Mengenai Saya

Foto saya
Yogyakarta, DIY, Indonesia
Dr. Benediktus Hestu Cipto Handoyo, S.H.,M.Hum atau sering dipanggil Ben atau Hestu, lahir di Blora Jawa Tengah pada tanggal 3 Juli 1962. Suami dari Maria Bernadeth Maitimo, SH dan bapak dari dua anak Giovanni Battista Maheswara, S.H.,M.H dan Alexandro Kevin Maheswara, S.H. ini, menyelesaikan pendidikan di SD. Katolik Kridadharma Blora tahun 1974. Kemudian melanjutkan di SMP Negeri I Blora lulus tahun 1978, serta SMA Jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) di SMA Katolik Wijayakusuma Blora, lulus tahun 1981. Jenjang Pendidikan Tinggi ditempuh di Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta, dan Lulus Sarjana Hukum pada tahun 1988. Melanjutkan studi pada Program Pascasarjana (S2) Universitas Padjadjaran Bandung lulus dan memperoleh gelar Magister Humaniora (M.Hum) pada tahun 1995. Pada tanggal 20 Desember 1997 sampai dengan 4 Maret 1998 mendapatkan kesempatan mengikuti kursus di LEMHANNAS (Lembaga Pertahanan dan Keamanan Nasional) Jakarta. Kemudian pada tahun 2018 Lulus pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Katolik Parahyangan Bandung

Jumat, 04 Desember 2009

DASAR PEMIKIRAN TENTANG PERLUNYA UU TENTANG OTONOMI DESA


DASAR PEMIKIRAN TENTANG PERLUNYA
UU TENTANG OTONOMI DESA
B. Hestu Cipto Handoyo

Tidak dapat dipungkiri bahwa UU No. 32 tahun 2004 yang belum genap berumur 3 tahun ini telah menuai persoalan terutama menyangkut keberadaan otonomi desa yang makin lama, makin tidak menunjukkan eksistensinya. Padahal secara konsepsional desa sebagai sebuah persekutuan hukum telah memiliki otonomi asli sebelum Indonesia Merdeka. Bahkan para faunding fathers – khususnya Soepomo – pernah mengemukakan bahwa desa merupakan salah satu dari sekian banyak zelfbestuurende lanschappen yang masuk di dalam kategori hak asal-usul dalam daerah yang bersifat istimewa.
Dalam UU No. 5 tahun 1974 dan UU No. 5 tahun 1979 yang sifatnya monolitis, desa diposisikan sebagai ”duduk diam”. Artinya otonomi Desa dimatikan, karena justru desa ditempatkan sebagai alat birokrasi administratif tanpa kemandirian sama sekali. Sementara itu, rumusan otonomi di dalam UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan daerah, dalam prakteknya hanya dititik beratkan pada masalah uang, pendapatan atau hanya sekedar peningkatan PAD. Akibatnya adalah Otonomi menjadi ladang subur bagi tumbuhnya arogansi dan eksklusivitas daerah yang pada akhirnya melahirkan fenomena disintegrasi bangsa.
Sedangkan dalam UU No. 32 tahun 2004 kesan yang paling kuat muncul adalah kembalinya arah pemerintahan ke sentralistik dan Desa menjadi makin berbeda posisinya. Birokratisasi Desa akan terjadi semakin kuat, misalnya dengan adanya tuntutan agar Sekretaris Desa dijadikan PNS. Bahkan sekarang ada keinginan politik yang sampai di Desa sehingga menimbulkan gerakan kepala desa yang menginginkan menjadi Ketua Partai Politik. Semua ini terjadi, karena secara konsepsional kita belum mempunyai ”demokrasi Indonesia”, melainkan baru ”demokrasi barat yang diterapkan di Indonesia”. Dalam konteks semacam ini, maka Badan Perwakilan Desa itulah yang harus dianggap sebagai perwakilan demokrasi.
Jika dikaji secara lebih mendalam, maka implikasi UU No. 32 tahun 2004 terhadap eksistensi Otonomi Desa adalah terjadinya politisasi desa. Padahal, semestinya desa harus diletakkan dalam konteks otonomi asli yang terlepas dari politik, namun kenyataan menunjukkan bahwa dengan UU No. 32 tahun 2004 persoalan-persoalan politik masuk ke desa. Berkaitan dengan hal ini, persoalan serius yang muncul adalah, bagaimanakah mengembalikan desa dalam bentuk otonomi asli sebagaimana di gagas oleh para foundings fathers dulu.
Oleh sebab itu, gagasan konsepsional harus kembali dirumuskan, yakni Pemerintah harus hanya bertindak sebagai katalisator saja, karena bagaimanapun juga desa memang sudah otonom. Dengan demikian, persoalan-persoalan yang sekarang ini muncul dipermukaan yang kemudian dicerminkan dalam berbagai tuntutan, sesungguhnya terletak pada Undang-undangnya.
Berkaitan dengan persoalan tersebut di atas, ada sejumlah issu penting yang dapat dipergunakan sebagai referensi dalam mengembalikan otonomi desa yaitu:
a. Penegasan posisi (kedudukan) desa dalam NKRI;
b. Pembagian kewenangan secara proporsional antara pusat, provinsi, kabupaten/kota dan desa;
c. Desentralisasi pembangunan;
d. Desentralisasi keuangan kepada desa dengan cara membuat skema perimbangan keuangan antara pusat, daerah dan desa;
e. Mengoptimalkan pembinaan (capacity building), fasilitasi dan supervisi pemerintah supradesa kepada desa.
f. Swadaya masyarakat perlu dirumuskan konsepsinya, mengingat dalam beberapa hal ternyata justru sangat memberatkan masyarakat;
g. Ke depan desa harus mempunyai perencanaan sendiri. Tidak lagi top down.
h. Desentralisasi keuangan dalam PP No. 72 tahun 2005 justru membuka kecenderungan akan terjadinya manipulasi keuangan tersebut. Desa tidak mempunyai daya tawar.
Desa merupakan entitas pemerintahan yang secara historis, politis dan kultural memiliki basis kerakyatan dan sering dianggap benteng kearifan lokal. Soepomo pernah menggagas perlunya menggunakan desa sebagai model dalam menyusun sistem pemerintahan RI.
Terlepas dari pro dan kontra, ada sisi menarik dari UU No. 32 tahun 2004. Pertama, sudah mulai terbukanya kesadaran bahwa persoalan yang menyangkut desa merupakan persoalan yang harus dicermati. Kedua, pada tataran historis, filosofis muncul kembali keinginan meletakkan desa sebagai pemerintahan alas kaki. Di samping itu juga menekankan power sharing antara jenis kewenangan, perimbangan kewenangan dekonsentrasi dengan kewenangan desentralisasi.
UU sebelumnya, yakni UU No. 5 tahun 1979 membuat desa terserap dalam dominasi kekuasaan negara dan kehilangan roh demokrasi kerakyatan. UU ini telah mengebiri hak-hak kultural dan melakukan uniformitas serta sentralisasi pengelolaan desa. Desa yang telah memiliki demokrasi asli dan menjadi basis kerakyatan, justru berbalik menjadi basis tumpuan berbagai kebijakan politik pemerintah. Desa hanya menjadi alat birokrasi pemerintah.
Menyikapi realitas kebijakan otonomi daerah di dalam UU No. 32 tahun 2004 yang ambivalen terhadap demokrasi desa, maka desa hanya mengharap adanya power sharing dengan kabupaten dan pengurangan tarikan sentralisasi melalui perluasan pemberian tugas pembantuan dari provinsi. Langkah selanjutnya yang perlu ditempuh adalah dengan memberikan legal framework melalui Perda Provinsi atau Kabupaten/kota yang lebih menunjukkan paradigma penguatan otonomi. Oleh sebab itulah, tumbuhnya demokfrasi level desa sebenarnya menjadi sarana pembelajaran yang penting untuk mendorong demokrasi di tingkat kabupaten/kota semakin menguat yang pada akhirnya berdampak pada menguatnya demokrasi ditingkat negara.
Mengingat desa sebagai central operating govenrnment maka perlu ditempuh dengan terobosan konstitusional untuk memberikan bingkai bagi makna otonomi desa, antara lain : Pertama, mengubah skema driekriengenleer yang diawali dengan mempertegas otonomi desa dalam konstitusi. Pembaharuan desa yang meletakkan desa sebagai centra operating government perlu dilandasi oleh strategi yang tepat. Anggapan bahwa pemerintah desa merupakan penyelenggara pemerintahan pada level alas kaki merupakan pemahaman yang ahistoris, reduksionis dan ilogical.
Kedua, penguatan kapasitas pemerintahan desa. Melalui penguatan partisipasi dan kapasitas rakyat desa maka gerakan arah perubahan dari bawah harus diupayakan. Kemudian memperkuat kelembagaan yang ada dapat dilakukan dengan mengelaborasi konsep checks and balance dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Langkah ini perlu didukung oleh pembiayaan yang memadai. Alternatif pembiayaan melalui skema Dana Alokasi Umum (DAU) untuk desa sangat dimungkinkan dengan melihat kedudukan DAU sebagai komponen penerimaan daerah yang ditempatkan sebagai bagian dari Dana Perimbangan. Hal ini dapat mendorong desa dapat menggali sumber pendapatan asli desa, memperkuat desa sebagai basis ketahanan pembangunan, mempercepat lacu perkembangan dan kemajuan desa, serta berkembangnya partisipasi masyarakat secara optimal.
Oleh sebab itu, pengaturan desa dan berbagai kewenangan yang ada di dalamnya tidak cukup hanya diatribusikan ke dalam Perda, melainkan harus diletakkan dalam konteks UU tersendiri. Hal ini mengingat UUD 1945 juga mengakui keberadaannya. Pengaturan Desa ke dalam UU tersendiri merupakan langkah strategis untuk memperluas otonomi dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia. Model semacam ini juga pernah di gagas oleh Moh. Yamin yang membagi pemerintahan di Indonesia ke dalam tiga tingkatan, yakni Pemerintahan atasan, pemerintahan tengahan dan pemerintahan rendahan.
Pemerintahan atasan diletakkan dalam konteks Pemerintah Pusat. Pemerintahan Tengahan diletakkan dalam konteks Propinsi/kabupaten dan pemerintahan rendahan tidak lain adalah Desa. Fungsi Pemerintahan tengahan adalah sebagai ”jembatan” yang menghubungkan antara pemerintahan atasan dan pemerintahan rendahan. Jika konsepsi seperti ini dapat diwujudkan niscaya otonomi dan demokratisasi di Indonesia akan terwujud. Sinyalemen yang mengatakan ”baru ada demokrasi di Indonesia” sedikit demi sedikit akan berubah menjadi telah terbentuk ”demokrasi Indonesia”.
Desa sebagai sebuah entitas pemerintahan terendah di Indonesia, tentunya harus diberdayakan. Memang kompleksitas persoalan yang ada di Desa relatif lebih ringan ketimbang yang berada di tingkat Propinsi atau kabupaten. Pemberdayaan desa tentu akan berdampak pada semakin menguatnya tingkat kesadaran masyarakat dalam mengimplementasikan kehidupan demokrasi. Masyarakat Desa akan semakin cerdas, dan hasil lanjutannya jelas akan mencerdaskan masyarakat Indonesia pada umumnya. Tidak kalah pentingnya adalah, dengan memberikan penguatan otonomi kepada desa beserta sumber-sumber pendapatan yang dimiliki, tentu akan mengakibatkan tingkat pertumbuhan ekonomi akan semakin merata. Dampak lanjutannya adalah bisa menjadi sarana efektif untuk menekan arus urbanisasi yang mengakibatkan semakin menumpuknya masyarakat miskin diperkotaan yang pada umumnya berasal dari desa.
Berdasarkan gambaran tersebut di atas, maka dalam rangka mengembalikan keberadaan otonomi Desa prinsip-prinsip yang harus diperhatikan adalah :
1. Sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum otonom berdasarkan Hukum asli Indonesia, maka hak asal-usul desa harus tetap dilindungi. Pasal 18B ayat (2) secara tegas telah memberikan penegasan mengenai hal ini. Desa sebagai zelf bestuurende Lanschappen (menurut Soepomo) tidak cukup hanya diatur dengan Peraturan Pemerintah. Oleh sebab itu perlu segera dirumuskan naskah akademis RUU yang substansinya dapat berupa RUU tentang Perlindungan Kesatuan-Kesatuan masyarakat Hukum Adat atau RUU tentang Otonomi Asli Desa. Di dalam RUU tersebut, Desa yang memiliki otonomi asli harus dibersihkan dari anasir-anasir politik. Penjabaran secara detil dari UU tersebut diatur dalam Perda.
2. Keuangan Desa perlu ada sinkonisasi dan harmonisasi dengan keuangan dari satuan Pemerintahan yang lebih tinggi tingkatannya (Pemerintah Pusat, Propinsi dan kabupaten). Untuk itu perlu ada payung hukum yang memberi dasar bagi sinkronisasi dan harmonisasi Keuangan secara makro yang dalam tataran pelaksanaan dapat diterjemahkan secara rinci ke dalam PP, Perda Propinsi dan Perda Kabupaten. UU Keuangan Negara perlu ada perbaikan-perbaikan untuk disesuaikan dengan tuntutan masyarakat. Berkaitan dengan hal ini, maka Perimbangan keuangan pusat dan daerah yang secara khusus mengatur alokasi Dana Desa sebesar 10% dari DAU perlu ditinjau kembali untuk diberikan peningkatan yang layak dan sepadan dalam rangka pemberdayaan dengan cara menumbuhkan partisipasi masyarakat dalam proses demokratisasi dan kemandirian Desa.
3. Garis-garis besar tentang kebijaksanaan Pemberdayaan masyarakat desa baik SDM maupun SDA harus masuk dalam koridor strategi Pembangunan Nasional. Oleh sebab itu, karena sekarang GBHN sudah tidak dikenal lagi, maka UU tentang Strategi Pembangunan Nasional harus segera rumuskan.
4. Ekonomi Kerakyatan yang terbukti kuat dalam menghadapi krisis multi dimensional ternyata juga mampu untuk menggairahkan aktifitas perekonomian di tingkat Desa. Oleh sebab itu garis-garis besar tentang Ekonomi Kerakyatan perlu dituangkan dalam bentuk UU. Hal ini selaras dengan Pasal 33 ayat (5) UUD 1945. RUU yang dimaksud dapat berupa RUU tentang Pokok-Pokok Ekonomi Kerakyatan. Eksistensi dari RUU ini adalah memberikan tempat bagi sistem ekonomi khas Indonesia dan sekaligus meredam arus kapitalisme global yang semakin merebak dalam kehidupan ekonomi dan investasi di Indonesia. Perekonomian Desa harus tetap dalam koridor ekonomi kerakyatan yang mampu memberikan kesejahteraan masyarakat, sehingga arus urbanisasi sebagai akibat kapitalisme di tingkat perkotaan dapat dieleminir. Oleh sebab itu konsep-konsep Ekonomi Kerakyatan yang digagas oleh Moh. Hatta dapat dipergunakan sebagai referensi utama.
5. Di dalam UU yang mengatur otonomi Desa tersebut masa jabatan lurah Desa masih tetap relevan untuk ditetapkan selama 5 thn. Lurah Desa tetap ditempatkan sebagai figur panutan yang mampu mengayomi dan mengayemi masyarakat Desa secara sosial ekonomi sesuai dengan karakteristik dasar dari fungsi Kepala Desa. Oleh sebab itu sangat tidak relevan apabila seorang Kepala desa menjadi pengurus Partai Politik. Sedangkan Sekretaris Desa tidak perlu menjadi PNS, tetapi yang diperlukan adalah memberikan perhatian kepada kesejahteraan perangkat desa yang layak sehingga mampu menjalankan fungsi, tugas serta pengabdiannya sebagai perangkat Desa.
Demikianlah gambaran singkat tentang Dasar Pemikiran perlunya membentuk Undang-Undang Pemerintahan Desa (Otonomi Desa). Pembentukan UU tersebut tentu akan didahului dengan perumusan naskah akademis yang sifatnya komprehensif.

NEGARA DAN BANGUNAN NASIONALISME


NEGARA DAN BANGUNAN NASIONALISME
(Mencari bentuk Nasionalisme
Kaum Muda Indonesia)*)

Oleh :
B. Hestu CH**)


Iklan minyak rambut Brisk di TV
menggambarkan seorang gadis cantik tidak rela bila
sang pacar masuk AKABRI hanya karena bila
masuk AKABRI Rambutnya yang
bagus harus rela di potong
(Inikah ukuran nasionalisme ?)


A. Batasan Nasionalisme.
Secara umum nasionalisme sering dipahami sebagai aliran atau paham kebangsaan. Nasionalisme juga sering dikonotasikan sebagai paham bernegaranya suatu bangsa. Kendatipun demikian, kalau kita mau jujur sebenarnya nasionalisme itu hanyalah merupakan “rekaan” semata. Keniche Ohmae bahkan mengemukakan bahwa “kita hidup dalam dunia tanpa batas, dimana negara-negara bangsa telah menjadi sebuah “rekaan”, dimana para politikus telah kehilangan semua kekuatan efektif mereka”. Dari sinilah letak kesulitan kita dalam memberikan definisi tentang nasionalisme. Hal ini mengingat nasionalisme itu sendiri sebenarnya tidak mungkin untuk didefinisikan melainkan hanya bisa dirasakan dalam dataran moralitas kebangsaan.
Nasionalisme menurut anggapan saya tidak lain adalah moralitas kebangsaan yang terbangun sejak perjalanan sebuah komunitas masyarakat menyusun perangkat sosiologis dalam rangka memperbesar lingkungan kehidupan bersama diantara mereka. Pandangan semacam ini semata-mata dilandasi oleh argumentasi Cf. Birch yang mencoba menerangkan tentang arti negara sebagai bentuk pengejawantahan nasionalisme yang abstrak itu. Dia mengemukakan :
“Secara teoritik integrasi untuk membentuk negara dapat dibedakan dan sekaligus melalui dua tahapan yaitu; Pertama, Integrasi nasional yakni proses menyatunya kelompok-kelompok masyarakat dalam bidang politik-historis, sosio kultural, interaksi (transportasi-komunikasi) dan ekonomi, sehingga menjadi kelompok yang lebih besar daripada kelompok daerah (regional), tetapi bukan kelompok internasional yang mempunyai identitas berbeda dari kelompok lain sesamanya. Integrasi nasional seperti ini disebut bangsa. Kedua, Integrasi negara, yaitu proses munculnya keklompok penguasa yang menguasai wilayah bangsa itu secara bertahap. (a) menundukkan saingan-saingannya; (b) menentukan batas-batas kekuasaannya; (c) menciptakan polisi dan pengadilan utnuk menciptakan ketertiban; dan (d) tahap penetrasi administrasi, yaitu pembentukan birokrasi untuk melaksanakan undang-undang dan pengumpulan pajak”.

Dari dua proses integrasi, sebagaimana yang dikemukakan oleh Birch tersebut, unsur terpenting yang berkaitan dengan pemahaman nasionalisme adalah identitas pembeda yang nampak dalam proses integrasi nasional yang disebut bangsa tersebut. Hal ini berarti dapat dijelaskan bahwa nasionalisme atau sering disebut sebagai paham kebangsaan justru hanya merupakan sarana pembedaan identitas yang ada dalam suatu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat lain, khususnya dalam rangka membentuk sebuah negara. Disinilah letak keabstrakan dari nasionalisme tersebut. Oleh sebab itulah pembedaan identitas yang dihasilkan dalam proses integrasi nasional akan selalu diupayakan dengan menciptakan simbol-simbol untuk mempertahankan kelanggengan pembeda identitas tersebut.
Banyak negara yang mencoba menciptakan simbol-simbol bagi pembedaan identitas sekaligus dalam rangka mempertahankannya. Contoh Amerika yang pernah merasakan keterpurukan nasionalisme, ketika mengalami kebangkrutan di kawasan Asia Tenggara pada saat ikut terlibat dalam konflik di Kamboja dan Vietnam sekitar tahun 1970-an. Dengan kekalahan di kawasan tersebut - baik secara fisik maupun moral – Amerika kemudian mencoba menciptakan simbol-simbol kepahlawanan melalui media yang dianggap paling efektif, yaitu Film layar lebar. Dengan gegap gempitanya Hollywood gencar memproduksi film-film kepahlawanan seperti Rambo, Rocky, Independent day dll. Inilah salah satu contoh aktual, ketika nasionalisme sangat dibutuhkan dalam rangka memobilisasi masa rakyat untuk memberikan respons positif terhadap negara.
Dari contoh aktual tersebut di atas, maka dapat ditarik pemahaman bahwa nasionalisme sangat berkaitan dengan sikap manusia yang ada di dalam suatu ikatan kehidupan bersama dalam suatu negara. Persoalannya adalah sikap yang bagaimanakah yang dapat dipergunakan untuk menilai nasionalisme tersebut. Menurut hemat saya, untuk saat ini sikap nasionalis tidak mungkin dinilai dalam konteks verbal, misalnya selalu mengikuti upacara bendera, senang menyanyikan lagu-lagu perjuangan, sangat menghormati lambang-lambang negara ataupun sangat loyal kepada pemerintah/penguasa. Sikap-sikap seperti ini tidak serta merta dapat dipergunakan sebagai tolok ukur untuk menentukan ciri-ciri orang yang berjiwa nasionalis. Pendek kata, ciri-ciri orang yang berjiwa nasionalis adalah ditunjukkan melalui sikap kepedulian kepada bangsa dan negara dengan berbagai komponen yang terkandung di dalamnya. Sikap kepedulian ini mempunyai dimensi yang sangat luas. Tak mungkin bagi kita untuk merumuskan satu persatu. Oleh sebab itu untuk memberikan penegasan mengenai ciri-ciri orang yang berjiwa nasionalis tidak lain hanya dapat ditunjukkan dalam konteks kehidupan sehari-hari yang selalu diwarnai dengan sikap tanggap terhadap perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam berbagai aspek. Kepedulian orang terhadap kehidupan bangsa dan negara termasuk masyarakat merupakan pertanda awal dari orang tersebut memiliki ciri nasionalis.

B. Perkembangan Semangat Nasionalisme di Indonesia.
Pada umunya paham kebangsaan alias nasionalisme dapat berkembang dan menjadi sarana perakat negara disebabkan oleh adanya ikatan-ikatan yang bersifat alamiah. Kebangsaan sering diikat oleh adanya kesatuan-kesatuan yang bersifat sosiologis, seperti kesamaan spiritualitas, adat, ras, bahasa, etnis, dan lain sebagainya. Kesamaan-kesamaan inilah yang secara relatif mampu memberikan dukungan dalam mempertahankan paham kebangsaan dari suatu masyarakat negara. Bagaimana dengan Indonesia ?
Tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan nasionalisme bangsa Indonesia tidak diikat oleh suatu perekat yang bersifat alamiah. Manoel Godinho de Eredia dalam penelitiannya mengemukakan bahwa kata Nusantara berasal dari kata Luca-antara atau Nuca-antara. Kata ini semata-mata hanya ingin memberikan gambaran adanya bentangan pulau-pulau di semenanjung Malaka yang tidak memiliki ikatan apapun, kecuali dalam hal hubungan perdagangan. Gambaran semacam ini oleh Sindhunata dianggap merupakan pemicu dari kerapuhan bangunan nasionalisme Indonesia. Mengapa demikian ?
Nasionalisme Indonesia – menurut Sindhunata – dalam sejarah perkembangannya hanyalah diikat oleh kesamaan-kesamaan yang bersifat sosio-historis, yaitu adanya perasaan senasib sepenanggungan dari kelompok masyarakat yang ada di kepulauan nusantara ini, sebagai akibat berada di bawah dominasi kekuasaan satu bangsa melalui kolonialisme. Pendek kata nasionalisme Indonesia terbangun karena adanya “musuh bersama” dari masyarakat disepanjang kepulauan nusantara ini. Dengan kata lain, proses integrasi Indonesia dan sekaligus membangun nasionalisme, semata-mata disebabkan oleh adanya “musuh bersama” tersebut.
Persoalannya adalah bagaimanakah dengan Kebangkitan Nasional (1908), Sumpah Pemuda (1928), Proklamasi (17-8-1945) sebagai suatu simpul-simpul terbentuknya nasionalisme Indonesia. Apakah juga disebabkan oleh adanya musuh bersama ? Ataukah justru peristiwa-peristiwa sejarah itu muncul dengan sendirinya secara mistis tanpa disebabkan oleh adanya “musuh bersama” tersebut ? Dalam konteks kesejarahan Indonesia kontemporer peristiwa-peristiwa tersebut pada hakikatnya merupakan respons terhadap kebutuhan untuk hidup bersama dalam semangat persatuan dan kesatuan. Semangat dan kebutuhan tersebut kalau kita runut jelas disebabkan oleh adanya rasa kebersamaan dalam ketertindasan oleh bangsa lain melalui kolonialisme. Harus diakui sebelum bangsa asing masuk ke bumi nusantara, Kerajaan-kerajaan di telatah nusantara ini nggak pernah bersatu dalam semangat hidup bersama. Penyatuan kerajaan-kerajaan selalu dilalui dengan penundukkan dan peperangan. Dengan demikian dapat diindikasikan bahwa, bangunan nasionalisme Indonesia – secara hipotesis – disebabkan oleh adanya musuh bersama.
Bangunan nasionalisme yang disebabkan oleh adanya musuh bersama ini sifatnya sangat rapuh. Jikalau musuh bersama tersebut sudah dapat dihadapi, ditumpas dan dikalahkan, maka kesatuan masyarakat nasionalis ini jelas akan kehilangan roh persatuan dan kesatuan, sebagai perekat nasionalisme. Oleh sebab itulah dalam sejarah modern Indonesia, para penguasa negeri ini selalu mencoba melakukan langkah-langkah pembaharuan nasionalisme dengan mengambil konsep demitologisasi atau sakralisasi bangunan nasionalisme Indonesia. Maksudnya adalah menciptakan wacana mitologi bahwa nasionalisme Indonesia itu sifatnya adalah sakral dan tak dapat diganggu gugat. Penciptaan wacana ini sering melalui pembentukan simbol-simbol nasionalisme yaitu “musuh bersama”. Contoh yang dapat dikemukakan disini adalah :
1. Zaman Orde Lama, Presiden Soekarno menciptakan simbol yaitu neokolonialisme dan neoimperialisme (NEKOLIM) sebagai musuh bersma dari kaum revolusioner. Oleh sebab itu beliau menghimpun kesatuan gerakan politik revolusioner dalam konsep NASAKOM (Nasionalis, Agama Komunis), sampai-sampai juga mengembangkan wacana “Ganyang Malaysia” sebagai antek Nekolim.
2. Zaman Orde Baru, Presiden Soeharto menciptakan simbol nasionalisme dengan wacana “Pancasila sebagai satu-satunya asas”. Wacana semacam ini dipergunakan untuk menghadapi musuh bersama yaitu Keanekaragaman dan perbedaan disegala bidang. Oleh sebab itulah pada zaman ini yang namanya SARA tabu untuk dibicarakan.
3. Pada saat gerakan reformasi th. 1998, aksi mahasiswa yang berskala masif juga dapat diindikasikan karena adanya musuh bersama, yaitu merosotnya moralitas dikalangan pemegang kekuasaan melalui praktek-praktek KKN dan semakin otoriternya rezim Orde Baru. Musuh bersama pada saat ini disimbolkan dalam diri Soeharto yang dianggap merupakan personifikasi Orde Baru dan sistem politiknya. Kendatipun demikian musuh bersama dalam periode ini, menurut pandangan saya tidak diciptakan seperti pada zaman Orde Lama dan Orde Baru, melainkan muncul karena adanya kesadaran dari kaum intelektual muda (mahasiswa) untuk melakukan pembaharuan kehidupan ketatanegaraan yang lebih demokratis, transparan, dan menghargai HAM serta penerapan prinsip negara hukum yang konsisten.
Ketiga contoh inilah yang dapat dipergunakan sebagi bukti bahwa masalah nasionalisme adalah masalah yang sifatnya sangat abstrak, dan oleh sebab itulah untuk mengkonkritkan masalah ini, sering kita hanya memainkan simbol-simbol yang justru kadang kala mengakibatkan nasionalisme itu kehilangan makna.
Namun demikian kalau dilihat dari pengalaman gerakan reformasi oleh mahasiswa, maka disitu nampak adanya model nasionalisme yang lebih rasional, yaitu nasionalisme yang lebih menekankan pada aspek kebersamaan sikap melalui penyusunan konsep-konsep gerakan yang nyata dan sangat menyentuh kepentingan rakyat. Namun sayang gerakan reformasi ini tidak dilanjutkan secara sistemik oleh para penyelenggara negara. Kondisi negara tetap tidak berubah, krisis multi dimensional masih tetap belum bisa diatasi secara tuntas, korupsi dan penyalahgunaan wewenang justru makin meluas dan membudaya. Akibatnya rakyat kembali pada kondisi semula, dan bahkan akhir-akhir ini dijumpai adanya fenomena “rindu Orde baru”. Kondisi semacam ini kalau tidak segera diatasi, maka akan mengakibatkan terjadinya kemunduran kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Ini sungguh berbahaya.

C. Pancasila sebagai Roh Nasionalisme Indonesia.
Banyak kalangan yang menganggap bahwa generasi muda abad 21 ini, adalah generasi instans. Generasi yang hanya ingin cepat saji. Generasi yang tidak survive, dugem, dan berbagai sebutan lainnya. Inilah persoalan yang harus kita hadapi sebagai generasi muda abad 21, abad mellinium. Apakah model generasi semacam ini mempengaruhi nasionalisme kaum muda ? Secara umum jawabannya adalah “YA”. Pengaruhnya sangat besar sekali. Generasi instans jelas tidak akan memiliki sikap kepedulian pada kehidupan secara umum. Mereka akan asyik dengan dirinya sendiri, sibuk mencari identitas diri dan ingin selalu dihargai. Pertanyaannya, apakah generasi abad 21 ini semuanya seperti itu ? Jawabannya adalah “TIDAK”. Banyak kaum muda yang justru menunjukkan sikap kepedulian mereka yang sangat besar terhadap nasib bangsa ini.
Kalau kita mau menyadari, kaum muda abad 21 sekarang ini justru dihadapkan pada persoalan yang sangat pelik serta multi dimensional. Di satu pihak mereka dihadapkan pada persoalan kemerosotan moral, maraknya korupsi, sex diluar nikah, aborsi, narkoba, premanisme. Dipihak lain mereka juga dihadapkan pada persoalan alih generasi. Hal ini dapat dilihat dari kejadian-kejadian pada akhir abad 20. Generasi 45 yang selama ini mendominasi peta kehidupan berbangsa dan bernegara sudah harus mundur dari kancah kehidupan tersebut. Sementara kaum muda harus segera mengganti mereka dengan mewarisi keterpurukan moralitas angkatan tua. Inilah masalah kaum muda.
Secara umum kecenderungan kaum muda terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori. Pertama, adalah kaum muda yang masuk dalam kategori generasi instans tersebut. Kepedulian mereka terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara nyaris tak terdengar. Mereka hanya sibuk dengan dunianya sendiri, dunia gemerlap alias dugem adalah kehidupan mereka sehari-hari. Café, Mall, Discotik, merupakan wadah bagi mereka ini untuk mengekspresikan aktifitasnya. Mereka gampang sekali menyerap budaya asing. Perubahan yang mereka kehendaki, bukanlah perubahan dalam sektor idealisme, melainkan perubahan yang bersifat pragmatis, seperti mode, potongan rambut, dan lain sebagainya. Dunia mereka adalah dunia yang penuh kebebasan nilai-nilai. Buku Jakarta Undercover buah karya Moamar Emka, adalah salah satu contoh aktual untuk menggambarkan Generasi muda seperti ini.
Kedua, adalah generasi muda yang penuh idealisme. Mereka biasanya masuk dalam komunitas-komunitas studi dan advokasi, LSM (NGO) merupakan wadah pilihan mereka untuk mengekspresikan aktifitas mereka. Gerakan mereka lebih menitik beratkan pada gerakan moral. Mereka memiliki kepedulian sosial yang sangat tinggi. Bahkan saking tingginya, kadang-kala mereka berani menerobos aturan main yang sudah baku seperti aturan-aturan hukum. Mereka sering menolak mentah-mentah wacana-wacana teori baku yang sarat dengan indoktrinasi. Bahkan tidak jarang mereka ini sering sangat radikal dalam membangun wacana teori baru. Pendek kata mereka inilah yang sering dimasukkan dalam kelompok generasi postmodernisme. Inilah generasi yang sarat dengan nilai-nilai nasionalisme. Gerakan mereka pada hakikatnya adalah gerakan pembelaan terhadap martabat kemanusiaan dan kebangsaan. Kalau seperti ini apakah diragukan jiwa nasionalismenya ? Saya berpendapat bahwa mereka inilah generasi muda yang mencoba memberikan makna nasionalisme, dengan gerakan-gerakan nyata di lingkungan masyarakat. Mereka jarang sekali memainkan simbol-simbol nasionalisme. Bahkan mereka menolak simbol-simbol nasionalisme yang diciptakan oleh tokoh-tokoh politik, melalui wacana ideologi yang berbasis aliran.
Dalam rangka mengembangkan nasionalisme kaum muda, maka perlu kiranya kita mengkaitkan dengan gerakan kaum muda dalam sejarah kebangsaan Indonesia. Salah satu peran sosial kaum muda dalam gerakan kebangsaan tidak lain adalah sebagai sumber kritik. Dalam sejarah Indonesia tema kritik sosial kaum muda selalu berubah-ubah sesuai dengan tingkat kesadaran subyektif serta kondisi obyektif yang mereka hadapi.
Pada masa pra kemerdekaan, tema yang lazim mereka lontarkan adalah nasionalisme dan kemerdekaan nasional. Hal ini tercermin dari tema-tema kritik yang dilontarkan oleh kamu muda, 1908, 1928 dan 1945. Sementara itu sesudah kemerdekaan, angkatan 1966 banyak melontarkan tema kritik tentang kebenaran dan keadilan. Tema kritik generasi muda angkatan 1970 adalah soal strategi pembangunan, korupsi dan keadilan sosial. Sedangkan tema kritik generasi muda angkatan 1980 dan awal 1990-an adalah soal kebesaran kekuasaan negara, kekerasan, keadilan dan HAM.
Menyimak tema kritik dari kamu muda di masing-masing periode tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa issu nasionalisme (dalam arti keperpihakan pada kehidupan berbangsa dan benegara secara umum) dari kaum muda menunjukkan perkembangan wacana dan model gerakan. Gerakan nasionalisme pra kemerdekaan jelas mengusung issue yang berbeda dengan pasca kemerdekaan. Pra kemerdekaan gerakan nasionalisme kaum muda menunjukkan eksistensinya karena musuh utamanya sangat kelihatan dan dihadapan mata mereka. Memanggul senjata dan berjuang melawan kolonialisme sampai titik darah yang penghabisan merupakan ukuran sampai seberapa jauh tingkat nasionalisme kaum muda.
Hal tersebut jelas berbeda dengan gerakan nasionalisme kaum muda pasca kemerdekaan, dimana musuh mereka dalam menegakkan nilai-nilai kebangsaan justru sering berasal dari bangsa sendiri. Memanggul senjata dan berperang bukan merupakan cara satu-satunya untuk menilai derajad nasionalisme kaum muda dewasa ini. Kita bisa menyimak bagaimanakah aksi mahasiswa di era th’65 dan 70-an serta di era reformasi sekarang ini. Dalam kondisi yang demikian inilah, kaum tua yang konservatif sering menilai bahwa nasionalisme kaum muda Indonesia diragukan. Pandangan mereka pada umumnya adalah melihat nasionalisme dalam konteks perjuangan fisik dan melawan bangsa lain. Padahal sekarang ini yang disebut penjajah atau kolonialisme justru tidak nampak kepermukaan. Penjajahan sekarang ini justru dilakukan oleh bangsa sendiri yang kebetulan sedang memegang tampuk kekuasaan pemerintahan negara. Pendek kata, kita tidak jarang menyaksikan bahwa para petinggi negara itulah yang melakukan penjajahan atas bangsa sendiri dengan melakukan Kolusi, Korupsi dan Nepotisme.
Peran dan kedudukan generasi muda dalam gerakan nasionalisme justru menduduki posisi yang sangat strategis. Kaum muda Indonesia kalau boleh disebutkan adalah golongan menengah terdidik. Merekalah golongan masyarakat yang tercerahkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi termasuk di dalamnya adalah oleh arus informasi dan komunikasi. Pendek kata dalam sejarah perjalanan Indonesia, kaum Muda merupakan agent of change bagi tatanan masyarakat Indonesia.
Akhir kata, saya hanya akan memberikan satu kata yang patut kita renungkan secara bersama-sama : “Nasionalisme adalah kata-kata yang abstrak, wujudkanlah kata-kata itu dengan tindakan nyata. Sekecil apapun tindakan tersebut, kalau ternyata merupakan tindakan yang menyentuh nurani kerakyatan, disitulah letak nasionalisme senyatanya”. Selamat berjuang kaum muda Indonesia, maju terus pantang mundur, dan maju tak gentar membela yang benar. Maaf ini bukan slogan Partai Politik lho.

Daftar Kepustakaan.
Anthony Giddens, The Third Way (Jalan ketiga Pembaharuan Demokrasi Sosial), Gramedia Pustaka Utama, 1999.

B. Hestu Cipto Handoyo, Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan dan Hak Asasi Manusia, Penerbitan Univ. Atma jaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2003.

Kompas, 1000 tahun Nusantara, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2000.

Nurcholish Majid, et.al, Menggusur Status Quo, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1998.





Pro exclesia et patria

Kotagede, 13 Nopember 2003





B. Hestu CH.

MENGKAMPANYEKAN KONSTRUKSI KABINET


MENGKAMPANYEKAN KONSTRUKSI KABINET

Oleh :
B. Hestu Cipto Handoyo*)


Agun Gunandjar Sudarsa meyakini, konstruksi dan komposisi kabinet sangat mungkin ditawarkan dalam kampanye calon presiden dan wakil presiden. (Kompas,10 Nopember 2008). Pandangan semacam ini menyederhanakan keterkaitan sistem Pemilihan Presiden (Pilpres) dan sistem presidensiil yang diamanatkan oleh UUD 1945.
Jika Sistem Pilpres 2009 menentukan bahwa Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden (Capres/Cawapres) diajukan oleh Parpol atau gabungan Parpol yang memperoleh 20% kursi di parlemen atau 25% suara sah dalam pemilu, maka akan menimbulkan konsekuensi. Pertama; posisi parpol juga sangat menentukan dalam penyusunan kabinet yang akan ditawarkan oleh Capres/Cawapres dalam kampanyenya. Artinya susunan kabinet tersebut sangat mungkin didominasi oleh elit-elit politik dari parpol atau gabungan parpol yang menjadi “kendaraan politik” pasangan Capres/Cawapres.
Hal ini sangat mungkin terjadi karena secara politis parpol/gabungan parpol akan mengajukan “kontrak politik” terkait dengan susunan kabinet yang akan ditawarkan Capres/Cawapres dalam kampanye. Kondisi yang demikian ini jelas akan menimbulkan politik “dagang sapi’ antara Capres/Cawapres dengan parpol atau gabungan parpol yang mencalonkannya. Alih-alih dari konstruksi politik seperti ini, jelas mengakibatkan sistem presidensiil tidak mungkin berjalan selaras dengan pakem yang dikenal selama ini.
Sistem presidensiil pada hakikatnya memberikan kewenangan sisa bagi presiden melalui hak prerogatif dalam penyusunan kabinet, walaupun dalam ranah checks and balances, susunan kabinet ini harus mendapatkan persetujuan parlemen. Dengan demikian, jika sejak semula penyusunan kabinet itu telah dihegemoni oleh parpol atau gabungan parpol yang mencalonkan pasangan Capres/Cawapres, maka jelas kewenangan prerogatif presiden dan persetujuan parlemen mengalami degradasi, karena komposisi kabinet sudah sejak awal ditentukan oleh parpol/gabungan parpol sebelum presiden dan wakil presiden terpilih secara definitif. Akibat lanjutannya, peran parlemen dalam melaksanakan checks and balances, telah diganti oleh parpol/gabungan parpol. Jika parlemen didefinisikan sebagai wakil Parpol, bukan wakil rakyat, tentu hal ini ada benarnya.
Kedua; dengan telah disusunnya kabinet jauh hari sebelum presiden/wakil presiden terpilih secara definitif, jelas akan mengakibatkan beban psikologis bagi Presiden/wakil presiden dalam penyusunan kabinet. Artinya secara psikologis, mereka tidak lagi mampu untuk menyusun kabinetnya berdasarkan pandangan dan idealisme mereka dalam menempatkan calon-calon anggota kabinetnya sesuai dengan kapasitas dan kapabilitasnya. Konsekuensi ini sangat mungkin terjadi mengingat tujuan parpol yang paling utama dan pertama adalah memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota baru kemudian kepentingan masyarakat, nusa, bangsa dan Negara.
Tujuan parpol seperti ini secara normatif yuridis telah ditegaskan oleh Pasal 1 angka 1 UU No. 2 tahun 2008 Tentang Parpol yang menegaskan bahwa parpol adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia.
Dengan demikian, tidak hanya beban psikologis yang akan dihadapi oleh Capres/Cawapres dalam penyusunan kabinetnya, melainkan juga beban normatif yuridis yang harus dihadapi oleh sang calon presiden dan wakil presiden tersebut. Dalam kondisi yang demikian, maka pakem sistem presidensial menjadi berubah wujud dan berwatak parlementer. Hal ini berarti susunan kabinet yang ditawarkan itu jelas-jelas atas kehendak dari parpol/gabungan parpol yang unggul dalam pemilu atau perolehan kursi di parlemen. Sementara persetujuan parlemen sebagai perwujudan checks and balance hanya bersifat performa belaka.

Belajar dari Obama.
Di AS yang baru saja melaksanakan pemilihan Presiden, cara semacam ini tidak dikenal. Dalam berbagai kesempatan kampanye yang dilakukan oleh Obama, tidak pernah terdengar sedikitpun tentang calon-calon anggota Kabinet yang ditawarkan. Susunan Kabinet itu muncul setelah secara definitif, Obama resmi diangkat menjadi Presiden. Dalam setiap kampanye, termasuk debat calon presiden, Obama hanya menawarkan visi/misi serta program yang akan dilaksanakan jika terpilih menjadi Presiden.
Berdasarkan visi/misi serta program itulah, Obama akan menyusun kabinet yang keanggotaannya sesuai dengan yang dia harapkan. Kemudian calon-calon anggota kabinet ini dimintakan persetujuan parlemen sesuai dengan kapasitas dan kapabilitasnya. Dengan model semacam inilah, maka hak prerogatif yang dimiliki oleh Obama sebagai presiden tetap eksis, sedangkan checks and balances yang diperankan oleh parlemen tetap berjalan.
Lain ladang lain belalang. Mungkin pepatah ini bisa dipergunakan sebagai alasan pembenar membedakan model presidensiil di AS dan di Indonesia. Namun, pembedaan ini tidak serta merta membawa pengaruh positif bagi pelaksanaan sistem presidensiil. Jika hak prerogatif presiden dan mekanisme checks and balances parlemen sudah mengalami degradasi akibat hegemoni parpol dalam penyusunan kabinet, maka ambigusitas sistem presidensiil di Indonesia memang ada benarnya. Inikah yang dikehendaki oleh pembentuk UU Pilpres?

Sabtu, 28 November 2009

MACAN OMPONG ITU NAMANYA BK DPR


MACAN OMPONG ITU NAMANYA BK DPR
Oleh:
B. Hestu Cipto Handoyo.*)

Kritik masyarakat terhadap perilaku anggota DPR yang berulang kali mangkir tidak mengikuti rapat-rapat di DPR menunjukkan betapa parahnya moralitas dan kedisiplinan anggota DPR sebagai wakil rakyat. Padahal berbagai fasilitas yang diperoleh, dari gaji sampai dengan tunjangan-tunjangan lain jumlahnya sungguh fantastis. Paling tidak setiap bulannya pendapatan anggota DPR bisa mencapai kisaran diatas 35 jutaan rupiah. Sungguh ironis. Ini berati pendapatan atau gaji tidak ada korelasinya dengan perilaku anggota DPR. Jika keadaan seperti ini terus dilakukan oleh anggota DPR, maka niscaya tingkat legitimasi (kepercayaan) masyarakat terhadap institusi demokrasi akan mengalami penurunan yang sangat drastis. Kalau sudah seperti ini, apa yang diharapkan oleh rakyat terhadap anggota DPR? Apa manfaatnya Pemilu 2009 bagi rakyat Indonesia, walau sekarang caranya telah diubah dengan mencontreng nama caleg?
Kritik terhadap perilaku anggota DPR yang seperti itu bukan merupakan hal baru. Kritik telah berulang kali disampaikan dan saat ini ekskalasinya memang semakin tinggi karena ditengerai anggota-anggota DPR yang mangkir dari rapat-rapat yang diselenggarakan oleh DPR itu juga sedang mencalonkan diri dalam Pemilu 2009. Mereka ini mangkir karena disinyalir demi kepentingan pencalegan dan kampanye Pemilu 2009. Celakanya kondisi rusaknya mentalitas anggota DPR tersebut justru dipergunakan oleh fraksi-fraksi untuk menaikkan nilai jual Parpol dalam menghadapi Pemilu 2009.
Fraksi-fraksi di DPR mulai pasang badan dengan cara membuat kontrak kerja dengan semua anggotanya seperti yang dilakukan oleh F-KB, sementara itu Fraksi Partai Demokrat berjanji akan memperketat pemberian izin anggotanya untuk tidak mengikuti persidangan (Kompas, 22/1/2009). Langkah reaksioner dari fraksi-fraksi ini jelas sangat terlambat dan tidak memiliki dampak psikologi politik apapun. Rakyat sudah terlanjur muak dan bosan dengan berbagai retorika politik kaum elit di DPR. Langkah-langkah fraksi tersebut juga memberikan penegasan bahwa mekanisme internal di DPR melalui alat kelengkapannya tidak berjalan efektif, karena Fraksi sebenarnya bukan alat kelengkapan DPR.

Macan Ompong BK DPR
Salah satu alat kelengkapan DPR yang berfungsi menjaga martabat dan kehormatan anggota DPR adalah Badan Kehormatan (BK) DPR. Sampai saat ini, BK DPR juga belum memberikan sinyal positif melalui langkah-langkah konkrit dalam mengatasi merosotnya mentalitas dan kedisiplinan anggota DPR. Harapan rakyat terhadap BK DPR yang demikian besar pada saat kelahirannya, ternyata hanya harapan kosong seperti pepatah Jawa “ngenteni endogke blorok” (menunggu ayam mandul bertelur). Badan ini tetap tidak ubahnya seperti macan ompong. Ada beberapa problem yang dihadapi oleh BK DPR dalam mengemban tugas tersebut.
Pertama, problem struktural susunan keanggotaan BK yang diambil dari dan oleh anggota DPR merupakan sebuah konsep yang keliru. BK DPR sebagai sarana untuk menegakkan kode etik jelas berbeda dengan Majelis Kehormatan Kode etik dalam organisasi profesi, karena anggota DPR itu tidak menjalankan profesi tertentu. Anggota DPR adalah kaum politisi dan berasal dari berbagai kalangan yang berbeda, tidak seperti kaum professional seperti dokter, advokat, notaris. Problem struktural seperti ini dapat teratasi jikalau susunan keanggotaan BK DPR diambil dari unsur stakeholder, seperti unsur pimpinan DPR, Parpol, LSM, dan akademisi. Unsur yang beragam ini sangat logis karena DPR sendiri merupakan wakil rakyat, sehingga representasi rakyat dari berbagai kalangan inilah yang patut menilai kinerja dan perilaku anggota DPR.
Keanggotaan ini sifatnya tidak tetap melainkan ad hoc, agar prinsip-prinsip fairmess benar-benar ditegakkan. Di samping itu, dengan sifat yang ad hoc ini juga bermanfaat untuk menghemat anggaran, karena anggota BK DPR ini hanya memperoleh kompensasi honorarium jika mereka melaksanakan tugas untuk memeriksa dan memutus perkara atau kasus pelanggaran kode etik DPR.
Kedua, problem prosedural, hambatan utama yang dihadapi BK DPR adalah pada keaktifan BK dalam menyikapi isu-isu etis DPR. Ketika kedisiplinan anggota DPR dalam menghadiri rapat-rapat yang diselenggarakan DPR sudah menjadi isu publik, tidak ada inisiatif secara aktif dari BK DPR untuk mengambil langkah meminta klarifikasi dari anggota yang sedang disoroti berkaitan dengan kasus tersebut. Hal ini kemudian memunculkan pendapat miring tentang kinerja BK DPR. Ke depan inisiatif ini harus diambil oleh BK DPR karena di dalam tata tertib DPR, tidak ada larangan untuk melakukan hal itu (Pasal 60) tapi sebaliknya kewenangan untuk melakukan klarifikasi cukup jelas (pasal 59). Lain daripada itu, sanksi yang dijatuhkan serta proses penjatuhan sanksi pun sampai saat ini masih tidak transparan. Kesan tebang pilih masih kental mewarnai kinerja BK DPR.
Oleh sebab itu untuk mengembalikan legitimasi DPR, maka langkah-langkah yang harus ditempuh adalah pertama; restrukturisasi keanggotaan BK DPR, kedua; menciptakan mekanisme pertanggungjawaban publik atas kinerja BK DPR, ketiga; lebih pro aktif dalam menyikapi isu-isu pelanggaran kode etik, dan keempat; menciptakan mekanisme penjatuhan sanksi dari tingkatan yang paling ringan sampai yang paling berat.
Peribahasa mengatakan “keledai tidak akan terjerumus pada lubang yang sama”, seharusnya anggota DPR bisa mengambil teladan dari hal itu, agar demokrasi yang sekarang ini sedang dibangun oleh bangsa Indonesia tidak dicederai oleh perilaku wakil-wakil rakyat.

KOALISI VS OPOSISI


KOALISI VS OPOSISI

B. Hestu Cipto Handoyo

Sejak SBY memilih Boediono untuk mendampingi sebagai Wakil Presiden dalam Pemilu bulan Juli yang akan datang, peta koalisi yang dibangun oleh Partai Demokrat menjadi tidak menentu. Saling silang pendapat muncul, dan persoalan yang dianggap paling mengemuka adalah ketiadaan komunikasi politik yang dilakukan oleh SBY dengan partai-partai yang diajak untuk berkoalisi. Reaksi keras muncul di pihak PKS dan PAN yang sejak semula memang ada indikasi kuat untuk mencalonkan kadernya sebagai pasangan SBY. Namun apa hendak dikata SBY punya pilihan lain.

Menurut kacamata kenegarawanan, pilihan SBY jatuh pada Boediono adalah pilihan tepat dan sekaligus merupakan bentuk eksperimentasi yang cukup berani untuk mengubah paradigma lama yang menghendaki komposisi pasangan Presiden dan Wapres berasal Jawa – Luar Jawa dan Nasionalis – Agamis (Islam). Dalam konsepsi kenegarawanan pilihan kepada Boediono merupakan langkah untuk lebih mengarah kepada penguatan sistem presidensiil, dimana calon presiden memiliki hak prerogatif untuk menentukan calon-calon pendampingnya. Sedangkan Calon pasangan yang ditawarkan tersebut berada di luar Partai Politik berarti memberikan kesempatan pada kaum teknokrat untuk secara aktif berkiprah dalam percaturan politik kekuasaan dalam rangka penguatan demokrasi presidensiil.

Sementara itu dalam eksperimentasi untuk mengubah paradigma pasangan Jawa – Luar Jawa dan Nasionalis – Agamis (Islam) dalam perspektif kenegarawanan jelas merupakan sebuah langkah untuk mencoba membuka kompetisi secara fair play sebagai prasyarat terciptanya kultur demokrasi yang lebih sehat. Konsep pasangan yang hanya terdiri dari unsur Jawa dan bukan kombinasi antara nasionalis agamis sejatinya bukan dimaksud untuk mengembangkan politik hegemoni kesukuan dan menafikan hegemoni politik agama mayoritas melainkan justru sebaliknya merupakan langkah untuk memperkuat sesanti Bhinneka Tunggal Ika. Hal ini artinya, jika pasangan yang hanya berasal dari Jawa, serta berasal dari kaum nasionalis mampu mengakomodasi pluralitas dan multikultural serta dapat diterima oleh semua kalangan manapun tentu eksperimentasi tersebut berhasil dan Integrasi Nasinal Indonesia semakin mantap.

Namun demikian, jika dilihat dari perspektif politik semata, maka pasangan SBY-Boediono jelas memungkinkan munculnya opisisi yang semakin menguat di lingkungan parlemen. Kekuatan politik SBY-Boediono hanya ditopang oleh Partai Demokrat jelas akan menghadapi komposisi koalisi Partai-partai yang ada di parlemen. Kondisi yang demikian ini jelas akan menggerogoti sistem presidensiil yang hendak dibangun dengan mantap. Koalisi di Parlemen minus Partai Demokrat justru akan bertindak sebagai oposan-oposan yang selalu menentang kebijaksanaan pemerintah (eksekutif). Alih-alih dari kondisi seperti ini, sistem pemerintahan dan ketatanegaraan Indonesia akan diwarnai dengan konflik kepentingan (politik) antara Eksekutif dan Parlemen. Interpelasi dan angket akan terus mewarnai setiap kebijakan politik yang diambil eksekutif. Bahkan tidak menutup kemungkinan impeachment akan dimunculkan oleh Parlemen.

Pilihan SBY dengan berbagai konsekuensinya telah diambil, sekarang tinggal menunggu apakah elit politik memiliki kepekaan sebagai negarawan ataukah hanya sekedar homo politicus. Jika kepekaan elit politik lebih dominan sebagai negarawan yang bersikap demi kemajuan bangsa dan negara, maka keberadaan Boediono akan dimaknai sebagai figur yang mampu untuk mengemban tugas kenegaraan dan didukung oleh semua pihak tanpa. Namun jika elit politik tetap memperteguh mainstream sebagai homo politicus, maka keberadaan Boediono jelas hanya dianggap sebagai duri atau perintang bagi kepentingan-kepentingan politik sektarian.

Masyarakat akar rumput sebenarnya sudah tidak ambil peduli terhadap sepak terjang elit politik yang hanya mencerminkan homo politicus. Mereka hanya memikirkan bagaimana kesejahteraan umum dapat tercipta dalam suasana kehidupan yang damai sejahtera. Ribut-ribut tentang koalisi justru menjadi bahan tertawaan masyarakat, dan tmembuktikan bahwa penilaian masyarakat selama ini ada benarnya jika politik hanya suka bagi-bagi kue kekuasaan tanpa memikirkan kepentingan masyarakat itu sendiri.

Dari hiruk pikuk koalisi yang digagas partai politik tersebut mencerminkan bahwa pasca 2014 peta kekuatan politik akan mengalami perubahan yang sangat drastis. Tokoh-tokoh sepuh yang sekarang bermain dalam kancah perpolitikan nasional jelas akan digeser oleh tokoh-tokoh muda. Nah kondisi yang demikian ini tentu membutuhkan persiapan yang cukup matang untuk melanjutkan estafet kepemimpinan nasional. Oleh sebab itu, sebenarnya langkah strategis yang perlu dilakukan oleh partai-partai yang sekarang ini kecewa terhadap pilihan SBY adalah mempersiapkan calon-calon pemimpin masa depan tersebut. Tidak ada gunanya berkutat pada kepentingan sesaat.

KONSOLIDASI VS EKSPERIMENTASI DEMOKRASI


KONSOLIDASI VS EKSPERIMENTASI
DEMOKRASI

B. Hestu Cipto Handoyo*)


Samuel P. Huntington mencatat dalam negara demokrasi, perubahan dramatis jarang terjadi dalam satu malam. Perubahan itu selalu bersifat moderat dan sedikit demi sedikit. Sistem demokrasi jauh lebih kebal terhadap pergolakan besar revolusioner ketimbang sistem otoriter. Proses yang relatif lambat itu karena perubahan sistem otoritarian menuju sistem demokrasi pada umumnya melalui tiga tahapan. Pertama; pengakhiran rezim non-demokratis. Kedua; pengukuhan rezim demokratis, dan ketiga; pengkonsolidasian sistem demokrasi. (Huntington, 1997).
Konsolidasi demokrasi yang berarti suatu langkah untuk memperteguh atau memperkuat demokrasi dalam sistem ketatanegaraan tentu tidak dengan serta merta dapat dihitung dalam jangka waktu tertentu. Bahkan dengan memberikan patokan setelah tahun 2009, seperti yang diungkapkan oleh Akbar Tanjung atau Daniel Sparringga yang menganggap sebagai masa transisi dengan ukuran progresif berlangsung 2 tahun, dan ukuran konvensional sekitar 10 tahun. (Kompas, 16/2/2009).
Sebagai sebuah langkah pemantapan atau penguatan sistem demokrasi, maka bagi negara yang belum akrab dengan sistem demokrasi seperti Indonesia, konsolidasi demokrasi tentu akan melewati beberapa langkah eksperimentasi atau uji coba. Seperti uji coba infra struktur demokrasi, perumusan perangkat hukum untuk mengawal jalannya sistem demokrasi, serta uji coba penerapan sistem demokrasi. Eksperimentasi itu diarahkan untuk membangun budaya demokrasi dalam konsolidasi demokrasi.
Dengan demikian, sebenarnya prasyarat penguatan atau peneguhan demokrasi melalui konsolidasi memang tidak hanya berpijak pada sistem demokrasi prosedural belaka, melainkan yang lebih utama adalah menyangkut substansi demokrasi yakni kultur demokrasi itu sendiri. Henry B. Mayo mengemukakan bahwa demokrasi di samping sebagai suatu sistem pemerintahan dapat juga dikatakan sebagai suatu life style yang mengandung unsur-unsur moril, seperti penyelesaian secara damai dan melembaga, terjadinya perubahan secara damai, menyelesaikan pergantian kepemimpinan secara teratur, membatasi pemakaian kekerasan, menganggap wajar adanya keanekaragaman, dan menjamin tegaknya keadilan. Unsur-unsur moril seperti ini jelas belum semuanya diterapkan dalam budaya demokrasi di Indonesia.
Banyak contoh yang dapat dikemukakan di sini. Maraknya demonstrasi yang dibarengi dengan aksi kekerasan dan memakan korban, hilangnya kesantunan dalam berpendapat atau berargumentasi, black campaign para elit politik, menunjukkan bahwa budaya demokrasi di Indonesia masih jauh dari nilai-nilai yang dikemukakan oleh Henry B. Mayo tersebut. Dengan demikian sejak tahun 1998 ketika reformasi dikumandangkan sampai dengan amandemen UUD 1945, semuanya tidak termasuk kategori konsolidasi demokrasi, melainkan eksperimentasi demokrasi.

Kelinci Percobaan.
Penataan sistem demokrasi prosedural yang mulai dilakukan pasca reformasi 1998 termasuk melakukan amandemen UUD 1945 pada hakikatnya hanya merupakan langkah eksperimentasi demokrasi. Tidak ada satupun yang sifatnya definitif dan subtantif melalui pendekaan kultur demokrasi. Akibatnya sistem demokrasi yang dikembangkan hampir semuanya bersifat coba-coba. Belum ada yang menunjukkan kemantapan dan penguatan kultur demokrasi. Dari tingkatan infra sruktur politik sampai dengan tingkatan supra struktur politik masih tetap menyisakan berbagai persoalan.
Di tingkatan infra struktur politik, terutama pembenahan kehidupan kepartaian jauh dari idealisme budaya demokrasi. Pembatasan jumlah Parpol melalui electoral threshold dan parliamentary threshold sebagai prasyarat dari sistem presidensiil tetap belum final. Uji coba seperti ini malah memunculkan tuntutan Partai-partai kecil melalui yudicial review MK yang nuansa uji cobanya juga sangat kental. Artinya disetujui oleh MK atau tidak yang penting nuntut dulu di MK.
Demikian pula dengan sistem pemilu dengan mencontreng nama caleg menunjukkan bahwa budaya demokrasi di tubuh internal Parpol melalui penguatan sistem pencalegan juga belum berjalan. Mekanisme mencontreng nama caleng di masing-masing Parpol dalam pemilu, sebenarnya dapat dilakukan melalui mekanisme internal Parpol melalui konvensi. Ternyata mekanisme yang seharusnya seperti ini, ditempuh melalui pemungutan suara dalam Pemilu 2009. Akibatnya kemungkinan terjadi konflik antar caleg di masing-masing parpol terbuka lebar. Hal ini berarti konflik antara caleg dengan Parpolnya seperti yang terjadi menjelang Pemilu 2004 karena perebutan nomor urut, di ubah melalui eksperimentasi dengan cara menyerahkan pilihan mentah caleg kepada rakyat lewat mencontreng dalam pemilu legislatif.
Eksperimentasi demokrasi memang selalu mengandung fenomena coba-coba. Hal ini mengakibatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan justru dijadikan sebagai kelinci percobaan. Sebagai kelinci percobaan dari elit-elit politik dalam menterjemahkan sistem demokrasi prosedural, maka rakyat hanya sekedar menerima produk-produk hukum yang mengikat mereka untuk dilaksanakan. Penerimaan rakyat ini tidak dapat dikatakan sebagai sebuah penguatan atau peneguhan demokrasi, karena penerimaan mereka tidak didasarkan pada kehendak dan aspirasi mereka sendiri, melainkan atas dasar paksaan melalui instrument atau preparat eksperimen elit politik. Partisipasi sebagai salah satu nilai terpenting dari budaya demokrasi direduksi menjadi prosedur demokrasi. Besar kecilnya suara di parlemen jusru mendominasi pengambilan keputusan politik. Rakyat kembali menjadi ajang uji coba atau kelinci percobaan kaum elit.

MEMORI JABATAN


MEMORI JABATAN DEKAN FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS ATMA JAYA YOGYAKARTA

PERIODE 2006-2010

(MASA PELAKSANAAN TUGAS 2006-2009)


“NINGGAL GLANGGANG COLONG PLAYU”

Oleh:

B. Hestu Cipto Handoyo, SH.,M.Hum.


Barang siapa muncul di atas masyarakatnya,

dia akan selalu menerima tuntutan dari masyarakat-masyarakat yang

menaikkannya atau membiarkan naik. Pohon tinggi selalu akan mendapatkan

banyak angin, kalau tuan segan menerima banyak angin jangan jadi pohon tinggi

(Pramoedya Ananta Toer : Anak Semua Bangsa)

A. Pendahuluan.

Dalam sejarah organisasi Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta mungkin baru kali ini seorang Dekan tidak dapat menuntaskan masa jabatannya sampai akhir, karena mendapat tugas dari Rektor untuk memangku jabatan di tingkat Universitas. Dengan adanya peristiwa ini pasti dikalangan sivitas akademika FH-UAJY muncul pandangan yang pro dan kontra. Bagi pihak yang pro memiliki argumentasi bahwa Dekan tersebut memperoleh tugas dan tanggung jawab yang lebih besar dan dapat menjadi sarana representasi dari FH-UAJY di tingkat Universitas. Jika Dekan tersebut tidak bersedia mengemban tugas dan tanggung jawab tersebut, dengan alasan masih tetap ingin meneruskan masa jabatannya yang tinggal 1 (satu) tahun, maka akan diragukan loyalitasnya pada Universitas karena menolak dan tidak menghormati hak prerogatif Rektor, serta berbagai argumentasi-argumentasi lainnya.

Sedangkan bagi pihak yang kontra berpendapat bahwa Dekan tersebut hanya berorientasi kepada jabatan yang lebih tinggi, tidak bertanggung jawab, tidak konsisten dengan visi dan misi yang dulu pernah disampaikan di awal pencalonan, ninggal glanggang colong playu (istilah dalam budaya Jawa) dan argumentasi-argumentasi lain.

Bagi pribadi Dekan yang bersangkutan kedua pandangan tersebut sama-sama memiliki argumentasi yang masuk akal dan dapat dibenarkan. Tergantung darimana sang pemberi argumentasi itu melihat. Dilema posisi yang demikian ini menimbulkan beban yang cukup berat, karena bagaimanapun juga posisi jabatan apapun, baik di tingkat Fakultas maupun di tingkat Universitas, sama-sama penting demi tugas dan tanggung jawab untuk mengembangkan kemajuan Universitas dan Fakultas. Namun demikian pilihan tetap harus dilakukan oleh sang Dekan. Dan ternyata Dekan tersebut tidak mampu untuk melakukan pilihan karena tidak diberi kesempatan untuk memilih, harus tunduk kepada loyalitas dan menghormati hak prerogatif Rektor yang memutuskan agar Dekan tersebut memangku jabatan di tingkat Universitas.

Bagi sang Dekan, sebagai karyawan maupun pribadi yang dibesarkan oleh Universitas Atma Jaya Yogyakarta, loyalitas, tanggung jawab dan komitmen untuk mengemban tugas dimanapun tempatnya merupakan prinsip dasar yang harus dilakukan. Sedangkan sebagai pribadi, mengemban tugas dan tanggung jawab dimanapun tempatnya di lingkungan Universitas Atma Jaya Yogyakarta merupakan bentuk konkrit kecintaan kepada Universitas sebagai almamater (ibu kandung). Kendati alasan semacam ini memang bisa dinilai bernada klise, euphimisme, hanya mencari alasan pembenar dan tidak berdasar, namun apapun resiko dari pilihan atau tidak diberi kesempatan untuk memilih, keputusan sudah dijatuhkan, dan Dekan harus tunduk kepada keputusan tersebut. “Terjadilah padaku menurut kehendakMu”.

Bertitik tolak dari gambaran tersebut di atas, maka memori jabatan ini sengaja diberi judul “Ninggal Glanggang Colong Playu”. Pemberian judul tersebut mengandung maksud:

1. Memori jabatan ini bukan memori akhir masa jabatan Dekan FH-UAJY, karena disusun dan disampaikan dipenghujung akhir masa jabatan yang masih tinggal 1 (satu) tahun ke depan, sehingga jelas masih menyisakan berbagai persoalan yang belum sempat diselesaikan oleh Dekan.

2. Ninggal glanggang colong playu, merupakan ajaran moralitas dalam budaya Jawa yang mengandung arti bahwa seorang pejabat yang mengemban amanah haruslah menyelesaikan amanah tersebut sampai tuntas, tidak terputus di tengah jalan serta wajib untuk bertanggungjawab jika ada permasalahan yang dihadapi. Pendek kata, pejabat tersebut tidak pantas untuk meninggalkan pekerjaan rumah yang masih tersisa dan memerlukan penyelesaian.

3. Terlepas dari pro dan kontra penggunaan judul tersebut di dalam memori jabatan ini, ninggal glanggang colong playu memang terminologi yang dirasa tepat untuk dipergunakan sebagai tema memori jabatan ini, karena subtansi yang ada di dalamnya masih tetap menyisakan berbagai program yang belum dapat terselesaikan, karena Dekan tidak dapat melanjutkan jabatannya sampai selesai.

4. Memori jabatan ini berisi catatan-catatan yang dapat dipergunakan oleh Dekan baru hasil pilihan Senat Akademik Fakultas yang akan melanjutkan program kerja yang belum dapat dilaksanakan, karena Dekan lama telah menanggalkan jabatannya untuk mengemban tugas baru di tingkat Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Resiko telah dipikirkan secara mendalam, pertanggungjawaban tetap harus disampaikan, dan keberlanjutan kinerja serta program-program kerja tetap harus diupayakan seopimal mungkin. Oleh sebab itu, walaupun saya sudah tidak dapat mengkoordinir dan memanage secara langsung program-program di Fakultas, namun secara pribadi dan sebagai anggota sivitas akademika Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta saya tetap bertanggung jawab secara moral untuk membantu sekuat tenaga, berpartisipasi aktif menyelesaikan dan terlibat dalam setiap langkah yang akan dilakukan oleh Dekan baru beserta jajarannya demi kemajuan Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta yang kita cintai.

B. Tahun Pertama Masa Jabatan: Pencanangan Kebersamaan Komunitas.

Tema besar yang menjadi titik tolak saya ketika bersedia dicalonkan dan terpilih menjadi Dekan adalah “Membangun Kebersamaan dan Kekompakan Seluruh Anggota Komunitas Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta demi Tercapainya Kemajuan Fakultas Hukum yang Berdaya Saing Tinggi”. Tema besar seperti ini dilandasi oleh beberapa alasan, yaitu:

1. Dosen dan karyawan FH-UAJY pada hakikatnya terdiri dari sumber daya manusia yang sangat berkualitas dan memiliki kemampuan yang tinggi dalam mengelola proses belajar dan mengajar di FH-UAJY. Namun karena kebersamaan dan kekompakan belum optimal diupayakan, maka potensi yang dimiliki tersebut belum mampu untuk mengejar ketertinggalan baik secara internal di lingkungan Universitas Atma Jaya Yogyakarta maupun secara eksternal di lingkungan Fakultas Hukum yang ada di tingkat daerah, regional maupun nasional.

2. Konflik yang terjadi di lingkungan Dosen FH-UAJY maupun Karyawan Administrasi karena terhambatnya komunikasi, dan “politisasi” mengakibatkan keharmonisan hubungan antar personal di lingkungan komunitas FH-UAJY menjadi relatif terganggu. Kecurigaan dan kasak-kusuk selalu mewarnai hubungan personal anggota komunitas FH-UAJY. Muncul kelompok-kelompok sempalan yang saling mendelegitimasi eksistensi kelompok yang satu dengan lainnya. Akibat lanjutan dari kondisi semacam ini, suasana kerja dan kultur organisasi tidak berjalan dengan normal dan baik, sehingga potensi yang dimiliki oleh FH-UAJY justru terpecah dan belum mampu menciptakan sinergi untuk membangun kemajuan FH-UAJY yang dicita-citakan bersama.

3. Krisis kebersamaan dan kekompakan tersebut memang belum sampai dalam taraf mengkhawatirkan seperti yang terjadi di lingkungan Fakultas lain. Sungguh sangat disyukuri bahwa konflik yang terjadi di lingkungan komunitas FH-UAJY selalu dapat diatasi dengan kearifan, kesantunan dan semangat sportifitas yang tinggi. Inilah modal yang sangat besar dan memberikan harapan serta keyakinan bahwa konflik yang terjadi pasti dapat terselesaikan dan kebersamaan pasti dapat terwujud.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka langkah awal yang saya lakukan pada waktu terpilih dan diangkat menjadi Dekan FH-UAJY, adalah:

1. Membangun kebersamaan dan kekompakan komunitas dengan mengisi struktur organisasi Fakultas khususnya di tingkat Wakil Dekan, Ka Prodi sampai dengan Kepala Bagian, Ka.Lab. Hukum, dan Kepala PBKH dengan personil-personil yang dinilai memiliki komitmen untuk berjuang bersama-sama serta mampu mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang terpecah belah.

2. Di tingkat karyawan administrasi dilakukan komunikasi intensif dan mengurai persoalan komunikasi yang terjadi agar sinergi dan kinerja antar subbagian dapat berjalan secara normal. Cara yang ditempuh adalah dengan membenahi Sistem Informasi Akademik yang sudah lama terbengkelai karena terjadinya miskomunikasi antar personal. Pembenahan sistem informasi akademik menjadi sarana ampuh untuk menggalang kebersamaan dan kekompakan, karena dalam memanfaatan teknologi informasi syarat utama yang dibutuhkan adalah kebersamaan, kedisiplinan, dan konsistensi. Dengan mempergunakan cara seperti ini diharapkan sinergi antar subbagian termasuk sinergi seluruh komunitas FH-UAJY dapat berjalan dengan baik. Di lingkungan karyawan administrasi menunjukkan bahwa terjadinya miskomunikasi sebenarnya disebabkan oleh adanya arogansi kemampuan di bidang teknologi informasi. Dengan adanya keadaan yang demikian ini, serta mengingat salah satu personil karyawan administrasi memang sulit untuk diajak kerjasama, maka terpaksa Dekan mengambil keputusan untuk memindahkan personil tersebut ke unit lain di lingkungan Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

3. Membangun budaya dialog dan keterbukaan dalam menyampaikan kritik maupun saran. Forum-forum rembug bareng baik formal maupun informal dilakukan oleh seluruh jajaran pejabat struktural di lingkungan FH-UAJY. Pendekatan personal pun dilakukan untuk menggali aspirasi baik tuntutan (demand) maupun dukungan (support) guna membangun partisipasi dalam pengambilan berbagai kebijakan baik di bidang teknis administratif, maupun di bidang akademis. Community gathering dilakukan untuk mewujudkan kebersamaan.

4. Di lingkungan kemahasiswaan melakukan pembenahan organisasi kemahasiswaan di tingkat BPM dengan cara menyusun kepengurusan dengan mempergunakan model pemilihan organis (pengangkatan/ penunjukan) dari berbagai kelompok atau komunitas yang hidup di lingkungan mahasiswa. Masing-masing kelompok atau komunitas mahasiswa mengirimkan dua atau tiga orang untuk menduduki posisi di BPM. Sementara untuk BEM tetap dilakukan dengan cara PEMILWA yang diikuti oleh Partai Mahasiswa yang hidup di lingkungan mahasiswa. Tata tertib PEMILWA terus dilakukan pembenahan dan perbaikan sesuai dengan tuntutan dan kehendak mahasiswa.

Dalam perjalanan selama setahun setelah diangkat sebagai Dekan FH-UAJY dan terus berupaya melakukan pembenahan dalam membangun kebersamaan dan kekompakan, Bpk. Dr. Ign. Sumarsono Rahardjo, SH.,M.Hum selaku Wakil Dekan I menyampaikan surat pengunduran diri, karena kesibukan beliau yang tidak dapat ditinggalkan. Oleh sebab itu dengan mundurnya Wakil Dekan I tersebut, maka terjadi pergantian Wakil Dekan I yang kemudian dijabat oleh Bpk. B. Bambang Riyanto, SH.,M.Hum. Langkah untuk melakukan konsolidasi internal semakin intensif, dan berkat kesadaran seluruh anggota komunitas FH-UAJY, kebersamaan dan kekompakan mulai tergalang. Untuk itu dimulailah menyusun program-program pengembangan demi mengejar ketertinggalan.

C. Mengimplementasikan Kebersamaan Mengejar Ketertinggalan.

Setelah kebersamaan dan kekompakan mulai terbangun atas dasar kesadaran bersama seluruh komunitas FH-UAJY, maka demi mengejar ketertinggalan dirumuskanlah program-program kerja baik rutin maupun non rutin dalam setiap tahunnya. Program-program yang telah dilaksanakan antara lain:

1. Membangun Sistem Informasi akademik melalui KRS online yang memang masih sederhana, dimana mahasiswa dapat melakukan input sendiri mata kuliah setelah mendapat bimbingan dari dosen pembimbing pada waktu pengisian KRS.

2. Memberikan layanan informasi kepada mahasiswa dan seluruh anggota komunitas FH UAJY dengan melengkapi fasilitas hotspot untuk mengakses internet serta menambah kapasitas kelancaran akses internet.

3. Melengkapi fasilitas proses belajar mengajar dengan memasang LCD dan AC diseluruh ruangan kelas dan membangun Kelas Multimedia sebagai sarana bagi pelaksanaan proses pembelajaran dengan metode PBL (Problem Based Learning) hasil kerja sama dengan Maastricht University Belanda.

4. Meningkatkan kemampuan akademik staf pengajar (Dosen) FH-UAJY dengan mengirim Studi Lanjut ke Program S3, dan sampai saat ini sudah mencapai 13 orang Dosen yang sedang menempuh studi lanjut S3. Sementara itu dalam masa kepengurusan Dekan telah berhasil menuntaskan 2 (dua) dosen yang studi lanjut, yakni Ibu. Dr. Sari Murti Widiastuti, SH.,M.Hum dan Bpk. Dr. Drs. Paulinus Soge, SH.,M.Hum.

5. Mengirim Dosen untuk memperoleh Sertifikat Nasional di bidang Mediasi dan telah berhasil ditempuh oleh Bpk. FX. Endro Susilo, SH.,LLM dan Bpk. FX. Suhardana, SH. Pemanfaatan tenaga dosen sebagai mediator bersertifikat nasional ini harus diupayakan seoptimal mungkin melalui PBKH.

6. Mengirim delegasi mahasiswa diberbagai event perlombaan baik di bidang minat olah raga maupun akademik, seperti Pertandingan Bola Basket Antar FH (2 kali menjadi Juara II di tingkat Nasional), Juara II Nasional Penulisan Karya Ilmiah, kompetisi Moot Court (Peradilan Semu) di tingkat regional maupun nasional dan selalu masuk kategori semifinalis.

7. Pembenahan proses pembelajaran dengan menerapkan 75% presensi bagi mahasiswa secara konsisten. Bagi mahasiswa yang keaktifan dalam mengikuti perkuliahan di bawah 75% tidak diperkenankan untuk mengikuti ujian akhir semester.

8. Pembenahan fasilitas-fasilitas penunjang proses belajar mengajar seperti penataan ruang perkuliahan, renovasi ruang PBKH, pembenahan sarana kamar mandi dan WC, pengecatan gedung Kampus FH-UAJY, serta penyediaan fasilitas student welfare yang sampai saat ini baru tersedia satu fasilitas gasebu di dekat kantin.

9. Atas fasilitas yang diberikan oleh pihak Universitas, membuka kesempatan kepada Dosen-dosen untuk memiliki laptop atau notebook guna menunjang aktifitas dalam proses belajar mengajar dan produktifitas dosen dalam penulisan buku maupun penelitian.

10. Bekerja sama dengan KP2MA Universitas Atma Jaya Yogyakarta memfasiliasi serifikasi Dosen Tahap I dan semua Dosen Fakultas Hukum yang mengikuti sertifikasi telah berhasil memperoleh sertifikat Dosen Profesional dari Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia.

11. Melakukan kerja sama dengan pihak eksternal seperti Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Komisi Yudisial, KPPU, dan Kantor Kementerian Pemberdayaan Perempuan dalam rangka memberikan sumbangan pemikiran yang konstruktif dalam pemecahan masalah-masalah hukum masyarakat serta memberikan masukan terhadap RUU yang sedang dirancang maupun dibicarakan di tingkat pusat.

12. Bekerja sama dengan SMU Pangudi Luhur Van Lith dalam pendidikan Wawasan Kebangsaan, dan SMU Kolese De Brito dalam memberikan wawasan di bidang hukum.

13. Melakukan kerja sama dengan PUKAT (Pusat Kajian Anti Korupsi) UGM serta Universitas Muhamadiyah Yogyakarta untuk menyelenggarakan KKN Alternatif Pemantauan Peradilan di wilayah Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta.

14. Melakukan kerja sama dengan LBH Yogyakarta dalam kegiatan Karya Latihan Bantuan Hukum (KALABAHU).

15. Beberapa Dosen juga telah secara mandiri atau kelompok melakukan kerjasama dengan pihak eksternal khususnya dalam bidang penelitian, seperti dengan Pemerintah Daerah Provinsi Papua, pengajuan Hibah Kompetisi, dan kerja sama lain guna mengembangkan kemampuan akademik dan kepedulian terhadap persoalan-persoalan masyarakat, bangsa dan Negara.

16. Melakukan pembenahan dan penyusunan Kurikulum dan sekarang sudah diterapkan walaupun masih belum optimal, karena ada beberapa tuntutan kurikulum yang belum dapat terwujud, seperti program pemagangan, penyusunan kerangka konseptual Satuan Kredit Partisipatoris untuk membangun soft skill mahasiswa, dan pembenahan mata Kuliah Praktek Kemahiran Hukum sebagai salah satu keunggulan FH-UAJY.

17. Penyusunan silabus dan SAP karena tuntuan kurikulum baru yang sudah diterapkan. Pembenahan SAP dan Silabu ini masih terus berjalan.

18. Dalam rangka pemanfaatan teknologi informasi dalam proses belajar mengajar mulai dikembangkan e-learning yang sampai sekarang masih terus berproses dengan cara mengumpulkan bahan-bahan kuliah dari dosen-dosen yang ada untuk dimasukkan dalam konten e-learning FH-UAJY.

19. Membangun sistem manajemen pendataan dengan teknologi informasi, baik untuk keperluan akreditasi Program Studi, ISO, maupun pendataan alumni yang tersebar diseluruh pelosok tanah air.

20. Membuat company profile FH-UAJY melalui media film berdurasi pendek, brosur maupun liflet yang akan dipergunakan sebagai sarana promosi.

Menurut kamus bahasa Indonesia arti kata memori adalah ingatan atau kenangan. 20 (dua puluh) program kerja dan akifitas tersebut di atas tentu masih dirasa kurang. Ingatan dan kenangan saya selama 3 (tiga) tahun menjabat sebagai Dekan FH-UAJY tentu masih kurang memadai. Oleh sebab itu rincian program kerja baik rutin maupun non rutin dan aktifitas selama 3 (tiga) tahun tertuang di dalam lampiran memori jabatan yang saya susun ini.

D. Catatan Akhir: Ninggal Glanggang Colong Playu.

Dihadapan sivitas akademika FH-UAJY harus saya sampaikan bahwa dengan adanya tugas baru yang sekarang saya emban ini, maka tugas, kewajiban dan tanggung jawab saya selaku Dekan FH-UAJY tentu saya tinggalkan. Tidaklah pantas dan sangat tidak lazim jika saya melakukan rangkap jabatan. Masih banyak program kerja dan aktifitas maupun persoalan yang belum terselesaikan secara tuntas. Untuk itulah dengan kesadaran pribadi dan tanpa paksaan dari siapapun juga, saya menyatakan bahwa semua daya dan upaya yang telah saya lakukan belum dapat dikatakan berhasil. Bahkan kegagalan yang paling mencolok dalam mengemban amanah dari sivitas akademika FH-UAJY, adalah TIDAK TUNTASNYA seluruh program yang telah direncanakan sampai akhir masa jabatan, dikarenakan saya ditunjuk untuk mengemban tugas dan tanggungjawab baru di tingkat Universitas. Ada beberapa rencana program dan aktifitas yang belum terselesaikan, yaitu:

1. Pembenahan manajemen PBKH untuk menjadi salah satu unit di lingkungan FH-UAJY yang berorientasi pada public services sekaligus profit oriented belum dapat terlaksana hingga saat ini.

2. Optimalisasi peran Bagian di Lingkungan FH-UAJY yang diarahkan untuk menjadi Pusat-pusat Kajian belum dapat direalisasikan, bahkan konsep untuk mengubah peran konvensional Bagian tersebut sama sekali belum dibahas dan dirumuskan. Padahal perubahan peran tersebut diperlukan dalam rangka mengantisipasi perubahan kelembagaan berdasarkan Statuta 2009.

3. Situs pangganti kamushukum.com sebagai produk unggulan yang dimiliki oleh Lab. Hukum FH-UAJY juga belum dapat beroperasi, walaupun langkah-langkah untuk mengaktifkan kembali melalui kerja sama dengan Pusat Sistem Informasi (PSI) Universitas Atma Jaya Yogyakarta telah dilakukan sejak bulan Nopember 2008.

4. Peningkatan produktifitas penulisan Buku Ajar belum dapat terealisir, walaupun insentif bagi dosen yang menulis Buku Ajar sudah disediakan, bahkan pihak Rektor menambah stimulan yang cukup menarik.

5. Kerja sama insitusional dengan lembaga-lembaga atau instansi pemerintah dan swasta untuk membuka jaringan dalam memberikan fasilitas pemagangan bagi mahasiswa belum dapat terlaksana.

6. Akreditasi Program Studi untuk meraih tingkat akreditasi BAN PT ke level unggulan (A) masih dalam tahap penyusunan berkas-berkas akreditasi yaitu evaluasi diri, borang dan portofolio. Pengajuan akreditasi ini direncanakan sebelum bulan Maret 2009.

7. Penjaminan mutu yang berbasis ISO belum menunjukkan hasil-hasil yang nyata, karena masih dilakukan proses penyusunan Tim dan pengumpulan dokumen-dokumen penunjang.

8. Membangun kultur organisasi melalui pembentukan dan penerapan reward and punishment secara konsisten juga belum dapat dilakukan. Hal ini berakibat rendahnya keterlibatan sebagian dosen-dosen dalam setiap aktifitas yang diselenggarakan oleh Fakultas, kecuali rapat Koperasi ”Usaha Bersama” FH-UAJY dan Pembagian SHU. Memang Dekan pernah mengirimkan surat himbauan, namun ternyata surat tersebut hanya himbauan belaka dan belum ditanggapi secara nyata dan serius.

9. Penurunan jumlah mahasiswa masih belum mampu ditanggulangi. Penerimaan mahasiswa selalu di bawah target. Untuk itu perlu dikembangkan inovasi-inovasi baru dalam promosi dan penciptaan keunggulan kompetitif.

10. Penataan Kurikulum Pascasarjana (S2) Magister Ilmu Hukum dan pengembangan Pascasarjana dengan membuka Program S3 juga masih belum dapat terlaksana, karena akreditasi S1 masih B.

11. Tingkat efisiensi yang masih jauh di bawah standar yang ditetapkan oleh DIKTI, untuk itu perlu dibangun sistem dan proses pembelajaran bagi mahasiswa yang tidak cukup dengan model Program Percepatan.

Mungkin masih banyak kekurangan yang belum tercatat di dalam memori jabatan ini, karena memang begitu banyak kekurangan yang melingkupi pelaksanaan tugas dan tanggungjawab yang selama ini saya emban. Untuk itu secara terbuka saya siap menerima kritik dan saran dari seluruh sivitas akademika FH-UAJY melalui Senat Akademik Fakultas. Dalam kesempatan ini, saya juga ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Bpk. B. Bambang Riyanto, SH.,M.Hum selaku Wakil Dekan I FH-UAJY yang dengan kegigihannya membantu saya dalam merumuskan kebijakan-kebijakan strategis di bidang akademik dan kemahasiswaan. Karakter beliau yang ekspresif dan sering meledak-ledak serta terbuka dan berani menyampaikan kritik maupun saran tanpa tedeng aling-aling telah banyak membantu saya dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab yang selama 3 (tiga) tahun ini saya emban. Saya tidak bisa membayangkan apa jadinya seandainya beliau tidak bersedia saya tunjuk menggantikan Bpk. Dr. Ign. Sumarsono Rahardjo, SH.,M.Hum yang mengundurkan diri karena kesibukan yang tidak dapat ditinggalkan.

2. Bpk. N. Budi Arianto Wijaya, SH.,M.Hum selaku Wakil Dekan II. Kecil-kecil cabe rawit walau kecil namun mempunyai daya tahan di bidang pekerjaan yang sungguh luar biasa. Tanpa beliau saya tidak mampu merumuskan kebijakan-kebijakan di bidang prasarana dan sarana yang dibutuhkan dalam menggerakkan roda organisasi FH-UAJY. Kreatifias dan inovasi beliau dalam mengembangkan ide-ide baru sungguh merupakan sumbangan yang sangat berharga dalam membangun dinamika organisasi dan menumbuhkan kultur organisasi FH-UAJY. Beliaulah motor penggerak program kerja di FH-UAJY.

3. Bpk. Triyana Yohanes, SH.,M.Hum selaku Ka Prodi S1. Sifat dan karakter beliau yang sabar tanpa batas dan sekaligus religius telah mampu meredam karakter saya yang sering meledak-ledak tak terkendali. Kebijakan-kebijakan teknis di bidang akademik mampu dikelola secara baik dan penuh kelembutan serta cinta kasih, sehingga aktifitas proses belajar mengajar dapat terselenggara dengan baik.

4. Ibu Prof. Dr. Dra. MG. Endang Sumiarni, SH.,M.Hum, selaku Ka Prodi S2 beserta staf Administrasi Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum yang telah bekerja secara optimal hingga mampu mempertahankan akreditasi Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum FH-UAJY dengan derajad unggulan (A).

5. Ketua, Sekretaris dan seluruh anggota Senat Akademik Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta yang selalu memberikan masukan-masukan program kerja di bidang akademis.

6. Rekan-rekan Kepala Bagian, Ka. PBKH dan Sekretaris beserta para advokat dan para volunter, Ka.Lab Hukum beserta staf dan asisten-asisten Lab Hukum yang dengan ketekunan serta loyalitasnya telah membantu dalam menerjemahkan program-program kerja dalam kerangka aktifitas yang dinamis, dan mampu membangun sinergi dalam melaksanakan program kerja dengan semangat kebersamaan.

7. Mbak Titi, Mas Agus, Pak Kirman, Mbak Niken, Mas Totok, Mbak Lusi, Mas Maryoko, Mas Kristoro, Mas Revan, Mas Heri, dan Mas Wijayanto (Mas Ho) yang selalu melaksanakan tugas dengan gembira, terbuka dan tanpa canggung sering menyampaikan kritik maupun saran yang konstruktif guna memajukan FH-UAJY. Melalui merekalah sinergi dan kinerja bagian administrasi dapat berjalan dengan baik.

8. Rekan-rekan dosen FH-UAJY yang dengan semangat kebersamaan telah mendobrak sekat-sekat ketidak harmonisan karena konflik yang pernah terjadi, sehingga saat ini telah terjalin kebersamaan dan kekompakan yang kita dambakan bersama demi merawat ladang panenan yang namanya FH-UAJY.

9. Mbak Iis selaku Sekretaris Dekanat yang selalu mengingatkan saya tentang agenda-agenda kegiatan saya. Tanpa Mbak Iis tentu banyak agenda-agenda penting yang terlupakan.

10. Rekan-rekan Cleaning Service yang selalu bertugas tanpa mengenal lelah dalam merawat dan menciptakan kebersihan di lingkungan FH-UAJY.

11. Rekan-rekan Satpam yang bertugas di FH-UAJY yang dengan gigih siang dan malam mengawal ketertiban dan keamanan di lingkungan FH-UAJY.

12. Rekan-rekan petugas parkir yang dengan tekun mengatur dan mengamankan alat transportasi mahasiswa, dosen dan karyawan di lingkungan FH-UAJY.

13. Seluruh personil Lembaga Mahasiswa FH-UAJY serta seluruh mahasiswa yang dengan tekun dan patuh melaksanakan proses pembelajaran dan banyak membantu Fakultas disaat dibutuhkan tenaganya untuk mensukseskan kegiatan yang diselenggarakan Fakultas.

14. Semua pihak yang tidak mungkin saya sebutkan satu-persatu yang secara sadar maupun tidak telah ikut membantu FH-UAJY untuk terus berkiprah dalam mengemban tugas konstitusional yakni mencerdaskan kehidupan bangsa.

Tanpa mereka semua, saya tidak memiliki arti apa-apa bagi FH-UAJY. Demikianlah memori jabatan ini saya susun dengan harapan agar dapat dipergunakan sebagai bahan masukan bagi Dekan baru yang menggantikan saya. Untuk rincian program kerja dan aktifitas dapat dilihat dalam lampiran memori jabatan ini.

Perkenankanlah dalam kesempatan ini saya mengutip dialog antara Senapati Wiranggaleng dengan para prajurit Tuban dalam eposide terakhir novel Arus Balik karya (Alm) Pramoedya Ananta Toer.

”Dengarkan” perintah Senapati.

”Telah aku buktikan masa mudaku dan tenagaku dan kesetiaanku. Biarpun hanya secauk pasir untuk ikut membendung arus balik dari utara. Arus balik itu ternyata tak dapat dibendung. Kekuatan itu ada pada Trenggono, dan Sultan Demak itu tidak bisa diyakinkan untuk menggunakannya. Arus tetap datang dari utara, yang selatan tetap tertindih. Ya, Dewa Batara, Kau tak beri aku kekuatan untuk menyadarkan raja dan sultan sehingga terjadi gelombang raksasa, bukan sekedar yang mendesak arus balik dari utara, bukan saja untuk jaman kemerosotan ini, juga kelangsungannya untuk selama-lamanya”.

”Gadjah Mada, anak desa itu telah berhasil. Ia gerakkan tangannya dan semua jadilah yang dipegangnya, semua bangun yang disentuhnya. Pergilah dia, pergi untuk selama-lamanya, meninggalkan kebesaran dan arus besar yang mengimbak-imbak megah berpendaran damai ke utara. Aku bukan Gadjah Mada. Tiada sesuatu hasil apalagi kebesaran kutinggalkan kecuali kesakitan dan kekecewaan dalam diri dan terhadap diri sendiri”.

”Jaman Gadjah Mada, jaman anak desa dapat mengedepankan pendapatnya pada Kaisar, telah lewat. Kita tak pernah lagi punya Kaisar selama ini. Raja-raja semakin kecil dan anak-anak desa jadi lebih kecil lagi”

”Aku menyadari tak ada kemampuan membendung arus utara, arus balik yang semakin besar juga ini. Maka akulah orang yang paling menderita karena kesadaran ini. Jaman bukan hanya tak membantu, bahkan melawan kita. Itu sebabnya akan kutinggalkan kepada kalian, dan semua kuserahkan kepada kalian”.

”Senapati” Banteng Wareng menyela.

”Aku sadar tak ada kemampuan untuk pekerjaan besar itu. Aku tak ada kemampuan mempersatukan raja-raja dan para sultan. Itu sebabnya akan kutinggalkan kalian, dan semua kuserahkan pada kalian. Setelah ini kalian harus atur dan urus semua tanpa aku. Jangan berduka cita, karena surya enggan memancarkan rahmatnya pada yang berduka cita”

Wiranggaleng melepas bungkusan di punggung dan meletakkan di hadapannya. Semua mata mengawasi bungkusan itu.

”Lihatlah ini, katanya lagi dan membuka bungkusan, dan meletakkan isinya satu persatu di atas destar. Kala Cuwil, cincin, kalung, destar, kain, ikat pinggang, tilam, semua bertanda kupu-tarung. Hanya kasut tidak ada, hilang karena keteledoran pembawanya. Nah ini gelang, kemudian Senapati menarik keris dari pinggang, dan ini keris bersarung dan berbulu emas dengan kupu-tarung pula. Kalian tahu lambang siapa ini. Jangan pegang. Lihat saja baik-baik”.

Dan semua menjalankan apa yang diperintahkan.

”Kutinggalkan dan kuserahkan semua ini pada kalian – peninggalan Gusti Kanjeng Adipati Unus, melalui Gusti Ratu Aisah, melalui Pada alias Mohammad Firman, melalui aku, Wiranggaleng, Senapati Tuban”.

”Nah kalian empat orang, masing-masing pegang sudut apa yang diperintahkan. Benda-benda itu menggelantung di tengah destar”

”Pegang terus dan jangan lepaskan. Barangsiapa di antara kalian, dapat memahami kata-kataku, memahami arus utara dan selatan, dapat menyelami arus balik dan pesan Gusti Kanjeng Unus, ambillah dan pergunakanlah semua peninggalan itu. Tegakkan Tuban, usahakan mengusir Peranggi dari jalan laut, Pasai, Selat, Semenanjung, Malaka dan Maluku. Lepaskan arus selatan ke utara bergelombang-gelombang sepanjang jaman”.

”Perhatikan barang-barang itu dan jangan perhatikan Wiranggaleng, Senapati kalian. Wiranggaleng sekarang sudah tidak ada. Sekarang dia hanya seorang petani bernama Galeng. Tinggallah kalian dalam kerukunan, karena perpecahan adalah pembunuh kalian yang pertama. Aku akan pergi dan jangan kalian cari. Hanya bila Peranggi datang lagi, Wiranggaleng akan datang untuk memusnahkannya”.

Sekali lagi atas segala kelemahan dan kekurangan saya selama menjabat sebagai Dekan FH-UAJY, terlebih lagi dengan meninggalkan tugas dan tanggung jawab selagi belum selesai masa jabatan, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya. Semoga Tuhan memberkati seluruh langkah yang akan kita tempuh dalam memajukan FH-UAJY yang kita cintai ini. Berkah Dalem menyertai kita semua. Viva Atma Jaya.

Kotagede, Pebruari 2009.

Dekan FH-UAJY Periode 2006-2010

B. Hestu Cipto Handoyo, SH.,M.Hum.

KETERANGAN AHLI UJI MATERI UU KOPERASI

KONSEKUENSI MAKNA KETENTUAN UMUM PASAL 1 ANGKA 1 UU NO. 17 TAHUN 2012 TERHADAP PRINSIP DAN ASAS KOPERASI Oleh: Dr. Benediktus H...