Mengenai Saya

Foto saya
Yogyakarta, DIY, Indonesia
Dr. Benediktus Hestu Cipto Handoyo, S.H.,M.Hum atau sering dipanggil Ben atau Hestu, lahir di Blora Jawa Tengah pada tanggal 3 Juli 1962. Suami dari Maria Bernadeth Maitimo, SH dan bapak dari dua anak Giovanni Battista Maheswara, S.H.,M.H dan Alexandro Kevin Maheswara, S.H. ini, menyelesaikan pendidikan di SD. Katolik Kridadharma Blora tahun 1974. Kemudian melanjutkan di SMP Negeri I Blora lulus tahun 1978, serta SMA Jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) di SMA Katolik Wijayakusuma Blora, lulus tahun 1981. Jenjang Pendidikan Tinggi ditempuh di Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta, dan Lulus Sarjana Hukum pada tahun 1988. Melanjutkan studi pada Program Pascasarjana (S2) Universitas Padjadjaran Bandung lulus dan memperoleh gelar Magister Humaniora (M.Hum) pada tahun 1995. Pada tanggal 20 Desember 1997 sampai dengan 4 Maret 1998 mendapatkan kesempatan mengikuti kursus di LEMHANNAS (Lembaga Pertahanan dan Keamanan Nasional) Jakarta. Kemudian pada tahun 2018 Lulus pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Katolik Parahyangan Bandung

Rabu, 10 Desember 2008

HARMONISASI RUU KY DAN RUU MA UNTUK

HARMONISASI RUU KY DAN RUU MA UNTUK
REFORMASI LEMBAGA PERADILAN

Oleh :
B. Hestu Cipto Handoyo*)


Sadar ataupun tidak, kontroversi batas usia pensiun Hakim Agung telah membelokkan issu semula dari sengketa kewenangan MA dan KY yang melatar belakangi perlunya perubahan UU MA dan KY. Memperdebatkan usia pensiun Hakim Agung dalam terminologi Jaya Suprana, adalah bentuk kelirumologi. Apakah dengan usia yang semakin usur dan relatif sudah beraroma tanah, seorang hakim agung semakin adil, bijaksana, dan kebal terhadap mafia peradilan dan judicial corruption? Jawabnya singkat, tidak ada jaminan seseorang yang semakin sepuh semakin adil, bijaksana dan tidak korup.
Terkait dengan pembahasan RUU MA yang kontroversial, Kompas (Sabtu, 4 Oktober 2008) mengemukakan bahwa RUU MA setidaknya harus disahkan bersamaan dengan RUU KY. Sebab, ada hal krusial yang harus disinkronkan dari kedua peraturan tersebut, yaitu tentang pengawasan hakim. Sinkronisasi tersebut memang penting, karena selama ini terdapat standart ganda pengawasan hakim yang dilakukan oleh MA maupun KY. MA memiliki perangkat pengawasan hakim yang dikawal oleh Badan Kehormatan Hakim MA yang diserbut code of etics, sedangkan KY memiliki standart pengawasan yang sering disebut code of conduct (aturan perilaku) hakim.

Tujuh Sinkronisasi.
Untuk mengoptimalkan pengawasan terhadap hakim sebagaimana diamanatkan Pasal 24B UUD 1945, paling tidak RUU MA dan RUU KY harus mengandung tujuh sinkronisasi. Pertama; kedua RUU harus sama-sama menempatkan KY sebagai satu-satunya lembaga negara yang diberi wewenang melakukan pengawasan terhadap hakim dengan sasaran Hakim Agung dan hakim pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung yaitu peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan khusus, serta hakim Mahkamah Konstitusi.
Satu pintu pengawasan hakim ini penting agar tidak terjadi duplikasi pengawasan yang dilakukan oleh masing-masing institusi peradilan serta berguna untuk menjaga independensi lembaga pengawas hakim. Sehingga pameo “maling teriak maling” tidak terjadi lagi dalam dunia pengawasan hakim.
Kedua; RUU MA dan RUU KY harus memerintahkan agar code of etics dan code of conduct bagi hakim disusun secara bersama-sama. Artinya sebagai parameter dalam menentukan ada atau tidaknya penyimpangan etika dan perilaku hakim, harus disusun code of etics dan Code of Conduct bagi kinerja Hakim oleh KY bersama-sama dengan MA.
Ketiga; kedua RUU sama-sama merumuskan bahwa wewenang KY adalah untuk mengawasi perilaku hakim dan bahkan melakukan upaya-upaya preventif untuk memastikan tegaknya kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim. Kedua RUU tersebut juga harus menegaskan bahwa wewenang KY dilakukan di dalam dan di luar sidang/kedinasan. Pengawasan perilaku tersebut dilakukan berdasarkan code of etics maupun Code of Conduct Hakim yang telah disusun secara bersama-sama dengan MA. Dengan demikian, Badan Kehormatan hakim yang terdapat di tubuh MA dilebur ke dalam KY. Konsekuensi lanjutan dari pengaturan seperti ini, maka KY juga harus memiliki perangkat pengawasan di setiap tingkatan peradilan di Indonesia.
Keempat; kedua RUU harus merumuskan secara tegas bahwa putusan hakim wajib dijadikan entry point untuk mendapatkan data dan informasi ada/tidaknya perilaku hakim yang menyimpang dari code of etics maupun code of Conduct. Lebih lebih lanjut dalam kedua RUU tersebut juga harus memberikan jaminan bahwa KY dapat melakukan investigasi untuk menemukan bukti-bukti tentang kesepakatan-kesepakatan di luar ruang sidang antara Hakim dengan para pihak. Selanjutnya fakta-fakta tersebut dipakai dasar untuk merekomendasikan sanksi atas pelanggaran code of etics maupun code of conduct.
Kelima; kedua RUU harus mengatur prosedur pengawasan dan pemeriksaan hakim yang meliputi kerahasiaan laporan/pemeriksaan, serta pengumuman kepada publik setelah pemeriksaan selesai dan dinyatakan terbukti melakukan pelanggaran. Substansi pengaturan ini harus memperhatikan prinsip-prinsip seperti (a) asas praduga tidak bersalah; (b) tetap menghargai martabat hakim; (c) tidak melanggar independensi hakim.
Keenam; kedua RUU harus memberikan wewenang yang kuat kepada KY untuk menyampaikan rekomendasi apabila terjadi pelanggaran Code of Etics atau Code of Conduct Hakim. Penyampaian rekomendasi kepada Presiden dengan tembusan kepada MA dan DPR yang disertai dengan menyebutkan pelanggaran yang telah dilakukan serta sanksi yang harus dilaksanakan. Dalam hal ini MA wajib menjatuhkan sanksi dengan merujuk rekomendasi KY.
Ketujuh; kedua RUU harus mengatur tentang hak pelapor, yang meliputi jaminan kerahasiaan identitas pelapor, jaminan pelapor tidak dapat digugat ke pengadilan atau dilaporkan ke kepolisian, hak Pelapor untuk mengetahui progress dari laporannya baik ditindaklanjuti ataupun tidak. Serta mengatur tentang akses publik dalam memperoleh informasi. Namun demikian, pengaturan hal ini juga perlu ada pembatasan, jangan sampai informasi yang seharusnya tertutup dibuka oleh KY sebagai satu-satunya lembaga yang memiliki wewenang untuk melakukan pemeriksaan terhadap hakim.
Dalam trias politika, satu-satunya lembaga negara yang didesain bebas dan tidak memihak adalah lembaga yudikatif (peradilan). Desain seperti ini bertujuan agar lembaga peradilan (yudikatif) benar-benar tidak dipengaruhi oleh kepentingan dari cabang kekuasaan lain dalam negara. Namun demikian, kebebasan atau independensi ini tidak kemudian diartikan bebas dari pengawasan. Demi tetap terjaganya supremasi hukum dalam arus demokratisasi, maka pengawasan terhadap lembaga peradilan yang dicerminkan dalam pengawasan terhadap hakim sangat dibutuhkan. Apalagi sampai sekarang ”mafia peradilan” dan judicial corruption masih mewarnai dunia peradilan Indonesia.

Penyempurnaan dan Harmonisasi RUU MA dan KY.
Ada bebera persoalan substansi yang perlu diatur oleh kedua RUU tersebut. Dalam expert meeting yang diselenggarakan oleh Bagian Hukum Tata Negara FH-UAJY dan Komisi Yudisial, saya menyampaikan 13 persoalan, yakni:
1. Apa yang perlu di ubah atau disempurnakan dari UU Komisi Yudisial yang berlaku sekarang ini?
a. Pengaturan tentang hubungan fungsional khususnya mekanisme kerja sama antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung harus dipertegas. Artinya antara UU KY dan UU MA harus ada harmonisasi pengaturan khususnya yang menyangkut peran dari kedua lembaga ini dalam menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim.
b. UU KY dan UU MA harus memerintahkan agar kedua lembaga yang sama-sama mandiri (merdeka) ini merumuskan code of ethics dan code of conduct yang akan dipergunakan sebagai pedoman untuk melaksanakan tugas menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim. Langkah ini perlu dilakukan, karena sampai sekarang baik KY maupun MA memiliki standart sendiri-sendiri yang kadang kala justru saling berbenturan antara satu dengan yang lain.
c. UU KY dan UU MA harus memuat ketentuan yang mengatur langkah-langkah sinergis antara fungsi pengawasan ekstern (yang dilakukan oleh KY) dengan pengawasan melekat/intern (yang dilakukan oleh MA) dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim di seluruh jajaran lembaga peradilan baik yang berada di MA maupun yang berada di bawah MA.

2. Apakah arti kewenangan Komisi Yudisial dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim?
Secara konseptual teoritis arti kewenangan Komisi Yudisial tersebut tidak lain adalah menegakkan code of ethics dan code of conduct secara bersama-sama. Oleh sebab itu, jika kewenangan tersebut diletakkan dalam satu frasa maka pengertian kewenangan tersebut harus mengacu pada prinsip-prinsip code of ethics dan code of conduct bagi hakim secara keseluruhan. Hal ini mengingat Hakim (termasuk Hakim Agung) disamping merupakan jabatan publik, juga merupakan profesi di bidang hukum.

3. Bagimanakah pelaksanaan wewenang Komisi Yudisial dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran mertabat, serta perilaku hakim?
Pelaksanaan wewenang Komisi Yudisial tersebut harus diatur secara sinergis dengan kewenangan MA. Hal ini mengingat di lingkungan hakim (termasuk Hakim Agung) juga dikenal adanya pengawasan intern yang dilakukan oleh Majelis (Badan) Kehormatan Hakim. Pasal 24A ayat (2) UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa Hakim Agung harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum. Ketentuan semacam ini secara tersirat menghendaki harus ada upaya untuk melakukan pengawasan terhadap hakim (termasuk Hakim Agung) agar sesuai dengan persyaratan etis sebagaimana ditentukan oleh UUD 1945 tersebut. Dengan demikian sinergitas wewenang Komisi Yudisial dengan MA menyangkut sinergitas pengawasan intern oleh MA melalui Majelis (Badan) Kehormatan Hakim dengan pengawasan ekstern yang dilakukan oleh Komisi Yudisial. Sehingga harapan untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim dapat dilakukan dalam dua dimensi yang saling berkait satu sama lain.

4. Siapa yang menetapkan kode etik dan perilaku hakim? Siapa yang menegakkan kode etik dan perilaku hakim? Bagaimana keterkaitannya dengan kewenangan Komisi Yudisial?
Baik yang menetapkan maupun yang menegakkan kode etik dan perilaku hakim adalah Badan (Majelis) Kehormatan Hakim yang ada di MA maupun Komisi Yudisial itu sendiri. Ini adalah konsekuensi dari kedudukan Lembaga Pemegang Kekuasaan Kehakiman yang merdeka (Pasal 24 UUD 1945) dan Kedudukan KY yang bersifat mandiri (Pasal 24B ayat 1 UUD 1945). Kecuali jikalau Badan (Majelis) Kehormatan Hakim dilebur dan disatukan dalam satu lembaga yang namanya KOMISI YUDISIAL. Namun demikian, jika hal ini menimbulkan kerancuan dalam implementasi, maka jika seluruh cabang kekuasaan yang ada di negeri ini dikembalikan kepada prinsip kedaulatan rakyat, tidak ada salahnya bila DPR sebagai lembaga representasi kedaulatan rakyat yang menetapkan kode etik dan perilaku hakim. Dengan catatan DPR harus benar-benar memahami etika profesi dan aturan perilaku hakim sebagai suatu profesi hukum. Di negara-negara yang sistem peradilan maupun pola rekrutmen hakim sudah relatif mapan, lembaga yang menetapkan kode etik dan perilaku hakim sudah jelas dan tidak terlalu menimbulkan persoalan. Hal ini mengingat organisasi profesi (Bar Association) di negara-negara ini (misal AS) sudah terbentuk dan tidak saling berebut pengaruh. Rekrutmen Hakim pada umumnya diambil dari lawyers yang berpengalaman. Sehingga kode etik dan pedoman perilaku hakim relatif baku dan lembaga yang menegakkan kode etik maupun perilaku hakim juga sudah jelas. Sebaliknya di Indonesia, untuk mempersatukan organisasi profesi advokat saja susahnya luar biasa. Oleh sebab itu, saya sarankan agar Baleg DPR-RI juga melakukan studi banding ke negara-negara tersebut. Studi banding yang saya maksud tidak harus berbondong-bondong pergi ”tamasya” ke negara-negara tersebut dan menghambur-hamburkan anggaran negara melainkan cukup dilakukan dengan ”berselancar” di Internet.

5. Apa saja ruang lingkup pengawasan terhadap hakim?
Ruang lingkup pengawasan terhadap hakim meliputi etika dan perilaku hakim baik di dalam kedinasan maupun di luar kedinasan. Pengawaan terhadap etika hakim berkaitan dengan profesi, sedangkan pengawasan terhadap perilaku hakim berkaitan dengan kedudukannya sebagai pejabat publik.

6. Bagaimana pelaksanaan pengawasan terhadap hakim yang tidak bertentangan dengan prinsip independensi hakim?
Independensi hakim harus dimaknai kebebasan hakim dalam memutuskan perkara sesuai dengan kewenangannya. Oleh sebab itu pengawasan hakim tidak termasuk pengawasan terhadap putusan-putusan yang telah keluarkan oleh hakim terhadap suatu kasus yang sedang diperiksa. Karena dalam sistem peradilan di Indonesia sudah ada mekanismenya. Dengan demikian lingkup pengawasan terhadap hakim dilakukan jika ada dugaan pelanggaran terhadap code of ethics maupun code of conduct. Memang ada kemungkinan putusan hakim bisa saja terjadi karena dipengaruhi oleh adanya pelanggaran code of ethics maupun code of conduct, namun hal ini harus dibedakan secara tegas dalam rangka melakukan pelaksanaan pengawasan terhadap hakim. Oleh sebab itulah code of ethics maupun code of conduct harus secara rinci dirumuskan di dalam aturan pelaksana dari RUU KY.

7. Bagaimana pelaksanaan prinsip akuntabilitas dan transparansi dalam pengawasan Hakim?
Pengawasan terhadap hakim harus dapat dipertanggung jawabkan mengenai kesalahan dan penyimpangan yang nyata-nyata dilakukan. Artinya bukti-bukti
atas terjadinya kesalahan dan/atau penyimpangan yang dilakukan hakim harus dapat dipertanggungjawabkan. Proses pemeriksaan yang dilakukan harus dapat diakses oleh masyarakat secara luas, termasuk rehabilitas bagi hakim yang ternyata dugaan telah melakukan kesalahan dan penyimpangan terhadap code of ethics dan code of conduct tidak terbukti juga harus dapat diakses oleh masyarakat secara luas.

8. Apa pengertian dan ruang lingkup ”perilaku hakim”? Apakah perilaku tersebut mencakup baik di dalam kedinasan maupun di luar kedinasan?
Perilaku hakim adalah segala tindakan dan sikap hakim dalam melaksanakan wewenang dan fungsinya sebagai pejabat publik. Ruang lingkup perilaku tersebut meliputi : [1]
a. Selflessness: Hakim hanya melayani kepentingan publik khususnya para pencari keadilan dan tidak diperbolehkan memberikan keuntungan atau kerugian pada seseorang atau kelompok secara tidak layak (improperly).
b. Honesty and Integrity: hakim tidak diperbolehkan menempatkan dirinya pada situasi dimana kejujuran dan integritasnya dipertanyakan, berperilaku tidak layak serta harus menghindari segala perilaku tersebut dalam semua kegiatan/acara baik di dalam kedinasan maupun di luar kedinasan
c. Objectivity: hakim harus mengambil keputusan berdasarkan fakta, maupun alat-alat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
d. Accountability: Hakim harus mempunyai akuntabilitas dihadapan publik terhadap seluruh tindakannya, dan harus sepenuhnya mempertanggung jawabkan seluruh tindakannya serta jujur dengan penuh kehati-hatian.
e. Openness: Hakim harus selalu terbuka dalam segala tindakan yang mencakup kewenangannya serta harus mempunyai penjelasan terhadap putusan-putusannya.
f. Respect for Others: hakim harus mengedepankan kesetaraan dengan tidak melakukan diskriminasi hukum terhadap semua orang, dan dengan memperlakukan orang dengan kehormatannya tanpa memperhatikan ras, umur, agama gender, orientasi seksual atau ketidakmampuan.
g. Duty to Uphold the Law: Hakim harus menegakkan hukum, dalam segala kondisi, berlaku dalam keserasian dan kepercayaan yang diberikan publik kepadanya.
h. Stewardship: hakim harus melakukan apa pun yang dapat mereka lakukan, untuk meyakinkan bahwa otoritas mereka menggunakan sumber-sumber yang prudent dan dalam lingkup hukum.
i. Leadership: hakim harus mendepankan dan mendukung prinsip-prinsip ini dengan jiwa kepemimpinan dan selalu bertindak dalam jalur yang menjaga keyakinan publik
Kesembilan prinsip ”perilaku hakim” tersebut di atas mencakup baik di dalam kedinasan maupun di luar kedinasan.

9. Apa yang dijadikan pedoman dalam melakukan pengawasan atas perilaku hakim ?
Pedoman untuk melakukan pengawasan atas perilaku hakim tidak lain adalah code of conduct sebagaimana telah diuraikan di dalam jawaban no 8. Pedoman tersebut dipergunakan untuk melakukan pengawasan atas perilaku hakim sebagai pejabat publik. Sedangkan pengawasan hakim dalam melaksanakan profesinya mempergunakan pedoman code of ethics. Dengan demikian dalam melakukan pengawasan terhadap hakim harus diletakkan dalam lingkup dua dimensi, yakni dimensi hakim sebagai pejabat publik dan dimensi hakim yang sedang menjalankan profesinya.

10. Apakah pengawasan terhadap perilaku hakim dapat dilakukan dengan cara mengkaji putusan pengadilan?
Mengkaji putusan hakim tidak serta merta dapat dipergunakan sebagai tolok ukur dalam melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim. Putusan hakim dan perilaku hakim adalah dua bidang yang berbeda serta memiliki mekanisme yang berbeda pula. Mekanisme dan parameter pengkajian terhadap putusan hakim dilakukan melalui proses peradilan yang bertingkat-tingkat dengan puncaknya di Mahkamah Agung. Sedangkan mekanisme dan parameter untuk melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim harus ditentukan terlebih dahulu prinsip-prinsipnya. Memang ada kemungkinan perilaku hakim yang menyimpang dari 9 (sembilan) prinsip code of conduct dapat mempengaruhi putusan pengadilan yang diambil oleh seorang hakim. Tetapi jika hal ini terjadi, parameter dan mekanisme untuk menegakkan code of conduct harus jelas.

11. Apakah kewenangan melakukan pengawasan terhadap hakim, baik oleh MA maupun oleh KY, berarti kewenangan untuk menjatuhkan sanksi? Jika ya, bagaimana pelaksanaan sanksi tersebut?
Kewenangan tersebut jelas berimplikasi terhadap kewenangan menjatuhkan sanksi. Oleh sebab itu baik MA maupun KY harus sama-sama membicarakan bagaimanakah mekanisme penjatuhan sanksi tersebut dilaksanakan. Apakah dilakukan oleh MA ataukah dilakukan oleh KY. Hal ini mengingat KY dan MA sama-sama lembaga yang independent (merdeka/mandiri). Menurut hemat saya, pelaksanaan penjatuhan sanksi dilaksanakan oleh Mahkamah Agung atas rekomendasi dari Komisi Yudisial setelah terbukti ada pelanggaran terhadap code of ethics atau code of conduct. Sanksi dapat berwujud administratif, penonaktifan sebagai hakim dan diberi tugas administratif sampai dengan penghentian dengan tidak hormat (pemecatan) sebagai hakim.

12. Bagimana seharusnya hubungan Mahkamah Agung dengan Komisi Yudisial?
Hubungan antara MA dengan KY seharusnya dapat dapat disinergikan secara harmonis. Ada tiga kemungkinan yang dapat ditawarkan, yaitu :
a. KY diletakkan sebagai satu-satunya lembaga yang berwenang melakukan pengawasan dan penegakkan code of ethics maupun code of conduct. Dengan demikian Badan (Majelis) Kehormatan Hakim yang dulunya mengawal penegakkan code of ethics dilebur dan dimasukkan dalam area kewenangan dan tugas KY.
b. Area kewenangan dan tugas KY dan MA dibedakan ke dalam dua kategori, yakni KY melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim sebagai pejabat publik dengan mempergunakan 9 (sembilan) prinsip code of conduct. Sedangkan MA melakukan penawasan terhadap etika hakim yang menjalankan profesinya dengan mempergunakan code of ethics.
c. MA diletakkan sebagai satu-satunya lembaga yang berwenang melakukan pengawaan dan penegakkan code of ethics maupun code of conduct, sedangkan KY diletakkan sebagai suatu lembaga yang mirip dengan ombudsman yang hanya memiliki kewenangan untuk menyampaikan rekomendasi atas dugaan adanya pelanggaran code of ethics maupun code of conduct yang dilakukan oleh hakim. Kemudian atas rekomendasi dari KY tersebut, MA melakukan pemeriksaan terhadap hakim yang diduga melakukan pelanggaran tersebut, serta memberikan sanksi.

13. Siapa lembaga yang melakukan pengawasan terhadap (perilaku anggota) Komisi Yudisial?
Sesuai dengan paradigma yang dikembangkan oleh UUD 1945 bahwa ” “tidak ada satupun kekuasaan di negeri ini yang tak tersentuh oleh pertanggung jawaban”, maka alangkah baiknya jikalau pengawasan terhadap (perilaku anggota) Komisi Yudisial – walaupun sebagai lembaga yang bersifat mandiri – dilakukan oleh DPR-RI sebagai wujud representasi kedaulatan rakyat. Setiap tahunnya Komisi Yudisial wajib menyampaikan laporan kinerja yang telah dilakukan kepada DPR-RI. Dengan cara semacam ini, maka paradigma tersebut di atas benar-benar diimplementasikan dalam sistem penyelenggaraan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Demikianlah beberapa masukan yang dapat saya sampaikan semoga bermanfaat bagi tegaknya Supremasi Hukum di bumi nusantara dan berkurangnya praktek-praktek ”mafia peradilan” di bumi pertiwi ini. Selamat berjuang sukses selalu dan salam Demokrasi.

*) Dekan Fakultas Hukum Univ. Atma Jaya Yogyakarta dan Direktur Eksekutif Parliament Watch Yogyakarta.
[1] Hasil modifikasi dari 10 (sepuluh) prinsip code of conduct Pemerintah Lokal di Inggris yang diperuntukkan bagi pejabat publik. Hanya 9 (sembilan) dari 10 (sepuluh) prinsip yang dapat diterapkan untuk dijadikan pedoman dalam melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim sebagai pejabat publik. Lebih lanjut dapat dilihat di dalam www.adkasi.or.id.

KETERANGAN AHLI UJI MATERI UU KOPERASI

KONSEKUENSI MAKNA KETENTUAN UMUM PASAL 1 ANGKA 1 UU NO. 17 TAHUN 2012 TERHADAP PRINSIP DAN ASAS KOPERASI Oleh: Dr. Benediktus H...