Mengenai Saya

Foto saya
Yogyakarta, DIY, Indonesia
Dr. Benediktus Hestu Cipto Handoyo, S.H.,M.Hum atau sering dipanggil Ben atau Hestu, lahir di Blora Jawa Tengah pada tanggal 3 Juli 1962. Suami dari Maria Bernadeth Maitimo, SH dan bapak dari dua anak Giovanni Battista Maheswara, S.H.,M.H dan Alexandro Kevin Maheswara, S.H. ini, menyelesaikan pendidikan di SD. Katolik Kridadharma Blora tahun 1974. Kemudian melanjutkan di SMP Negeri I Blora lulus tahun 1978, serta SMA Jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) di SMA Katolik Wijayakusuma Blora, lulus tahun 1981. Jenjang Pendidikan Tinggi ditempuh di Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta, dan Lulus Sarjana Hukum pada tahun 1988. Melanjutkan studi pada Program Pascasarjana (S2) Universitas Padjadjaran Bandung lulus dan memperoleh gelar Magister Humaniora (M.Hum) pada tahun 1995. Pada tanggal 20 Desember 1997 sampai dengan 4 Maret 1998 mendapatkan kesempatan mengikuti kursus di LEMHANNAS (Lembaga Pertahanan dan Keamanan Nasional) Jakarta. Kemudian pada tahun 2018 Lulus pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Katolik Parahyangan Bandung

Rabu, 22 April 2009

PERMASALAHAN PEMILU 2009


PERMASALAHAN PEMILU 2009 DAN SOLUSINYA MENURUT
PERSPEKTIF HUKUM TATA NEGARA*

B. Hestu Cipto Handoyo**


Pendahuluan.
Pada saat Pemilu dijadikan sebagai pencerminan prinsip kedaulatan rakyat, maka mulai saat itulah rakyat diberi kebebasan dalam memilih dan menentukan calon-calon wakil yang tergabung dalam Partai Politik. Pasal 21 ayat (3) Piagam Pernyataan HAM sedunia menyatakan bahwa kemauan rakyat harus menjadi dasar kekuasaan pemerintah; kemauan ini harus dinyatakan dalam pemilihan-pemilihan berkala yang jujur dan yang dilakukan menurut hak pilih yang bersifat umum dan berkesamaan, serta dengan pemungutan suara yang rahasia ataupun menurut cara-cara lain yang juga menjamin kebebasan mengeluarkan suara.
Permasalahan Pemilu 2009 yang paling menonjol di saat-saat yang menentukan adalah banyak warganegara yang kehilangan hak pilih karena tidak tercantum dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang disusun oleh KPU/D. Sistem administrasi kependudukan lagi-lagi menjadi biang keladi persoalan ini. Permasalahan semakin menjadi-jadi ketika angka Golput dalam Pemilu mencapai 40%. Persentase tersebut terdiri dari Golput yang memang tidak mempergunakan hak pilih, dan golput yang dipaksa atau terpaksa karena tidak tercantum dalam DPT.
Bagi Golput yang karena kesadaran sendiri tidak mempergunakan hak pilih, tentu tidak menjadi masalah, karena tidak memilih dalam pemilu juga merupakan manifestasi dari hak. Namun persoalan menjadi sangat serius manakala Golput tersebut dipaksa atau terpaksa, karena nama warga negara sebagai pemegang hak pilih tidak tercantum dalam DPT.
Persoalan krusial Golput yang dipaksa atau terpaksa ini, jika ditinjau perspektif HAM jelas melanggar ketentuan Pasal 21 ayat (3) Deklarasi HAM Sedunia yang salah satunya menghendaki adanya asas berkesamaan. Jika demikian, maka persoalannya adalah bagaimanakah perspektif Hukum Tata Negara melihat permasalahan dalam Pemilu 2009 karena adanya pemaksaan Golput tersebut dan bagaimanakah solusinya?

Pemaksaan Golput dan Pelanggaran HAM.
Pemaksaan Golput karena tidak tercantumnya nama pemilih dalam DPT pada hakikatnya dapat dikategorikan merupakan tindakan yang secara sistemik menghalang-halangi warga negara dalam mempergunakan hak pilih dalam pemilu. Langkah menghalang-halangi ini dapat dilakukan melalui berbagai modus operandi baik itu disengaja maupun tidak. Terlepas dari sengaja maupun tidak sengaja, tetap dapat dikategorikan sebagai bentuk pemaksaan Golput. Hal ini mengingat pemenuhan hak untuk memilih dalam pemilu bagi warga negara pada hakikatnya harus dikuti oleh kewajiban dari penyelenggara pemilu (KPU) untuk memenuhinya. Sehingga tanpa harus diminta penyelenggara Pemilu wajib memberikan fasilitas kemudahan untuk pemenuhan hak warga negara untuk memilih.
Dengan demikian, tidak ada alasan bagi penyelenggara Pemilu untuk tidak melakukan pendaftaran pemilih dan update data bagi warga negara yang telah memiliki hak untuk memilih. Dengan terjadinya kekacauan DPT yang mengakibatkan sebagian dari 40% Golput dalam Pemilu 2009 adalah karena tidak tercantum dalam DPT, maka hal ini menunjukkan bahwa penyelenggara pemilu, yakni KPU/D telah melalaikan atau tidak melaksanakan kewajiban yang menjadi tanggungjawabnya. Pemerintah dan/atau KPU/D jelas-jelas telah menghilangkan hak konsititusional sebagian Warga Negara. Disinilah pelanggaran Hak Asasi Manusia tidak dapat ditoleransi lagi, karena hak pilih dalam pemilu merupakan hak asasi yang paling mendasar dalam konteks hak politik warga negara. Apalagi Pasal 28 I ayat (4) UUD 1945 telah mengamanatkan bahwa Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggungjawab negara, terutama pemerintah.
Terkait dengan pelanggaran hak konstitusional dalam pemilu inilah, UU No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu telah memberikan penegasan, antara lain:
a. Pasal 262: Setiap orang yang dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan atau dengan menggunakan kekuasaan yang ada padanya pada saat pendaftaran pemilih menghalang-halangi seseorang untuk terdaftar sebagai pemilih dalam pemilu menurut undang-undang ini, dipindana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 36 (iga puluh enam) bulan dan denda paling sedikit Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).
b. Pasal 263: Petugas PPS/PPLN yang dengan sengaja tidak memperbaiki daftar pemilih sementara setelah mendapat masukan dari masyarakat dan Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (6), Pasal 37 ayat (2), dan Pasal 43 ayat (5) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 6 (enam) bulan dan denda paling sedikit Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah) dan paling banyak Rp 6.000.000,00 (enam juta rupiah).
c. Pasal 264: Setiap anggota KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK, PPS, dan PPLN yang tidak menindak lanjuti temuan Bawaslu, Panwaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan dan Pengawas Pemilu Luar Negeri dalam melaksanakan pemutakhiran data pemilih, penyusunan dan pengumuman daftar pemilih sementara, perbaikan dan pengumuman daftar pemilih tetap, dan rekapitulasi daftar pemilih tetap yang merugikan Warga Negara Indonesia yang memiliki hak pilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan denda paling sedikit Rp 6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).



Tawaran Solusi.
Pemaksaan Golput karena tidak tercantumnya Warga Negara dalam DPT pada hakikatnya tidak dikehendaki oleh warga negara yang berniat untuk menggunakan hak pilihnya. Pemaksaan itu jelas karena keteledoran dari pemerintah, terutama KPU/D yang tidak melakukan pemutakhiran DPT, padahal sarana untuk itu telah disediakan melalui anggaran negara. Oleh sebab itulah solusi agar hasil pemilu 2009 mengandung legitimasi yang kuat, dapat dilakukan antara lain:
a. Diselenggarakan Pemilu khusus bagi warga negara yang namanya tidak tercantum dalam DPT;
b. Bawaslu dan/atau Panwaslu segera melakukan investigasi sebagaimana diperintahkan oleh Pasal 49 UU No. 10 Tahun 2008;
c. Jika ternyata KPU/D tidak mengindahkan hasil investigasi Bawaslu dan/atau Panwaslu, maka warga negara dapat segera menuntut KPU/D berdasarkan Pasal 262 sampai dengan Pasal 264 UU No. 10 Tahun 2008. Tuntutan ini dapat dilakukan oleh Warga negara baik sendiri-sendiri maupun berkelompok;
d. Laporkan pemerintah dan/atau KPU/D kepada Komnas HAM, atas adanya indikasi pelanggaran HAM; dan
e. Mintakan Pemeriksaan hasil Pemilu kepada Mahkamah Konstitusi, karena lembaga inilah yang berwenang untuk memeriksa dan mengadili sengketa Pemilu.
Dalam sejarah Pemilu di Indonesia, Pemilu 2009 adalah pemilu yang tercatat paling amburadul. Masih mending pemilu di jaman Orde Baru, walaupun kecurangan pada jaman ini juga terjadi. Amburadulnya pelaksanaan pemilu 2009 mulai terasa ketika penentuan cara pemungutan suara dengan mencontreng (mencentang) bukan mencoblos. Semakin amburadul ketika Mahkamah Konstitusi memutuskan Caleg yang memperoleh suara terbanyak di masing-masing partai yang memperoleh suara berdasarkan imbangan suara diputuskan menjadi anggota parlemen.
Cara semacam ini tidak akan mengalami kendala bahkan ada dinilai positifnya jikalau masyarakat sejak semula sudah mengetahui caleg-caleg tersebut melalui konvensi atau fit and propertest secara terbuka di masing-masing parpol. Namun celakanya ketika pemungutan suara dilaksanakan, masyarakat hanya disodori nama-nama caleg (tanpa foto) di kartu suara. Akibatnya masyarakat pemilih khususnya yang buta aksara menjadi terkendala untuk menentukan pilihannya. Model seperti ini juga melanggar hak asasi manusia, karena nuansa diskriminasi sangat kental. Akibat lanjutan dari hal ini, banyak masyarakat pemilih terutama yang buta aksara terpaksa meminta bantuan orang lain atau asal mencontreng dalam melaksanakan hak pilihnya, walaupun dalam UU No. 10 Tahun 2008 memang diperkenankan. Asas rahasia menjadi disimpangi walau diperbolehkan.
Menyimak sistem pemilu 2009 tersebut, maka saya berpendapat bahwa dengan sistem seperti itu, nuansa eksperimentasi demokrasi prosedural sangat kental, dan rakyat sebagai pemegang kedaulatan justru tidak ubahnya kelinci percobaan kaum elit dalam menata kehidupan demokrasi. Rakyat tidak ubahnya preparat eksperimen yang hanya pasrah dibedah oleh pisau-pisau kepentingan politik kaum elit. Kasihan ya.
Demikianlah gambaran singkat tentang permasalahan pemilu 2009 dan sedikit solusi untuk mengatasi persoalan yang ditimbulkan. Bertitik tolak dari solusi tersebut, maka dalam rangka proses pembelajaran menuju konsolidasi (penguatan/pemantapan) demokrasi sekaligus memperkuat komitmen penegakan hukum, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) harus menjadi sarana untuk mengawal solusi tersebut. Artinya LBH harus berupaya untuk mendorong penyelesaian permasalahan pemilu 2009 ini sampai tuntas.
Akhir kata, semoga tulisan ini bermanfaat bagi langkah di masa yang akan datang dalam membangun budaya demokrasi yang lebih mantap.

Kotagede, Hari Kartini 2009.
B. Hestu Cipto Handoyo

KETERANGAN AHLI UJI MATERI UU KOPERASI

KONSEKUENSI MAKNA KETENTUAN UMUM PASAL 1 ANGKA 1 UU NO. 17 TAHUN 2012 TERHADAP PRINSIP DAN ASAS KOPERASI Oleh: Dr. Benediktus H...