
DASAR PEMIKIRAN TENTANG PERLUNYA
UU TENTANG OTONOMI DESA
B. Hestu Cipto Handoyo
Tidak dapat dipungkiri bahwa UU No. 32 tahun 2004 yang belum genap berumur 3 tahun ini telah menuai persoalan terutama menyangkut keberadaan otonomi desa yang makin lama, makin tidak menunjukkan eksistensinya. Padahal secara konsepsional desa sebagai sebuah persekutuan hukum telah memiliki otonomi asli sebelum Indonesia Merdeka. Bahkan para faunding fathers – khususnya Soepomo – pernah mengemukakan bahwa desa merupakan salah satu dari sekian banyak zelfbestuurende lanschappen yang masuk di dalam kategori hak asal-usul dalam daerah yang bersifat istimewa.
Dalam UU No. 5 tahun 1974 dan UU No. 5 tahun 1979 yang sifatnya monolitis, desa diposisikan sebagai ”duduk diam”. Artinya otonomi Desa dimatikan, karena justru desa ditempatkan sebagai alat birokrasi administratif tanpa kemandirian sama sekali. Sementara itu, rumusan otonomi di dalam UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan daerah, dalam prakteknya hanya dititik beratkan pada masalah uang, pendapatan atau hanya sekedar peningkatan PAD. Akibatnya adalah Otonomi menjadi ladang subur bagi tumbuhnya arogansi dan eksklusivitas daerah yang pada akhirnya melahirkan fenomena disintegrasi bangsa.
Sedangkan dalam UU No. 32 tahun 2004 kesan yang paling kuat muncul adalah kembalinya arah pemerintahan ke sentralistik dan Desa menjadi makin berbeda posisinya. Birokratisasi Desa akan terjadi semakin kuat, misalnya dengan adanya tuntutan agar Sekretaris Desa dijadikan PNS. Bahkan sekarang ada keinginan politik yang sampai di Desa sehingga menimbulkan gerakan kepala desa yang menginginkan menjadi Ketua Partai Politik. Semua ini terjadi, karena secara konsepsional kita belum mempunyai ”demokrasi Indonesia”, melainkan baru ”demokrasi barat yang diterapkan di Indonesia”. Dalam konteks semacam ini, maka Badan Perwakilan Desa itulah yang harus dianggap sebagai perwakilan demokrasi.
Jika dikaji secara lebih mendalam, maka implikasi UU No. 32 tahun 2004 terhadap eksistensi Otonomi Desa adalah terjadinya politisasi desa. Padahal, semestinya desa harus diletakkan dalam konteks otonomi asli yang terlepas dari politik, namun kenyataan menunjukkan bahwa dengan UU No. 32 tahun 2004 persoalan-persoalan politik masuk ke desa. Berkaitan dengan hal ini, persoalan serius yang muncul adalah, bagaimanakah mengembalikan desa dalam bentuk otonomi asli sebagaimana di gagas oleh para foundings fathers dulu.
Oleh sebab itu, gagasan konsepsional harus kembali dirumuskan, yakni Pemerintah harus hanya bertindak sebagai katalisator saja, karena bagaimanapun juga desa memang sudah otonom. Dengan demikian, persoalan-persoalan yang sekarang ini muncul dipermukaan yang kemudian dicerminkan dalam berbagai tuntutan, sesungguhnya terletak pada Undang-undangnya.
Berkaitan dengan persoalan tersebut di atas, ada sejumlah issu penting yang dapat dipergunakan sebagai referensi dalam mengembalikan otonomi desa yaitu:
a. Penegasan posisi (kedudukan) desa dalam NKRI;
b. Pembagian kewenangan secara proporsional antara pusat, provinsi, kabupaten/kota dan desa;
c. Desentralisasi pembangunan;
d. Desentralisasi keuangan kepada desa dengan cara membuat skema perimbangan keuangan antara pusat, daerah dan desa;
e. Mengoptimalkan pembinaan (capacity building), fasilitasi dan supervisi pemerintah supradesa kepada desa.
f. Swadaya masyarakat perlu dirumuskan konsepsinya, mengingat dalam beberapa hal ternyata justru sangat memberatkan masyarakat;
g. Ke depan desa harus mempunyai perencanaan sendiri. Tidak lagi top down.
h. Desentralisasi keuangan dalam PP No. 72 tahun 2005 justru membuka kecenderungan akan terjadinya manipulasi keuangan tersebut. Desa tidak mempunyai daya tawar.
Desa merupakan entitas pemerintahan yang secara historis, politis dan kultural memiliki basis kerakyatan dan sering dianggap benteng kearifan lokal. Soepomo pernah menggagas perlunya menggunakan desa sebagai model dalam menyusun sistem pemerintahan RI.
Terlepas dari pro dan kontra, ada sisi menarik dari UU No. 32 tahun 2004. Pertama, sudah mulai terbukanya kesadaran bahwa persoalan yang menyangkut desa merupakan persoalan yang harus dicermati. Kedua, pada tataran historis, filosofis muncul kembali keinginan meletakkan desa sebagai pemerintahan alas kaki. Di samping itu juga menekankan power sharing antara jenis kewenangan, perimbangan kewenangan dekonsentrasi dengan kewenangan desentralisasi.
UU sebelumnya, yakni UU No. 5 tahun 1979 membuat desa terserap dalam dominasi kekuasaan negara dan kehilangan roh demokrasi kerakyatan. UU ini telah mengebiri hak-hak kultural dan melakukan uniformitas serta sentralisasi pengelolaan desa. Desa yang telah memiliki demokrasi asli dan menjadi basis kerakyatan, justru berbalik menjadi basis tumpuan berbagai kebijakan politik pemerintah. Desa hanya menjadi alat birokrasi pemerintah.
Menyikapi realitas kebijakan otonomi daerah di dalam UU No. 32 tahun 2004 yang ambivalen terhadap demokrasi desa, maka desa hanya mengharap adanya power sharing dengan kabupaten dan pengurangan tarikan sentralisasi melalui perluasan pemberian tugas pembantuan dari provinsi. Langkah selanjutnya yang perlu ditempuh adalah dengan memberikan legal framework melalui Perda Provinsi atau Kabupaten/kota yang lebih menunjukkan paradigma penguatan otonomi. Oleh sebab itulah, tumbuhnya demokfrasi level desa sebenarnya menjadi sarana pembelajaran yang penting untuk mendorong demokrasi di tingkat kabupaten/kota semakin menguat yang pada akhirnya berdampak pada menguatnya demokrasi ditingkat negara.
Mengingat desa sebagai central operating govenrnment maka perlu ditempuh dengan terobosan konstitusional untuk memberikan bingkai bagi makna otonomi desa, antara lain : Pertama, mengubah skema driekriengenleer yang diawali dengan mempertegas otonomi desa dalam konstitusi. Pembaharuan desa yang meletakkan desa sebagai centra operating government perlu dilandasi oleh strategi yang tepat. Anggapan bahwa pemerintah desa merupakan penyelenggara pemerintahan pada level alas kaki merupakan pemahaman yang ahistoris, reduksionis dan ilogical.
Kedua, penguatan kapasitas pemerintahan desa. Melalui penguatan partisipasi dan kapasitas rakyat desa maka gerakan arah perubahan dari bawah harus diupayakan. Kemudian memperkuat kelembagaan yang ada dapat dilakukan dengan mengelaborasi konsep checks and balance dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Langkah ini perlu didukung oleh pembiayaan yang memadai. Alternatif pembiayaan melalui skema Dana Alokasi Umum (DAU) untuk desa sangat dimungkinkan dengan melihat kedudukan DAU sebagai komponen penerimaan daerah yang ditempatkan sebagai bagian dari Dana Perimbangan. Hal ini dapat mendorong desa dapat menggali sumber pendapatan asli desa, memperkuat desa sebagai basis ketahanan pembangunan, mempercepat lacu perkembangan dan kemajuan desa, serta berkembangnya partisipasi masyarakat secara optimal.
Oleh sebab itu, pengaturan desa dan berbagai kewenangan yang ada di dalamnya tidak cukup hanya diatribusikan ke dalam Perda, melainkan harus diletakkan dalam konteks UU tersendiri. Hal ini mengingat UUD 1945 juga mengakui keberadaannya. Pengaturan Desa ke dalam UU tersendiri merupakan langkah strategis untuk memperluas otonomi dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia. Model semacam ini juga pernah di gagas oleh Moh. Yamin yang membagi pemerintahan di Indonesia ke dalam tiga tingkatan, yakni Pemerintahan atasan, pemerintahan tengahan dan pemerintahan rendahan.
Pemerintahan atasan diletakkan dalam konteks Pemerintah Pusat. Pemerintahan Tengahan diletakkan dalam konteks Propinsi/kabupaten dan pemerintahan rendahan tidak lain adalah Desa. Fungsi Pemerintahan tengahan adalah sebagai ”jembatan” yang menghubungkan antara pemerintahan atasan dan pemerintahan rendahan. Jika konsepsi seperti ini dapat diwujudkan niscaya otonomi dan demokratisasi di Indonesia akan terwujud. Sinyalemen yang mengatakan ”baru ada demokrasi di Indonesia” sedikit demi sedikit akan berubah menjadi telah terbentuk ”demokrasi Indonesia”.
Desa sebagai sebuah entitas pemerintahan terendah di Indonesia, tentunya harus diberdayakan. Memang kompleksitas persoalan yang ada di Desa relatif lebih ringan ketimbang yang berada di tingkat Propinsi atau kabupaten. Pemberdayaan desa tentu akan berdampak pada semakin menguatnya tingkat kesadaran masyarakat dalam mengimplementasikan kehidupan demokrasi. Masyarakat Desa akan semakin cerdas, dan hasil lanjutannya jelas akan mencerdaskan masyarakat Indonesia pada umumnya. Tidak kalah pentingnya adalah, dengan memberikan penguatan otonomi kepada desa beserta sumber-sumber pendapatan yang dimiliki, tentu akan mengakibatkan tingkat pertumbuhan ekonomi akan semakin merata. Dampak lanjutannya adalah bisa menjadi sarana efektif untuk menekan arus urbanisasi yang mengakibatkan semakin menumpuknya masyarakat miskin diperkotaan yang pada umumnya berasal dari desa.
Berdasarkan gambaran tersebut di atas, maka dalam rangka mengembalikan keberadaan otonomi Desa prinsip-prinsip yang harus diperhatikan adalah :
1. Sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum otonom berdasarkan Hukum asli Indonesia, maka hak asal-usul desa harus tetap dilindungi. Pasal 18B ayat (2) secara tegas telah memberikan penegasan mengenai hal ini. Desa sebagai zelf bestuurende Lanschappen (menurut Soepomo) tidak cukup hanya diatur dengan Peraturan Pemerintah. Oleh sebab itu perlu segera dirumuskan naskah akademis RUU yang substansinya dapat berupa RUU tentang Perlindungan Kesatuan-Kesatuan masyarakat Hukum Adat atau RUU tentang Otonomi Asli Desa. Di dalam RUU tersebut, Desa yang memiliki otonomi asli harus dibersihkan dari anasir-anasir politik. Penjabaran secara detil dari UU tersebut diatur dalam Perda.
2. Keuangan Desa perlu ada sinkonisasi dan harmonisasi dengan keuangan dari satuan Pemerintahan yang lebih tinggi tingkatannya (Pemerintah Pusat, Propinsi dan kabupaten). Untuk itu perlu ada payung hukum yang memberi dasar bagi sinkronisasi dan harmonisasi Keuangan secara makro yang dalam tataran pelaksanaan dapat diterjemahkan secara rinci ke dalam PP, Perda Propinsi dan Perda Kabupaten. UU Keuangan Negara perlu ada perbaikan-perbaikan untuk disesuaikan dengan tuntutan masyarakat. Berkaitan dengan hal ini, maka Perimbangan keuangan pusat dan daerah yang secara khusus mengatur alokasi Dana Desa sebesar 10% dari DAU perlu ditinjau kembali untuk diberikan peningkatan yang layak dan sepadan dalam rangka pemberdayaan dengan cara menumbuhkan partisipasi masyarakat dalam proses demokratisasi dan kemandirian Desa.
3. Garis-garis besar tentang kebijaksanaan Pemberdayaan masyarakat desa baik SDM maupun SDA harus masuk dalam koridor strategi Pembangunan Nasional. Oleh sebab itu, karena sekarang GBHN sudah tidak dikenal lagi, maka UU tentang Strategi Pembangunan Nasional harus segera rumuskan.
4. Ekonomi Kerakyatan yang terbukti kuat dalam menghadapi krisis multi dimensional ternyata juga mampu untuk menggairahkan aktifitas perekonomian di tingkat Desa. Oleh sebab itu garis-garis besar tentang Ekonomi Kerakyatan perlu dituangkan dalam bentuk UU. Hal ini selaras dengan Pasal 33 ayat (5) UUD 1945. RUU yang dimaksud dapat berupa RUU tentang Pokok-Pokok Ekonomi Kerakyatan. Eksistensi dari RUU ini adalah memberikan tempat bagi sistem ekonomi khas Indonesia dan sekaligus meredam arus kapitalisme global yang semakin merebak dalam kehidupan ekonomi dan investasi di Indonesia. Perekonomian Desa harus tetap dalam koridor ekonomi kerakyatan yang mampu memberikan kesejahteraan masyarakat, sehingga arus urbanisasi sebagai akibat kapitalisme di tingkat perkotaan dapat dieleminir. Oleh sebab itu konsep-konsep Ekonomi Kerakyatan yang digagas oleh Moh. Hatta dapat dipergunakan sebagai referensi utama.
5. Di dalam UU yang mengatur otonomi Desa tersebut masa jabatan lurah Desa masih tetap relevan untuk ditetapkan selama 5 thn. Lurah Desa tetap ditempatkan sebagai figur panutan yang mampu mengayomi dan mengayemi masyarakat Desa secara sosial ekonomi sesuai dengan karakteristik dasar dari fungsi Kepala Desa. Oleh sebab itu sangat tidak relevan apabila seorang Kepala desa menjadi pengurus Partai Politik. Sedangkan Sekretaris Desa tidak perlu menjadi PNS, tetapi yang diperlukan adalah memberikan perhatian kepada kesejahteraan perangkat desa yang layak sehingga mampu menjalankan fungsi, tugas serta pengabdiannya sebagai perangkat Desa.
Demikianlah gambaran singkat tentang Dasar Pemikiran perlunya membentuk Undang-Undang Pemerintahan Desa (Otonomi Desa). Pembentukan UU tersebut tentu akan didahului dengan perumusan naskah akademis yang sifatnya komprehensif.