DEMOKRASI PARA BANDIT
Perjalanan demokrasi Indonesia setelah gerakan reformasi 1998 sungguh luar biasa dahsyatnya. Hampir seluruh relung-relung kehidupan politik negeri ini diwarnai dengan demokratisasi. Namun demikian sungguh sayang, demokrasi yang dibangun di negeri ini masih sebatas pada demokrasi prosedural dengan pendekatan kompetitif mayoritas dan minoritas. Budaya demokrasi yang dibarengi dengan penegakan hukum justru masih tetap jalan di tempat, bahkan kalau boleh mengatakan mundur jauh kebelakang dan lebih parah ketimbang rezim Orde Baru berkuasa.
Jika membandingkan perkembangan demokrasi belahan dunia lain, khususnya Eropa Barat, perkembangan demokrasi Indonesia justru mengalami keterbalikan paradigmatik terutama ditinjau dari kebangkitan ekonomi. Di Eropa Barat perkembangan demokrasi berbanding lurus dengan pertumbuhan ekonomi, karena terjadi revolusi industri. Dengan adanya revolusi industri inilah, muncul golongan menengah yang memiliki kekuatan di bidang ekonomi dan modal kapital yang besar. Oleh karena itu golongan menengah ini kemudian berupaya masuk ke dalam sistem politik untuk ikut berperan dalam pengambilan kebijakan-kebujakan politik.
Masuknya Golongan menengah inilah yang kemudian mendominasi kekuatan infra dan supra struktur politik negara dengan tujuan mengamankan asset-asset ekonomi dan modal kapital yang dimiliki agar tetap terselamatkan melalui keterlibatan mereka dalam pengambilan keputusan politik. Oleh sebab itu, menurut penganut Marxisme demokrasi yang tumbuh subur di Eropa Barat sejatinya adalah kemenangan kaum borjuis, sementara kaum proletar tetap tertindas.
Kondisi perkembangan demokrasi yang seperti ini justru tidak terjadi di Indonesia, karena kebangkitan pilar-pilar demokrasi Indonesia justru disebabkan oleh keruntuhan ekonomi dan krisis multidimensional yang pada akhirnya memicu gerakan reformasi 1998. Dengan demikian, kalau di Eropa Barat kemunculan para elit politik yang berasal dari golongan menengah di lingkungan infra dan supra politik bertujuan mengamankan asset-asset yang dimiliki, sedangkan di Indonesia justru kemunculan elit-elit politik itu hanya menjadikan infra dan supra politik sebagai alat yang bersifat ekonomis untuk mendatangkan keuntungan.
Oleh karena itu disetiap kompetisi perebutan kekuasaan, utamanya di lingkungan eksekutif maupun legislatif, yang mempergunakan mekanisme demokrasi prosedural, akan dipenuhi dengan nuansa transaksional, sehingga demokrasi prosedural berubah watak menjadi demokrasi transaksional. Demokrasi macam inilah yang dalam perkembangannya memunculkan model demokrasi para bandit.
Kompas 18-11-2011 mengemukakan bahwa dari 33 Gubernur, 17 diantaranya tersangkut masalah hukum. Ini berarti separo Provinsi di Indonesia memiliki Kepala Daerah yang tidak bersih dari persoalan hukum. Pertanyaannya adalah persoalan hukum apakah itu? Jawaban yang bersifat hipotetis adalah perkara korupsi. Hal ini merupakan salah satu indikasi dari berbagai indikasi bahwa demokrasi transaksional telah memunculkan para bandit yang memperoleh ruang-ruang kekuasaan untuk memperkaya diri sendiri atau kelompok. Di sinilah yang pada akhirnya menumbuhsuburkan mafia hukum disegala bidang.