Mengenai Saya

Foto saya
Yogyakarta, DIY, Indonesia
Dr. Benediktus Hestu Cipto Handoyo, S.H.,M.Hum atau sering dipanggil Ben atau Hestu, lahir di Blora Jawa Tengah pada tanggal 3 Juli 1962. Suami dari Maria Bernadeth Maitimo, SH dan bapak dari dua anak Giovanni Battista Maheswara, S.H.,M.H dan Alexandro Kevin Maheswara, S.H. ini, menyelesaikan pendidikan di SD. Katolik Kridadharma Blora tahun 1974. Kemudian melanjutkan di SMP Negeri I Blora lulus tahun 1978, serta SMA Jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) di SMA Katolik Wijayakusuma Blora, lulus tahun 1981. Jenjang Pendidikan Tinggi ditempuh di Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta, dan Lulus Sarjana Hukum pada tahun 1988. Melanjutkan studi pada Program Pascasarjana (S2) Universitas Padjadjaran Bandung lulus dan memperoleh gelar Magister Humaniora (M.Hum) pada tahun 1995. Pada tanggal 20 Desember 1997 sampai dengan 4 Maret 1998 mendapatkan kesempatan mengikuti kursus di LEMHANNAS (Lembaga Pertahanan dan Keamanan Nasional) Jakarta. Kemudian pada tahun 2018 Lulus pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Katolik Parahyangan Bandung

Jumat, 29 April 2011

MEMORI JABATAN

MEMORI JABATAN


WAKIL REKTOR III UNIVERSITAS ATMA JAYA YOGYAKARTA
MASA PELAKSANAAN TUGAS TAHUN 2009-2011


“Lebih baik mengerjakan yang sisa daripada
mengerjakan semua tapi tidak tuntas”

Oleh:
B. Hestu Cipto Handoyo, SH.,M.Hum.


Jangan anggap remeh si manusia;
Yang kelihatannya begitu sederhana, biar pengelihatanmu setajam mata elang;
Pikiranmu setajam pisau cukur, perabaanmu lebih peka daripada dewa;
Pendengaranmu dapat menangkap musik dan ratap tangis kehidupan;
Pengetahuanmu tentang manusia
takkan bakal bisa kemput
(Pramoedya Ananta Toer : Bumi Manusia)


A. Pendahuluan.
Untuk mengawali penyusunan memori jabatan ini, perkenankanlah saya menyampaikan bahwa memori jabatan ini semata-mata bersumber dari daya ingat saya selama 2 (dua) tahun dalam melaksanakan tugas, kewajiban, dan tanggungjawab sebagai Wakil Rektor III. Oleh sebab itu jikalau dalam keseluruhan memori jabatan ini ada hal-hal yang belum lengkap tersampaikan, maka hal itu semata-mata hanya karena keterbatasan memori (daya ingat) saya selaku manusia yang tidak mungkin sempurna.
Belum genap 4 (empat) tahun memangku jabatan Dekan Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY) periode tahun 2006-2009, Rektor UAJY pada saat itu Prof. Dr. Dibyo Prabowo, MSc (Alm), meminta saya untuk memangku jawaban Wakil Rektor III UAJY. Permintaan ini saya ketahui bertepatan dengan diadakannya Rapat Senat Akademik Universitas (SAU) dalam rangka memberikan pertimbangan atas usulan calon-calon Wakil Rektor III yang diajukan oleh Rektor. Sebuah cara yang unik dan terkesan tidak memberikan pilihan kepada saya untuk melakukan penolakan, dan itulah gaya kepemimpinan yang khas dari Prof. Dibyo Prabowo (Alm) yang saya kagumi sejak beliau diangkat menjadi Rektor UAJY.
Keberadaan Wakil Rektor III dalam struktur Pimpinan Universitas memang pernah ditiadakan berdasarkan Statuta UAJY tahun 2006. Oleh karena statuta tahun 2006 diubah dengan Statuta 2009 yang memunculkan kembali keberadaan Wakil Rektor III dalam struktur Pimpinan Universitas, maka berdasarkan ketentuan Pasal 30 ayat (4) Statuta UAJY tahun 2009, Rektor mengajukan permohonan pertimbangan 3 (tiga) calon Wakil Rektor III kepada SAU yang salah satunya saya. Kemudian dalam pertimbangan yang diberikan SAU, saya diputuskan untuk diusulkan kepada Yayasan Slamet Riyadi Yogyakarta sebagai Wakil Rektor III.
Dalam sejarah organisasi UAJY khususnya Fakultas Hukum Universitas UAJY mungkin baru kali ini seorang Dekan tidak dapat menuntaskan masa jabatannya sampai akhir, karena mendapat tugas dari Rektor untuk memangku jabatan sebagai Wakil Rektor III. Sejujurnya saya tidak mengetahui apa yang menjadi alasan Prof. Dr. Dibyo Prabowo, MSc (Alm) mengajukan saya sebagai salah satu calon untuk mendampingi beliau sebagai Wakil Rektor III yang membidangi Kemahasiswaan, Alumni,dan Kerja sama. Hanya satu kata yang saya ketahui pada saat beliau menyampaikan di depan SAU tentang alasan mengapa salah satu calonnya adalah saya. Beliau menyampaikan: “Saya memilih salah satu calonnya adalah sdr. Hestu yang sekarang masih Dekan FH-UAJY, karena orangnya braok” (Bhs Indonesia: suaranya keras dan terkesan urakan). Bagi saya pribadi, sebutan braok tersebut justru menunjukkan adanya kelugasan dari Prof. Dr. Dibyo Prabowo, MSc (Alm) dalam menilai seseorang. Tanpa tedeng aling-aling, tanpa mempergunakan bahasa retorika. Inilah yang menyebabkan saya semakin menaruh hormat kepada beliau, sehingga sulit bagi saya untuk menolak permintaan beliau.
Dengan adanya peristiwa tersebut tentu dikalangan sivitas akademika FH-UAJY muncul pandangan yang pro dan kontra. Bagi pihak yang pro memiliki argumentasi bahwa saya sebagai Dekan memperoleh tugas dan tanggung jawab yang lebih besar dan dapat menjadi sarana representasi dari FH-UAJY di tingkat Universitas. Jika saya tidak bersedia mengemban tugas dan tanggung jawab tersebut, dengan alasan masih tetap ingin meneruskan masa jabatannya sebagai Dekan yang tinggal 1 (satu) tahun, maka akan diragukan loyalitasnya pada Universitas karena menolak dan tidak menghormati hak prerogatif Rektor, serta berbagai argumentasi-argumentasi lainnya.
Sedangkan bagi pihak yang kontra berpendapat bahwa saya hanya berorientasi kepada jabatan yang lebih tinggi, tidak bertanggung jawab, tidak konsisten dengan visi dan misi yang dulu pernah disampaikan di awal pencalonan saya sebagai Dekan, ninggal glanggang colong playu (istilah dalam budaya Jawa) dan argumentasi-argumentasi lain.
Bagi saya pribadi kedua pandangan tersebut sama-sama memiliki argumentasi yang masuk akal dan dapat dibenarkan. Tergantung darimana sang pemberi argumentasi itu melihat. Dilema posisi yang demikian ini menimbulkan beban yang cukup berat bagi saya, karena bagaimanapun juga posisi jabatan apapun, baik di tingkat Fakultas maupun di tingkat Universitas, sama-sama penting demi tugas dan tanggung jawab untuk mengembangkan kemajuan Universitas dan Fakultas.
Bagi saya, baik sebagai karyawan maupun pribadi yang dibesarkan oleh Universitas Atma Jaya Yogyakarta, loyalitas, tanggung jawab dan komitmen untuk mengemban tugas dimanapun tempatnya merupakan prinsip dasar yang harus dilakukan. Hal ini sekaligus juga merupakan bentuk konkrit kecintaan kepada Universitas sebagai almamater (ibu kandung). Kendati alasan semacam ini memang dinilai bernada klise, euphimisme, hanya mencari alasan pembenar dan tidak berdasar, namun apapun resiko dari pilihan atau tidak diberi kesempatan untuk memilih, keputusan sudah dijatuhkan, dan saya harus tunduk kepada keputusan tersebut. “Terjadilah padaku menurut kehendakMu”.
Bertitik tolak dari gambaran tersebut di atas, memori jabatan ini sengaja diberi judul “Lebih baik mengerjakan yang sisa daripada mengerjakan semua tapi tidak tuntas”. Pemberian judul tersebut mengandung dua alasan: Pertama; memori jabatan ini adalah memori jabatan yang disusun berdasarkan masa pelaksanaan tugas 2 (dua) tahun sebagai Wakil Rektor III yang sebelumnya diemban oleh Pejabat Kemahasiswaan, Alumni, dan Kerjasama. Selama satu tahun pejabat ini telah melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya dan telah pula dilaporkan dalam memori jabatan ketika berlangsung upacara pelantikan dan serah terima jabatan.
Kedua; Lebih baik mengerjakan yang sisa daripada mengerjakan semua tapi tidak tuntas, merupakan sebuah kalimat untuk mengungkapkan bahwa seorang pejabat yang mengemban amanah haruslah menyelesaikan amanah tersebut sampai tuntas, tidak terputus di tengah jalan serta wajib untuk bertanggungjawab jika ada permasalahan yang dihadapi. Kendati tugas tersebut hanya melanjutkan tugas yang telah dilaksanakan oleh pejabat sebelumnya. Pendek kata, tidaklah pantas jikalau saya tidak melanjutkan pekerjaan yang tersisa dari pejabat lama, bahkan malah menciptakan pekerjaan baru yang justru tidak tuntas saya selesaikan.
Tugas dan tanggungjawab sudah diberikan, program-program kerja sudah menanti untuk segera dilaksanakan guna mengejar ketertinggalan sebagai akibat tidak adanya Wakil Rektor III karena amanat Statuta 2006. Oleh sebab itulah, begitu saya dilantik menjadi Wakil Rektor III, secara seksama saya mempelajari memori jabatan Pejabat Kemahasiswaan. Alumni, dan Kerjasama untuk kemudian saya susun kerangka program kerja lanjutan yang belum sempat diselesaikan oleh pejabat lama.
Berdasarkan memori jabatan Pejabat Kemahasiswaan, Alumni, dan Kerjasama ada 4 (empat) Program kerja bidang kemahasiswaan, alumni, dan kerja sama yang belum terselesaikan, yaitu:
1. Belum selesainya kerjasama dengan pihak external yang menyangkut kontrak kerja pembuatan baliho penunjuk jalan menuju Kampus Universitas Atma Jaya Yogyakarta;
2. Penyelenggaraan Kejuaraan Tae Kwon Do Internasional yang sebenarnya merupakan harapan dari Prof. Dr. Dibyo Prabowo (Alm);
3. Pelacakan alumni dan pelibatannya dalam promosi dan pemerimaan mahasiswa baru di daerah-daerah para alumni UAJY berada; dan
4. Penyusunan dan penerapan Sistem Partisipasi Aktifitas Mahasiswa Atma Jaya Yogyakarta (SPAMA) sebagai sarana untuk mengembangkan pendidikan soft skill bagi para mahasiswa UAJY.
Bersumber dari 4 (empat) program kerja tersebut, maka saya mulai mencoba melaksanakan satu persatu dengan target satu tahun pelaksanaan tugas dapat terselesaikan semua dan saya lanjutkan menyusun program-program kerja baru berdasarkan ide dan gagasan saya sendiri. Namun demikian ternyata diantara empat program tersebut ada satu yang sampai detik ini belum mampu saya selesaikan dengan baik, yaitu pelacakan alumni dan pelibatannya dalam promosi dan pemerimaan mahasiswa baru di daerah-daerah para alumni UAJY berada.

B. Tahun Pertama Masa Jabatan: Penyelesaian Program Kerja yang Tersisa.
Tema besar yang menjadi titik tolak saya ketika bersedia memangku jabatan Wakil Rektor III adalah “Menyelesaikan sisa program peninggalan agar tidak menjadi duri dalam daging kinerja kolektif pimpinan UAJY”. Tema besar seperti ini dilandasi oleh alasan, bahwa perkembangan UAJY di bawah kepemimpinan Prof. Dr. Dibyo Prabowo (Alm) menunjukkan kemajuan yang cukup signifikan, kendati pada saat itu UAJY sedang dilanda krisis keuangan akibat “salah urus” yang dilakukan oleh Pengurus Harian Yayasan Slamet Riyadi saat itu. Secara terus terang dan siap menghadapi resiko apapun saya berani mengatakan “salah urus”, karena kenyataan memang demikian adanya, hingga Yayasan kehilangan dana sebesar Rp 16,6 Milyar (Kasus Antaboga/Bank Century).
Keberhasilan UAJY di bawah kepemimpinan Prof. Dr. Dibyo Prabowo (Alm) antara lain: dibangunnya gedung Perpustakaan Pusat, beberapa program studi memperoleh akreditasi A dan sertifikasi ISO 9001 tahun 2000, UAJY diakui oleh Kementerian Pendidikan Nasional sebagai salah satu dari 50 (lima puluh) Promosing University di Indonesia. Keberhasilan-keberhasilan inilah yang tentunya harus tetap dipertahankan dan dilanjutkan oleh siapapun yang menjadi bagian dari keluarga besar UAJY.
Bertitik tolak tema besar tersebut di atas, maka kerja-kerja untuk melaksanakan program yang masih tersisa atau belum sempat diselesaikan oleh pejabat lama, adalah:
1. Menyelesaikan kontrak kerja dengan pihak external tentang pemasangan baliho penunjuk jalan menuju kampus UAJY Babarsari. Kontrak kerja yang dilakukan ternyata bermasalah karena tidak pernah ada MoU secara terulis, oleh sebab itu saya memutuskan untuk membatalkan kontrak tersebut, karena memang mekanismenya tidak sesuai kelaziman.
2. Mempersiapkan dan menyelenggarakan Kejuaraan Internasional Tae Kwon Do dan telah berhasil dengan baik, walaupun dalam hal anggaran kegiatan ini sungguh luar biasa besar. UAJY memberikan bantuan anggaran sebesar Rp. 100 Juta, sisanya diperoleh dari pihak sponsor. Kegiatan ini merupakan kejuaran internasional Tae Kwon Do yang pertama kali dilakukan di Yogyakarta.
3. Melakukan penelusuran dan pelibatan Alumni UAJY dalam promosi dan pendaftaran mahasiswa. Kegiatan untuk melaksanakan program ini dilakukan dengan mengadakan kunjungan ke Alumni di Bali dan NTT. Dalam kunjungan tersebut ternyata alumni yang berada di Bali bersedia membantu dan menyediakan sekretariat, namun kesemuanya itu tidak dapat saya respons dengan positif, karena alumni UAJY yang berada di Bali mengajukan anggaran sebesar Rp. 125 Juta untuk biaya operasional sekretariat. Sedangkan saat mengunjungi Alumni di NTT tepatnya di Maumere, pihak alumni dapat membantu dan telah membentuk sekretariat penerimaan mahasiswa baru di kantor Notaris sdr Grave (Alumni FH-UAJY).
4. Merancang dan menyusun Sistem Partisipasi Aktifitas Mahasiswa Atma Jaya Yogyakarta (SPAMA). Kegiatan penyusunan sistem ini dilatar belakangi oleh kebutuhan akan pengembangan soft skill yang terintegrasi dengan pengembangan hard skill. Program ini terselesaikan menjelang akhir masa jabatan Wakil Rektor III dan saat ini sudah mendapat Surat Keputusan Raktor.
Di samping 4 (empat) program kerja sisa yang harus tuntas dalam waktu satu tahun pelaksanaan tugas, ada beberapa aktifitas yang tidak terprogramkan, namun harus tetap dilaksanakan, karena terkait dengan institusi eksternal, yaitu:
1. UAJY ditunjuk sebagai salah satu rayon pembina kegiatan Pendidikan Wirausaha Mahasiswa yang dikembangkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan. Kegiatan ini kemudian didelegasikan pelaksanaannya oleh Wakil Rektor III kepada PUSWIRA UAJY (Pusat Studi Kewirausahaan) dan sampai saat ini masih tetap berlangsung serta progres reportnya cukup bagus
2. Mempersiapkan data prestasi olahraga untuk menngikuti kompetisi Kampus Berprestasi Olahraga (KBO) yang diselenggarakan oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga. Setelah dilakukan visitasi oleh pihak Kementerian Pemuda dan Olahraga dan proses penilaian panjang, maka pada tahun 2009 UAJY dinobatkan sebagai KAMPUS BERPRESTASI OLAH RAGA Ranking II Nasional.
3. Pemberian beasiswa kepada semua Ketua Lembaga Mahasiswa dan UKM. Progam ini dimaksudkan untuk memberikan reward Ketua Lembaga Mahasiswa dan UKM atas kesediaannya mengelola Lembaga Mahasiswa dan UKM. Syarat perolehan beasiswa adalah indeks prestasi yang bersangkutan minimal 2,75. Program ini sudah berjalan sampai dengan sekarang.
4. Pencarian dana-dana beasiswa dari pihak external dengan memanfaatkan CSR yang ada di perusahaan-perusahaan besar. Sampai memori jabatan ini dibuat, dana-dana beasiswa diperoleh dari:
a. PT. Vivere yang memberikan beasiswa tambahan bagi 5 (lima) mahasiswa PSSB yang meliputi living cost dan uang buku;
b. Pada tahun 2009 Bank Mandiri memberikan dana sebesar Rp 120 juta kepada mahasiswa UAJY dalam upaya membentuk Wirausaha Mandiri;
c. PT. Jarum, Astra, Toyota; dan
d. Beasiswa yang berasal dari pemerintah melalui program Beasiswa BBM.
Terkait dengan beasiswa-beasiswa ini, ada rencana kelompok alumni FH-UAJY angkatan tahun 1986 sedang menggalang dana untuk membantu mahasiswa FH-UAJY yang membutuhkan dan memiliki indeks prestasi sesuai persyaratan yang berlaku. Persiapan untuk mewujudkan program ini terus dilakukan oleh kelompok alumni tersebut, dan sangat kebetulan secara pribadi saya diminta oleh kelompok alumni yang dimaksud sebagai “Sesepuh”.

C. Membina dan Mendamping Mahasiswa UAJY yang Unggul, Inklusif, Humanis.
Secara umum pembinaan dan pendampingan mahasiswa UAJY dilakukan dalam 3 (tiga) lapisan aktifitas, yaitu:
1. Lapisan pertama pembinaan dan pendampingan kemahasiswaan diwujudkan melalui program kerja dengan mempergunakan kata kunci “Pengenalan atau adaptasi”. Pembinaan dan pendampingan pada lapisan ini dilakukan melalui proses pengenalan bagi mahasiswa baru terhadap seluruh sistem pendidikan di UAJY termasuk di dalamnya pengenalan seluruh aktifitas kemahasiswaan. Pelaksanaan program-program pada lapisan pertama ini diawali dengan kegiatan Inisiasi baik di tingkat Universitas maupun Fakultas, kemudian dilanjutkan dengan berbagai pendampingan yang dilakukan baik oleh mahasiswa senior melalui program asistensi maupun yang dilakukan oleh Kantor Kemahasiswaan, Alumni dan Campus Ministry (KKACM) melalui latihan kepemimpinan dan pengembangan karakter.
2. Lapisan kedua pembinaan dan pendampingan kemahasiswaan diwujudkan melalui program kerja dengan mempergunakan kata kunci “Prestasi”. Untuk melaksanakan seluruh program kerja yang membergunakan paradigma prestasi, maka pihak Universitas khusunya Fungsi III melakukan langkah-langkah pembinaan minat/bakat dan penalaran kepada mahasiswa dengan mengembangkan potensi yang ada, agar mereka menjadi manusia-manusia yang berprestasi sesuai dengan bidang dan aktifitas yang telah dipilih, baik melalui UKM atau Unit-unit lembaga kemahasiswaan yang ada. Dari catatan saya selaku Wakil Rektor III, ada beberapa prestasi yang cukup membanggakan, antara lain:
a. UKM Tae Kwon Do UAJY tetap menduduki posisi elit di jajaran Tae Kwon Do baik nasional maupun internasional;
b. Tim Basket Putra UAJY selalu menduduki posisi elit di Jateng-DIY dalam berbagai kejuaraan antar mahasiswa. Bahkan di tingkat Nasional Tim Putra masuk 4 besar nasional.
c. Tahun pertama menjabat sebagai Wakil Rektor III, kelompok Program Kreativitas Mahasiswa dari Fakultas Tekno Biologi dan Fakultas Ekonomi berhasil mengikuti Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS) yang diselenggarakan oleh Universitas Mahasaraswati Denpasar-Bali.
d. Prestasi mahasiswa di bidang penalaran semakin menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan, karena telah meloloskan 32 (tiga puluh dua) proposal PKM yang dibiayai oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional. Hal ini mengakibatkan ranking UAJY meningkat menjadi 30 besar Universitas di Indonesia yang berhasil meloloskan proposal.
3. Lapisan ketiga pembinaan dan pendampingan kemahasiswaan diwujudkan melalui program kerja dengan mempergunakan kata kunci “pembinaan karier”. Untuk mengimplementasikan kata kunci ini, maka aktifitas kegiatan diarahkan dengan memberikan fasilitas bagi mahasiswa UAJY semester akhir atau sedang menyusun skripsi dalam mempersiapkan diri untuk mencari atau membuka peluang kerja yang dicita-citakan. Dalam kegiatan ini yang baru dapat dilaksanakan oleh KKACM adalah melaksanakan Job Fair minimal dua kali dalam setiap tahunnya.
Kerangka pembinaan dan pendampingan mahasiswa UAJY tersebut di atas sebagian besar dilakukan di masing-masing Fakultas, sementara pihak Wakil Rektor III hanya memfasilitas dan menyusun kerangka strategis yang diterjemahkan dalam kisi-kisi program kerja setiap tahunnya. Harus diakui bahwa berdasarkan pengalaman dua tahun ini Wakil Rektor III tidak pernah memiliki program kerja tersendiri, karena semuanya sudah disusun oleh KKACM dan perangkat pendukung lainnya.
Di samping itu, karena Wakil Rektor III juga mempunyai tugas untuk melaksanakan kerjasama institusional maka beban yang terakhir inipun sampai sekarang masih belum dapat dijalankan dengan optimal. Untungnya ada perangkat pendukung yakni Kantor Kerjasama dan Promosi. Oleh sebab itu ke depan perlu dipikirkan untuk meningkatkan status Kantor Kerjasama dan Promosi menjadi Wakil Rektor IV, karena bagaimanapun persoalan kerjasama dan promosi harus dilaksanakan secara konsisten dan menyeluruh. Tidak hanya sekedar digabungkan dengan Kemahasiswaan dan Alumni.

D. Catatan Akhir: Kegagalan adalah awal keberhasilan.
Dihadapan sivitas akademika UAJY harus saya sampaikan bahwa dengan tersusunnya memori jabatan yang amat sangat tidak sempurna ini, maka tugas, kewajiban dan tanggung jawab saya selaku Wakil Rektor III tentu saya tinggalkan. Masih banyak program kerja dan aktifitas maupun persoalan yang belum terselesaikan secara tuntas. Untuk itulah dengan kesadaran pribadi dan tanpa paksaan dari siapapun juga, saya menyatakan bahwa semua daya dan upaya yang telah saya lakukan belum dapat dikatakan berhasil. Karena memang selama 2 (dua) tahun memangku jabatan Wakil Rektor III UAJY saya tidak memiliki program yang patut dibanggakan dan dilaksanakan dengan gilang-gemilang. Saya hanya menuruskan seluruh program kerja pejabat terdahulu. Bahkan kegagalan yang paling mencolok yang saya lakukan adalah seringnya saya meninggalkan kantor dan tugas, karena ada tugas lain. Untuk itu dalam kesempatan ini saya mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Mungkin masih banyak kekurangan yang belum tercatat di dalam memori jabatan ini, karena memang begitu banyak kekurangan yang melingkupi pelaksanaan tugas dan tanggungjawab yang selama ini saya emban. Untuk itu secara terbuka saya siap menerima kritik dan saran dari seluruh sivitas akademika UAJY. Dalam kesempatan ini, saya juga ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:
1. Prof. Dr. Dibyo Prabowo, Msc (Alm) dengan gaya kepemimpinannya yang khas telah memberikan kesempatan kepada saya untuk membantu dalam mengembangkan almamater yang sangat saya cintai ini. “Pak Dib karena panjenenganlah saya sempat menjadi akademisi yang produktif. Panjenenganlah yang selalu mengolok-olok saya, namun olok-olok itu justru menjadi pemicu semangat saya. Namun Pak, mengapa engkau cepat meninggalkan kami, khususnya saya yang saat itu baru semangat-semangatnya mengabdi. Pak Dib, terima kasih atas bimbingannya, Saya berharap semoga UAJY muncul “Pak Dib-pak Dib” lain dimasa yang akan datang.
2. Bpk. Kosemargono Phd, mantan Rektor, atas bimbingan dan kesebarannya mendampingi saya yang berkarakter meledak-ledak dan terkadang sulit dikontrol. Pak Koes panjenengan berhasil memahami karakter saya dan dari situlah panjenengan mampu mengendalikan saya, sehingga saya bisa menyelesaikan semua tugas dan tanggung jawab yang dibebankan kepada saya. Terima Kasih pak Koes.
3. Bpk. Prof. Dr. Yoyong mantan Wakil Rektor I yang dengan karakter diamnya justru memperkuat keyakinan saya untuk menyelesaikan seluruh pekerjaan hingga tuntas, walau hasilnya belum dapat dibanggakan. Pak Yoyong matur nuwun ya, kerja sama kita dalam diam dan sering hanya berkomunikasi dengan sorot mata penuh arti sangat indah sekali. Bahkan kadang lucu karena mampu mentertawakan diri sendiri. Saya kok yakin bahwa setiap orang yang mampu mentertawakan diri sendiri, dia tidak akan mentertawakan orang lain.
4. Bpk Luddy mantan Wakil Rektor II yang selalu memberikan koreksi-koreksi terhadap kebijakan yang saya keluarkan di bidang keuangan. Pak Luddy harus saya akui untuk mengatur masalah keuangan saya memang tidak memiliki talenta, namun karena panjenengan, paling tidak saya mulai bisa melakukan pembenahan sedikit demi sedikit masalah keuangan yang melingkupi aktifitas kemahasiswaan.
5. Ibu Suryanti selaku Kepala KKACM beserta staff, yang telah membantu tanpa kenal lelah dalam membina dan mendampingi kegiatan kemahasiswaan UAJY.
6. Pak Andre selaku Kepala Kantor Humas, Sekretariat, dan Protokoler yang selalu mengingatkan jadwal agenda acara berikut segala hal yang perlu dipersiapkan, sehingga seluruh acara yang sering saya ikuti dapat berjalan dengan lancar.
7. Mbak Nastiti, Mbak Maya, Mbak Lina, dan Mbak Arin selaku sekretaris Rektorat, yang telah banyak membantu saya dalam bidang administrasi surat menyurat, mengingatkan semua agenda yang harus saya lakukan. Mbak-mbak semua tanpa panjenengan, saya pasti kebingungan seperti layaknya orang buta yang jalan di hutan belantara.
8. Mas Wardi selaku OB (Office Boy) yang selalu menyediakan berbagai “ubo rampe” ketika saya membutuhkan. Matur nuwun ya Mas Wardi Gusti pasti memberikan berkah yang melimpah kepada panjenengan sekeluarga.
9. Mas Agus (Driver Rektorat) yang tanpa mengeluh selalu bersedia menghantar saya kemanapun saya bertugas. Mas Agus sekarang ngga perlu lagi antar jemput lagi ya, tarima kasih atas kerjasamanya.
10. Semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu. Terima kasih atas kerjasama dan penerimaan Bpk/ibu/sdr terhadap saya selama berada di rektorat.
Demikianlah memori jabatan ini saya susun dengan harapan agar dapat dipergunakan sebagai bahan masukan bagi Wakil Rektor III yang baru
Perkenankanlah dalam kesempatan ini saya mengutip dialog antara Senapati Wiranggaleng dengan para prajurit Tuban dalam eposide terakhir novel Arus Balik karya Pramoedya Ananta Toer.
”Dengarkan” perintah Senapati.
”Telah aku buktikan masa mudaku dan tenagaku dan kesetiaanku. Biarpun hanya secauk pasir untuk ikut membendung arus balik dari utara. Arus balik itu ternyata tak dapat dibendung. Kekuatan itu ada pada Trenggono, dan Sultan Demak itu tidak bisa diyakinkan untuk menggunakannya. Arus tetap datang dari utara, yang selatan tetap tertindih. Ya, Dewa Batara, Kau tak beri aku kekuatan untuk menyadarkan raja dan sultan sehingga terjadi gelombang raksasa, bukan sekedar yang mendesak arus balik dari utara, bukan saja untuk jaman kemerosotan ini, juga kelangsungannya untuk selama-lamanya”.
”Gadjah Mada, anak desa itu telah berhasil. Ia gerakkan tangannya dan semua jadilah yang dipegangnya, semua bangun yang disentuhnya. Pergilah dia, pergi untuk selama-lamanya, meninggalkan kebesaran dan arus besar yang mengimbak-imbak megah berpendaran damai ke utara. Aku bukan Gadjah Mada. Tiada sesuatu hasil apalagi kebesaran kutinggalkan kecuali kesakitan dan kekecewaan dalam diri dan terhadap diri sendiri”.
”Jaman Gadjah Mada, jaman anak desa dapat mengedepankan pendapatnya pada Kaisar, telah lewat. Kita tak pernah lagi punya Kaisar selama ini. Raja-raja semakin kecil dan anak-anak desa jadi lebih kecil lagi”
”Aku menyadari tak ada kemampuan membendung arus utara, arus balik yang semakin besar juga ini. Maka akulah orang yang paling menderita karena kesadaran ini. Jaman bukan hanya tak membantu, bahkan melawan kita. Itu sebabnya akan kutinggalkan kepada kalian, dan semua kuserahkan kepada kalian”.
”Senapati” Banteng Wareng menyela.
”Aku sadar tak ada kemampuan untuk pekerjaan besar itu. Aku tak ada kemampuan mempersatukan raja-raja dan para sultan. Itu sebabnya akan kutinggalkan kalian, dan semua kuserahkan pada kalian. Setelah ini kalian harus atur dan urus semua tanpa aku. Jangan berduka cita, karena surya enggan memancarkan rahmatnya pada yang berduka cita”
Wiranggaleng melepas bungkusan di punggung dan meletakkan di hadapannya. Semua mata mengawasi bungkusan itu.
”Lihatlah ini, katanya lagi dan membuka bungkusan, dan meletakkan isinya satu persatu di atas destar. Kala Cuwil, cincin, kalung, destar, kain, ikat pinggang, tilam, semua bertanda kupu-tarung. Hanya kasut tidak ada, hilang karena keteledoran pembawanya. Nah ini gelang, kemudian Senapati menarik keris dari pinggang, dan ini keris bersarung dan berbulu emas dengan kupu-tarung pula. Kalian tahu lambang siapa ini. Jangan pegang. Lihat saja baik-baik”.
Dan semua menjalankan apa yang diperintahkan.
”Kutinggalkan dan kuserahkan semua ini pada kalian – peninggalan Gusti Kanjeng Adipati Unus, melalui Gusti Ratu Aisah, melalui Pada alias Mohammad Firman, melalui aku, Wiranggaleng, Senapati Tuban”.
”Nah kalian empat orang, masing-masing pegang sudut apa yang diperintahkan. Benda-benda itu menggelantung di tengah destar”
”Pegang terus dan jangan lepaskan. Barangsiapa di antara kalian, dapat memahami kata-kataku, memahami arus utara dan selatan, dapat menyelami arus balik dan pesan Gusti Kanjeng Unus, ambillah dan pergunakanlah semua peninggalan itu. Tegakkan Tuban, usahakan mengusir Peranggi dari jalan laut, Pasai, Selat, Semenanjung, Malaka dan Maluku. Lepaskan arus selatan ke utara bergelombang-gelombang sepanjang jaman”.
”Perhatikan barang-barang itu dan jangan perhatikan Wiranggaleng, Senapati kalian. Wiranggaleng sekarang sudah tidak ada. Sekarang dia hanya seorang petani bernama Galeng. Tinggallah kalian dalam kerukunan, karena perpecahan adalah pembunuh kalian yang pertama. Aku akan pergi dan jangan kalian cari. Hanya bila Peranggi datang lagi, Wiranggaleng akan datang untuk memusnahkannya”.

Sekali lagi atas segala kelemahan dan kekurangan saya selama menjabat sebagai Wakil Rektor III, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya. Semoga Tuhan memberkati seluruh langkah yang akan kita tempuh dalam memajukan UAJY yang kita cintai ini. Berkah Dalem menyertai kita semua. Viva Atma Jaya.

Kotagede, 30 April 2011.
Salam Hormat;


B. Hestu Cipto Handoyo, SH.,M.Hum.

Senin, 18 April 2011

UPAYA AKSELERASI TATA PEMERINTAHAN LOKAL MELALUI PENGUATAN PERAN DPRD DALAM FUNGSI LEGISLASI

UPAYA AKSELERASI TATA PEMERINTAHAN LOKAL MELALUI
PENGUATAN PERAN DPRD DALAM FUNGSI LEGISLASI*)

Oleh :
B. Hestu Cipto Handoyo**)


A. Kedudukan DPRD dalam Sistem Desentralisasi dan Demokrasi.
Desentralisasi sebagai suatu asas penyelenggaraan pemerintahan lokal merupakan salah satu pilar yang dipergunakan dalam penyelenggaraan pemerintahan di Negara kesatuan yang mempergunakan prinsip Negara hukum dan demokrasi. Penggunaan asas desentralisasi di samping bertujuan untuk menyelenggarakan sistem pemerintahan yang efektif dan efisien juga dilandasi oleh beberapa latar belakang prinsipiil.
Pertama; Prinsip Negara hukum. Di dalam prinsip Negara hukum di samping dikenal adanya pemisahan kekuasaan (pemisahan atau pembagian kekuasaan secara horizontal antara tiga cabang kekuasaan di dalam Negara yakni eksekutif, legislatif dan yudikatif), juga dikenal adanya pemencaran kekuasaan (pendistribusian kekuasaan dalam garis vertikal). Dari prinsip seperti inilah, desentralisasi merupakan sarana yang tepat untuk melaksanakan pemencaran kekuasaan tersebut. Selaras dengan pemahaman ini, maka kedudukan DPRD menjadi sarana untuk melakukan pemencaran kekuasaan, khususnya di bidang legislasi, pengawasan dan budgeting. Fungsi-fungsi ini memang sudah berjalan, namun optimalisasi fungsi-fungsi tersebut masih kurang, karena sifat keanggotaan DPRD yang masih generalis. Oleh sebab itu dalam kerangka desentralisasi, kelembagaan DPRD harus diperkuat dengan adanya tim asistensi ahli yang memiliki kemampuan di bidang legislasi, pengawasan (berbagai sektor penyelenggaraan pemerintahan daerah), dan sistem penganggaran.
Kedua; Prinsip demokrasi. Dalam Negara demokrasi kebutuhan akan partisipasi masyarakat dalam berbagai aspek penyelenggaraan pemerintahan merupakan suatu keharusan. Berdasarkan prinsip semacam inilah maka desentralisasi merupakan sarana yang tepat untuk melaksanakan demokrasi pemerintahan di tingkat lokal. DPRD sebagai lembaga yang merepresentasikan partisipasi masyarakat daerah harus ditempatkan sebagai sarana untuk mengartikulasikan kehendak masyarakat daerah bukan justru mengartikulasikan kehendak masing-masing partai politik. Wacana bahwa anggota DPRD hanya mementingkan kepentingan Parpol saat ini justru telah memperoleh pembenaran dan kepastian hukum melalui UU No. 2 Tahun 2008 tentang Parpol.
Menurut Pasal 1 angka 1 UU No. 2 Tahun 2008 tentang Parpol ditegaskan bahwa Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
Mencermati pengertian tersebut menunjukkan bahwa organisasi Parpol dibentuk untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota terlebih dahulu, baru kemudian memperjuangkan kepentingan politik masyarakat, baru disusul memperjuangkan kepentingan politik bangsa dan negara. Rumusan seperti ini memberikan penguatan secara yuridis bahwa Partai Politik memang hanya mementingkan kelompok dan anggota-anggotanya.
Ketiga; Prinsip welfare state. Dalam Negara kesejahteraan, fungsi Negara yang diwujudkan dalam aktifitas pemerintahan adalah sebagai pelayan masyarakat (public services) untuk mewujudkan kesejahteraan umum warganya. Fungsi seperti ini tentunya tidak dapat berjalan dengan baik jikalau dalam pelaksanaannya dilakukan secara sentralistik. Hal ini mengingat kebutuhan-kebutuhan masyarakat di masing-masinh bagian Negara jelas berbeda sesuai dengan karakteristiknya masing-masing. Dengan demikian dalam prinsip welfare state, asas desentralisasi merupakan sarana yang tepat untuk menyelenggarakan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan karekteristik kebutuhan di tingkat lokal. Desentralisasi dalam prinsip welfre state berguna untuk lebih mendekatkan pelayanan masyarakat yang dilakukan oleh Negara. DPRD sebagai wadah untuk mengartikulasikan kebutuhan-kebutuhan masyarakat seharusnya, tidak lagi bertindak seperti layaknya broker-broker parpol untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Kerja-kerja anggota DPRD seharusnya bersifat kolektif untuk melayani masyarakat dalam mengartikulasikan kebutuhan-kebutuhan riil masyarakat daerah. Oleh sebab itu sebenarnya keberadaan fraksi, sebagai perpanjangan tangan Parpol justru menghambat kerja-kerja kolektif anggota DPRD. Padahal fraksi bukan salah satu alat kelengkapan DPRD, namun dalam berbagai hal ternyata fraksi lebih mendominasi dalam setiap pengambilan keputusan politik yang terkait dengan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan riil masyarakat daerah. Dengan demikian, secara nyata keberadaan fraksi justru kontra produktif, karena dengan adanya keberadaan fraksi inilah DPRD bukan lagi merupakan perwakilan rakyat, melainkan perwakilan parpol. Parpol memang merupakan pranata penting dalam kehidupan demokrasi. Namun jikalau parpol justru terlalu mendominasi dan memonopoli sepak terjang DPRD, maka hal ini justru mengakibatkan penyelenggaraan prinsip-prinsip demokrasi akan mengalami penurunan yang cukup signifikan.
Keempat; Prinsip kebhinekaan. Dalam Negara yang komposisi masyarakatnya demikian beragam, tidaklah mungkin untuk melakukan penyeragaman (uniformitas) kebijaksanaan dan keputusan-keputusan politik. Karakteristik dan kehendak masing-masing daerah yang berbeda-beda haruslah menjadi pertimbangan utama. Dengan demikian, karena adanya prinsip kebhinekaan inilah, fungsi desentralisasi dipergunakan sebagai sarana untuk menampung keanekaragaman.
Pasal 1 angka 4 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menegaskan bahwa DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Kemudian dalam Pasal 60 dan Pasal 76 UU No. 22 Tahun 2003 tentang Susduk MPR, DPR, DPD, dan DPRD ditergaskan bahwa DPRD (Provinsi/Kabupaten/Kota) merupaan lembaga perwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga pemerintahan daerah (Provinsi/Kabupaten/Kota). Ketentuan yuridis semacam ini jelas menimbulkan penafsiran yang beragam, khususnya menyangkut frase “unsur penyelenggara pemerintahan daerah (UU No. 32 tahun 2004) dan lembaga pemerintahan daerah (UU Susduk)”.
Pemerintahan (daerah) dalam pengertian Hukum Tata Negara dapat ditafsirkan dalam pengertian luas dan sempit. Pertama; pemerintahan dalam konteks pengertian yang luas menyangkut segala aktifitas untuk mengimplementasikan fungsi, tugas, wewenang, dan tanggungjawab yang dilakukan oleh Negara. Penafsiran ini meliputi satu kesatuan fungsi yang menyangkut mengatur (legislasi), memerintah (eksekutif), dan mengadili (judikatif).
Kedua; pemerintahan dalam pengertian yang sempit menyangkut aktifitas yang dilakukan Negara atau daerah dalam fungsinya untuk memerintah (eksekutif). Penafsiran ini hanya ditekankan pada pelaksanaan fungsi yang dilakukan oleh pemerintah yakni pemegang kekuasaan eksekutif dalam Negara atau dalam konteks pemerintahan daerah, adalah Kepala daerah dan jajaran eksekutif lainnya.
Dari kedua penafsiran seperti ini, maka problematika kedudukan dan kewenangan DPRD sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah terletak pada posisi yang ambigu, yakni apakah yang dimaksud dengan unsur pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud dalam UU No. 32 Tahun 2004 dan UU Susduk dalam perspektif yang luas ataukah sempit? Kedua UU tersebut tidak memberikan kepastian hukum dalam menentukan posisi DPRD dalam kacamata penafsiran tersebut di atas.
Jikalau pengertian Pemerintahan daerah itu diletakkan dalam aspek penafsiran yang luas, maka kedudukan dan kewenangan DPRD masih bisa dipisahkan dengan kedudukan dan kewenangan eksekutif daerah (Kepala daerah dan jajaran eksekutif lainnya). Namun menjadi bermasalah, jikalau pengertian Pemerintahan daerah itu diletakkan dalam aspek penafsiran yang sempit. Penafsiran yang demikian ini jelas akan meletakkan kedudukan dan kewenangan DPRD yang tidak selaras dengan hakikat DPRD sebagai lembaga perwakilan atau parlemen daerah, karena DPRD diletakkan sebagai unsur pemerintahan yang sempit. Posisi yang seperti ini hampir sama dengan ketika pengaturan tentang Pemerintahan Daerah mempergunakan UU No. 5 Tahun 1974. Pada saat mempergunakan UU ini, pengertian Pemerintahan daerah adalah Kepala Daerah dan DPRD.
Menurut Hans Kelsen, desentralisasi berkaitan dengan pengertian Negara. Kelsen mengemukakan bahwa Negara itu merupakan tatanan hukum (legal order). Oleh sebab itu pengertian desentralisasi menyangkut berlakunya sistem tatanan hukum dalam suatu Negara. Di dalam Negara ada kaidah-kaidah hukum yang berlaku sah untuk seluruh wilayah Negara yang disebut kaidah sentral (central norm) dan ada pula kaidah-kaidah hukum yang berlaku sah dalam bagian-bagian wilayah Negara yang disebut desentral atau kaidah lokal (decentral norm).
Konsep teoritis seperti ini, jika diletakkan dalam perspektif DPRD sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah (UU No. 32 tahun 2004) dan lembaga pemerintahan daerah (UU Susduk), maka lebih tepat jikalau yang dimaksud disini tidak lain adalah pemegang kekuasaan legislatif di tingkat daerah. Oleh sebab itu, jika pemahaman seperti ini akan diterapkan dalam rangka revisi UU No. 32 Tahun 2004, sudah sepatutnya jikalau kedudukan DPRD dipertegas menjadi lembaga perwakilan rakyat di tingkat daerah yang memiliki fungsi legislasi, pengawasan dan penganggaran. Oleh sebab itu, guna mengarahkan pada kepastian hukum rumusan untuk revisi UU no. 32 tahun 2004 tidak lagi mempergunakan frase “unsur penyelenggara pemerintahan daerah” yang menimbulkan dua kemungkinan penafsiran seperti yang telah penulis kemukakan.

B. Penguatan DPRD dalam Fungsi Legislasi.
Secara umum Penguatan DPRD dalam fungsi legislasi sangat dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu :
1. kemampuan dan kapasitas personal anggota DPRD. Dalam kerangka welfare state keberadaan Pemerintahan Lokal merupakan sarana untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat guna mewujudkan kesejahteraan umum. Kebutuhan dan kehendak masyarakat daerah jelas makin beragam dan multi sektoral. DPRD sebagai lembaga Perwakilan Rakyat secara paradigmatik harus mampu menampung dan merumuskan kebijakan-kebijakan politik melalui produk hukum yang dihasilkan. Oleh sebab itu, kemampuan dan kapasitas personal anggota DPRD dalam menyerap aspirasi masyarakat menjadi syarat mutlak. Kemampuan dan kapasitas anggota DPRD yang pas-pasan, atau minimalis jelas akan menghambat pelaksanaan kewenangan yang diberikan kepadanya. Dengan demikian salah satu syarat untuk menjadi anggota DPRD hendaknya mencantumkan uji kelayakan yang dapat dipergunakan untuk menilai kemampuan dan kapasitas anggota DPRD tersebut. Materi uji kelayakan itu harus terkait dengan fungsi dan wewenang yang akan dijalankan oleh anggota DPRD seperti visi dan misi, kemampuan legal drafting, pengawasan, dan budgeting.
2. Sistem rekrutmen kader Parpol. Pemilu yang masih tetap mempergunakan sistem proporsional terbuka pada hakikatnya tetap memposisikan Parpol yang sangat dominan dalam proses rekrutmen anggota DPRD. Dengan demikian peran Parpol dalam mempersiapkan kader-kader untuk menjadi anggota DPRD sangat berpengaruh dalam menunjang kemampuan dan kapasitas anggota DPRD. Untuk itu pola pencalonan anggota DPRD yang dilakukan oleh Parpol harus diubah. Uji kelayakan sebagaimana penulis kemukakan dalam point 1 harus menjadi dasar bagi Parpol untuk menentukan kader-kadernya dalam daftar calon anggota DPRD tersebut. Jadi pencantuman daftar calon tidak lagi mempergunakan paradigma kemampuan finansial kader yang sampa sekarang masih menggejala di lingkungan Parpol.
3. Mekanisme pertanggungjawaban anggota DPRD terhadap konstituen. Selama ini setelah kader parpol menjadi anggota DPRD hubungan dengan rakyat pemilih (konstituen) masih tetap “terputus”. Anggota DPRD masih tetap “mesra” berhubungan dengan organisasi Induk Parpol. Apalagi di lingkungan DPRD peran fraksi sebagai perpanjangan parpol di DPRD dalam menggendalikan anggota DPRD masih sangat dominan. Akuntabilitas anggota DPRD kepada rakyat tidak pernah dilakukan, dan mekanismenya sampai sekarang juga belum ada perangkat hukum yang mengatur. Akibatnya sepak terjang anggota DPRD tetap tidak dapat dikontrol secara langsung oleh konstituen. Pergantian antar waktu juga sangat tergantung dari kebijakan Parpol melalui fraksi-fraksi yang ada di DPRD. Oleh sebab itu tidaklah mengherankan jikalau antara anggota DPRD dengan rakyat pemilih tidak ada ikatan keterwakilan yang memadai.
4. Mekanisme kerja fraksi-fraksi dalam menampung dan menyalurkan kehendak atau aspirasi masyarakat daerah dalam perumusan dan pembentukan kebijakan publik melalui pembentukan Perda. Sampai saat ini kedudukan fraksi – walaupun bukan alat perlengkapan DPRD – sangatlah dominan. Tidak sedikit Raperda yang sudah disepakati oleh komisi, gabungan komisi ataupun Pansus gagal disetujui oleh DPRD, hanya gara-gara fraksi tidak menyetujui dalam rapat paripurna. Dengan demikian secara empiris posisi fraksi dalam pembentukan Perda sangat menentukan. Jika Fraksi masih tetap diposisikan seperti ini, maka jalan satu-satunya adalah memberikan penguatan kepada fraksi-fraksi dalam menampung dan merumuskan aspirasi masyarakat daerah untuk dituangkan dalam produk hukum (perda). Caranya adalah dengan melengkapi fraksi-fraksi tersebut dengan staff ahli lintas sektoral. Bukan staf ahli yang disediakan oleh masing-masing Parpol.
5. Mekanisme dan sistem pengawasan internal anggota DPRD dalam melaksanakan fungsi dan kewenangannya. Kode etik (code of conduct) bagi anggota DPRD sampai saat ini dirumuskan secara internal oleh DPRD. Padahal secara teoritis anggota DPRD adalah wakil-wakil rakyat. Oleh sebab itu code of conduct sebaiknya dirumuskan oleh DPRD bekerja sama dengan stakeholder (pemangku kepentingan) yang ada di masyarakat. Substansi Code of conduct itu harus dimuat dalam satu kesatuan dengan Peraturan Tata tertib anggota DPRD atau lebih tepat dimuat dalam revisi UU No. 32 Tahun 2004 atau dimuat dalam UU Susduk. Sehingga masyarakat mengetahui dan ikut melakukan pengawasan terhadap perilaku anggota DPRD. Substansi code of conduct ini secara umum dan berlaku untuk seluruh DPRD di Indonesia. Substansi code of conduct dan perilaku keseharian yang menyimpang dari anggota DPRD, dapat digambarkan dalam bagan di bawah ini.

PRINSIP CODE OF CONDUCT PERILAKU KESEHARIAN YANG MENYIMPANG DARI ANGGOTA DPRD
Selflessness: Anggota hanya melayani kepentingan publik dan tidak diperbolehkan memberikan keuntungan atau kerugian pada seseorang atau kelompok secara tidak layak (improperly).
1. merekomendasikan kepada kroninya (keluarga) dan anggota Parpol untuk mendapatkan proyek di pemerintah;
2. melayani kepentingan publik tetapi sebenarnya kepentngan pribadi dan Parpol ikut andil di dalamnya;
3. mendahulukan kepentingan sendiri dan kroninya. (Lowongan jabatan : mendahulukan saudara dan kroni)
4. Memakai mobil dinas untuk kepentingan kelompok atau partainya (keluarga) diganti Platnya.
5. merekomendasikan fasilitas publik yang berdekatan dengan tanah milik atau kelompoknya.
6. pelanggaran standart operasional pelayanan publik.
Honesty and Integrity: Anggota tidak diperbolehkan menempatkan dirinya pada situasi dimana kejujuran dan integritasnya dipertanyakan, berperilaku tidak layak serta harus menghindari segala perilaku tersebut dalam semua kegiatan/acara.
1. mengambil keputusan yang tidak konsisten (gampang berubah), hal ini disebabkan karena kepentingan pribadi, kelompok, golongan (kepentingan terselubung).
2. meminta amplop (pelicin) seolah-olah anggota telah melakukan jasa tertentu.
3. melakukan penipuan di masyarakat (bisnis dll) : terlibat di dalam suatu propaganda yang tingkat kualitasnya belum terbukti;
4. membuat laporan pertanggung jawaban kegiatan yang dianggarkan dari lembaga namun kegiatan tersebut tidak dilaksanakan (reses fiktif).
5. ingin mendapat pelayanan lebih dahulu dalam pelayanan publik. Contoh dalam hal mengurus perijinan.
Objectivity: Anggota harus mengambil keputusan berdasarkan fakta, termasuk saat membuat perjanjian, kontrak atau merekomendasikan seseorang untuk mendapatkan penghargaan (rewards or benefit).
1. Like and dislike contohnya : memberikan sebuah rekomendasi atau keputusan yang dilandasi oleh suka/tidak suka kepada seseorang. Baik bersifat positif/negatif. Contoh kalau terhadap kelompoknya dianggap baik, sebaliknya terhadap lawan politik dianggap tidak baik.
2. mengambil sebuah keputusan yang tidak berdasarkan aturan, tetapi berdasar pada kebijakan politik. Contohnya mengusulkan PAW.
3. mengambil keputusan berdasarkan data yang tidak jelas. Contoh : mark up anggaran, kegiatan-kegiatan fiktif, memberikan bantuan yang tidak tepat sasaran/ tidak sesuai program

Accountability: Anggota harus mempunyai akuntabilitas dihadapan publik terhadap seluruh tindakannya, dan harus sepenuhnya dapat bekerjasama serta jujur dengan penuh kehati-hatian.
1. menganggarkan barang (laptop) yang tidak sesuai dengan porsinya (mark up anggaran)
2. membuat peraturan yang justru membuat kacau ditengah-tengah masyarakat. (Perda)
3. mark up anggaran.
Openness: Anggota harus selalu terbuka dalam segala tin-dakan yang mencakup kewenangannya serta harus mempunyai penjelasan terhadap tindakan-tindakannya tersebut.
1. tidak melakukan kontrol terhadap regulasi yang benar-benar merugikan masyarakat. (Lingkungan hidup – pembuangan limbah pabrik)
2. mendirikan lembaga yang tdk ada dasar legalitasnya. Contohnya Panitia Legislasi (seharusnya kalau di daerah ad hoc, tetapi dipermanenkan supaya ada uang tunjangan)
Personal Judgement: Anggota harus memperhatikan pandangan anggota lain, termasuk kelompok politik mereka, namun harus mempunyai kesimpulan sendiri terhadap isu yang dibicarakan, dan bertindak dalam lingkup kesimpulan-kesimpulan tersebut.
1. mengatasnamakan lembaga pdhal untuk kepentingan pribadi, kelompoknya
2. membangun opini publik dengan cara membunuh karakter anggota DPRD yang lain yang tidak sependapat.
3.
Respect for Others: Anggota harus mengedepankan kesetaraan dengan tidak melakukan diskriminasi hukum terhadap semua orang, dan dengan memperlakukan orang dengan kehormatannya tanpa memperhatikan ras, umur, agama, gender, orientasi seksual atau ketidakmampuan.

Duty to Uphold the Law: Anggota harus menegakkan hukum, dalam segala kondisi, berlaku dalam keserasian dan keper-cayaan yang diberikan publik kepadanya.

Stewardship: Anggota harus melakukan apa pun yang dapat mereka lakukan, untuk meyakinkan bahwa otoritas mereka menggunakan sumber-sumber yang prudent dan dalam lingkup hukum.

Leadership: Anggota harus mendepankan dan mendukung prinsip-prinsip ini dengan jiwa kepemimpinan dan selalu bertindak dalam jalur yang menjaga keyakinan publik.


Penegakan Code of conduct bagi anggota DPRD tidak dapat berjalan dengan baik jikalau Badan Kehormatan tidak berfungsi secara optimal. Problematika yang dihadapi oleh BK-DPRD dalam penanganan kasus pelanggaran code of conduct, yaitu :
a. Keanggotaan BK-DPRD yang sifatnya tetap justru menghambat penanganan secara fair jika pelanggaran justru dilakukan oleh anggota BK-DPRD sendiri;
b. Kedekatan hubungan antara pelanggar (anggota DPRD) dengan Parpol induk via fraksi mengakibatkan punishment tidak berjalan;
c. Acara pemeriksaan pada umumnya tertutup;
d. Tuduhan pelanggaran code of conduct sering penuh dengan muatan kepentingan politik, artinya terbuka untuk dipergunakan sebagai sarana untuk menjatuhlan lawan politik (caracter assasination);
e. Pada umumnya DPRD belum memiliki peraturan “acara” pemeriksaan pelanggaran code of conduct;
f. Berat ringannya pelanggaran code of conduct dan berat ringannya sanksi, pada umumnya berdasarkan persepsi orang per orang. Belum ada kepastian ukuran; dan
g. Mekanisme BK-DPRD belum proaktif. Hanya menunggu laporan. BK DPRD belum memiliki standard baku investigasi.
Terkait dengan problematik yang dihadapi oleh BK-DPRD tersebut di atas, maka untuk menunjang kapasitas dan kemampuan anggota DPRD dalam menjalankan kewenangannya BK-DPRD di masa mendatang harus :
1. Membangun kerja sama dengan Parpol. Misalnya Parpol harus melaporkan ke BK-DPRD dan publik mengenai sumbangan periodik yang diberikan wakilnya di DPRD, termasuk yang langsung disalurkan ke parpol;
2. Bersama dengan pimpinan DPRD menertibkan pihak-pihak di internal DPRD yang selama ini disinyalir sering menjadi “bandar” pembagian amplop kepada anggota DPRD terkait dengan pembahasan Raperda atau pelaksana fungsi-fungsi lainnya;
3. Bersama dengan pimpinan DPRD bekerja sama dengan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dalam hal merumuskan definisi gratifikasi dan prosedur standard pemrosesan kasusnya baik di tingkat BK DPRD, Pimpinan DPRD, Parpol, maupun institusi penegak hukum;
4. Memperbaiki mekanisme pemrosesan kasus yang ditangani BK DPRD agar lebih mandiri dan terlepas dari hambatan prosedural maupun politik;
5. Ke depan BK DPRD harus mengambil inisiatif jika issu publik mulai muncul berkaitan dengan adanya pelanggaran code of conduct. Perlu dikatahui bahwa di dalam Tatib DPRD, tidak ada larangan untuk melakukan hal itu;
6. Pengaturan bahwa rapat-rapat BK DPRD bersifat tertutup seharusnya tidak diartikan bahwa BK DPRD tidak memiliki wewenang untuk menjelaskan kepada publik hasil proses penelusuran dan persidangan yang dilakukan termasuk pertimbangan-pertimbangan yang dikemukakan;
7. Tata Cara pemeriksaan atas pelanggaran code of conduct harus segera disusun oleh BK DPRD dan berpedoman pada UU Susduk atau UU Pemerintahan Daerah. Tata cara ini harus disebar luaskan kepada publik agar publik memahami prosedur dan mekanisme pelaporan;
8. BK DPRD menciptakan mekanisme pertanggungjawaban publik atas laporan hasil pemeriksaan yang dilakukan agar tidak menimbulkan interpretasi di masyarakat yang justru akan mengurangi nilai keabsahan keputusan BK DPRD di mata publik;
9. BK DPRD harus memiliki tim investigasi Pelanggaran code of conduct yang dalam aktifitasnya bekerja sama dengan pihak-pihak terkait, seperti kepolisian. LSM, Perguruan Tinggi dan Parpol.

C. Arah Agenda Penguatan Kelembagaan dan Supporting System DPRD.
Berpijak dari problematik dan argumentasi tersebut di atas, maka arah agenda penguatan kelembagaan dan supporting system DPRD meliputi :
1. Revitalisasi fraksi-fraksi yang ada di DPRD yang diarahkan kepada prinsip keberpihakan masyarakat daerah secara umum. Bukan lagi keberpihakan kepada masing-masing parpol;
2. Sistem dan mekanisme rekriutmen kader masing-masing Parpol yang lebih transparan dan berbasis pada kapasitas dan performance guna menunjang kualitas anggota DPRD;
3. Penegasan mekanisme akuntabilitas publik anggota DPRD;
4. Standarisasi code of conduct yang sama untuk semua DPRD harus tersusun dan dituangkan dalam UU Susduk atau UU Pemerintahan Daerah;
5. Komposisi keanggotaan BK-DPRD yang mencerminkan kompisisi keterwakilan rakyat. Artinya anggota BK-DPRD tidak hanya diambil dari internal DPRD melainkan melibatkan komponen masyarakat daerah yang konsens terhadap pemberdayaan parlemen daerah. Anggota BK-DPRD juga tidak bersifat tetap, melainkan ad hoc.
6. Mekanisme hubungan DPRD dengan Lembaga Perwakilan lain (DPR dan DPD) perlu dirumuskan. Hal ini dimaksud agar ada sinergitas keterwakilan rakyat dalam sistem keparlemenan Indonesia, karena selama ini hubungan antara DPRD dengan lembaga perwakilan rakyat di tingkat Pusat terputus. Sinergitas hubungan ini juga dapat dipergunakan untuk mengeleminir terjadinya Perda-perda yang bermasalah; dan
7. Penguatan Sekretariat DPRD yang tidak hanya menjalankan fungsi-fungsi administratif dan protokoler, melainkan juga menjalankan fungsi Penelitian dan Pengembangan termasuk penyediaan staf ahli bagi anggota DPRD.

D. Menyusun Naskah Akademik.
Setelah keluarnya Undang-Undang No 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perudang-undangan, sampai saat ini belum ada model atau desain baku untuk menyusun Naskah Akademik (khususnya Undang-Undang atau Peraturan Daerah). Bahkan Peraturan Presiden No. 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden juga tidak mengatur secara rinci mengenai model atau desain baku Naskah Akademik. Demikian juga Qanun Aceh No. 3 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan Qanun. Oleh sebab itulah tidak mengherankan jikalau para ahli legal drafting banyak mempergunakan model atau desain yang berbeda-beda pada waktu menyusun Naskah Akademik Rancangan Peraturan Perundang-undangan.
Dari buku-buku (literatur) yang penulis temukan, pada umumnya hanya menyampaikan Teknik Penyusunan Rancangan Peraturan Perundang-undangan yang sudah dalam bentuk pasal per pasal. Padahal sebelum sampai pada bentuk atau sistematika pasal demi pasal seyogyanya perlu disampaikan kerangka pemikiran dan kajian akademik agar materi muatan Rancangan Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat dipertanggung jawabkan secara akademik.
Memang ada buku yang sangat komprehensif yang ditulis oleh Maria Farida Indrati Suprapto (Guru Besar Bidang Hukum Perundang-Undangan FH-UI Jakarta) yang berjudul “Ilmu Perundang-Undangan (Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan)”, dan “Ilmu Perundang-Undangan (Proses dan Teknik Pembentukannya)” - namun lagi-lagi kedua buku tersebut juga belum banyak menyajikan bagaimana model atau desain baku penyusunan atau perumusan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Perundang-undangan disusun.
Dalam salah satu bukunya, Maria Farida Indrati Soeprapto mengemukakan bahwa walaupun kewajiban untuk menyusun suatu Naskah Akademik serta bentuk Naskah Akademik tersebut sampai saat ini tidak ditentukan dengan pedoman yang jelas, namun demikian sejak tanggal 20 Desember 1994 Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional telah mengeluarkan Keputusan No. G 159.PR.09.10 Tahun 1994 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan Naskah Akademik Peraturan Perundang-undangan. Petunjuk teknis ini oleh sebagian besar departemen digunakan sebagai acuan untuk membentuk Naskah Akademik dalam pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Namun demikian, setelah keluarnya Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, maka keberadaan Keputusan Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman tersebut, tentu saja menjadi tidak mengikat bagi sebagian besar departemen untuk menyusun Naskah Akademik Rancangan Peraturan Perundang-undangan.
Kemudian dalam buku hasil penelitan yang dilakukan oleh Mahendra Putra Kurnia dan kawan-kawan, berjudul ”Pedoman Naskah Akademik Perda Partisipatif”, juga dikemukakan bahwa pada dasarnya tidak ada bentuk/format baku dari sebuah Naskah Akademik, tetapi biasanya Naskah Akademik disusun secara sistematis dalam bab-bab. Sehubungan dengan hal inilah, penulis mencoba untuk memberikan 3 alternatif model atau Desain Naskah Akademik yang dimaksud yakni :
1. Model atau Desain Menurut Keputusan Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional No. G.159.PR.09.10 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan Naskah Akademik Peraturan Perundang-undangan; dan
2. Alternatif model atau desain menurut versi penulis yang terdiri dari dua model atau desain, yakni untuk Rancangan Perundang-undangan baru (mengganti Peraturan Perundang-undangan atau membentuk Peraturan Perundang-undangan yang memang belum pernah ada), serta desain Naskah Akademik untuk Rancangan Peraturan Perundang-undangan yang hanya sekedar mengubah suatu Peraturan Perundang-undangan yang sudah ada, khususnya mengubah beberapa pasal dari Peraturan Perundang-undangan lama.
Model atau Desain Naskah Akademik Menurut Keputusan Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional No. G. 159.PR.09.10 Tahun 1994.

NASKAH AKADEMIK
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
TENTANG
...............................................................
I. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang.
1.1. Pokok fikiran tentang konstatering fakta-fakta yang merupakan alasan-alasan pentingnya materi hukum yang bersangkutan harus segera diatur.
1.2. Daftar Peraturan Perundang-undangan yang akan berkaitan dan dapat dijadikan dasar hukum bagi pengaturan materi hukum yang bersangkutan.
2. Tujuan dan kegunaan yang ingin dicapai.
3. Metode pendekatan;
4. Pengorganisasian.

II. RUANG LINGKUP NASKAH AKADEMIK
1. Ketentuan Umum.
Memuat istilah-istilah/pengertian-pengertian yang dipakai dalam Naskah Akademik, beserta arti dan maknanya.
2. Materi
Memuat konsepsi, pendekatan dan asas-asas dari materi hukum yang perlu diatur, serta pemikiran-pemikiran normanya yang disarankan, sedapat mungkin dengan mengemukakan beberapa alternatif.

III. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan berisi:
1) Rangkuman pokok isi Naskah Akademik.
2) Luas lingkup materi yang diatur, dan kaitannya secara sistemik dengan lain-lain Peraturan Perundang-undangan.
3) Bentuk pengaturan yang akan dikaitkan dengan materi muatan.
2. Saran mengenai:
1) Apakah semua materi Naskah Akademik sebaiknya diatur dalam bentuk Undang-Undang atau ada sebagian yang sebaiknya dituangkan dalam peraturan pelaksana atau peraturan yang lain;
2) Usulan mengenai penetapan skala prioritas penyusunan Naskah Akademik Peraturan Perundang-undangan dan saat paling lambat RUU/RPP harus selasai diproses, beserta alasannya/sebabnya.

IV. LAMPIRAN
1. Daftar Kepustakaan.
2. Inventarisasi Peraturan yang relevan dan masih berlaku.
3. Inventarisas permasalahan hukumnya.
4. Laporan hasil penelitian di lapangan (kalau ada).
5. Berita acara proses penyusunan Naskah Akademik.
6. Saran-saran dan makalah-makalah tertulis dari anggota Panitia Penyusun Naskah Akademik.
7. Berita Acara Rapat-rapat.


E. Penutup.
Demikian sumbangan pemikiran yang dapat penulis sampaikan dalam acara Lokalatih Bagi Calon Anggota Legislasi Terpilih. Semoga permanfaat.

Kotagede; 30 Juni 2009
Penulis;



B. Hestu Cipto Handoyo

PEMBENTUKAN PUSAT KAJIAN DAN INFORMASI HUKUM PUSAT - DAERAH*)

PEMBENTUKAN PUSAT KAJIAN DAN INFORMASI
HUKUM PUSAT - DAERAH*)

Oleh:
B. Hestu Cipto Handoyo**)

A. Independensi DPD dan Pusat kajian dan informasi Hukum Pusat – Daerah.
Tujuan kehadiran DPD dalam sistem keparlemenan Indonesia secara filosofis lebih didorong oleh kepentingan mewarnai kebijakan pemerintah nasional dengan memberikan ruang baru bagi kepentingan daerah. Pengertian daerah di sini tentu bukanlah daerah per daerah, melainkan wilayah geokultural dalam bingkai yang majemuk.
Dengan posisi yang demikian ini, DPD jelas membutuhkan kekuatan penyangga untuk memperkuat posisi tawar dalam pengambilan kebijakan nasional yang berdimensi kepentingan daerah. Apalagi dengan posisi yang demikian itu DPD relatif lebih egaliter dan bebas (independen) untuk masuk ke stakeholder manapun termasuk perguruan tinggi. Kondisi yang demikian ini jelas berbeda bila dibandingkan dengan posisi DPR yang lebih condong memperjuangkan kepentingan politik. Dengan posisi yang demikian ini, DPR jelas sudah memiliki kekuatan penyangga yakni Induk Organisasi Parpol. Oleh sebab itulah bagi DPR keberadaan Pusat Kajian relatif kurang dibutuhkan, karena bagi DPR yang anggotanya terdiri dari wakil-wakil Parpol secara struktural lebih dekat dengan induk Parpol yang diwadahi oleh Fraksi-fraksi yang ada di DPR. Sehingga ketika beradu argumentasi atau memperkuat posisi tawarnya dalam pengambilan keputusan politik nasional, DPR (baca anggota-anggotanya) sudah di backup oleh “lembaga kajian” yang penuh nuansa kepentingan politik dan terdapat di dalam tubuh Parpol itu sendiri.
Kondisi sosiologis dari DPD seperti itu mengakibatkan model atau cara penjaringan aspirasi masyarakat yang selama ini dilakukan oleh DPD lebih mirip dengan yang dilakukan oleh LSM. Artinya dengan sifat yang egaliter dan relatif independen itu, para anggota DPD mampu “masuk” di seluruh lapisan masyarakat tanpa merasa “dicurigai’ akan membawa jargon-jargon atau kepentingan-kepentingan politik tertentu seperti halnya yang dilakukan oleh anggota DPR yang sering “dicurigai” membawa pesan-pesan politik kepentingan kelompok. Bahkan tidak jarang DPD melakukan penjaringan aspirasi di lingkungan Perguruan Tinggi yang sampai saat ini terkesan “alergi” terhadap Parpol. Dengan demikian sebenarnya, secara sosiologis keberadaan DPD justru sangat diuntungkan, karena ia dapat diterima oleh lapisan masyarakat manapun tanpa memandang golongan ataupun kelompok politik tertentu. Bagi DPD dan masyarakat Daerah yang penting aspirasi daerah dapat tertampung dan mampu dijadikan referensi utama dalam pengambilan kebijakan nasional.
Namun demikian, penjaringan aspirasi tentunya tidak hanya sekedar melakukan dialog ataupun tatap muka dengan stakeholder. Penjaringan aspirasi haruslah menghasilkan sebuah kajian yang mendalam sebelum dipergunakan sebagai dasar untuk pengambilan keputusan di tingkat nasional. Oleh sebab itulah keberadaan Pusat Kajian dan Informasi Hukum Pusat – Daerah memiliki peran yang sangat strategis terutama dalam mem-backup kerja-kerja konsitusional DPD.

B. Pusat Kajian dan Informasi Hukum Pusat – Daerah Sebagai Jaringan Penguatan DPD.
Dalam Pengantar Buku Kaukus Parlemen Bersih, antara lain disebutkan bahwa Kaukus memiliki dua jenis manfaat. Pertama; manfaat bagi kinerja kelembagaan parlemen. Kedua; berkembangnya saluran input aspirasi masyarakat. Kaukus secara kelembagaan telah menjadi perantara bagi anggota parlemen untuk dekat dengan resources informasi di masyarakat. Dengan dekatnya anggota parlemen pada titik-titik informasi, maka kompetensinya sebagai wakil rakyat akan dapat benar-benar teruji. Sedangkan bagi akifis di masyarakat, LSM, Perguruan Tinggi, kaukus menjadi ruang baru untuk menyalurkan aspirasinya.
Dengan mempergunakan ide perlunya Kaukus Parlemen Bersih tersebut di atas, maka sebenarnya keberadaan Pusat Kajian dan Informasi Hukum Pusat – Daerah dapat dibentuk dan diupayakan untuk melakukan berbagai aktifitas yang mampu mendukung penguatan DPD walaupun secara yuridis konstitusional penguatan tersebut memang belum terjamin. Artinya ide keberadaan Kaukus Parlemen Bersih itu dapat dipergunakan sebagai referensi bagi keberadaan Pusat Kajian dan Informasi Hukum Pusat – Daerah. Oleh sebab itu sambil menunggu penguatan DPD melalui Amandemen UUD 1945 (kalau memang mungkin dilakukan), keberadaan Pusat Kajian dan Informasi Hukum Pusat – Daerah menduduki posisi yang strategis untuk meningkatkan kapasitas dan kapabilitas DPD.
DPD yang anggotanya terdiri dari wakil-wakil Daerah (masing-masing Daerah Provinsi berjumlah 4 orang) jelas memiliki latar belakang sosio-kultural yang berbeda-beda. Kondisi yang demikian ini, sadar ataupun tidak akan mempengaruhi kinerja kelembagaan yang mengharuskan mereka untuk tidak terjebak pada kepentingan masing-masing daerah yang mereka wakili. Anggota DPD sejatinya mewakili kepentingan daerah, bukan kepentingan masing-masing daerah. Oleh sebab itu, perjuangan ”kolektif daerah” dalam rangka pengambilan kebijakan nasional harus menjadi kerangka dasar bagi setiap anggota DPD. Misalnya pembentukan UU yang terkait dengan otonomi daerah tidak bisa dipandang hanya untuk kepentingan masing-masing daerah, melainkan harus dipandang oleh masing-masing anggota DPD sebagai kepentingan kolektif daerah. Anggota DPD yang mewakili masing-masing Daerah tidak boleh terjebak melakukan aktifitas layaknya anggota DPR yang ”terbelenggu” oleh hegemoni Parpol lewat fraksi-fraksi di DPR.
Dengan konstruksi yang seperti inilah, maka Pusat Kajian dan Informasi Hukum Pusat – Daerah dapat dijadikan sebagai sarana bagi DPD dalam merumuskan dan memformulasikan keputusan-keputusan dengan pendekatan akademis untuk kemudian diperjuangkan di tingkat pengambilan kebijakan nasional yang berdimensi kepentingan lintas daerah.

C. Harmonisasi Hukum Pusat – Daerah : Sebuah Kerangka Dasar Politik Hukum.
Kemandirian dalam berotomi tidak berarti daerah dapat membuat hukum atau keputusan yang terlepas dari sistem hukum secara nasional. Pembuatan hukum tingkat daerah bukan sekedar melihat batas kompetensi formal atau kepentingan daerah yang bersangkutan tetapi harus dilihat pula kemungkinan dampaknya terhadap daerah lain atau kepentingan nasional secara keseluruhan. Peraturan perundang-undangan tingkat daerah atau penyelenggaraan pemerintahan daerah pada umumnya merupakan sambungan yang menentukan keberhasilan berbagai kebijakan secara nasional.
Dari pemahaman tersebut di atas, maka sinkronisasi dan harmonisasi hukum antara pusat dan daerah menjadi titik krusial dalam pembangunan sistem hukum nasional yang terintegrasi. Lain daripada itu, hukum di tingkat pusat pun seharusnya juga memperhatikan kepentingan-kepentingan daerah sebagai pilar dari sistem hukum nasional. Dengan semikian, hubungan Hukum Pusat – Daerah adalah hubungan yang timbal balik, saling mengisi dan saling menguatkan.
Harus diakui bahwa pada umumnya pembentukan hukum di tingkat Pusat masih menunjukkan hegemoni Jakarta (Pusat). Substansi hukum (baca perundang-undangan) sering masing mempergunakan ”kacamata” Jakarta yang tidak selaras dengan ”kacamata” Daerah. Hanya karena Hukum di tingkat Daerah merupakan sub-sistem dari hukum di Tingkat Pusat, maka hukum daerah hanya menjabarkan apa yang dikehendaki oleh Hukum di tingkat Pusat. Padahal hukum-hukum daerah seharusnya tetap memperhatikan kearifan lokal.
Sebaliknya dengan mengatasnamakan kearifan lokal, hukum di Tingkat Daerah sering ”bernafaskan” arogansi daerah yang justru mengakibatkan terjadinya inkonsistensi dan disharmoni dengan hukum di tingkat pusat. Alih-alih dari keadaan semacam ini ancaman disintegrasi bangsa semakin menguat. Jika demikian keadaanya, bagaimanakah seharusnya sinkronisasi dan harmonisasi hukum Pusat – Daerah itu dapat dibentuk secara ideal?
Eugen Ehrlich mengatakan bahwa hukum positif yang baik (dan karenanya efektif) adalah hukum yang sesuai dengan living law yang sebagai inner order dari masyarakat mencerminkan nilai-nilai yang hidup di dalamnya. Penegasan ini menunjukkan bahwa pembentuk hukum (termasuk di dalamnya adalah UU) diwajibkan untuk senantiasa memandang hukum yang hidup di dalam masyarakat sebagai referensi utama.
Hukum yang hidup dalam masyarakat tersebut, bersumber pada apa yang dikemukakan oleh Von Savignij filsuf aliran hukum historis dengan sebutan volksgeist (jiwa bangsa) yang dimanifestasikan dalam nilai-nilai yang berlaku dan dianut oleh masyarakat bangsa itu sendiri. Jika pandangan seperti ini diterapkan dalam konteks pluralisme Indonesia, maka volksgeist itu jelas berbeda antara kelompok masyarakat yang satu dengan lainnya.
Pencerminan volksgeist ini, nampak jelas dalam hukum adat sebagai perwujudan kristalisasi nilai-nilai kebudayaan (asli) penduduk Indonesia. Dengan demikian, seharusnya pembentukan sistem hukum Indonesia tentu bersumber dari “roh” seperti ini. Pertanyaannya adalah apakah mungkin melakukan unifikasi dan kodifikasi hukum terhadap nilai-nilai volksgeist yang secara kodrati memang sudah berbeda?
Politik hukum yang juga bisa dimaknai sebagai sebuah pilihan hukum (choice of law) memainkan peranan yang sangat penting dalam pembentukan hukum di masyarakat plural. Jika hukum akan dipergunakan sebagai sarana untuk melakukan perubahan masyarakat (R. Pound) yang berifat plural, maka kesulitan yang paling mendasar yang dihadapi oleh para pembentuk hukum (baca UU), adalah persoalan-persoalan apakah yang perlu diprioritaskan terlebih dahulu?
Pembangunan sistem hukum nasional, jika dikaitkan dengan struktur masyarakat plural, secara garis besar akan menghadapi dua kategori masalah hukum. Pertama; masalah yang secara langsung mengenai kehidupan pribadi seseorang dan erat hubungannya dengan kehidupan budaya dan spiritual. Kedua; masalah-masalah yang secara umum bersifat “netral” dilihat dari sudut kebudayaan, adat maupun spiritualitas. Bertolak dari dua kategori masalah inilah, maka pembangunan sistem hukum nasional relatif lebih mudah dilakukan jika diprioritaskan pada masalah-masalah yang “netral”. Mudah disini dalam arti pembentukan maupun penerapannya, karena resistensi (penolakan) di lingkungan masyarakat relatif kecil.
Lain daripada itu dengan memprioritaskan masalah-masalah “netral” dalam pembangunan sistem hukum nasional, akan mendapatkan keuntungan. Pertama; mempercepat proses unifikasi dan kodifikasi. Artinya penolakan terhadap produk hukum, karena pertentangan wacana yang disebabkan adanya perbedaan pandangan yang ditinjau dari aspek spiritualitas, adat dan budaya menjadi semakin minim.
Kedua; memperkuat penegakan hukum. Artinya penegakan hukum dapat dilaksanaka secara konsisten. Hal ini mengingat persoalan-persoalan yang berkaitan dengan budaya hukum, sarana dan prasarana serta instrumen hukum sudah tidak menimbulkan persoalan di masyarakat mengingat sifat netralitas persoalan hukum itu lebih banyak ditonjolkan.
Ketiga; membangun budaya hukum masyarakat. Artinya budaya hukum masyarakat plural menimbulkan konsekuensi bahwa cara pandang, perilaku serta cipta dan karsa masyarakat terhadap hukum akan berbeda antara kelompok masyarakat yang satu dengan lainnya. Hal ini jelas kontra produktif jika membangun budaya hukum masyarakat di tingkat nasional akan diupayakan. Oleh sebab itulah pilihan untuk lebih mendahulukan persoalan-persoalan hukum yang ”netral” (tidak secara langsung menyentuh persoalan yang berdimensi adat istiadat dan budaya masyarakat) dalam rangka pembentukan hukum menjadi tidak terelakkan.
Keempat; Memperkecil terjadinya multitafsir terhadap hukum (UU). Artinya pengaruh atau latar belakang budaya, adat istiadat bahkan pandangan spiritualitas dalam melakukan penafsiran hukum diperkecil seminim mungkin. Interpretasi hukum dikembalikan kepada interpretasi yang sejatinya, yakni dijauhkan dari aspek-aspek yang sifatnya subyektif dan dipengaruhi oleh kepentingan individu maupun kelompok.
Kelima; memperkuat integrasi bagi negara yang struktur masyarakatnya plural. Artinya pembentukan hukum justru dipergunakan sebagai sarana untuk memperkuat integrasi. Dapat dibayangkan bagaimana wujud integrasi bangsa jika pembentuk hukum terus menerus menghasilkan produk hukum yang penuh muatan diskriminasi baik dalam hal adat, budaya maupun spiritualitas masyarakat.

D. Kerangka Kerja Pusat Kajian Hukum Pusat – Daerah.
DPD sebagai lembaga Perwakilan Daerah, menduduki posisi yang sangat strategis untuk melakukan sinkronisasi dan harmonisasi Hukum Pusat – Daerah. Namun demikian, karena karakteristik anggota DPD sifatnya lintas daerah serta pada umumnya bersifat generalis, maka perlu mendapat dukungan para pihak yang memiliki kemampuan (expert) di berbagai bidang. Perguruan Tinggi tentunya dapat berperan lebih optimal untuk membantu kinerja-kinerja DPD dalam melakukan kajian dan informasi demi terwujudnya sinkronisasi dan harmonisasi Hukum Pusat – Daerah.
Bertitik tolak dari pandangan tersebut di atas, penulis menyampaikan beberapa gagasan tentang kerangka kerja Pusat Kajian Hukum Pusat – Daerah yang akan membackup kerja-kerja DPD dalam melakukan sinkronisasi dan harmonisasi Hukum Pusat – Daerah. Karangka kerja tersebut, antara lain :
1. Inventarisasi dan Dokumentasi Hukum Pusat – Daerah yang Berlaku;
2. Pengkajian Perkembangan Hukum Nasional;
3. Penelitian dan pengkajian hukum-hukum yang hidup dalam masyarakat;
4. Penelitian dan pengkajian kearifan lokal yang dapat dipergunakan sebagai basis politik hukum nasional;
5. Penyusunan dan perumusan naskah akademik Rancangan Peraturan Perundang-Undangan baik di tingkat Pusat maupun Daerah;
6. Advokasi Kebijakan Publik;
7. Pembentukan Jaringan Informasi Hukum melalui Teknologi Informasi;
8. Kerjasama Institusional antara Pusat Kajian dan Informasi Hukum Pusat – Daerah dengan DPD;
9. Pelatihan Legal Drafting, Penyusunan Anggaran Berbasis kepantingan Daerah, dan Pengawasan untuk anggota DPD;
10. Penjaringan aspirasi dan pengkajian aspirasi masyarakat yang dikehendaki oleh DPD;
11. Pemantauan kinerja DPD.

D. Penutup.
Pada hakikatnya pembentukan Pusat Kajian Hukum Pusat – Daerah bukan hanya milik disiplin ilmu hukum (Fakultas Hukum/Perguruan Tinggi di Bidang Hukum). Hukum sebagai hasil integrasi dari sub-sub sistem yang ada di dalam masyarakat tentunya sangat terkait dengan sub-sub sistem yang bekerja di dalam masyarakat. Dalam konteks ilmu pengetahuan, maka kajian dan informasi hukum akan terkait dengan disiplin ilmu lain. Oleh sebab itu, tidaklah cukup jikalau pembentukan Pusat Kajian dan Informasi Hukum Pusat – Daerah, hanya melulu berada di Fakultas Hukum.
Fakultas Hukum bisa saja menjadi koordinator, sedang experties yang ada di dalamnya bersifat interdisipliner. Hal ini mengingat pembentukan hukum (Peraturan Perundang-undangan), pada hakikatnya merupakan langkah abstraksi yang dilakukan oleh ahli hukum untuk mempositifkan gejala sosial yang ada di masyarakat ke dalam rumusan yuridis yang berlaku dan bersifat mengikat umum. Untuk melakukan langkah abstraksi tersebut seorang Sarjana Hukum tidak mungkin mampu untuk melaksanakan kerja-kerja besar tersebut secara mandiri. Kerja sama dengan ilmuwan bidang ilmu lain yang berkaitan dengan materi muatan yang akan diabstraksikan ke dalam materi hukum positif sangat dibutuhkan.
Semoga tulisan ini sedikit bermanfaat sebagai sumbangan pemikiran dalam Pembentukan Pusat Kajian dan Informasi Hukum Pusat – Daerah. Selamat bekerja sukses selalu.

E. Daftar Pustaka
Abdur Rozaki, et.all, 2006, Kaukus Parlemen Bersih: Media Pembelajaran Parlemen Lokal, Konsorsium Kaukus Parlemen Bersih DIY, Yogyakarta,

B. Hestu Cipto Handoyo, 2008, Prinsip-Prinsip Legal Drafting dan Desain Naskah Akademik, Univ Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta.

Bagir Manan, 1995, Sistem dan Teknik Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan Tingkat Daerah, Univ Islam Bandung, Bandung.

DPD, 2006, Untuk Apa DPD RI, Kelompok DPD di MPR RI, cet II, Jakarta.

Mochtar Kusumaatmadja, 2006, Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan Hukum Nasional, Alumni, Bandung.



Kotagede; 27 Nopember 2008



B. Hestu Cipto Handoyo
(http://www.indonesia-pusaka.blogspot.com/)

MENGUATKAN DPD : (Efektivitas Kantor Perwakilan)

MENGUATKAN DPD :
(Efektivitas Kantor Perwakilan)*)

B. Hestu Cipto Handoyo**)

Pendahuluan.
Pasal 227 ayat (4) UU 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) menegaskan bahwa anggota DPD dalam menjalankan tugasnya berdomisili di daerah pemilihannya dan mempunyai kantor di ibukota provinsi daerah pemilihannya. Tanpa harus ditafsirkan ketentuan ini memberikan amanah bagi anggota DPD untuk membuat kantor perwakilan DPD, atau dalam bahasa masyarakat disebut rumah aspirasi.
Keberadaan rumah aspirasi sebagaimana diamanatkan oleh UU MD3 tersebut tentunya harus dikaitkan dengan gagasan dasar pembentukan DPD yakni adanya keinginan untuk lebih mengakomodasi aspirasi daerah dan sekaligus memberi peran yang lebih besar kepada daerah dalam proses pengambilan keputusan politik untuk soal-soal yang berkaitan dengan daerah. Persoalannya adalah apakah dengan dibangunnya lebih kurang 33 Kantor Perwakilan di Ibukota Provinsi dengan tafsiran dana yang dibutuhkan secara keseluruhan Rp. 1,32 trilyun (Vivanews.com 4/8/2010) atau sebagaimana dilansir oleh Ketua Panitia Akuntabilitas Publik Kantor Perwakilan DPD RI, yang menyatakan pembangunan kantor perwakilan DPD RI membutuhkan dana Rp 165 miliar (Metrotvnews.com, 15/10/2010) efektifitas untuk mengakomodasi aspirasi daerah dalam pengambilan keputusan politik yang berkaitan dengan kepentingan daerah menjadi terjamin dan apakah dengan adanya Kantor Perwakilan (Rumah Aspirasi) di setiap ibukota Provinsi berkorelasi positif dengan penguatan DPD?


Ukuran Efektivitas.
Ukuran efektifitas sangatlah beragam tergantung setting dari si pemberi kerja itu sendiri. namun menurut pengalaman, efektifitas dapat terlihat dari:
1. waktu penyelesaian, seberapa cepat pekerjaan tersebut diselesaikan. Jika dalam waktu yang ditentukan dapat memenuhi semua persyaratan kerja maka itu sudah dapat dikatakan efektif, namun jika molor artinya ada penambahan waktu kerja, maka hal ini dapat dikatakan sangat tidak efisien.
2. kualitas pekerjaan, apakah memenuhi persyaratan kualitas dari pekerjaan. contoh kualitas adalah saat membuat suatu produk, apakah telah memenuhi spesifikasi produk yang ditentukan?
3. produktivitas, dalam waktu sekian lama, berapa output yang hasilkan bila dibandingkan dengan input.
4. minimal problem, seberapa besar masalah yang ditimbulkan saat pekerjaan selesai. contoh kasus saat selesai bekerja, ternyata lingkungan menjadi sangat kotor, sehingga memerlukan energi lagi untuk membersihkannya.
5. memaksimalkan sumber daya yang ada, artinya dengan material dan manpower yang ada sanggup bekerja dengan tepat dan cepat. Jika ternyata masih diperlukan penambahan resources yang ada, maka hal itu harus dalam batas yang wajar.
Dengan demikian, efektifitas rumah aspirasi seharusnya juga diukur dari 5 (lima) kriteria tersebut yang pada akhirnya mampu memberikan sumbangan yang cukup signifikan untuk menguatkan DPD.
Latar belakang keberadaan DPD dalam sistem keparlemenan di Indonesia sebagaimana telah penulis sebutkan terdahulu ternyata implementasinya tidak seideal yang diharapkan. Fungsi sebagai penyeimbang dalam pengambilan keputusan politik yang terkait dengan kepentingan daerah tetap tersubordinasi oleh DPR-RI. Kata akhir dalam pengambilan keputusan politik tetap ada pada DPR-RI sebagai lembaga legislatif utama di republik ini. Sekedar contoh dalam perumusan dan pembahasan sebuah RUU, DPD tetap tidak memiliki kekuatan, bahkan kendati RUU itu berasal dari inisiatif DPD, lembaga ini tetap tidak memiliki kekuatan dalam mengawal produknya sendiri. Celakanya kelemahan ini dikuatkan oleh ketentuan Konstitusi.
Menyimak kenyataan yang demikian, maka sebenarnya efektivitas keberadaan rumah aspirasi dalam rangka menguatkan DPD jelas tidak menunjukkan korelasinya, artinya kendati rumah aspirasi tersebut sudah diadakan disetiap Provinsi, namun jika menurut konstitusional DPD tetap menduduki posisi tersubordinasi, amat mustahil penguatan DPD akan terjadi.

Solusi
Pada hakikatnya pemberi kerja anggota DPD tidak lain adalah rakyat daerah, sedangkan bidang pekerjaan yang diberikan kepada anggota DPD yang berjumlah 4 orang untuk masing-masing Provinsi adalah:
1. mengajukan RUU yang berkaitan dengan Otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah;
2. ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama; dan
3. dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU sebagaimana dimaksud pada point 2 di atas.
Sesuai dengan bidang pekerjaan tersebut, maka efektifitas keberadaan rumah aspirasi guna menguatkan DPD paling tidak harus memenuhi 5 kriteria sebagaimana penulis kemukakan. Artinya ketiga bidang pekerjaan DPD itu harus day to day dapat dikerjakan oleh rumah aspirasi dengan ukuran 5 kriteria. Namun demikian walaupun rumah aspirasi tersebut memang sudah memenuhi kelima kriteria di atas, belum tentu secara otomatis penguatan DPD dapat terwujud selama konstitusi dan UU MD3 tetap meletakkan lembaga ini dalam posisi tersobordinasi. Kecuali gagasan Jimly Ashiddiqie yang disampaikan dalam Rapat PAH I BP MPR ke 13 pada tanggal 24 April 2001 diimplementasikan dalam rumusan Konstitusi dan UU MD3. Gagasan tersebut antara lain mengemukakan:
“Oleh karena itu, kami berpendapat hasil diskusi kawan-kawan di Tim Hukum biarlah wewenang untuk membahas itu diberikan pada satu kamar saja, tetapi kamar yang lain untuk veto, menyatakan setuju meteri tertentu atau tidak setuju dengan materi pembahasan. Kalau tidak setuju, diberikan kesempatan untuk rapat konsultasi di MPR, yaitu forum bersama itu, tetapi konsultasi sifatnya. Kalau tetap tidak bisa dicapai kesepakatan, maka dikembalikan kepada Dewan yang membahasnya untuk dibahas lagi dengan pengaturan mekanisme voting akhirnya. Jadi, kalau ada peningkatan atau apa kalau itu bisa diputuskan jadi undang-undang.
Kemudian, yang kedua, hak veto ini juga dibatasi dalam RUU yang dibahas oleh DPR sudah mendapat dukungan 2/3 suara maka tidak bisa divoting oleh lembaga yang lain. Begitupun kalau misalnya RUU itu inisiatif Dewan Utusan Daerah kalau dia sudah mendapat dukungan dari 2/3 persen suara tidak lagi bisa diveto, kira-kira begitu. Dengan demikian, ada checks and balances, tetapi di lain pihak tidak mempersulit gitu karena sejarah kita, Dewan Perwakilan Rakyat dan Daerah itu berasal dari MPR minus Utusan Golongan, supaya mengesankan kok membuat undang-undang menjadi sulit, padahal masa sekarang ini harus banyak tetapi baru beberapa undang-undang yang jadi”.

Berpijak dari ketiadaan korelasi efektivitas rumah aspirasi dengan penguatan DPD tersebut, maka tawaran solusi yang dapat penulis sampaikan dalam kesempatan ini adalah:
a. Kendati rumah aspirasi sudah diamanatkan oleh UU MD3, namun pembangunan fasilitas ini cukup diganti dengan mengoptimalkan keberadaan staff ahli yang sewaktu-waktu dapat dimintai pendapat yang berkaitan dengan bidang pekerjaan masing-masing anggota DPD. Perguruan Tinggi yang memiliki Pusat-pusat Studi atau Lembaga Kajian dapat diajak bekerja sama untuk hal ini.
b. Pada hakikatnya TUPOKSI rumah aspirasi tidak lain adalah untuk membantu anggota DPD dalam melakukan pengkajian, penelitian, penjaringan aspirasi yang terkait dengan bidang pekerjaan anggota DPD. TUPOKSI seperti ini sebenarnya bisa dikerjakan oleh berbagai pemangku kepentingan yang ada di daerah. Oleh sebab itu rumah aspirasi tidak perlu diadakan melainkan cukup dengan membangun jaringan yang sinergis antara anggota DPD dan pemangku kepentingan di masing-masing provinsi.
c. Rumah aspirasi pada hakikatnya hanya merupakan “wadah” bukan “isi”. Padahal Untuk memperkuat DPD yang dipentingkan adalah “isi” dari kewenangan DPD yang secara kolektif mampu memberikan pengaruh yang signifikan dalam pengambilan keputusan politik di tingkat Pusat bagi persoalan-persoalan yang terkait dengan daerah. Oleh sebab itu, daripada repot-repot membangun “wadah” dengan dana yang demikian fantastis, lebih baik memperkuat bergainning possition DPD dalam sistem keparlemenan di Indonesia. Perjuangan untuk memperkuat posisi tawar melalui amandemen UUD 1945 memang berat dan harus berhadapan dengan hegemoni partai politik yang semakin menggurita. Namun alangkah elegannya jika “nafsu” untuk membangun rumah aspirasi ini tidak diwujudkan seperti yang dilakukan oleh DPR ketika berniat membangun gedung baru yang kontroversial itu.

Penutup.
Demikianlah sumbangsih pemikiran penulis dalam kesempatan yang baik ini semoga dapat bermanfaat. Akhir kata penulis berharap DPD tetap terus berjuang untuk memperkuat posisi tawar yang dulu pernah dilakukan, karena masyarakat sebenarnya masih tetap memiliki harapan positif kepada DPD mengingat akhir-akhir ini sepak terjang aktifitas DPR makin lama makin menyakitkan hati rakyat. Harapan rakyat terhadap DPD tersebut dapat diwujudkan, manakala anggota DPD mampu menunjukkan progress report bidang pekerjaan yang dilaksanakan paling tidak setiap semesternya melalui laporan-laporan berkala yang dipublikasikan secara kontinyu dan berkesinambungan. SEMOGA.


Kotagede, 1 Desember 2010
Penulis;
B. Hestu Cipto Handoyo
Email: benddict@yahoo.com

STRATEGI DAN TEKNIK ADVOKASI KEBIJAKAN PUBLIK

STRATEGI DAN TEKNIK
ADVOKASI KEBIJAKAN PUBLIK

Oleh :
B. Hestu CH*)

Pendahuluan
Kebijakan publik pada hakikatnya adalah hasil dari proses politik yang dilakukan oleh pemegang otoritas pengambil keputusan. Sebagai sebuah kebijakan publik tentunya bersumber dari tuntutan (demand) maupun dukungan (support) dari stakeholder kekuatan politik dan sosial di dalam masyarakat. Oleh sebab itulah dalam berbagai kebijakan publik yang dikeluarkan oleh pemegang otoritas tersebut harus mengandung asas partisipasi, transparansi dan akuntabilitas. Berkaitan dengan hal tersebut upaya-upaya dari berbagai komponen masyarakat untuk melakukan advokasi harus terus digalang dan dilakukan, agar setiap kebijakan publik tersebut mengandung ketiga asas tersebut.
Advokasi merupakan cara ampuh untuk mempengaruhi pendapat publik atau orang lain, dan diharapkan juga dapat mengubah perilaku pemegang otoritas kebijakan yang tidak menguntungkan masyarakat. Dalam konteks kebijakan publik, maka advokasi dapat dimaknai sebagai upaya untuk memberikan pengaruh yang signifikan (paling tidak memberikan pressure) dalam pengambilan keputusan politik yang berkaitan dengan kebijakan publik yang dilakukan oleh pemegang otoritas pengambil keputusan.
Dalam dataran normatif, kebijakan publik menjelma dalam berbagai produk perundang-undangan. Oleh sebab itu membahas tentang strategi dan teknik advokasi kebijakan publik mau tidak mau akan tetap bersinggungan dengan produk hukum baik yang sedang diproses maupun yang sudah dikeluarkan oleh penguasa.

Kebijakan Publik dan kaidah Hukum
Agar kebijakan publik berlaku efektif dan mengandung kepastian, maka harus dituangkan dalam suatu kaidah hukum. Hal ini mengingat dengan kaidah hukum itulah, maka kebakan publik akan memiliki daya pemaksa dan berlaku atau bersifat mengikat umum. Dengan demikian bila ditinjau dari aspek normatif yuridis, maka kebijakan publik pada umumnya akan tercermin di dalam berbagai macam produk peraturan perundang-undangan baik di tingkat Pusat maupun di tingkat daerah.
Menurut sistematika UU No. 32 tahun 2004 ada dua jenis peraturan perundang-undangan tingkat daerah, yakni Peraturan Daerah (Perda) dan Peraturan Kepala Daerah. Sedangkan menurut Pasal 7 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan tidak lain adalah :
1. UUD 1945;
2. UU/Perpu;
3. PP;
4. Peraturan Presiden;
5. Peraturan Daerah.
Di dalam UU No. 32 tahun 2004, dari dua jenis peraturan perundang-undangan ini yang mempunyai kedudukan cukup unik adalah Peraturan Kepala Daerah. Dikatakan demikian, karena Peraturan Kepala Daerah secara umum dapat dilihat dari dua aspek, Pertama; sebagai produk perundang-undangan yang berlaku dan bersifat mengikat umum. Mengingat perundang-undangan itu merupakan kaedah hukum, maka maka isi dari Peraturan Kelapa Daerah tentu dapat dibagi tiga, yaitu :
1. Berisi perintah yang mau tidak mau harus dijalankan atau ditaati;
2. Berisi larangan yakni suatu kondisi yang tidak diperbolehkan untuk dilakukan;
3. Berisi perkenan yakni jikalau hanya mengikat sepanjang para pihak yang bersangkutan tidak menentukan lain dalam perjanjian
Kedua; sebagai produk perundang-undangan yang dibentuk dan dikeluarkan oleh eksekutif tanpa persetujuan legislatif.
Sebagai salah satu dari produk perundang-undangan tingkat daerah kedudukan Peraturan Kepala Daerah dapat disejajarkan dengan Perda, maupun berada di bawah Perda. Dikatakan dapat disejajarkan dengan Perda, karena produk hukum ini sifatnya adalah “mandiri”, artinya sepanjang belum ada Perda yang mengatur suatu persoalan di masyarakat Daerah, maka Peraturan Kelapa Daerah dapat dipergunakan sebagai sarana untuk mengatur kepentingan umum serta bersifat dan mengikat umum. Berkaitan dengan hal ini Sudikno Mertokusumo mengatakan :
“Kepentingan umum adalah kepentingan yang harus didahulukan dari kepentingan-kepentingan yang lain dengan tetap memperhatikan proporsi pentingnya dan tetap menghormati kepentingan-kepentingan lain. Dalam hal ini tidak berarti ada perbedaan atau tingkatan urutan yang tetap antara kepentingan yang termasuk kepentingan umum dan kepentingan lainnya”.

Sedangkan dikatakan di bawah Perda, karena dikeluarkan untuk melaksanakan lebih lanjut ketentuan-ketentuan yang ada di Perda.
Berkaitan dengan beberapa kerangka normatif tersebut, maka persoalan yang yang penulis kemukakan di atas tentunya akan selalu bersinggungan dengan produk perundang-undangan tingkat daerah yang dimaksud. Bagi proses perumusan Perda, maka peran serta masyarakat terhadap lahirnya jenis perundang-undangan di tingkat daerah, tentunya dilandasi oleh kerangka normatif tersebut. Seluruh komponen masyarakat yang akan terkena Perda dapat dan memiliki hak untuk terlibat dalam proses perumusan dan pembahasan. Hal ini disebabkan dalam kerangka ideal sistem perumusan kaidah hukum yang tertulis, khususnya melalui Perda yang dibentuk berdasarkan persetujuan DPRD, seharusnya lebih transparan dan menampung seluas mungkin aspirasi masyarakat.
Keadaan tersebut di atas jelas berbeda dengan Peraturan Kepala Daerah yang berifat “Mandiri”, karena inisiatif dan kebebasan dalam merumuskan produk hukum daerah tersebut ada pada Eksekutif yang memiliki kerangka birokrasi yang relatif bersifat eksklusif.

Strategi dan Teknik Advokasi Kebijakan Publik.
Pemantauan secara kritis terhadap lahirnya kaidah hukum tertulis (Perda maupun Peraturan Kepala Daerah) tentunya dapat dilakukan sesuai dengan proses baku sistem legislasi. Proses baku yang dimaksud meliputi :
1. Naskah akademis konsep kaidah hukum yang akan dilahirkan (baca : Raperda) WAJIB dipersandingkan dengan counter draft yang disusun ataupun dirumuskan oleh komponen masyarakat yang terkait dengan persoalan yang terangkum dalam suatu kaidah hukum yang akan dilahirkan tersebut. NGO atau komponen Civil Society harus berperan dan menjadi pelopor dalam menyusun counter draft tersebut. Oleh sebab itu kemampuan dalam hal menyusun naskah akademis dan legal drafting harus dimiliki.
2. DPRD sebagai institusi legislasi kaidah hukum harus membuka seluas-luasnya partisipasi dari komponen masyarakat. Tidak cukup hanya dengan cara-cara hearing ataupun dengar pendapat melalui MUSRENBANG. Cara-cara semacam ini memang diperlukan namun sifatnya masih elitis. Melainkan sampai dengan proses penelitian dan survey awal untuk menampung berbagai masukan dari seluruh komponen masyarakat. Sidang ataupun rapat-rapat yang bersifat tertutup sudah tidak jamannya lagi untuk diterapkan di era demokratisasi sekarang ini. DPRD yang notabene adalah wakil rakyat dituntut untuk selalu transparan kepada pihak yang diwakili, yakni rakyat. Seluruh kinerja anggota DPRD dalam melahirkan suatu kaidah hukum harus dipertanggungjawabkan kepada rakyat. Bukan kepada fraksi yang pada hakikatnya adalah kepanjangan Parpol. Komponen Civil Society yang konsens terhadap advokasi kebijakan publik harus proaktif melalui upaya pengkajian akademis terhadap naskah legislasi yang sudah ada di Dewan. Dalam konteks seperti ini, maka peran Perguruan Tinggi sudah sepatutnya dilibatkan. Perlu diketahui dewasa ini banyak akademisi di lingkungan Perguruan Tinggi sudah beralih profesi sebagai “intelektual tukang” manjadi staff ahli, legal drafter, maupun juru bicara dari pemegang otoritas pengambil kebijakan publik. Untuk itu kerja sama dengan Perguruan Tinggi hendaknya dilakukan para intelektual yang relatif masih independen (dalam arti tetap memiliki idealisme keilmuan).
3. Seluruh Alur dan proses penyusunan Kaidah hukum harus terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan. Alur dan proses penyusunan yang dimaksud baik di lingkup eksekutif maupun legislatif. Komponen Civil Society dituntut untuk menguasai alur dan proses penyusunan kaidah hukum. Seluruh proses dan prosedur wajib diikuti sampai tuntas dan dipantau hasil-hasilnya.
4. Jika perlu rumusan konsep Kaidah hukum (baca : Raperda) direferendumkan. Dalam kerangka teoritis terdapat tiga jenis referendum, yaitu Obligator, Fakultatif dan Optatif.
Menurut Eugen Ehrlich hukum positif yang baik dan oleh karenanya efektif bila diterapkan di dalam lingkungan kehidupan masyarakat/bangsa adalah hukum yang sesuai dengan living law (hukum yang hidup di dalam masyarakat). Sedangkan Living law itu sendiri bersumber pada volksgeist (jiwa bangsa). Sementara itu menurut Von Savigny, setiap masyarakat ataupun bangsa memiliki volksgeist-nya masing-masing. Oleh sebab itulah tidak mungkin jikalau hukum positif selalu mengedepankan proses penyeragaman terhadap living law. Setiap bentuk penyeragaman living law dalam masyarakat yang plural tentu akan menimbulkan rasa ketidakadilan.
Berkaitan dengan hal inilah, maka dalam proses penyusunan Kaidah hukum – yang dituangkan dalam suatu produk hukum – haruslah memperhatikan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan living law ini. Mochtar Kusumaatmaja pernah mengemukakan bahwa persoalan-persoalan hukum yang berkembang di masyarakat dengan latar belakang volksgeist dan living law ini, pada hakikatnya dapat dibedakan dalam dua dimensi, yaitu :
1. Persoalan hukum yang berifat Netral; dan
2. Persoalan hukum yang berpihak.
Berdasarkan dua persoalan tersebut diatas, maka prioritas utama untuk dikembangkan dan dirumuskan adalah persoalan-persoalan hukum yang sifatnya netral. Dengan demikian dalam hal penyusunan Kaidah hukum , maka para pengambil keputusan (Eksekutif dan Legislatif) harus mengedepankan persoalan hukum yang netral terlebih dahulu. Prioritas penyusunan kaidah hukum diletakkan pada persoalan hukum yang netral bertujuan :
1. Mempercepat proses unifikasi dan kodifikasi;
2. Memperkuat penegakan hukum yang konsisten;
3. Membangun budaya hukum;
4. Memperkecil terjadinya multitafsir berdasarkan faktor non yuridis;
5. Memperkuat integrasi bangsa yang struktur kehidupan masyarakatnya plural.
Dengan demikian jikalau ada suatu penyusunan Kaidah hukum yang ditolak dan kontroversial dilingkungan masyarakat tentu persoalan yang terkandung di dalam naskah rancangan Kaidah hukum tersebut dapat ditengerai bila menyangkut persoalan hukum yang berpihak. Kasus PKL, Parkir, dan RUU Keistimewaan DIY, dapat dijadikan contoh.
Berkaitan dengan hal-hal tersebut diatas, maka pemantauan secara kritis terhadap lahirnya Kaidah hukum bisa dilakukan oleh seluruh komponen Civil Society melalui, pertama; Menyusun secara bersama-sama suatu counter draft Kaidah hukum . Kedua; Membuka akses informasi diseluruh komponen masyarakat tentang proses penyusunan suatu Kaidah hukum . Ketiga; Merumuskan aturan main (Rule of the game) khususnya yang menyangkut transparansi Kaidah hukum .
Keempat; Untuk langkah awal pelaksanaan pemantauan, perlu merumuskan secara bersama-sama sebuah Produk Hukum, yaitu RAPERDA Tatib DPRD. Perda semacam ini diperlukan mengingat sampai saat ini proses penyusunan Kaidah hukum hanya dirangkup di dalam Paraturan Tatib DPRD yang sifatnya hanya mengikat ke dalam. Kelima; Bersama-sama dengan DPRD menyusun Kode Etik sekaligus membentuk Majelis Kehormatan yang susunan keanggotaannya terdiri dari unsur Dewan, Masyararakat (NGO), Akademisi, dan Media massa.
Keenam; Memperluas jaringan kerja sama dikalangan Civil Society yang selama ini sifatnya selalu ad hoc. Jaringan kerja sama tersebut harus bersifat permanen sekaligus ada pembagian tugas dan tanggung jawab dalam memantau proses perumusan Kaidah hukum. Termasuk dalam hal ini juga perlu menyusun semacam petunjuk praktis tentang etika koalisi dan aliansi bersama. Persyaratan utama untuk melakukan aliansi atau koalisi diantara NGO adalah sinergi diantara unsur-unsur yang ada serta komitmen untuk menyelesaikan tugas advokasi secara tuntas.
Demikianlah beberapa prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam meningkatkan peran serta masyarakat dalam pembentukan kaidah hukum melalui peraturan perundang-undangan. Kerangka normatif tersebut di atas tentu perlu diimplementasikan dalam dataran praktek. Oleh sebab itu sistem dan tatacara perumusan Peraturan perundang-undangan di tingkat daerah harus segera disusun sejalan dengan tuntutan kebutuhan masyarakat akan transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan.

Daftar Kepustakaan
FH-UNPAR, Pengantar Ilmu Hukum, Penerbit Unika UNPAR, Bandung, 1995.
Lili Rasjidi, Filsafat Hukum Apakah Hukum Itu, Remaja Rosda Karya, Bandung, 1992
Mochtar Kusuma Atmaja, Hukum, Masyarakat dan Pembangunan Hukum Nasional, Bina Aksara, Bandung, 1982
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Cetakan Kedua, Liberty, Yogyakarta, 1995.

KRIMINALISASI KPK : PERSETERUAN ABADI HUKUM VS POLITIK

KRIMINALISASI KPK : PERSETERUAN ABADI HUKUM VS POLITIK
B. Hestu Cipto Handoyo*)

Rekaman percakapan Anggodo Widjojo dan sejumlah orang yang diputar di Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (3/11), menunjukkan masih tebalnya lapisan mafia penegakan hukum di Indonesia. Rekaman yang diduga berisi rekayasa kriminalisasi KPK tersebut, merupakan terobosan hukum yang luar biasa. Segala bentuk kebobrokan dunia penegakan hukum - khususnya yang dilakukan oleh jajaran petinggi hukum - yang selama ini tertutup rapat, benar-benar telah ditelanjangi. Inilah salah satu potret dari sekian banyak potret penegakan hukum di Indonesia yang compang-camping. Dunia penegakan hukum Indonesia terkena tsunami yang maha dahsyat.

Belajar Dari Kasus Serupa.
Sebenarnya telpon menelpon antara aparat penegak hukum dengan pihak-pihak yang sedang terlibat kasus hukum sudah jamak dilakukan, namun jarang terungkap dipermukaan. Dahulu ketika Denny Indrayana (Staf Khusus Presiden di Bidang Hukum dan Sekretaris TPF) masih menjadi pengacara dan tokoh organisasi NGO, Indonesian Court Monitoring (ICM) di Yogyakarta, juga pernah melakukan perekaman telpon pada waktu menghubungi seorang Jaksa disalah satu Kejaksaan Negeri di Yogyakarta untuk “memancing bernegosiasi” terhadap perkara hukum yang sedang ditangani.
Kendati dalam kasus tersebut jumlah uangnya tidak sefantastik kasus Anggodo Widjoyo, namun yang dilakukan oleh Denny Indrayana jelas merupakan sebuah tindakan yang sangat berani dan paling tidak membuktikan bahwa telpon-menelpon untuk bernegosiasi di luar proses persidangan dalam penyelesaian perkara hukum antara pihak-pihak terkait dengan aparat penegak hukum sudah merebak.
Test case yang dilakukan oleh Denny Indrayana tersebut menjadi headline news di media massa Yogyakarta. Akhirnya sang Jaksa harus mengakhiri profesinya dan ditempatkan di bagian administrasi Kejaksaan Negeri. Bagaimana proses pengalihan sang Jaksa tersebut menjadi staf administrasi di Kejaksaan Negeri juga tidak transparan dan tidak melewati sebuah proses hukum yang wajar. Masyarakat tentu tidak bisa membayangkan, seandainya setiap penegak hukum dan para koruptor di Indonesia disadap telponnya di saat mereka melaksanakan proses penegakan hukum, mungkin bukti tentang rusaknya aparat penegak hukum makin jelas.
Heboh publikasi rekaman telpon juga mengingatkan kita pada kasus Monica Lewensky dan Bill Clinton yang mengakibatkan Clinton terancam impeachment. Akhir cerita dari kasus ini happy ending bagi Clinton, dengan alasan Clinton telah meminta maaf secara terbuka kepada Rakyat AS dan menurut Congres AS, dianggap tidak melakukan pelanggaran Konstitusi. Sementara bagi Monica Lewensky, justru menghantar dirinya menjadi selebritis dunia yang menjadi incaran wartawan infotainment untuk dimintai testimoninya.
Namun kasus Monica Lewensky vs Clinton tersebut justru menimbulkan nestapa tersendiri bagi sang pelapor, yakni Linda Trip (sahabat Monica Lewensky) yang merekam pembicaraan telpon mereka berdua, dan mengirimkannya kepada anggota Senat dari partai Republik, Keneth Star (mantan Jaksa). Linda Trip dipecat dari Pentagon karena dianggap melanggar UU Invation of Privacy yang berlaku di AS.
Penyelesaian kasus-kasus penyadapan atau perekaman telpon ternyata bisa berubah-ubah arah. Dari persoalan hukum menjadi persoalan politik, dari persoalan privat menjadi persoalan publik. Mengapa bisa seperti itu? Pertanyaan ini tentu makin menyadarkan masyarakat tentang betapa dekatnya hukum dan politik (baca: kepentingan) dan betapa makin terbukanya jalur-jalur komunikasi karena kemajuan teknologi.

Hukum Murni.
Menurut ajaran Hukum Murni, Hans Kelsen, Hukum adalah perintah penguasa dan dituangkan dalam UU yang bersifat logis, konsisten dan tertutup. Logis berarti hukum itu dapat dipahami oleh logika manusia alias rasional. Konsisten berarti hukum itu tegas dan tidak akan berubah-ubah baik penafsiran maupun penegakannya. Sedangkan tertutup hukum itu harus bebas dari anasir-anasir yang tidak yuridis, seperti kepentingan politik, ekonomi, dan lain sebagainya. Namun demikian, karena hukum itu dikonstruksikan sebagai perintah penguasa yang dituangkan dalam UU, maka ini juga berarti hukum itu mengabdi kepada kepentingan penguasa.
Hal tersebut tidak menjadi persoalan jikalau penguasa itu bersifat amanah, aspiratif, dan kepentingan (politik) mereka dalam melakukan perintah bertujuan untuk ketertiban, kepastian, keadilan dan kemanfaatan masyarakat. Akan menjadi persoalan jika penguasa hanya mementingkan diri sendiri dan kelompok, tentu hukum hanya merupakan manifestasi dari kepentingan penguasa yang jauh dari kemanfaatan masyarakat, kepentingan publik tergadaikan, dan rasa keadilan masyarakat terabaikan.
Indonesia membangun sistem hukum melalui perundang-undangan. Ini berarti sistem hukum Indonesia hanya mengedepankan aspek kepastian hukum, rasa keadilan masyarakat belum optimal dipergunakan sebagai referensi dalam rumusan-rumusan hukum yang tertulis. Fatalnya para pembentuk hukum, yakni parlemen (DPR/D) hanya berkutat pada kepentingan-kepentingan politis, ketika mereka merumuskan hukum yang tertulis lewat perundang-undangan. Alih-alih dari kesemuanya itu sistem hukum di Indonesia tidak lagi bersifat logis, konsisten dan tertutup. Hukum di Indonesia hanya sebagai manifestasi perintah kepentingan penguasa (dalam hal ini pembentuk hukum) yang dituangkan dalam UU.

KETERANGAN AHLI UJI MATERI UU KOPERASI

KONSEKUENSI MAKNA KETENTUAN UMUM PASAL 1 ANGKA 1 UU NO. 17 TAHUN 2012 TERHADAP PRINSIP DAN ASAS KOPERASI Oleh: Dr. Benediktus H...