat kolektivitas atau kebersamaan dalam
berbagai aspek kegiatan.
C.
Mengkonstruksikan Teori dalam
Pengertian atau Mengkonstruksikan Pengertian untuk Membangun Teori?
Suatu
pengertian tidak dirumuskan tanpa dilandasi teori tertentu. Oleh sebab itu
perumusan pengertian koperasi seharusnya juga dilandasi oleh teori-teori dasar
koperasi. Apalagi dalam perkembangan ilmu ekonomi, koperasi sejatinya sudah
memiliki pengertian baku yang pada hakikatnya unsur yang terpenting dalam
memahami koperasi adalah prinsip atau asas “usaha bersama berdasarkan asas
kekeluargaan”.
Namun
demikian ada juga sebaliknya, suatu pengertian yang dirumuskan dalam ketentuan
umum Undang-Undang dapat berkembang menjadi teori hukum bahkan dalam konstruksi
tradisi hukum continental penemuan prinsip-prinsip hukum justru melalui hukum
yang tertulis. Dengan demikian, pengertian dalam suatu UU yang selalu
dituangkan dalam Ketentuan Umumnya bisa saja mengubah bahkan memunculkan teori
baru, karena adanya unsur keajegan pemahaman sebagai akibat adanya sifat suatu
hukum yang tertulis (UU).
Contoh
yang dapat dikemukakan disini adalah pemahaman desentralisasi. Menurut teori
kelsen Desentralisasi terkait dengan pengertian negara yang oleh kelsen negara
disebut sebagai kesatuan norma hukum. Oleh sebab itu berbicara mengenai
desentralisasi terkait dengan pemberlakuan norma hukum. Menurut Kelsen dalam
pemberlakuan norma hukum itu ada yang disebut central norm dan decentral norm.
Teori ini di Indonesia kemudian mengalami perubahan sejalan dengan perubahan
politik perundang-undangan pemerintahan daerah.
Di
dalam UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di daerah ditegaskan
bahwa desentralisasi adalah penyerahan urusan pemerintahan dari pemerintah atau
daerah tingkat atasnya kepada daerah untuk diatur dan diurus sebagai urusan
rumah tangga sendiri. Kemudian dalam UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan
daerah dinyatakan bahwa desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan
oleh pemerintah kepada daerah otonom dalam ikatan NKRI. Dan terakhir dalam UU
No. 32 Tahun 2004 menegaskan bahwa desentralisasi adalah penyerahan wewenang
pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengat
Dari
contoh tersebut di atas menunjukkan bahwa teori desentralisasi Hans Kelsen yang
menekankan aspek penerapan norma hukum negara berangsur-angsur mengalami
perubahan menjadi penyerahan urusan, penyerahan wewenang, dan penyerahan
wewenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan.
Kondisi
seperti ini tentu akan dialami oleh UU Koperasi jikalau dalam pemaknaan
pengertiannya tidak taat kepada teori-teori koperasi yang sudah dikembangkan
oleh para ahli. Kesalahan dalam pendefinisian pengertian akan mempengaruhi perkembangan
pemahaman teori dari stau bidang kajian yang ada di masyarakat.