PLURALISME DAN NETRALITAS HUKUM
Oleh:
B. Hestu Cipto Handoyo*)
Ketika UU Pornografi dibahas dan disetujui oleh DPR pro-kontra keberadaannya menjadi demikian tajam. Di beberapa daerah muncul penolakan yang juga “dimotori” oleh DPRD dan Kepala Daerah. Provinsi Bali merupakan salah satu daerah yang paling keras menentang keberadaan UU ini. Dengan alasan pluralisme budaya, UU ini dipandang tidak mungkin diterapkan dan bisa memicu tindakan anarkhisme. Ada apa dengan UU tersebut dalam khasanah hukum Indonesia, hingga dipandang sedemikian gawat?
Tulisan ini tidak bermaksud menambah perdebatan substansi UU Pornografi, melainkan hanya sekedar memberi sedikit pemahaman tentang bagaimanakah sebaiknya pembangunan sistem hukum nasional dilakukan, jika diletakkan dalam konteks pluralisme masyarakat Indonesia.
Living Law.
Eugen Ehrlich mengatakan bahwa hukum positif yang baik (dan karenanya efektif) adalah hukum yang sesuai dengan living law yang sebagai inner order dari masyarakat mencerminkan nilai-nilai yang hidup di dalamnya (Mochtar Kusumaatmadja; 2006). Penegasan ini menunjukkan bahwa pembentuk hukum (termasuk di dalamnya adalah UU) diwajibkan untuk senantiasa memandang hukum yang hidup di dalam masyarakat sebagai referensi utama.
Hukum yang hidup dalam masyarakat tersebut, bersumber pada apa yang dikemukakan oleh Von Savignij filsuf aliran hukum historis dengan sebutan volksgeist (jiwa bangsa) yang dimanifestasikan dalam nilai-nilai yang berlaku dan dianut oleh masyarakat bangsa itu sendiri. Jika pandangan seperti ini diterapkan dalam konteks pluralisme Indonesia, maka volksgeist itu jelas berbeda antara kelompok masyarakat yang satu dengan lainnya.
Pencerminan volksgeist ini, nampak jelas dalam hukum adat sebagai perwujudan kristalisasi nilai-nilai kebudayaan (asli) penduduk Indonesia. Dengan demikian, seharusnya pembentukan sistem hukum Indonesia tentu bersumber dari “roh” seperti ini. Pertanyaannya adalah apakah mungkin melakukan unifikasi dan kodifikasi hukum terhadap nilai-nilai volksgeist yang secara kodrati memang sudah berbeda?
Netralitas Politik Hukum.
Politik hukum yang juga bisa dimaknai sebagai sebuah pilihan hukum (choice of law) memainkan peranan yang sangat penting dalam pembentukan hukum di masyarakat plural. Jika hukum akan dipergunakan sebagai sarana untuk melakukan perubahan masyarakat (R. Pound) yang berifat plural, maka kesulitan yang paling mendasar yang dihadapi oleh para pembentuk hukum (baca UU) adalah, persoalan-persoalan apakah yang perlu diprioritaskan terlebih dahulu?
Pembangunan sistem hukum nasional, jika dikaitkan dengan struktur masyarakat plural, secara garis besar akan menghadapi dua kategori masalah hukum. Pertama; masalah yang secara langsung mengenai kehidupan pribadi seseorang dan erat hubungannya dengan kehidupan budaya dan spiritual. Kedua; masalah-masalah yang secara umum bersifat “netral” dilihat dari sudut kebudayaan, adat maupun spiritualitas (Mochtar Kusumaatmadja; 2006). Bertolak dari dua kategori masalah inilah, maka pembangunan sistem hukum nasional relatif lebih mudah dilakukan jika diprioritaskan pada masalah-masalah yang “netral”. Mudah disini dalam arti pembentukan maupun penerapannya, karena resistensi (penolakan) di lingkungan masyarakat relatif kecil.
Lain daripada itu dengan memprioritaskan masalah-masalah “netral” dalam pembangunan sistem hukum nasional, akan mendapatkan keuntungan. Pertama; mempercepat proses unifikasi dan kodifikasi. Artinya penolakan terhadap produk hukum, karena pertentangan wacana yang disebabkan adanya perbedaan pandangan yang ditinjau dari aspek spiritualitas, adat dan budaya menjadi semakin minim.
Kedua; memperkuat penegakan hukum. Artinya penegakan hukum dapat dilaksanaka secara konsisten. Hal ini mengingat persoalan-persoalan yang berkaitan dengan budaya hukum, sarana dan prasarana serta instrumen hukum sudah tidak menimbulkan persoalan di masyarakat mengingat sifat netralitas persoalan hukum itu lebih banyak ditonjolkan.
Ketiga; membangun budaya hukum masyarakat. Artinya budaya hukum masyarakat plural menimbulkan konsekuensi bahwa cara pandang, perilaku serta cipta dan karsa masyarakat terhadap hukum akan berbeda antara kelompok masyarakat yang satu dengan lainnya. Hal ini jelas kontra produktif jika membangun budaya hukum masyarakat di tingkat nasional akan diupayakan. Oleh sebab itulah pilihan untuk lebih mendahulukan persoalan-persoalan hukum yang ”netral” (tidak secara langsung menyentuh persoalan yang berdimensi adat istiadat dan budaya masyarakat) dalam rangka pembentukan hukum menjadi tidak terelakkan.
Keempat; Memperkecil terjadinya multitafsir terhadap hukum (UU). Artinya pengaruh atau latar belakang budaya, adat istiadat bahkan pandangan spiritualitas dalam melakukan penafsiran hukum diperkecil seminim mungkin. Interpretasi hukum dikembalikan kepada interpretasi yang sejatinya, yakni dijauhkan dari aspek-aspek yang sifatnya subyektif dan dipengaruhi oleh kepentingan individu maupun kelompok.
Kelima; memperkuat integrasi bagi negara yang struktur masyarakatnya plural. Artinya pembentukan hukum justru dipergunakan sebagai sarana untuk memperkuat integrasi. Dapat dibayangkan bagaimana wujud integrasi bangsa jika pembentuk hukum terus menerus menghasilkan produk hukum yang penuh muatan diskriminasi baik dalam hal adat, budaya maupun spiritualitas masyarakat.
Inilah arti pentingnya netralitas pembangunan sistem hukum nasional dalam pluralisme masyarakat Indonesia. Hukum itu dibentuk untuk menciptakan ketertiban dan keamanan. Bukan malah untuk menciptakan keonaran.
*) Dekan Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta, dan Direktur Eksekuif Parliament Watch Yogyakarta.
Oleh:
B. Hestu Cipto Handoyo*)
Ketika UU Pornografi dibahas dan disetujui oleh DPR pro-kontra keberadaannya menjadi demikian tajam. Di beberapa daerah muncul penolakan yang juga “dimotori” oleh DPRD dan Kepala Daerah. Provinsi Bali merupakan salah satu daerah yang paling keras menentang keberadaan UU ini. Dengan alasan pluralisme budaya, UU ini dipandang tidak mungkin diterapkan dan bisa memicu tindakan anarkhisme. Ada apa dengan UU tersebut dalam khasanah hukum Indonesia, hingga dipandang sedemikian gawat?
Tulisan ini tidak bermaksud menambah perdebatan substansi UU Pornografi, melainkan hanya sekedar memberi sedikit pemahaman tentang bagaimanakah sebaiknya pembangunan sistem hukum nasional dilakukan, jika diletakkan dalam konteks pluralisme masyarakat Indonesia.
Living Law.
Eugen Ehrlich mengatakan bahwa hukum positif yang baik (dan karenanya efektif) adalah hukum yang sesuai dengan living law yang sebagai inner order dari masyarakat mencerminkan nilai-nilai yang hidup di dalamnya (Mochtar Kusumaatmadja; 2006). Penegasan ini menunjukkan bahwa pembentuk hukum (termasuk di dalamnya adalah UU) diwajibkan untuk senantiasa memandang hukum yang hidup di dalam masyarakat sebagai referensi utama.
Hukum yang hidup dalam masyarakat tersebut, bersumber pada apa yang dikemukakan oleh Von Savignij filsuf aliran hukum historis dengan sebutan volksgeist (jiwa bangsa) yang dimanifestasikan dalam nilai-nilai yang berlaku dan dianut oleh masyarakat bangsa itu sendiri. Jika pandangan seperti ini diterapkan dalam konteks pluralisme Indonesia, maka volksgeist itu jelas berbeda antara kelompok masyarakat yang satu dengan lainnya.
Pencerminan volksgeist ini, nampak jelas dalam hukum adat sebagai perwujudan kristalisasi nilai-nilai kebudayaan (asli) penduduk Indonesia. Dengan demikian, seharusnya pembentukan sistem hukum Indonesia tentu bersumber dari “roh” seperti ini. Pertanyaannya adalah apakah mungkin melakukan unifikasi dan kodifikasi hukum terhadap nilai-nilai volksgeist yang secara kodrati memang sudah berbeda?
Netralitas Politik Hukum.
Politik hukum yang juga bisa dimaknai sebagai sebuah pilihan hukum (choice of law) memainkan peranan yang sangat penting dalam pembentukan hukum di masyarakat plural. Jika hukum akan dipergunakan sebagai sarana untuk melakukan perubahan masyarakat (R. Pound) yang berifat plural, maka kesulitan yang paling mendasar yang dihadapi oleh para pembentuk hukum (baca UU) adalah, persoalan-persoalan apakah yang perlu diprioritaskan terlebih dahulu?
Pembangunan sistem hukum nasional, jika dikaitkan dengan struktur masyarakat plural, secara garis besar akan menghadapi dua kategori masalah hukum. Pertama; masalah yang secara langsung mengenai kehidupan pribadi seseorang dan erat hubungannya dengan kehidupan budaya dan spiritual. Kedua; masalah-masalah yang secara umum bersifat “netral” dilihat dari sudut kebudayaan, adat maupun spiritualitas (Mochtar Kusumaatmadja; 2006). Bertolak dari dua kategori masalah inilah, maka pembangunan sistem hukum nasional relatif lebih mudah dilakukan jika diprioritaskan pada masalah-masalah yang “netral”. Mudah disini dalam arti pembentukan maupun penerapannya, karena resistensi (penolakan) di lingkungan masyarakat relatif kecil.
Lain daripada itu dengan memprioritaskan masalah-masalah “netral” dalam pembangunan sistem hukum nasional, akan mendapatkan keuntungan. Pertama; mempercepat proses unifikasi dan kodifikasi. Artinya penolakan terhadap produk hukum, karena pertentangan wacana yang disebabkan adanya perbedaan pandangan yang ditinjau dari aspek spiritualitas, adat dan budaya menjadi semakin minim.
Kedua; memperkuat penegakan hukum. Artinya penegakan hukum dapat dilaksanaka secara konsisten. Hal ini mengingat persoalan-persoalan yang berkaitan dengan budaya hukum, sarana dan prasarana serta instrumen hukum sudah tidak menimbulkan persoalan di masyarakat mengingat sifat netralitas persoalan hukum itu lebih banyak ditonjolkan.
Ketiga; membangun budaya hukum masyarakat. Artinya budaya hukum masyarakat plural menimbulkan konsekuensi bahwa cara pandang, perilaku serta cipta dan karsa masyarakat terhadap hukum akan berbeda antara kelompok masyarakat yang satu dengan lainnya. Hal ini jelas kontra produktif jika membangun budaya hukum masyarakat di tingkat nasional akan diupayakan. Oleh sebab itulah pilihan untuk lebih mendahulukan persoalan-persoalan hukum yang ”netral” (tidak secara langsung menyentuh persoalan yang berdimensi adat istiadat dan budaya masyarakat) dalam rangka pembentukan hukum menjadi tidak terelakkan.
Keempat; Memperkecil terjadinya multitafsir terhadap hukum (UU). Artinya pengaruh atau latar belakang budaya, adat istiadat bahkan pandangan spiritualitas dalam melakukan penafsiran hukum diperkecil seminim mungkin. Interpretasi hukum dikembalikan kepada interpretasi yang sejatinya, yakni dijauhkan dari aspek-aspek yang sifatnya subyektif dan dipengaruhi oleh kepentingan individu maupun kelompok.
Kelima; memperkuat integrasi bagi negara yang struktur masyarakatnya plural. Artinya pembentukan hukum justru dipergunakan sebagai sarana untuk memperkuat integrasi. Dapat dibayangkan bagaimana wujud integrasi bangsa jika pembentuk hukum terus menerus menghasilkan produk hukum yang penuh muatan diskriminasi baik dalam hal adat, budaya maupun spiritualitas masyarakat.
Inilah arti pentingnya netralitas pembangunan sistem hukum nasional dalam pluralisme masyarakat Indonesia. Hukum itu dibentuk untuk menciptakan ketertiban dan keamanan. Bukan malah untuk menciptakan keonaran.
*) Dekan Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta, dan Direktur Eksekuif Parliament Watch Yogyakarta.