Mengenai Saya

Foto saya
Yogyakarta, DIY, Indonesia
Dr. Benediktus Hestu Cipto Handoyo, S.H.,M.Hum atau sering dipanggil Ben atau Hestu, lahir di Blora Jawa Tengah pada tanggal 3 Juli 1962. Suami dari Maria Bernadeth Maitimo, SH dan bapak dari dua anak Giovanni Battista Maheswara, S.H.,M.H dan Alexandro Kevin Maheswara, S.H. ini, menyelesaikan pendidikan di SD. Katolik Kridadharma Blora tahun 1974. Kemudian melanjutkan di SMP Negeri I Blora lulus tahun 1978, serta SMA Jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) di SMA Katolik Wijayakusuma Blora, lulus tahun 1981. Jenjang Pendidikan Tinggi ditempuh di Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta, dan Lulus Sarjana Hukum pada tahun 1988. Melanjutkan studi pada Program Pascasarjana (S2) Universitas Padjadjaran Bandung lulus dan memperoleh gelar Magister Humaniora (M.Hum) pada tahun 1995. Pada tanggal 20 Desember 1997 sampai dengan 4 Maret 1998 mendapatkan kesempatan mengikuti kursus di LEMHANNAS (Lembaga Pertahanan dan Keamanan Nasional) Jakarta. Kemudian pada tahun 2018 Lulus pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Katolik Parahyangan Bandung

Kamis, 29 November 2012

SILANG PENDAPAT TAP MPR SEBELUM AMANDEMEN UUD 1945


Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (sebelum amandemen) sebagai hukum dasar tertulis (konstitusi tertulis) menegas adanya beberapa jenis Peraturan Perundang-undangan Tingkat Pusat, yaitu Undang-Undang Dasar itu sendiri, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang, dan Peraturan Pemerintah.  

Sementara itu dalam sejarah Peraturan Perundang-undangan Indonesia pernah ada Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. XX/MPRS/1966 yang menentukan di samping 4 (empat) jenis Peraturan Perundang-undangan tersebut, juga masih dikenal adanya jenis lain, seperti : Ketetapan MPR, Keputusan Presiden dan Peraturan pelaksanaan lainnya, seperti Peraturan Menteri, Instruksi Menteri, dan lain-lain.
Menurut Bagir Manan bentuk-bentuk atau jenis Peraturan Perundang-undangan yang disebutkan dalam Tap  MPRS No. XX/MPRS/1966 lebih luas daripada yang disebut dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesa Tahun 1945 tetapi lebih sempit dibandingkan dengan kenyataan yang ada. Dikatakan lebih luas, karena Tap MPRS No.XX/MPRS/1966, menyebutkan beberapa Peraturan Perundang-undangan yang tidak secara tegas disebutkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebaliknya disebut lebih sempit dari kenyataan, karena Tap MPRS No. XX/MPRS/1966 hanya memuat Peraturan Perundang-undangan Tingkat Pusat. Sedangkan dalam sistem Peraturan Perundang-undangan Indonesia terdapat juga Peraturan Perundang-undangan tingkat daerah seperti Peraturan Daerah.[1]
Lebih lanjut dikatakan bahwa Tap MPRS No. XX/MPRS/1966 dapat juga dianggap berlebihan, karena memasukkan Instruksi sebagai salah satu bentuk atau jenis Peraturan Perundang-undangan. Padahal dari segala segi sifat dan substansinya, Instruksi tidak memenuhi persyaratan sebagai Peraturan Perundang-undangan. Instruksi memuat hal-hal konkrit dan individual, sehingga tidak memenuhi esensi sebagai Peraturan Perundang-undangan.[2]

Bertolak dari pendapat tersebut, permasalahan yang dapat dikemukakan disini adalah apakah Tap. MPRS No. XX/MPRS/1966 dapat dikatakan melanggar ketentuan yang ada di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau apakah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat tersebut sifatnya inkonstitusional?

Di dalam tataran normatif yuridis, maka keadaan yang demikian ini dapat dianggap merupakan bentuk penyimpangan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hal ini disebabkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai Hukum Dasar yang tertinggi serta berkedudukan sebagai norma hukum bagi pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah telah memberikan penegasan mengenai jenis Peraturan Perundang-undangan yang dimaksud. Oleh sebab itu, kalau dijumpai adanya jenis Peraturan Perundang-undangan di luar yang telah ditentukan secara limitatif oleh Undang-Undang Dasar, maka sudah barang tentu – secara normatif yuridis – jenis Peraturan Perundang-undangan tersebut menyalahi norma hukum yang telah ditentukan oleh Undang-Undang Dasar itu sendiri, sehingga dapatlah dibenarkan jikalau Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat itu bersifat inkonstitusional.

Dalah sejarah khasanah Peraturan Perundang-undangan Indonesia perdebatan mengenai eksistensi Ketetapan Majelis Permusyawaratan memang sempat mengemuka setelah reformasi 1998 bergulir. Lebih-lebih setelah Presiden Abdurrahman ”Gus Dur” Wahid dijatuhi memorandum ke III oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, hingga beliau ”jatuh” dari tampuk kepemimpinan nasional. Pada waktu itu silang pendapat yang cukup keras antara para pakar Hukum Tata Negara begitu mengemuka di belantara wacana akademis tentang keberadaan produk Hukum yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat tersebut.

Dalam suatu kesempatan wawancara dengan sebuah media elektonik nasional, Harun Al Rasyid (Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia) mengemukakan dengan lantang bahwa Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat itu adalah produk hukum yang haram. Artinya melanggar konstitusi. Sementara itu Bagir Manan (Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran Bandung), menyanggah pendapat Harun Al Rasyid dan tetap menganggap bahwa Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat itu adalah produk hukum yang konstitusional.
Silang pendapat yang begitu keras tersebut tentu saja membuat masyarakat bertanya-tanya. Mengapa dalam satu bidang ilmu guru besarnya berbeda pendapat dan berantem argumentasi seperti itu? Ada apa dengan Ilmu Hukum di negeri ini? Bagi penulis silang pendapat seperti itu merupakan hal yang sangat biasa dan wajar di lingkungan Ilmu Hukum. Bahkan dalam dataran filsafat hukum yang melahirkan teori-teori hukum, antinomi terhadap keberadaan dan hakikat ilmu hukum juga terjadi.

Menurut Harun Al Rasyid, produk Hukum yang namanya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat itu tidak secara tegas-tegas tercantum (tersurat)  di dalam ketentuan Pasal-pasal Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh sebab itu produk hukum ini nyata-nyata melanggar konstitusi. Sementara itu Bagir Manan mengemukakan bahwa walaupun Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat itu tidak tercantum secara tegas di dalam Pasal-Pasal Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, namun keberadaan produk hukum ini pada hakikatnya bersumber pada dua hal :

Pertama; penafsiran ketentuan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan Undang-Undang Dasar dan Garis-garis besar daripada haluan Negara. Ketentuan seperti ini dapat ditafsirkan, jika suatu lembaga negara secara tersurat diberi kekuasaan oleh Undang-Undang Dasar untuk menetapkan Undang-Undang Dasar dan Garis-garis besar daripada haluan negara, maka secara tersirat lembaga negara tersebut juga diberi wewenang untuk mengeluarkan suatu produk hukum yang disebut Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Penafsiran seperti ini nampaknya dilatar belakangi oleh asumsi bahwa antara pemberian kekuasaan melakukan sesuatu dengan wewenang untuk mengeluarkan sebuah produk hukum merupakan dua hal yang bisa dikatakan berbanding lurus.

Kedua; lahirnya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat itu bersumber dari kebiasaan ketatanegaraan (Convention of Constitutions) sejak sekitar tahun 1960-an. Oleh sebab itu keberadaan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat tetap konstitusional. Apalagi Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 juga mengakui adanya praktek-praktek ketatanegaraan walaupun tidak tertulis, sebagaimana pernah ditegaskan dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.[3]

Jika ditinjau dari Teori Hukum Tata Negara, kedua pandangan pakar Hukum Tata Negara tersebut pada hakikatnya sama-sama dapat dibenarkan. Hal ini mengingat pandangan masing-masing pihak yang disampaikan itu mempergunakan kacamata aliran teori hukum yang berbeda. Harun Al Rasyid mempergunakan kacamata legisme yang lebih menitik beratkan pada kepastian hukum. Sedangkan Bagir Manan mempergunakan kacamata sosiologis empiris melalui pendekatan kebiasaan ketatanegaraan (convention of constitutions) maupun penafsiran hukum.


[1] Bagir Manan, Dasar-Dasar Perundang-Undangan Indonesia, Ind-Hill,Co, Jakarta, 1992, hlm. 25.
[2] Ibid.
[3] Bagir Manan, Ibid, hlm. 31-32.

KETERANGAN AHLI UJI MATERI UU KOPERASI

KONSEKUENSI MAKNA KETENTUAN UMUM PASAL 1 ANGKA 1 UU NO. 17 TAHUN 2012 TERHADAP PRINSIP DAN ASAS KOPERASI Oleh: Dr. Benediktus H...