Mengenai Saya

Foto saya
Yogyakarta, DIY, Indonesia
Dr. Benediktus Hestu Cipto Handoyo, S.H.,M.Hum atau sering dipanggil Ben atau Hestu, lahir di Blora Jawa Tengah pada tanggal 3 Juli 1962. Suami dari Maria Bernadeth Maitimo, SH dan bapak dari dua anak Giovanni Battista Maheswara, S.H.,M.H dan Alexandro Kevin Maheswara, S.H. ini, menyelesaikan pendidikan di SD. Katolik Kridadharma Blora tahun 1974. Kemudian melanjutkan di SMP Negeri I Blora lulus tahun 1978, serta SMA Jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) di SMA Katolik Wijayakusuma Blora, lulus tahun 1981. Jenjang Pendidikan Tinggi ditempuh di Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta, dan Lulus Sarjana Hukum pada tahun 1988. Melanjutkan studi pada Program Pascasarjana (S2) Universitas Padjadjaran Bandung lulus dan memperoleh gelar Magister Humaniora (M.Hum) pada tahun 1995. Pada tanggal 20 Desember 1997 sampai dengan 4 Maret 1998 mendapatkan kesempatan mengikuti kursus di LEMHANNAS (Lembaga Pertahanan dan Keamanan Nasional) Jakarta. Kemudian pada tahun 2018 Lulus pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Katolik Parahyangan Bandung

Selasa, 25 November 2008

PLURALISME DAN NETRALITAS HUKUM


PLURALISME DAN NETRALITAS HUKUM

Oleh:
B. Hestu Cipto Handoyo*)

Ketika UU Pornografi dibahas dan disetujui oleh DPR pro-kontra keberadaannya menjadi demikian tajam. Di beberapa daerah muncul penolakan yang juga “dimotori” oleh DPRD dan Kepala Daerah. Provinsi Bali merupakan salah satu daerah yang paling keras menentang keberadaan UU ini. Dengan alasan pluralisme budaya, UU ini dipandang tidak mungkin diterapkan dan bisa memicu tindakan anarkhisme. Ada apa dengan UU tersebut dalam khasanah hukum Indonesia, hingga dipandang sedemikian gawat?
Tulisan ini tidak bermaksud menambah perdebatan substansi UU Pornografi, melainkan hanya sekedar memberi sedikit pemahaman tentang bagaimanakah sebaiknya pembangunan sistem hukum nasional dilakukan, jika diletakkan dalam konteks pluralisme masyarakat Indonesia.

Living Law.
Eugen Ehrlich mengatakan bahwa hukum positif yang baik (dan karenanya efektif) adalah hukum yang sesuai dengan living law yang sebagai inner order dari masyarakat mencerminkan nilai-nilai yang hidup di dalamnya (Mochtar Kusumaatmadja; 2006). Penegasan ini menunjukkan bahwa pembentuk hukum (termasuk di dalamnya adalah UU) diwajibkan untuk senantiasa memandang hukum yang hidup di dalam masyarakat sebagai referensi utama.
Hukum yang hidup dalam masyarakat tersebut, bersumber pada apa yang dikemukakan oleh Von Savignij filsuf aliran hukum historis dengan sebutan volksgeist (jiwa bangsa) yang dimanifestasikan dalam nilai-nilai yang berlaku dan dianut oleh masyarakat bangsa itu sendiri. Jika pandangan seperti ini diterapkan dalam konteks pluralisme Indonesia, maka volksgeist itu jelas berbeda antara kelompok masyarakat yang satu dengan lainnya.
Pencerminan volksgeist ini, nampak jelas dalam hukum adat sebagai perwujudan kristalisasi nilai-nilai kebudayaan (asli) penduduk Indonesia. Dengan demikian, seharusnya pembentukan sistem hukum Indonesia tentu bersumber dari “roh” seperti ini. Pertanyaannya adalah apakah mungkin melakukan unifikasi dan kodifikasi hukum terhadap nilai-nilai volksgeist yang secara kodrati memang sudah berbeda?

Netralitas Politik Hukum.
Politik hukum yang juga bisa dimaknai sebagai sebuah pilihan hukum (choice of law) memainkan peranan yang sangat penting dalam pembentukan hukum di masyarakat plural. Jika hukum akan dipergunakan sebagai sarana untuk melakukan perubahan masyarakat (R. Pound) yang berifat plural, maka kesulitan yang paling mendasar yang dihadapi oleh para pembentuk hukum (baca UU) adalah, persoalan-persoalan apakah yang perlu diprioritaskan terlebih dahulu?
Pembangunan sistem hukum nasional, jika dikaitkan dengan struktur masyarakat plural, secara garis besar akan menghadapi dua kategori masalah hukum. Pertama; masalah yang secara langsung mengenai kehidupan pribadi seseorang dan erat hubungannya dengan kehidupan budaya dan spiritual. Kedua; masalah-masalah yang secara umum bersifat “netral” dilihat dari sudut kebudayaan, adat maupun spiritualitas (Mochtar Kusumaatmadja; 2006). Bertolak dari dua kategori masalah inilah, maka pembangunan sistem hukum nasional relatif lebih mudah dilakukan jika diprioritaskan pada masalah-masalah yang “netral”. Mudah disini dalam arti pembentukan maupun penerapannya, karena resistensi (penolakan) di lingkungan masyarakat relatif kecil.
Lain daripada itu dengan memprioritaskan masalah-masalah “netral” dalam pembangunan sistem hukum nasional, akan mendapatkan keuntungan. Pertama; mempercepat proses unifikasi dan kodifikasi. Artinya penolakan terhadap produk hukum, karena pertentangan wacana yang disebabkan adanya perbedaan pandangan yang ditinjau dari aspek spiritualitas, adat dan budaya menjadi semakin minim.
Kedua; memperkuat penegakan hukum. Artinya penegakan hukum dapat dilaksanaka secara konsisten. Hal ini mengingat persoalan-persoalan yang berkaitan dengan budaya hukum, sarana dan prasarana serta instrumen hukum sudah tidak menimbulkan persoalan di masyarakat mengingat sifat netralitas persoalan hukum itu lebih banyak ditonjolkan.
Ketiga; membangun budaya hukum masyarakat. Artinya budaya hukum masyarakat plural menimbulkan konsekuensi bahwa cara pandang, perilaku serta cipta dan karsa masyarakat terhadap hukum akan berbeda antara kelompok masyarakat yang satu dengan lainnya. Hal ini jelas kontra produktif jika membangun budaya hukum masyarakat di tingkat nasional akan diupayakan. Oleh sebab itulah pilihan untuk lebih mendahulukan persoalan-persoalan hukum yang ”netral” (tidak secara langsung menyentuh persoalan yang berdimensi adat istiadat dan budaya masyarakat) dalam rangka pembentukan hukum menjadi tidak terelakkan.
Keempat; Memperkecil terjadinya multitafsir terhadap hukum (UU). Artinya pengaruh atau latar belakang budaya, adat istiadat bahkan pandangan spiritualitas dalam melakukan penafsiran hukum diperkecil seminim mungkin. Interpretasi hukum dikembalikan kepada interpretasi yang sejatinya, yakni dijauhkan dari aspek-aspek yang sifatnya subyektif dan dipengaruhi oleh kepentingan individu maupun kelompok.
Kelima; memperkuat integrasi bagi negara yang struktur masyarakatnya plural. Artinya pembentukan hukum justru dipergunakan sebagai sarana untuk memperkuat integrasi. Dapat dibayangkan bagaimana wujud integrasi bangsa jika pembentuk hukum terus menerus menghasilkan produk hukum yang penuh muatan diskriminasi baik dalam hal adat, budaya maupun spiritualitas masyarakat.
Inilah arti pentingnya netralitas pembangunan sistem hukum nasional dalam pluralisme masyarakat Indonesia. Hukum itu dibentuk untuk menciptakan ketertiban dan keamanan. Bukan malah untuk menciptakan keonaran.
*) Dekan Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta, dan Direktur Eksekuif Parliament Watch Yogyakarta.

PERDEBATAN BUDAYA DI DALAM HAM


PERDEBATAN BUDAYA DI DALAM
FASE-FASE PEMIKIRAN HAK ASASI MANUSIA

Oleh :
B. Hestu Cipto Handoyo



A. Pendahuluan
Pada hakikatnya sejarah Pemikiran Hak Asasi Manusia (HAM) dapat dikategorikan dalam empat (empat) fase pemikiran yaitu :
1. Fase Pemikiran domestik;
2. Fase pemikiran Universal;
3. fase pemikiran dikotomi budaya (Barat dan Timur); dan
4. Fase Pemikiran Uiniversalitas dan Kontekstualitas HAM.
Keempat fase tersebut di atas pada hakikatnya saling berkaitan antara satu dengan yang lain, karena saling menunjang dan melengkapi konsepsi HAM secara lebih komprehensif.
Budaya merupakan suatu ungkapan yang bermakna ganda. Di satu sisi bisa diartikan sebagai perilaku manusia dalam menanggapi suatu fenomena kehidupan sosial kemasyarakatan. Sedang disis lain dapat diartikan sebagai hasil cipta, karsa dan karya manusia guna mengekspresikan dirinya dalam ikatan kehidupan masyarakat (komunitas), bangsa maupun negara. Kedua arti tersebut pada hakikatnya tetap bermuara pada keberadaan manusia itu sendiri sebagai mahluk individu maupun mahluk sosial.[1] Terkait dengan argumentasi semacam inilah, maka hasil-hasil atau buah pemikiran dalam rangka merumuskan suatu konsep teori dan menggambarkan realitas sosial juga dapat dikatakan sebagai Budaya. Untuk itulah dalam tulisan ini persoalan yang melingkupi munculnya pemikiran HAM akan ditinjau bagaimanakah perdebatan budaya itu terjadi.

B. Fase Pemikiran Domestik.
Fase pemikiran domestik adalah fase pemikiran HAM yang hanya muncul di beberapa negara sebelum terjadinya Perang Dunia II. Dalam kaitannya dengan hal ini Scott Davidson mengemukakan :
“Meskipun beberapa pakar menyatakan dapat merunut konsep hak asasi manusia yang sederhana sampai kepada filsafat Stoika di zaman kuno lewat yurisprudensi hukum kodrati (natural law) Grotius dan ius naturale dari Undang-Undang Romawi, tampak jelas bahwa asal-usul konsep hak asasi manusia modern dapat dijumpai dalam revolusi Inggris, Amerika Serikat dan Prancis pada abad ke 17 dan ke 18”.[2]

Lebih lanjut Davidson mengatakan bahwa upaya domestik untuk menjamin perlindungan hukum bagi undividu terhadap ekses sewenang-wenang dari penguasa negara, mendahului perlindungan internasional terhadap hak asasi manusia. Upaya domestik itu mempunyai sejarah panjang dan terhormat, dan berkaitan erat dengan kegiatan revolusioner yang bertujuan menegakkan sistem konstitusional yang berdasarkan pada legitimasi demokrasi dan rule of law. [3]
Dengan demikian dapat ditarik sebuah asumsi bahwa fase ini disebut fase pemikiran domestik tentang HAM karena ruang lingkup dan implementasinya masih berkisar pada upaya-upaya perlindungan HAM di negara-negara tertentu saja dan belum meluas melintasi batas-batas negara. Lain daripada itu pemikiran-pemikiran yang muncul tersebut bertujuan untuk melakukan proses konsolidasi sistem demokrasi dan rule of law. Contoh dokumen-dokumen HAM dalam fase pemikiran domestik antara lain; Magna Charta 1215 (di Inggris), Bill of Rights 1689 (di Inggris), Declaration des droits de I’homme et du citoyen (di Perancis); dan Bill of Rights 1789 ( Di AS).
Rumusan-rumusan yang terkandung di dalam naskah-naskah atau dokumen yang berkaitan dengan HAM tersebut di atas dalam analisis kaum Marxis sering dianggap bahwa yang melembagakan adalah kaum borjuis yang hanya menegaskan naiknya kelas bangsawan dan kaum Kapitalis di atas monarkhi. Sementara rakyat kebanyakan dan kaum pekerja (proletar) tetap saja tertindas.[4] Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam tataran pemikiran HAM, walaupun di dalam fase domestik ini isu-isu perlindungan HAM sudah mulai dilembagakan – melalui dokumen-dokumen tersebut di atas – namun dalam dataran empiris isu tersebut masih menimbulkan pro dan kontra.
Oleh sebab itulah dapat ditarik pemahaman bawa dunia Barat yang dianggap lebih diwarnai dengan budaya individualistis-pun juga terjadi perdebatan yang cukup tajam dalam mengimplementasikan konsep-konsep HAM. Khususnya antara kaum liberal kapitalis dengan kamu Marxis yang memiliki konsepsi masyarakat kelas. Memang sungguh kontroversial pemahaman mengenai HAM itu.

C. Fase Pemikiran Universal.
Fase pemikiran ini muncul setelah Perang Dunia II usai yakni setelah Pernyataan Sedunia tentang Hak-hak Asasi Manusia (Declaration Universal of Human Rights) dikumandangkan oleh PBB pada tanggal 10 Desember 1948. Dalam bagian prawacana buku yang berjudul Instrumen Internasional Pokok Hak-hak Asasi Manusia, dikemukakan bahwa pada tahun 1948 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa telah menyetujui Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia, sebagai “suatu standar prestasi bersama bagi semua orang dan semua bangsa”.[5] Inilah salah satu parameter yang dapat digunakan untuk menyebut bahwa Deklarasi HAM sedunia yang dilakukan oleh PBB merupakan hasil-hasil pemikiran HAM dalam fase universal.
Pasal 1 Deklarasi Universal HAM dinyatakan bahwa semua manusia dilahirkan bebas dan sama dalam martabat dan hak. Mereka dikarunia akal dan budi nurani serta harus bertindak terhadap sesama manusia dalam semangat persaudaraan. Berdasarkan ketentuan semacam ini, Adnan Buyung Nasution mengatakan :[6]
“Deklarasi HAM sedunia itu mengandung makna ganda, baik ke luar (antar negara-bangsa) maupun ke dalam (intra negara-bangsa), berlaku di semua bangsa dan pemerintahan di negaranya masing-masing.
Makna keluar adalah berupa komitmen untuk saling menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan antar negara-bangsa, agar terhindar dan tidak terjerumus lagi dalam malapetaka peperangan yang dapat menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan.
Sedangkan makna ke dalam, mengandung pengertian bahwa Deklarasi HAM sedunia itu harus senantiasa mmenjadi kriteria obyektif oleh rakyat dari masing-masing negara dalam menilai setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahnya”.

Memperhatikan pandangan Adnan Buyung Nasution inilah, kita bisa semakin memahami bahwa sifat universalitas dari pemikiran HAM yang terkandung di dalam Deklarasi tersebut. Universalitas tersebut nampak dari adanya dua dimensi makna yang terkandung di dalam Pasal 1 tersebut di atas. Kendatipun demikian dalam implementasinya masih banyak negara-negara di kawasan Asia Tenggara (termasuk Indonesia) – yang pada waktu itu dan sampai dengan dekade tahun 1980-an - belum meratifikasi Deklarasi HAM tersebut untuk diterapkan dalam sistem hukum nasional. Alasan yang dikemukakan adalah bahwa Deklarasi HAM yang lahir di masyarakat Barat jelas membawa budaya individualistis. Oleh sebab itu tidak akan cocok bila diterapkan di negara-negara timur yang berbudaya komunalistis.
Perdebatan mengenai konsepsi HAM dalam perspektif Budaya semacam inilah yang selalu mewarnai langkah penegakkan HAM di negara-negara kawasan Asia. Oleh sebab itulah di bawah ini akan disampaikan mengenai fase dikotomi Budaya dalam pemikiran HAM.

D. Fase Dikotomi Budaya (Barat dan Timur).
Perdebatan mengenai penerapan konsep HAM sebagaimana tertuang di dalam Deklarasi Universal HAM pada umumnya terjadi di negara-negara berkembang, khususnya di kawasan Asia. Nurcholish Majid (Cak Nur) dalam salah satu tulisannya, mengemukakan :[7]
“Di negara-negara berkembang, usaha meluaskan penerimaan akan ide-ide tentang hak asasi manusia sering mengalami hambatan. Salah satu hambatan itu datang dari argumentasi bahwa konsep hak asasi manusia itu adalah buatan barat, dengan konotasi sebagai sumber kejahatan kolonialisme dan imperialisme. Dalam retorika yang menyangkut masalah pandangan hidup, hak asasi manusia yang merupakan konsep barat itu adalah sama dengan sekularisme, jika bukan atheisme sekalian”.

Lebih lanjut Cak Nur mengemukakan beberapa contoh, misalnya argumentasi yang dikemukakan oleh Lee Kuan Yew, Menteri Senior Singapura yang kemana-mana mengkhotbahkan bahwa demokrasi dan ide hak asasi manusia adalah tidak urgen untuk bangsa-bangsa Asia, jika bukan malah tidak diperlukan. Demikian pula Mahatir dan tokoh-tokoh dari RRC, termasuk Suharto Mantan Presiden RI tidak terkecuali.
Perdebatan mengenai perumusan dan penerapan ide-ide Hak asasi manusia dalam perspektif budaya di Indonesia sebenarnya sudah sejak lama berkembang dalam khasanah kehidupan ketatanegaraan. Contoh yang dapat dipergunakan untuk menggambarkan perdebatan tersebut adalah ketika Soepomo menyampaikan pidati tanggal 31 Mei 1945 dihadapan sidang BPUPKI.
Soepomo mengemukakan bahwa dalam konsep negara integralistik , prinsip-prinsip mendasar hak asasi manusia itu tidak cocok untuk diterapkan, karena mengambil nilai-nilai budaya barat yang individualistis. Lebih lanjut dikemukakan bahwa dengan adanya jaminan terhadap Hak Asasi Manusia justru mencerminkan sikap keraguan, ketidak percayaan dan curiga terhadap kekuasaan. Di dalam negara kekeluargaan yang integralistik, sikap curiga apalagi oposisi, adalah tabu.[8] Pandangan semacam ini didukung oleh Sukarno dengan argumentasi yang nyaris serupa. Pandangan semacam ini ditolak oleh Moh. Hatta. Beliau mengemukakan antara lain:[9]
“Memang kita menentang individualisme dan saya sendiri boleh dikatakan lebih dari 20 tahun berjuang untuk menentang individualisme. Kita mendirikan negara baru atas gotong royong dan hasil usaha bersama. Tetapi suatu hal yang saya khawatirkan, kalau tidak ada suatyu keyakinan atau suatu pertanggungan kepada rakyat dalam Undang-Undang dasar yang kita susun sekarang ini, mungkin terjadi suatu bentukan negara yang tidak kita setujui………….
Sebab itu ada baiknya dalam salah satu fasal, misalnya fasal mengenai warga negara, disebutkan juga disebelah hak yang sudah diberikan kepada misalnya tiap-tiap warga negara rakyat Indonesia, setiap warga negara jangan takut mengeluarkan suaranya. Yang perlu disebut disini hak untuk berkumpul dan bersidang atau menyurat dan lainlain”.

Dari perdebatan yang terjadi di tubuh BPUPKI kalai itu, nampak jelas bahwa persoalan penerapan ide-ide HAM – yang katanya universal itu – justru sering berbenturan atau mungkin dibenturkan dengan persoalan-persoalan budaya. Khususnya budaya Barat dan Timur. Kalau kita cermati lebih lanjut perdebatan yang terjadi diatas, maka kita bisa menarik sedikit pemahaman bahwa latar belakang pendidikan diantara tokoh-tokoh BPUPKI memang melatar belakangi munculnya gagasan dan argumentasi yang berbeda. Khususnya Sukarno dan Moh. Hatta.
Kedua tokoh dwi Tunggal tersebut memiliki latar belakang pendidikan yang sangat berbeda. Sukarno sejak kecil menempuh pendidikan di Hindia Belanda yang sarat dengan nilai-nilai feodalisme. Sementara itu Moh. Hatta sejak menyelesaikan pendirikan di MULO melanjutkan pendidikan di Negeri Belanda yang penuh dengan kebebasan dan pencerahan dalam memahami demokrasi dan hak asasi manusia.[10]
Kendatipun dalam sejarah perumusan dan penerapan ide-ide Hak asasi manusia di Indonesia mengalami perdebatan bila ditinjau dari aspek budaya, namun dewasa ini kita tidak mungkin lagi melakukan dikotomi Hak Asasi Manusia dalam perspektif budaya. Oleh sebab itulah dalam wacana berikutnya akan disampaikan mengenai persoalan Ham dalam wacana Universalitas dan Kontekstualitas.

E. Fase Pemikiran Universalitas dan Kontekstualitas HAM.
Menurut Magnis Soeseno, tuduhan bahwa Hak Asasi Manusia itu adalah individualistis, berdasarkan pertimbangan. Pertama, mengatakan bahwa paham Hak Asasi manusia memfokuskan perhatian orang pada hak-hak sendiri. Masyarakat lalu sekedar sebagai sarana pemenuhan kebutuhan individual saja. Kedua, menganggap bahwa paham hak-hak asasi manusia dilihat sebagai menempatkan individu, kelompok dan golongan masyarakat berhadapan dengan negara dan bukan dalam kesatuan dengannya. Warga mesyarakat bukannya menyatu dengan negara, melainkan diandaikan perlu dilindungi terhadapnya.[11]
Pendapat semacam ini memamng terasa pas jika diterapkan dalam konteks budaya timur. Dan ini merupakan salah satu bentuk dari kelemahan dari budaya timur itu sendiri, khususnya dalam menanggapi persoalan-persoalan hubunngan antara rakyat dan negara (kekuasaan). Dalam konteks budaya jawa, hubungan antara raja dan kaula dapat diletakkan dalam konsep manunggaling kawula lan Gusti. Konsep semacam ini memang bagus dan sangat ideal, khususnya bila diterapkan oleh raja yang bijaksana. Namun raja ataupun penguasa yang semacam ini jelas sulit diketemukan. Hal ini mengingat yang namanya kekuasaan akan selalu mengandung paradigma – sebagaimana dikemukakan oleh Lord Acton, yakni kekuasaan itu cendrung selalu di salah gunakan, dan kekuasaan yang absolut pasti akan disalahgunakan.
Di era sekarang pandangan-pandangan yang mencoba untuk mendikotomikan ide-ide Hak asasi Manusia dalam perspektif budaya nampaknya sudah tidak lagi memperoleh tempat. Khususnya, ketika masyarakat tradisionil sudah mulai kehilangan eksistensi setelah munculnya masyarakat modern. Berkaitan dengan hal ini Magnis Soeseno mengemukakan :[12]
“Hak-hak asasi manusia barat dapat disadari sesudah struktur-struktur sosial tradisional yang melindungi individu dan kelompok-kelompok masyarakat tidak lagi berdaya serta memberikan tempat terjaminnya kepada masing-masing kelompok dan golongan telah ambruk.
Selama keutuhan manusia masih terjamin oleh adat dan struktur-struktur ssosial lainnya, tidak ada kebutuhan untuk merumuskan paham hak asasi manusia. Tetapi dalam situasi perubahan sosial dimana individu, kelompok orang, golongan minoritas maupun suku terancam oleh kekuasaan negara maupun kekuatan-kekuatan sosial lainnya, hak-hak asasi manusia semakin menjadi sarana untuk menjamin keutuhan individu, kelompok, golongan dan suku itu”.

Dari argumentasi semacam ini,maka dapat disimpulkan bahwa ide-ide hak asasi manusia dan penerapannya itu sangat tergantung dari kontekstualitas masyarakat. Artinya secara kontekstual ide-ide hak asasi manusia itu sangat dibutuhkan dan perlu diterapkan tidak lain adalah dalam rangka tetap terjaminnya harkat dan martabat kemanusiaan.
Dengan demikian dapatlah ditarik kesimpulan bahwa ide-ide hak asasi manusia itu berdimensi ganda, yakni :[13]
1. Dimensi universalitas, yakni dimensi yang menyangkut substansi dari ide-ide hak asasi manusia yang sifatnya lintas budaya maupun lintas bangsa. Ide-ide tersebut sangat dibutuhkan oleh setiap orang, bangsa dan tidak peduli apakah dalam lingkungan budaya barat maupun timur. Pendek kata substansi dari ide-ide Hak asasi manusia itu sifatnya universal.
2. Dimensi Kontekstualitas, yakni menyangkut penerapan dari ide-ide hak asasi manusia bila ditinjau dari tempat berlakunya. Maksudnya adalah ide-ide hak asasi manusia dapat diterapkan secara efektif, sepanjang tempat penerapannya itu memberikan suasana kondusif. Artinya ide-ide Hak asasi manusia itu dapat diterapkan secara efektif man menjadi landasan etik dalam pergaulan manusia, jikalau struktur kehidupan masyarakat – entah itu di barat ataupun timur – sudah tidak memberikan tempat bagi terjaminnya hak-hak asasi.
Dalam kondisi sekarang, dimana masyarakat tradisional semakin terpojok oleh arus modernisasi, maka kedua dimensi ini terasa logis jika dipergunakan sebaga landasan normatif untuk menerapkan ide-ide hak asasi manusia. Kita tidak perlu lagi memperdebatkan persoalan hak asasi manusia bila ditinjau dari aspek budaya. Hal ini mengingat budaya yang sekarang ini berkembang semakin diwarnai oleh budaya yang menglobal yakni budaya demokratisasi.

F. Penutup.
Demikianlah beberapa gambaran mengenai fase-fase pemikiran Hak asasi manusia dalam perdebatan budaya. Tulisan ini semata-mata merupakan bentuk refleksi tentang pemikiran hak-hak asasi manusia, khususnya di Indonesia. Oleh sebab itu kesalahan atau kekurang lengkapan tulisan ini patut memperoleh kritik dan saran. Penulis sangat berharap kritik dan saran tersebut guna menyempurnakan tulisan ini.

G. Kepustakaan.
B. Hestu Cipto Handoyo, Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan & Hak Asasi Manusia, Univ. Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2003.

Kotan Y. Stefanus, Kajian Kritis Terhadap Teori Integralistik Indonesia, Univ. Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, 1998.

Komnas HAM, Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Budaya, Gramedia Pustaka Utama, jakarta, 1997.

Peter Baehr, Instrumen Internasional Pokok Hak-Hak Asasi Manusia,Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1997.

Scott Davidson, Hak Asasi Manusia, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1994.

Wawan Tunggul Alam, Demi Bangsaku Pertentangan Sukarno Vs Hatta, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003.

[1] B. Hestu Cipto Handoyo, Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan & Hak Asasi Manusia, Univ. Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2003, hlm. 268.
[2] Scott Davidson, Hak Asasi Manusia, Grafiti, Jakarta, 1994, hlm. 2.
[3] Ibid, hlm. 1
[4] Scott Davidson, Ibid, hlm. 3.
[5] Peter Baehr, et.al, Instrumen Internasional Pokok Hak-hak Asasi Manusia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1997, hlm. xv
[6] Adnan Buyung Nasution, dalam Peter Baehr, et.al, ibid, hlm. xx.
[7] Nurcholish Majid, dalam Komnas HAM, Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Budaya Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, jakarta, 1997, hlm. 41.
[8] Adnan Buyung Nasution, dalam Ibid, hlm. xxii-xxiii.
[9] Moh. Yamin, dalam Kotan Y. Stefanus, Kajian Kritis terhadap Teori Integralistik Indonesia, Univ. Atma jaya Yogyakarta, Yogyakarta, 1998, hlm. 35.
[10] Untuk lebih tuntas memahami perdebatan ini bisa melihat referensi Wawan Tunggul Alam, Demi bangsaku Pertentangan Sukarno Vs Hatta, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003.
[11] Franz Magnis Soeseno, dalam B. Hestu Cipto Handoyo, Op.cit, hlm. 269.
[12] Ibid, hlm. 270.
[13] Ibid, hlm. 271.

Minggu, 23 November 2008

PUSAT KAJIAN HUKUM PUSAT - DAERAH


PEMBENTUKAN PUSAT KAJIAN DAN INFORMASI
HUKUM PUSAT - DAERAH*)

Oleh:
B. Hestu Cipto Handoyo**)

A. Independensi DPD dan Pusat kajian dan informasi Hukum Pusat – Daerah.
Tujuan kehadiran DPD dalam sistem keparlemenan Indonesia secara filosofis lebih didorong oleh kepentingan mewarnai kebijakan pemerintah nasional dengan memberikan ruang baru bagi kepentingan daerah. Pengertian daerah di sini tentu bukanlah daerah per daerah, melainkan wilayah geokultural dalam bingkai yang majemuk.
Dengan posisi yang demikian ini, DPD jelas membutuhkan kekuatan penyangga untuk memperkuat posisi tawar dalam pengambilan kebijakan nasional yang berdimensi kepentingan daerah. Apalagi dengan posisi yang demikian itu DPD relatif lebih egaliter dan bebas (independen) untuk masuk ke stakeholder manapun termasuk perguruan tinggi. Kondisi yang demikian ini jelas berbeda bila dibandingkan dengan posisi DPR yang lebih condong memperjuangkan kepentingan politik. Dengan posisi yang demikian ini, DPR jelas sudah memiliki kekuatan penyangga yakni Induk Organisasi Parpol. Oleh sebab itulah bagi DPR keberadaan Pusat Kajian relatif kurang dibutuhkan, karena bagi DPR yang anggotanya terdiri dari wakil-wakil Parpol secara struktural lebih dekat dengan induk Parpol yang diwadahi oleh Fraksi-fraksi yang ada di DPR. Sehingga ketika beradu argumentasi atau memperkuat posisi tawarnya dalam pengambilan keputusan politik nasional, DPR (baca anggota-anggotanya) sudah di backup oleh “lembaga kajian” yang penuh nuansa kepentingan politik dan terdapat di dalam tubuh Parpol itu sendiri.
Kondisi sosiologis dari DPD seperti itu mengakibatkan model atau cara penjaringan aspirasi masyarakat yang selama ini dilakukan oleh DPD lebih mirip dengan yang dilakukan oleh LSM. Artinya dengan sifat yang egaliter dan relatif independen itu, para anggota DPD mampu “masuk” di seluruh lapisan masyarakat tanpa merasa “dicurigai’ akan membawa jargon-jargon atau kepentingan-kepentingan politik tertentu seperti halnya yang dilakukan oleh anggota DPR yang sering “dicurigai” membawa pesan-pesan politik kepentingan kelompok. Bahkan tidak jarang DPD melakukan penjaringan aspirasi di lingkungan Perguruan Tinggi yang sampai saat ini terkesan “alergi” terhadap Parpol. Dengan demikian sebenarnya, secara sosiologis keberadaan DPD justru sangat diuntungkan, karena ia dapat diterima oleh lapisan masyarakat manapun tanpa memandang golongan ataupun kelompok politik tertentu. Bagi DPD dan masyarakat Daerah yang penting aspirasi daerah dapat tertampung dan mampu dijadikan referensi utama dalam pengambilan kebijakan nasional.
Namun demikian, penjaringan aspirasi tentunya tidak hanya sekedar melakukan dialog ataupun tatap muka dengan stakeholder. Penjaringan aspirasi haruslah menghasilkan sebuah kajian yang mendalam sebelum dipergunakan sebagai dasar untuk pengambilan keputusan di tingkat nasional. Oleh sebab itulah keberadaan Pusat Kajian dan Informasi Hukum Pusat – Daerah memiliki peran yang sangat strategis terutama dalam mem-backup kerja-kerja konsitusional DPD.

B. Pusat Kajian dan Informasi Hukum Pusat – Daerah Sebagai Jaringan Penguatan DPD.
Dalam Pengantar Buku Kaukus Parlemen Bersih, antara lain disebutkan bahwa Kaukus memiliki dua jenis manfaat. Pertama; manfaat bagi kinerja kelembagaan parlemen. Kedua; berkembangnya saluran input aspirasi masyarakat. Kaukus secara kelembagaan telah menjadi perantara bagi anggota parlemen untuk dekat dengan resources informasi di masyarakat. Dengan dekatnya anggota parlemen pada titik-titik informasi, maka kompetensinya sebagai wakil rakyat akan dapat benar-benar teruji. Sedangkan bagi akifis di masyarakat, LSM, Perguruan Tinggi, kaukus menjadi ruang baru untuk menyalurkan aspirasinya.
Dengan mempergunakan ide perlunya Kaukus Parlemen Bersih tersebut di atas, maka sebenarnya keberadaan Pusat Kajian dan Informasi Hukum Pusat – Daerah dapat dibentuk dan diupayakan untuk melakukan berbagai aktifitas yang mampu mendukung penguatan DPD walaupun secara yuridis konstitusional penguatan tersebut memang belum terjamin. Artinya ide keberadaan Kaukus Parlemen Bersih itu dapat dipergunakan sebagai referensi bagi keberadaan Pusat Kajian dan Informasi Hukum Pusat – Daerah. Oleh sebab itu sambil menunggu penguatan DPD melalui Amandemen UUD 1945 (kalau memang mungkin dilakukan), keberadaan Pusat Kajian dan Informasi Hukum Pusat – Daerah menduduki posisi yang strategis untuk meningkatkan kapasitas dan kapabilitas DPD.
DPD yang anggotanya terdiri dari wakil-wakil Daerah (masing-masing Daerah Provinsi berjumlah 4 orang) jelas memiliki latar belakang sosio-kultural yang berbeda-beda. Kondisi yang demikian ini, sadar ataupun tidak akan mempengaruhi kinerja kelembagaan yang mengharuskan mereka untuk tidak terjebak pada kepentingan masing-masing daerah yang mereka wakili. Anggota DPD sejatinya mewakili kepentingan daerah, bukan kepentingan masing-masing daerah. Oleh sebab itu, perjuangan ”kolektif daerah” dalam rangka pengambilan kebijakan nasional harus menjadi kerangka dasar bagi setiap anggota DPD. Misalnya pembentukan UU yang terkait dengan otonomi daerah tidak bisa dipandang hanya untuk kepentingan masing-masing daerah, melainkan harus dipandang oleh masing-masing anggota DPD sebagai kepentingan kolektif daerah. Anggota DPD yang mewakili masing-masing Daerah tidak boleh terjebak melakukan aktifitas layaknya anggota DPR yang ”terbelenggu” oleh hegemoni Parpol lewat fraksi-fraksi di DPR.
Dengan konstruksi yang seperti inilah, maka Pusat Kajian dan Informasi Hukum Pusat – Daerah dapat dijadikan sebagai sarana bagi DPD dalam merumuskan dan memformulasikan keputusan-keputusan dengan pendekatan akademis untuk kemudian diperjuangkan di tingkat pengambilan kebijakan nasional yang berdimensi kepentingan lintas daerah.

C. Harmonisasi Hukum Pusat – Daerah : Sebuah Kerangka Dasar Politik Hukum.
Kemandirian dalam berotomi tidak berarti daerah dapat membuat hukum atau keputusan yang terlepas dari sistem hukum secara nasional. Pembuatan hukum tingkat daerah bukan sekedar melihat batas kompetensi formal atau kepentingan daerah yang bersangkutan tetapi harus dilihat pula kemungkinan dampaknya terhadap daerah lain atau kepentingan nasional secara keseluruhan. Peraturan perundang-undangan tingkat daerah atau penyelenggaraan pemerintahan daerah pada umumnya merupakan sambungan yang menentukan keberhasilan berbagai kebijakan secara nasional.
Dari pemahaman tersebut di atas, maka sinkronisasi dan harmonisasi hukum antara pusat dan daerah menjadi titik krusial dalam pembangunan sistem hukum nasional yang terintegrasi. Lain daripada itu, hukum di tingkat pusat pun seharusnya juga memperhatikan kepentingan-kepentingan daerah sebagai pilar dari sistem hukum nasional. Dengan semikian, hubungan Hukum Pusat – Daerah adalah hubungan yang timbal balik, saling mengisi dan saling menguatkan.
Harus diakui bahwa pada umumnya pembentukan hukum di tingkat Pusat masih menunjukkan hegemoni Jakarta (Pusat). Substansi hukum (baca perundang-undangan) sering masing mempergunakan ”kacamata” Jakarta yang tidak selaras dengan ”kacamata” Daerah. Hanya karena Hukum di tingkat Daerah merupakan sub-sistem dari hukum di Tingkat Pusat, maka hukum daerah hanya menjabarkan apa yang dikehendaki oleh Hukum di tingkat Pusat. Padahal hukum-hukum daerah seharusnya tetap memperhatikan kearifan lokal.
Sebaliknya dengan mengatasnamakan kearifan lokal, hukum di Tingkat Daerah sering ”bernafaskan” arogansi daerah yang justru mengakibatkan terjadinya inkonsistensi dan disharmoni dengan hukum di tingkat pusat. Alih-alih dari keadaan semacam ini ancaman disintegrasi bangsa semakin menguat. Jika demikian keadaanya, bagaimanakah seharusnya sinkronisasi dan harmonisasi hukum Pusat – Daerah itu dapat dibentuk secara ideal?
Eugen Ehrlich mengatakan bahwa hukum positif yang baik (dan karenanya efektif) adalah hukum yang sesuai dengan living law yang sebagai inner order dari masyarakat mencerminkan nilai-nilai yang hidup di dalamnya. Penegasan ini menunjukkan bahwa pembentuk hukum (termasuk di dalamnya adalah UU) diwajibkan untuk senantiasa memandang hukum yang hidup di dalam masyarakat sebagai referensi utama.
Hukum yang hidup dalam masyarakat tersebut, bersumber pada apa yang dikemukakan oleh Von Savignij filsuf aliran hukum historis dengan sebutan volksgeist (jiwa bangsa) yang dimanifestasikan dalam nilai-nilai yang berlaku dan dianut oleh masyarakat bangsa itu sendiri. Jika pandangan seperti ini diterapkan dalam konteks pluralisme Indonesia, maka volksgeist itu jelas berbeda antara kelompok masyarakat yang satu dengan lainnya.
Pencerminan volksgeist ini, nampak jelas dalam hukum adat sebagai perwujudan kristalisasi nilai-nilai kebudayaan (asli) penduduk Indonesia. Dengan demikian, seharusnya pembentukan sistem hukum Indonesia tentu bersumber dari “roh” seperti ini. Pertanyaannya adalah apakah mungkin melakukan unifikasi dan kodifikasi hukum terhadap nilai-nilai volksgeist yang secara kodrati memang sudah berbeda?
Politik hukum yang juga bisa dimaknai sebagai sebuah pilihan hukum (choice of law) memainkan peranan yang sangat penting dalam pembentukan hukum di masyarakat plural. Jika hukum akan dipergunakan sebagai sarana untuk melakukan perubahan masyarakat (R. Pound) yang berifat plural, maka kesulitan yang paling mendasar yang dihadapi oleh para pembentuk hukum (baca UU), adalah persoalan-persoalan apakah yang perlu diprioritaskan terlebih dahulu?
Pembangunan sistem hukum nasional, jika dikaitkan dengan struktur masyarakat plural, secara garis besar akan menghadapi dua kategori masalah hukum. Pertama; masalah yang secara langsung mengenai kehidupan pribadi seseorang dan erat hubungannya dengan kehidupan budaya dan spiritual. Kedua; masalah-masalah yang secara umum bersifat “netral” dilihat dari sudut kebudayaan, adat maupun spiritualitas. Bertolak dari dua kategori masalah inilah, maka pembangunan sistem hukum nasional relatif lebih mudah dilakukan jika diprioritaskan pada masalah-masalah yang “netral”. Mudah disini dalam arti pembentukan maupun penerapannya, karena resistensi (penolakan) di lingkungan masyarakat relatif kecil.
Lain daripada itu dengan memprioritaskan masalah-masalah “netral” dalam pembangunan sistem hukum nasional, akan mendapatkan keuntungan. Pertama; mempercepat proses unifikasi dan kodifikasi. Artinya penolakan terhadap produk hukum, karena pertentangan wacana yang disebabkan adanya perbedaan pandangan yang ditinjau dari aspek spiritualitas, adat dan budaya menjadi semakin minim.
Kedua; memperkuat penegakan hukum. Artinya penegakan hukum dapat dilaksanaka secara konsisten. Hal ini mengingat persoalan-persoalan yang berkaitan dengan budaya hukum, sarana dan prasarana serta instrumen hukum sudah tidak menimbulkan persoalan di masyarakat mengingat sifat netralitas persoalan hukum itu lebih banyak ditonjolkan.
Ketiga; membangun budaya hukum masyarakat. Artinya budaya hukum masyarakat plural menimbulkan konsekuensi bahwa cara pandang, perilaku serta cipta dan karsa masyarakat terhadap hukum akan berbeda antara kelompok masyarakat yang satu dengan lainnya. Hal ini jelas kontra produktif jika membangun budaya hukum masyarakat di tingkat nasional akan diupayakan. Oleh sebab itulah pilihan untuk lebih mendahulukan persoalan-persoalan hukum yang ”netral” (tidak secara langsung menyentuh persoalan yang berdimensi adat istiadat dan budaya masyarakat) dalam rangka pembentukan hukum menjadi tidak terelakkan.
Keempat; Memperkecil terjadinya multitafsir terhadap hukum (UU). Artinya pengaruh atau latar belakang budaya, adat istiadat bahkan pandangan spiritualitas dalam melakukan penafsiran hukum diperkecil seminim mungkin. Interpretasi hukum dikembalikan kepada interpretasi yang sejatinya, yakni dijauhkan dari aspek-aspek yang sifatnya subyektif dan dipengaruhi oleh kepentingan individu maupun kelompok.
Kelima; memperkuat integrasi bagi negara yang struktur masyarakatnya plural. Artinya pembentukan hukum justru dipergunakan sebagai sarana untuk memperkuat integrasi. Dapat dibayangkan bagaimana wujud integrasi bangsa jika pembentuk hukum terus menerus menghasilkan produk hukum yang penuh muatan diskriminasi baik dalam hal adat, budaya maupun spiritualitas masyarakat.

D. Kerangka Kerja Pusat Kajian Hukum Pusat – Daerah.
DPD sebagai lembaga Perwakilan Daerah, menduduki posisi yang sangat strategis untuk melakukan sinkronisasi dan harmonisasi Hukum Pusat – Daerah. Namun demikian, karena karakteristik anggota DPD sifatnya lintas daerah serta pada umumnya bersifat generalis, maka perlu mendapat dukungan para pihak yang memiliki kemampuan (expert) di berbagai bidang. Perguruan Tinggi tentunya dapat berperan lebih optimal untuk membantu kinerja-kinerja DPD dalam melakukan kajian dan informasi demi terwujudnya sinkronisasi dan harmonisasi Hukum Pusat – Daerah.
Bertitik tolak dari pandangan tersebut di atas, penulis menyampaikan beberapa gagasan tentang kerangka kerja Pusat Kajian Hukum Pusat – Daerah yang akan membackup kerja-kerja DPD dalam melakukan sinkronisasi dan harmonisasi Hukum Pusat – Daerah. Karangka kerja tersebut, antara lain :
1. Inventarisasi dan Dokumentasi Hukum Pusat – Daerah yang Berlaku;
2. Pengkajian Perkembangan Hukum Nasional;
3. Penelitian dan pengkajian hukum-hukum yang hidup dalam masyarakat;
4. Penelitian dan pengkajian kearifan lokal yang dapat dipergunakan sebagai basis politik hukum nasional;
5. Penyusunan dan perumusan naskah akademik Rancangan Peraturan Perundang-Undangan baik di tingkat Pusat maupun Daerah;
6. Advokasi Kebijakan Publik;
7. Pembentukan Jaringan Informasi Hukum melalui Teknologi Informasi;
8. Kerjasama Institusional antara Pusat Kajian dan Informasi Hukum Pusat – Daerah dengan DPD;
9. Pelatihan Legal Drafting, Penyusunan Anggaran Berbasis kepantingan Daerah, dan Pengawasan untuk anggota DPD;
10. Penjaringan aspirasi dan pengkajian aspirasi masyarakat yang dikehendaki oleh DPD;
11. Pemantauan kinerja DPD.

D. Penutup.
Pada hakikatnya pembentukan Pusat Kajian Hukum Pusat – Daerah bukan hanya milik disiplin ilmu hukum (Fakultas Hukum/Perguruan Tinggi di Bidang Hukum). Hukum sebagai hasil integrasi dari sub-sub sistem yang ada di dalam masyarakat tentunya sangat terkait dengan sub-sub sistem yang bekerja di dalam masyarakat. Dalam konteks ilmu pengetahuan, maka kajian dan informasi hukum akan terkait dengan disiplin ilmu lain. Oleh sebab itu, tidaklah cukup jikalau pembentukan Pusat Kajian dan Informasi Hukum Pusat – Daerah, hanya melulu berada di Fakultas Hukum.
Fakultas Hukum bisa saja menjadi koordinator, sedang experties yang ada di dalamnya bersifat interdisipliner. Hal ini mengingat pembentukan hukum (Peraturan Perundang-undangan), pada hakikatnya merupakan langkah abstraksi yang dilakukan oleh ahli hukum untuk mempositifkan gejala sosial yang ada di masyarakat ke dalam rumusan yuridis yang berlaku dan bersifat mengikat umum. Untuk melakukan langkah abstraksi tersebut seorang Sarjana Hukum tidak mungkin mampu untuk melaksanakan kerja-kerja besar tersebut secara mandiri. Kerja sama dengan ilmuwan bidang ilmu lain yang berkaitan dengan materi muatan yang akan diabstraksikan ke dalam materi hukum positif sangat dibutuhkan.
Semoga tulisan ini sedikit bermanfaat sebagai sumbangan pemikiran dalam Pembentukan Pusat Kajian dan Informasi Hukum Pusat – Daerah. Selamat bekerja sukses selalu.

E. Daftar Pustaka
Abdur Rozaki, et.all, 2006, Kaukus Parlemen Bersih: Media Pembelajaran Parlemen Lokal, Konsorsium Kaukus Parlemen Bersih DIY, Yogyakarta,

B. Hestu Cipto Handoyo, 2008, Prinsip-Prinsip Legal Drafting dan Desain Naskah Akademik, Univ Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta.

Bagir Manan, 1995, Sistem dan Teknik Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan Tingkat Daerah, Univ Islam Bandung, Bandung.

DPD, 2006, Untuk Apa DPD RI, Kelompok DPD di MPR RI, cet II, Jakarta.

Mochtar Kusumaatmadja, 2006, Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan Hukum Nasional, Alumni, Bandung.



Kotagede; 27 Nopember 2008



B. Hestu Cipto Handoyo

KETERANGAN AHLI UJI MATERI UU KOPERASI

KONSEKUENSI MAKNA KETENTUAN UMUM PASAL 1 ANGKA 1 UU NO. 17 TAHUN 2012 TERHADAP PRINSIP DAN ASAS KOPERASI Oleh: Dr. Benediktus H...