
KETIADAAN SINKRONISASI
NORMA DOMISILI DAN NON PARTAI POLITIK
BAKAL CALON ANGGOTA DPD DALAM
PERSPEKTIF KONSTITUSI
Oleh :
B. Hestu Cipto Handoyo*
Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD (UU Pemilu) ternyata masih menyisakan persoalan substansiil. Ini terbukti karena begitu muncul UU tersebut langsung dimintakan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi. Persoalan substansiil yang disengketakan tersebut menyangkut belum tegasnya norma domisili dan non Parpol dicantumkan dalam Pasal 12 dan Pasal 67 sebagai persyaratan dan tata cara pendaftaran bakal calon anggota DPD.
Pasal 22 C ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa anggota DPD dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum. Ketentuan normatif seperti ini jelas masih menimbulkan dua penafsiran. Pertama, setiap provinsi seperti yang dimaksud pasal ini dapat ditafsirkan sebagai sebuah struktur organisasi pemerintah daerah, dan kedua, setiap propinsi dapat juga ditafsirkan sebagai daerah pemilihan sebagaimana diatur dalam UU Pemilu. Munculnya dua penafsiran ini disebabkan, karena UUD 1945 hasil amandemen sudah tidak menyertakan lagi Penjelasan sebagaimana UUD 1945 sebelum amandemen.
Pada hakikatnya, sifat UUD 1945 setelah amandemen adalah konstitusi tertulis. Artinya norma-norma hukum yang menjadi substansi konstitusi telah secara tersurat (tidak tersirat) dicantumkan dalam ketentuan pasal-pasal konstitusi. Hal ini berbeda dengan UUD 1945 sebelum amandemen yang mengakui adanya convention of constitutions (kebiasaan ketatanegaraan) sebagaimana tertuang di dalam Penjelasan Umum. Dalam kondisi yang seperti inilah keberadaan Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi sangat penting dalam kerangka penafsiran konstitusi tertulis.
Norma yang tercantum dalam Pasal 22 C ayat (1) UUD 1945 tersebut pada hakikatnya tidaklah berdiri sendiri. Norma ini terkait dengan norma yang tercantum dalam Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 yang menegaskan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan Undang-Undang. Dengan demikian, jelas kiranya bahwa yang dimaksud dengan “anggota DPD dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum” seharusnya ditafsirkan oleh MK yakni provinsi sebagai struktur pemerintahan daerah sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan normatif Pasal 18 ayat (1) UUD 1945.
Oleh sebab itu norma domisili yang belum dicantumkan dalam persyaratan Pasal 12 dan Pasal 67 UU Pemilu jelas melanggar norma konstitusi dan MK harus berani memberikan putusan judicial review yakni persyaratan calon anggota DPD diubah karena melanggar norma konstitusi.
Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Ketentuan normatif ini dalam pelaksanaannya jelas menyisakan sebuah pertanyaan, yakni dalam bentuk apakah kedaulatan rakyat tersebut akan diimplementasikan.
Sejak pemilu tahun 2004 implementasi kedaulatan rakyat telah diterjemahkan dalam 3 (tiga) model Pemilu, yakni :
1. Implementasi Kedaulatan Rakyat di bidang Politik dilakukan melalui Pemilu anggota DPR yang berasal dari Partai Politik.
2. Implementasi Kedaulatan rakyat di bidang kepentingan yang berdimensi kedaerahan dilakukan melalui Pemilu anggota DPD yang berasal dari perseorangan dan mewakili masing-masing daerah (Provinsi).
3. Implementasi kedaulatan rakyat di bidang pemerintahan dilakukan melalui Pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden yang dicalonkan oleh Partai Politik atau gabungan Partai politik.
Jika diperhatikan lebih seksama, maka nampak jelas bahwa 2 (dua) model Pemilu, yakni Pemilu anggota DPR dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden telah mengakomodasi kepentingan politik rakyat yang diartikulasikan oleh Partai Politik dengan mengajukan calon-calonnya. Sementara 1 (satu) model pemilu, yakni Pemilu anggota DPD mengakomodasi kepentingan yang berdimensi kedaerahan dalam konteks kebijakan nasional. Oleh sebab itulah, dalam Pemilu anggota DPD norma domisili (bukan norma partai politik) menjadi penting untuk dimasukkan sebagai salah satu ketentuan persyaratan pencalonan anggota DPD dalam UU Pemilu
Pasal 22 E ayat (4) UUD 1945 menegaskan bahwa Peserta Pemilu untuk memilih anggota DPD adalah perseorangan. Kata ”perseorangan” sebagaimana dimaksud pada ketentuan ini secara terminologis harus dimaknai sebagai individu yang mandiri dan tidak terikat oleh kepentingan golongan maupun afiliasi politik tertentu. Hal ini berarti secara konstitusional, persyaratan pemilu anggota DPD seharusnya juga memuat norma perseorangan yang non partai politik.
Salah satu persyaratan bagi Peserta Pemilu untuk memilih anggota DPD yang sifatnya perseorangan adalah bersedia untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokat/pengacara, notaris, pejabat pembuat akta tanah (PPAT), dan tidak melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPD sesuai peraturan perundang-undangan.
Kalimat kunci dalam persyaratan tersebut adalah ”serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPD sesuai peraturan perundang-undangan”. Persoalannya yang terkandung dalam kalimat kunci tersebut adalah apa yang dimaksud dengan konflik kepentingan itu? Penjelasan ketentuan ini menyatakan ”Cukup Jelas”.
Pasal 1 angka 1 UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik menyatakan bahwa Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warganegara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Mencermati pengertian tersebut menunjukkan bahwa organisasi Parpol dibentuk memperjuangkan dan membela terlebih dahulu kepentingan politik anggota, disusul memperjuangkan kepentingan politik masyarakat, baru kemudian memperjuangkan kepentingan politik bangsa dan negara. rumusan seperti ini memberikan penguatan secara yuridis bahwa Partai Politik memang hanya mementingkan kelompok dan anggota-anggotanya.
Ditinjau dari aspek legal drafting, tidak dicantumkannya norma domisili dan non Partai Politik dalam persyaratan Peserta Pemilu serta tatacara pendaftaran bakal calon anggota DPD merupakan tindakan yang melanggar konstitusi dan asas-asas peraturan perundang-undangan yang baik. Dikatakan melanggar konstitusi karena tidak sinkron dengan Pasal 22C UUD 1945 yang menegaskan bahwa anggota DPD dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum, Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 22E UUD 1945 yang menyatakan bahwa Peserta Pemilu untuk memilih anggota DPD adalah perseorangan.
Sedangkan dikatakan melanggar asas-asas perundang-undangan yang baik, karena dengan tidak dicantumkannya secara tegas persyaratan tersebut menunjukkan bahwa asas kenusantaraan, bhinneka tunggal ika, keadilan dan kepastian hukum belum terpenuhi.
* Dekan Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Dosen Hukum Tata Negara dan Legal Drafting FH-UAJY, Direktur Eksekutif Parliament Watch Yogyakarta.
NORMA DOMISILI DAN NON PARTAI POLITIK
BAKAL CALON ANGGOTA DPD DALAM
PERSPEKTIF KONSTITUSI
Oleh :
B. Hestu Cipto Handoyo*
Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD (UU Pemilu) ternyata masih menyisakan persoalan substansiil. Ini terbukti karena begitu muncul UU tersebut langsung dimintakan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi. Persoalan substansiil yang disengketakan tersebut menyangkut belum tegasnya norma domisili dan non Parpol dicantumkan dalam Pasal 12 dan Pasal 67 sebagai persyaratan dan tata cara pendaftaran bakal calon anggota DPD.
Pasal 22 C ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa anggota DPD dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum. Ketentuan normatif seperti ini jelas masih menimbulkan dua penafsiran. Pertama, setiap provinsi seperti yang dimaksud pasal ini dapat ditafsirkan sebagai sebuah struktur organisasi pemerintah daerah, dan kedua, setiap propinsi dapat juga ditafsirkan sebagai daerah pemilihan sebagaimana diatur dalam UU Pemilu. Munculnya dua penafsiran ini disebabkan, karena UUD 1945 hasil amandemen sudah tidak menyertakan lagi Penjelasan sebagaimana UUD 1945 sebelum amandemen.
Pada hakikatnya, sifat UUD 1945 setelah amandemen adalah konstitusi tertulis. Artinya norma-norma hukum yang menjadi substansi konstitusi telah secara tersurat (tidak tersirat) dicantumkan dalam ketentuan pasal-pasal konstitusi. Hal ini berbeda dengan UUD 1945 sebelum amandemen yang mengakui adanya convention of constitutions (kebiasaan ketatanegaraan) sebagaimana tertuang di dalam Penjelasan Umum. Dalam kondisi yang seperti inilah keberadaan Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi sangat penting dalam kerangka penafsiran konstitusi tertulis.
Norma yang tercantum dalam Pasal 22 C ayat (1) UUD 1945 tersebut pada hakikatnya tidaklah berdiri sendiri. Norma ini terkait dengan norma yang tercantum dalam Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 yang menegaskan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan Undang-Undang. Dengan demikian, jelas kiranya bahwa yang dimaksud dengan “anggota DPD dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum” seharusnya ditafsirkan oleh MK yakni provinsi sebagai struktur pemerintahan daerah sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan normatif Pasal 18 ayat (1) UUD 1945.
Oleh sebab itu norma domisili yang belum dicantumkan dalam persyaratan Pasal 12 dan Pasal 67 UU Pemilu jelas melanggar norma konstitusi dan MK harus berani memberikan putusan judicial review yakni persyaratan calon anggota DPD diubah karena melanggar norma konstitusi.
Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Ketentuan normatif ini dalam pelaksanaannya jelas menyisakan sebuah pertanyaan, yakni dalam bentuk apakah kedaulatan rakyat tersebut akan diimplementasikan.
Sejak pemilu tahun 2004 implementasi kedaulatan rakyat telah diterjemahkan dalam 3 (tiga) model Pemilu, yakni :
1. Implementasi Kedaulatan Rakyat di bidang Politik dilakukan melalui Pemilu anggota DPR yang berasal dari Partai Politik.
2. Implementasi Kedaulatan rakyat di bidang kepentingan yang berdimensi kedaerahan dilakukan melalui Pemilu anggota DPD yang berasal dari perseorangan dan mewakili masing-masing daerah (Provinsi).
3. Implementasi kedaulatan rakyat di bidang pemerintahan dilakukan melalui Pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden yang dicalonkan oleh Partai Politik atau gabungan Partai politik.
Jika diperhatikan lebih seksama, maka nampak jelas bahwa 2 (dua) model Pemilu, yakni Pemilu anggota DPR dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden telah mengakomodasi kepentingan politik rakyat yang diartikulasikan oleh Partai Politik dengan mengajukan calon-calonnya. Sementara 1 (satu) model pemilu, yakni Pemilu anggota DPD mengakomodasi kepentingan yang berdimensi kedaerahan dalam konteks kebijakan nasional. Oleh sebab itulah, dalam Pemilu anggota DPD norma domisili (bukan norma partai politik) menjadi penting untuk dimasukkan sebagai salah satu ketentuan persyaratan pencalonan anggota DPD dalam UU Pemilu
Pasal 22 E ayat (4) UUD 1945 menegaskan bahwa Peserta Pemilu untuk memilih anggota DPD adalah perseorangan. Kata ”perseorangan” sebagaimana dimaksud pada ketentuan ini secara terminologis harus dimaknai sebagai individu yang mandiri dan tidak terikat oleh kepentingan golongan maupun afiliasi politik tertentu. Hal ini berarti secara konstitusional, persyaratan pemilu anggota DPD seharusnya juga memuat norma perseorangan yang non partai politik.
Salah satu persyaratan bagi Peserta Pemilu untuk memilih anggota DPD yang sifatnya perseorangan adalah bersedia untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokat/pengacara, notaris, pejabat pembuat akta tanah (PPAT), dan tidak melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPD sesuai peraturan perundang-undangan.
Kalimat kunci dalam persyaratan tersebut adalah ”serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPD sesuai peraturan perundang-undangan”. Persoalannya yang terkandung dalam kalimat kunci tersebut adalah apa yang dimaksud dengan konflik kepentingan itu? Penjelasan ketentuan ini menyatakan ”Cukup Jelas”.
Pasal 1 angka 1 UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik menyatakan bahwa Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warganegara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Mencermati pengertian tersebut menunjukkan bahwa organisasi Parpol dibentuk memperjuangkan dan membela terlebih dahulu kepentingan politik anggota, disusul memperjuangkan kepentingan politik masyarakat, baru kemudian memperjuangkan kepentingan politik bangsa dan negara. rumusan seperti ini memberikan penguatan secara yuridis bahwa Partai Politik memang hanya mementingkan kelompok dan anggota-anggotanya.
Ditinjau dari aspek legal drafting, tidak dicantumkannya norma domisili dan non Partai Politik dalam persyaratan Peserta Pemilu serta tatacara pendaftaran bakal calon anggota DPD merupakan tindakan yang melanggar konstitusi dan asas-asas peraturan perundang-undangan yang baik. Dikatakan melanggar konstitusi karena tidak sinkron dengan Pasal 22C UUD 1945 yang menegaskan bahwa anggota DPD dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum, Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 22E UUD 1945 yang menyatakan bahwa Peserta Pemilu untuk memilih anggota DPD adalah perseorangan.
Sedangkan dikatakan melanggar asas-asas perundang-undangan yang baik, karena dengan tidak dicantumkannya secara tegas persyaratan tersebut menunjukkan bahwa asas kenusantaraan, bhinneka tunggal ika, keadilan dan kepastian hukum belum terpenuhi.
* Dekan Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Dosen Hukum Tata Negara dan Legal Drafting FH-UAJY, Direktur Eksekutif Parliament Watch Yogyakarta.